Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Hari itu dr. Nimala bertugas di Klinik Medika. Pasien pertama, Bobo, 7 tahun, yang
datang dengan flu. Emak Bobo, mengeluh Bobo sering makan es krim. Yang berikut, Pak
Raden , 67 tahun , mantan pejabat Kabupaten. Beliau datang berobat rutin untuk hipertensi,
yang dialaminya sejak 10 tahun terakhir. Obat terakhir yang digunakan adalah amlodipin
10mg/hari dan tekanan darah terakhir 130/80 mmHg
Pasien selanjutnya, Ibu Juwita, 38 tahun, manager di sebuah BUMD. Ibu Juwita
khawatir terkena kanker payudara karena seorang temannya belum lama meninggal karena
kanker tersebut. Ibu Juwita pikir mamografi dapat mendeteksi kanker payudara.
Apakah yang dapat dilakukan dr. Nirmala

A. Kata sulit
1. Mamografi
Pemeriksaan kelenjar payudara dengan menggunakan sinir X

2. Amlodipin
Salah satu obat penurunan hipertensi

B. Kata/kalimat kunci
Rapat membicarakan laporan kesehatan tahunan
C. Pertanyaan
1. Apakah tujuan surveilens dalam kesehatan masyarakat?
2. Apakah jenis surveilans?
3. Bagaimana faktor resiko penyakit? Bagimana menentukan determinan kesehatan?
4. Bagaimana menentukan kausalitas kesehatan?
5. Bagaimana peranan biostatik dalam epidemiologi; dekskriptif dan analitik?
6. Apakah studi diagnostik dan menentukan akurasi skreening?
7. Bagimana memilih obat yang tepat? Apa hubungannya dengan epidemiologi?
8. Apakah bias dan counfounding? Apakah validitas interna dan eksterna?
9. Kegunaan pengetahuan epidemiologi dalam politik kedokteran?
10. Bagaimana penelitian epidemiologi dilakukan?

BAB II
1
PEMBAHASAN
1. Apakah tujuan surveilens dalam kesehatan masyarakat?
Secara umum tujuan surveilans adalah mendapatkan informasi epidemiologi
penyakit tertentu dan mendistribusikannya kepada pihak terkait, pusat-pusat
kajian, pusat penelitian, serta unit lainnya.
Adapun tujuan khusus diselenggarakannya surveilans kesehatan masyarakat
dari berbagai sumber dan literatur adalah sebagai berikut:
1. Mendeteksi wabah;
2. Mengidentifikasi masalah kesehatan dan kecenderungan penyebaran
penyakit;
3. Mengestimasi luas dan pengaruh masalah kesehatan;
4. Memberi penekanan pada penyebaran kejadian kesehatan secara
5. geografis dan demografis;
6. Mengevaluasi cara pengawasan;
7. Membantu dalam pengambilan keputusan;
8. Mengalokasikan sumberdaya kesehatan secara lebih baik;
9. Menggambarkan riwayat alamiah suatu penyakit;
10. Membuat hipotesis dalam rangka pengembangan penelitian
11. epidemiologi;
12. Memonitor perubahan agen infeksi; dan
13. Memfasitasi program perencanaan kesehatan.

2. Apakah jenis surveilans?


1. Surveilans Individu

Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor


individu individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes,
cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan
dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang
dicurigai dapat dikendalikan.

Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi


gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh
suatu kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah
mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last,
2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS pada tahun
1980-an dan SARS.

Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial.

Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar


penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang
tak terpapar.

Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,


berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit.
Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang
orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos

2
tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja. Dewasa ini karantina
diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis, etika, moral,
dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah
pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan
Upshur, 2007).

2. Surveilans Penyakit

Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-


menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan
kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah
penyakit, bukan individu.

Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui


program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program
surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif,
tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena
pemerintah kekurangan biaya. Banyak program
surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit
dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing,
mengeluarkan biaya untuk sumber daya masing-masing, dan memberikan informasi
duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.

3. Surveilans Sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan


pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan
masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-
indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu
sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang
suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun


nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-
penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik
dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan
skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit
tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati.
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai
influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan
dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).

Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,

3
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel
merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan
sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).

4. Surveilans Berbasis Laboratorium

Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor


penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan
seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi
strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera
dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-
klinik (DCP2, 2008).

5. Surveilans Terpadu

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua


kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)
sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur,
proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan
kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al.,
2006).

Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:


(1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);
(2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
(4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan,
analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan
supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya);
(5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun
menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit
yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).

6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia


dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.
Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan
negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global
(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh
dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik
penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun
penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-
aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi
(Calain, 2006; DCP2, 2008).

4
3. Bagaimana faktor resiko penyakit? Bagimana menentukan determinan kesehatan?
Faktor risiko penyakit tidak menular dipakai istilah Faktor Risiko (risk factor)
untuk membedakan dengan istilah etiologi pada penyakit tidak menular atau diagnosis
klinis. Faktor risko adalah segala sesuatu yang mempengaruhi perubahan tubuh terhadap
sebuah penyakit (faktor penyebab). Macam-macam faktor risiko :
a. Menurut dapat tidaknya risiko itu diubah :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah. Mis, umur, jenis kelamin, genetik, dll.
2. Faktor risiko yang dapat diubah. Mis, kebiasaan merokok, meminum minuman
keras, pola makan, gaya hidup, dan olahraga.
b. Menurut kestabilan peranan faktor risiko :
1. Faktor risiko yang dicurigai : faktor risiko yang belum mendapat dukungan
ilmiah/penelitian dalam peranannya sebagai faktor yang berperan dalam kejadian
suatu penyakit. Mis, merokok dapat menyebabkan terjadinya penyakit kanker
leher rahim.
2. Faktor risiko yang telah ditegakkan : faktor risiko yang telah mendapat dukungan
ilmiah/penelitian dalam peranannya sebagai faktor yang berperan dalam kejadian
suatu penyakit. Mis, rokok sebagai faktor risiko terjadinya kanker paru.

8 kriteria faktor risiko (menurut Austin Bradford Hill), yaitu :


a. Kekuatan hubungan
b. Temporal
c. Respon terhadap dosis
d. Reversibilitas
e. Konsistensi
f. Kelayakan biologis
g. Specifitas
h. Analogi

Penyakit tidak menular beserta faktir risikonya sangat berhubungan erat dengan
determinan kesehatan.
Deteminan kesehatan
Teori klasik (Bloom;1974) ada 4 determinan utama yang mempengaruhi derajat
kesehatan inidividu, kelompok/masyarakat, yaitu
a. Lingkungan fisik (cuaca, iklim, saran dan prasarana, dll) maupun lingkungan non fisik
(budaya, politik, ekonomi, dll).
b. Perilaku
c. Pelayanan kesehatan
d. Keturunan

Disamping 4 faktor tersebut, faktor internal juga berperan, seperti umur, gender,
pendidikan, dll. Bila dianalisis determinan kesehatan adalah faktor yang
mempengaruhi/menentukan terwujudnya kesehatan individu, kelompok/masyarakat.

5
Menurut piagam Ottawa (Charter,1986), determinan kesehatan terdiri dari : perdamaian,
tempat tinggal, pendidikan, makanan, pendapatan, ekosistem yang stabil, sumber daya
yang berkesinambungan, keadilan sosial, pemerataan.

4. Bagaimana menentukan kausalitas kesehatan?


Dalam jurnal tersebut menjelaskan mengenai criteria kausal yang dipelopori oleh Sir
Austin Bradford Hill, meliputi 9 kriteria yaitu ; 
 Kekuatan
Menggambarkan ukuran dari asosiasi yang telah diperhitungkan dengan tepat
efeknya, meliputi (perbedaan resiko, resiko relative, rasio odds). 
 Konsistensi
Mengacu apakah asosiasi yang diamati memiliki keterulangan pengamatan pada
subjek dan lingkungan yang berbeda. 
 Spesifisitas
Mengacu apakah paparan mengarah kehasil tertentu. 
 Temporalitas
Untuk mengetahui sebuah factor merupakan kausa penyakit, maka harus dipastikan
paparan terhadap factor itu berlangsungs ebelum terjadinya penyakit 
 Gradient biologi
Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan frekuensi penyakit
meningkatkan kesimpulan hubungan kausal. 
 Theoritical plausibility
Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan frekuensi penyakit
meningkatkan kesimpulan hubungan kausal. 
 Coherence
Berbagai bukti yang tersedia tentang riwayat alamiah, biologi dan epidemiologi
penyakit harus koheren satu sama lain sehingga membentuk pemahaman yang serupa
 Bukti eksperimental
Farmaka Volume 4 Nomor 4 Suplemen 1 249 Printed : 1693–1424 Online : 2089-
9157 Eksperimenterandomisasi dengan Multivariate Models pada subjek penelitian
dan pemberi perlakuan agar tidak mengetahui status perlakuan memberikan bukti kuat
hubungan kausa. 
 Analogi
Kriteria analogi kurang tepat karena tidak spesifik mengingat mampu mencetuskan
banyak gagasan analogis, sehingga menyebabkananalogi tidak spesifik lagi 

5. Bagaimana peranan biostatik dalam epidemiologi; dekskriptif dan analitik?


1. Epidemiologi Deskriptif
Pada penelitian deskriptif, informasi dikumpulkan untuk “menandai” atau
merangkum kejadian atau masalah kesehatan. Epidemiologi deskriptif mengevaluasi
semua keadaan yang berada di sekitar seseorang yang dapat mempengaruhi sebuah
kejadian kesehatan. Yang menjadi fokus dalam epidemiologi deskriptif ini adalah
frekuensi dan pola (Ellis-Christensen, 2012). Frekuensi digunakan untuk menilai
tingkat kejadian, sedangkan pola dapat digunakan untuk membantu epidemiologi
analitik menunjukkan faktor risiko. Penelitian deskriptif ini juga berfokus pada

6
pertanyaan who (siapa saja yang terkena/terpengaruhi), when (kapan mereka
terpengaruhi), dan where (dimana mereka terpengaruhi).
2. Epidemiologi Analitik
Penelitian epdemiologi analitik membandingkan kelompok-kelompok untuk
menentukan adanya peran dari berbagai faktor risiko dalam menyebabkan sebuah
penyakit atau masalah kesehatan. Desain dari penelitian analitik yang sering
digunakan dalam penelitian epidemiologi adalah case-control, dan cohort.

6. Apakah studi diagnostik dan menentukan akurasi skreening?


 Study diagnostic adalah prosedur pemeriksaan untuk mengidentifikasi area spesifik
seseorang dalam menentukan suatu kondisi,penyakit. Tujuannya untuk memastikan
diagnosis-diagnosis yang paling memungkinkan.
 Skrening merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu/sekelompok orang
untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang diperkirakan/mengidap/tidak
mengidap penyakit.
 Tujuan skrening untuk mengidentifikasi suatu penanda awal perkembangan penyakit
sehingga intervensi dapat diterapkan untuk menghambat proses penyakit

Pemanfaatan skrening:
1. mammografi untuk mendeteksi ca mammae
2. Pap smear untuk mendeteksi ca cervix
3. Pemeriksaan Tekanan darah untuk mendeteksi hipertensi
4. Pemeriksaan reduksi untuk mendeteksi deabetes mellitus
5. Pemeriksaan urine untuk mendeteksi kehamilan
6. Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi Penyakit Jantung Koroner 

Test skrening dapat dilakukan :


 Pertanyaan/kuesioner
Misal : Michigan alcohol screening test untuk mengidentifikasi resiko alcohol
 Pemeriksaan fisik
Misal : pemeriksaan tekanan darah
 Pemeriksaan laboratorium
Misal : pemeriksaan gula darah
 X.ray termasuk diagnosis imaging
Misal : mammografi

Criteria evaluasi

 Validitas kemampuan dari suatu pemeriksaan untuk menentukan individu mana


yang mempunyai penyakit/beresiko (TIDAK NORMAL) dan individu mana yang
tidak mempunyai penyakit (NORMAL/SEHAT). Validitas suatu tes skrining atau tes
diagnostik adalah kemampuan dari suatu tes diagnostik untuk membedakan antara
orang yang sakit dan orang yang tidak sakit Validitas mempunyai 2 komponen
yaitu : Sensitifitas dan Spesifisitas

1.Sensitivitas: kemampuan untuk menentukkan orang sakit.
2.Spesifisitas: kemampuan untuk menentukan orang yang tidak sakit

7
 Reliabilitas. Bila tes yang dilakukan menunjukkan hasil yang konsisten,dikatakan
reliable. Variliabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
1. Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh:
a. Stabilitas reagen
b. Stabilitas alat ukur yang digunakan
Stabilitas alat ukur sangat penting karena makin stabil reagen dan alat ukur, makin
konsisten hasil pemeriksaan.
2. Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik,psikis,stadium penyakit atau
penyakit dalam masa tunas. Misalnya : lelah, kurang tidur, marah, sedih, gembira,
penyakit yang berat, penyakit dalam masa tunas.

 Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari uji
tapis

7. Bagimana memilih obat yang tepat? Apa hubungannya dengan epidemiologi?


1. Tepat Obat.
obat yang memang benar-benar dibutuhkan untuk upaya penyembuhan penyakit yang
diderita. Amati gejala penyakit yang dirasakan dan sampaikan pada dokter/ farmasis di
apotik dengan benar dan jelas.
2.Tepat Dosis.
Dosis obat yang digunakan harus tepat yaitu ada dalam kisaran dosis terapi, jangan
terlalu kecil (under dose) atau terlalu besar (over dose). Obat dengan dosis terlalu kecil
(under dose) akan mengakibatkan kadar obat dalam darah terlalu kecil atau berada
dibawah garis Minimum Effect Concentrate (MEC) yaitu kadar obat minimum dalam
darah untuk dapat memberikan efek terapi. Sedangkan apabila dosis terlalu besar (Over
dose) akan mengakibatkan kadar obat dalam darah melebihi batas ambang Minimum
Toxic Concentrate (MTC) yaitu konsentrasi / kadar obat minimum dalam darah yang
mampu menimbulkan efek toksik .
3.Tepat Bentuk.
Bentuk sediaan obat ada macam-macam. Mulai dari bentuk sediaan tablet. Capsul,
syrup, drop, salep, injeksi maupun infus. Bentuk sediaan obat ini akan mempengaruhi
bioavialability suatu obat. Bioavialability suatu obat adalah keberadaan obat tersebut
dalam tubuh hayati (tubuh manusia) atau nasib obat tersebut dalam tubuh manusia.
Adapun proses yang dialami suatu obat adalah : absorpsi (penyerapan), distribusi
(penyebarab), metabolisme (terurai) dan ekskresi (Pengeluaran).
4.Tepat Cara Pemakaian.
Cara pemakaian obat meliputi :
•  Per Oral/ os :    tab, caps, syr.
•  Per drop       :    tetes mulut, tetes hidung, tetes telinga dan tetes mata.
•  Per Injeksi    :    i.v (intra vena)
                                  i.m (intra muscular)

8
                                  i.a (intra arteri)
                                  s.c (sub cuttan)
•  Lokal            :    Salep, talk, cream.
•  Per Anus / Vaginum.
5.Tepat Waktu Pemberian.
Waktu pemberian / penggunaan obat inipun mempengaruhi efek obat yang digunakan
• Apakah obat diminum sebelum makan, saat makan atau sesudah makan?
Ada obat yang adsorbsinya dihambat oleh adanya makanan. Artinya obat tersebut
harus diminum sebelum makan, misalnya Metoclopramida
•  Apakah obat tersebut diminum pagi, siang atau malam ?
Sebagai contoh : furosemida akan lebih baik diminum pada waktu pagi hari.
Efeknya sebagai diuretika (melancarkan buang air kecil) akan menyebabkan
meningkatnya frekuensi buang air kecil. Apabila diminum malam hari tentunya
akan mengganggu kenyamanan istirahat malam.
Demikian pula sebaliknya, untuk obat-obat minor transquiliser (obat-obat
penenang yang selektif terhadap bagian otak yang menguasai emosi / system
limbis) seperti alprazolam, akan baik apabila diminum malam hari, sehingga efek
kantuk yang ditimbulkan tidak akan mengganggu aktifitas.
6.Tepat Pasien.
Faktor individual pasien juga menjadi pertimbangan dalam pemberian obat.
Artinya riwayat klinis pasien perlu diperhatikan, misal :
• Untuk pasien yang alergi terhadap antibiotika golongan sulfa, maka kepada pasien
tersebut tidak dapat diberikan antibiotika golongan sulfa.
• Untuk pasien asma dengan riwayat penyakit jantung. Maka dalam pemeliharaan
obat asma dipilih obat dengan β bloker yang selektif terhadap β2.
7.Tepat Harga.
pertimbangan harga. Obat dengan harga mahal bukan menjadi jaminan bahwa
obat tersebut manjur. Akan menjadi kurang optimal sfek terapinya, apabila mendapat
obat dengan harga mahal, namun hanya mampu membeli separo resep atau sebagian
saja dari satu kali dosis terapi.”
FARMAKOEPIDEMIOLOGI
Suatu yang mempelajari manfaat dan efek dari suatu obat pada papulasi.
Berperan penting dalam memantau penggunaan suatu obat dalam populasi yang
berbeda dan efek yang tidak di inginkan dari obat untuk meningkatkan kesehatan &
menurunkan efek samping obat. Tujuannya :
1. Membantu menjelaskan, mengontrol & memprediksi efek penggunaan obat
2. Memantau & mengendalikan permasalah obat pada populasi
3. Mendukung data farmakontetika obat

9
8. Apakah bias dan counfounding? Apakah validitas interna dan eksterna?
 Bias dan confounding
Bias adalah kesalahan dalam menyimpulkan hubungan atau pengaruh paparan
penyakit, sebagai akibat dari kesalahan sistematis dalam memilih subjek penelitian,
atau kesalahan dalam mengukur variabel.
Bias dibedakan dalam dua jenis: (1) bias seleksi; dan (2) bias informasi (Hennekens
dan Buring, 1987). Bias seleksi adalah kesalahan dalam menyimpulkan hubungan/
pengaruh paparan terhadap penyakit, akibat cara memilih subjek penelitian yang
salah sehingga menghasilkan kelompok-kelompok subjek yang tidak sebanding.
Untuk mencegah bias seleksi, maka kelompok-kelompok studi yang dibandingkan
harus dipilih dengan cara yang serupa sehingga menghasilkan kelompok-kelompok
studi yang sebanding (comparable).
Bias informasi (bias pengukuran, bias observasi) adalah kesalahan dalam
menyimpulkan hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit, akibat dari
kesalahan dalam memilih alat ukur variabel, mengukur variabel, mengklasifikasi
status paparan dan penyakit, memasukkan data, menafsirkan hasil analisis data, atau
melaporkan hasil penelitian. Untuk mencegah bias informasi, maka peneliti harus
memilih alat ukur yang tepat, menggunakan alat ukur dengan benar,
mengklasifikasikan status paparan dan penyakit dengan benar, memasukkan data
dengan benar, menafsirkan hasil analisis data dengan benar, serta melaporkan hasil
penelitian dengan benar.

Kerancuan (confounding) adalah distorsi dalam menaksir hubungan/ pengaruh


paparan terhadap penyakit sebagai akibat tercampurnya pengaruh faktor ketiga yang
disebut faktor perancu (confounding factor).

 Validitas interna dan eksterna


Validitas interna adalah sejauh mana hasil sebuah penelitian klinis tidak bias.
Validitas interna adalah tingkatan dimana hasil-hasil penelitian dapat dipercaya
kebenarannya atau berkenaan dengan derajat akurasi antar desain penelitian dan hasil
yang dicapai
Validitas eksterna adalah berkaitan dengan generalisasi hasil penelitian studi,
tingkatan dimana hasil penelitian dapat digenaralisasi pada populasi dan hal hal
lainnya

9. Kegunaan pengetahuan epidemiologi dalam politik kedokteran?


1. Untuk mempelajari sejarah suatu penyakit Pada saat suatu penyakit sudah pernah
menginfeksi individu sebelumnya, medis akan mengetahui gejala dan penanganan
yang tepat terhadap penyakit tersebut
2. Untuk mendiagnosis komunitas. Yang dimaksud mendiagnosis komunitas ialah
sejak diadakannya penelitian di satu daerah tertentu, masyarakat luas akan
mengetahui masalah kesehatan di daerah tersebut, agar kedepannya individu dapat
lebih hati-hati
3. Untuk melihat resiko sesuai efek pada populasi
4. Untuk mengukur, mengevaluasi, dan meneliti kesehatan
5. Menyelesaikan gambaran klinis. Mengevaluasi orang yang berpenyakit spesifik
6. Mengidentifikasi sindrom
7. Mengetahui sumber dan akibat penyakit

10
10. Bagaimana penelitian epidemiologi dilakukan?
Epidemiologi dapat menggunakan berbagai jenis penelitian, baik penelitian
eksperimental seperti efektivitas vaksin, maupun penelitian observasional, dan bahkan
ada juga yang menggunakan pendekatan kualitatif misalnya dalam analisis mendalam
mengenai kejadian luar biasa tertentu. Penelitian observasional sendiri dapat terbagi
menjadi penelitian deskriptif (Epidemiologi Deskriptif) maupun penelitian analitik
(Epidemiologi Analitik).

1. Epidemiologi Deskriptif
Pada penelitian deskriptif, informasi dikumpulkan untuk “menandai” atau
merangkum kejadian atau masalah kesehatan. Epidemiologi deskriptif mengevaluasi
semua keadaan yang berada di sekitar seseorang yang dapat mempengaruhi sebuah
kejadian kesehatan. Yang menjadi fokus dalam epidemiologi deskriptif ini adalah
frekuensi dan pola (Ellis-Christensen, 2012). Frekuensi digunakan untuk menilai tingkat
kejadian, sedangkan pola dapat digunakan untuk membantu epidemiologi analitik
menunjukkan faktor risiko. Penelitian deskriptif ini juga berfokus pada pertanyaan who
(siapa saja yang terkena/terpengaruhi), when (kapan mereka terpengaruhi), dan where
(dimana mereka terpengaruhi).
Pada who (orang), epidemiologi deskriptif meneliti faktor-faktor antara lain:
a. Variabel Demografi, sebagai contoh: usia, jenis kelamin, ras, penghasilan,
pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, agama, dan lain-lain.
b. Variabel Keluarga, sebagai contoh: jumlah anggota keluarga, usia melahirkan,
pendidikan ibu, pengaturan jarak kehamilan, dan lain-lain.
c. Perilaku, misalnya penyalahgunaan narkoba, shift kerja, makan dan pola olahraga.
d. Variabel lain, seperti: Golongan darah, paparan factor lingkungan tertentu, status
kekebalan, status imunisasi, status gizi.
Contoh penelitian epidemiologi deskriptif yang menganalisis faktor orang antara lain
tekanan darah tinggi pada orang yang bekerja shift malam, obesitas pada remaja siswi
SMA, Diabetes Mellitus pada lansia Desa Z, dan lain-lain.

Hal penting lain yang dapat diamati pada epidemiologi deskriptif adalah where
(tempat). Tempat disini dapat berupa:
a. Tempat tinggal
b. Tempat bekerja
c. Sekolah
d. Rumah Makan
e. Tempat Rekreasi
f. Dan lain-lain
Contoh penelitian: Peningkatan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Daerah yang
berdekatan dengan stasiun atau kuburan, karena di tempat tersebut pengendalian jentik
nyamuk relatif kurang diperhatikan daripada rumah tinggal.

Hal ketiga yang penting dan sering dievaluasi dalam epidemiologi deskriptif adalah
factor when (waktu).
Yang dimaksud dengan waktu disini bias merupakan waktu tahun, atau hal yang
terjadi pada waktu tertentu, setiap hari atau setiap jam. Sebagai contoh, penyakit

11
demam berdarah lebih sering muncul di musim hujan, demikian halnya dengan
penyakit leptospirosis atau bahkan flu, dan kecelakaan lebih sering terjadi di masa
liburan. Pengukuran prevalensi pada periode waktu tertentu akan dapat membantu
upaya pencegahan.

Berikut ini contoh-contoh lain penelitian epidemiologi deskriptif:


1) Penilaian aktifitas fisik dan pengeluaran energi pada lansia penderita penyakit
kronis di Desa Sukamakmur.
2) Tren angka kejadian stroke di Kecamatan Kondang dari tahun 1990-2010
3) Perilaku merokok pada Kelahiran Preterm di Kecamatan Sanden
4) Perbedaan jenis kelamin pada gangguan lemak di Padang dan di Yogyakarta
5) Tren angka harapan hidup berdasarkan kelompok latar belakang pendidikan di
Yogyakarta

2. Epidemiologi Analitik
Penelitian epdemiologi analitik membandingkan kelompok-kelompok untuk
menentukan adanya peran dari berbagai faktor risiko dalam menyebabkan sebuah
penyakit atau masalah kesehatan. Desain dari penelitian analitik yang sering digunakan
dalam penelitian epidemiologi case-control, dan cohort.

a. Rancangan cohort
Penelitian case-control dan cohort lebih tepat untuk meneliti hubungan antara
“penyebab dan efek”. Pada penelitian cohort, peneliti memilih sekelompok individu
yang terpapar dan sekelompok individu yang tidak terpapar. Kedua kelompok tersebut
diikuti ke periode waktu yang akan datang (prospektif) untuk membandingkan adanya
outcome berupa kejadian penyakit pada kelompok tersebut. Hubungan antara paparan
dan penyakit dikatakan positif bila kejadian penyakit lebih besar pada kelompok
terpapar dibandingkan dengan kelompok tidak terpapar. Berikut ini gambar-gambar
yang memperjelas gambaran mengenai.

b. Rancangan case control


Pada penelitian case control, peneliti “bergerak” kebelakang, dari efek ke dugaan
penyebab. Oleh karena itu jenis rancangan ini sering disebut penelitian retrospektif.
Subyek dipilih berdasarkan ada tidaknya penyakit atau outcome. Kelompok yang
memiliki penyakit disebut kasus, dan yang tidak memiliki penyakit disebut kontrol.

12
Kedua kelompok ini kemudian dibandingkan berdasarkan ada tidaknya paparan.faktor
risiko. Hubungan antara paparan dan outcome pada penelitian case control dilakukan
dengan perhitungan Odds Ratio.

BAB III
PENUTUP

13
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan kasus di atas, dapat diketahui bahwa dalam menentukan
penelitian kesehatan diperlukan pengetahuan tentang surveilans epidemiologi yang
mencakup kausalitas kesehatan, biostatik epidemiologi dan hal-hal yang berkaitan
dengan diagnostik dan skrining

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. journal Mirtz et al (2009), Fedak et al(2015), Crockettet al(2009), Boffetta P (2010) 
2. Heryana, Ade. 2015. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular. Universitas Esa
Unggul Jakarta.
3. WHO Comprehensive Assessment of the National Disease Surveillance. 2004.

14
15

Anda mungkin juga menyukai