ROY MAHARDIKA
A01602261
ROY MAHARDIKA
A01602261
(Roy Mahardika)
ABSTRAK
Latar belakang: Resiko perilaku kekerasan adalah suatu kondisi dimana respon terhadap
stresor yang dihadapi oleh seseorang yang di tunjukkan dengan perilaku kekerasan baik
secara verbal maupun non verbal.
Tujuan:Mengambarkan hasil analisis asuhan keperawatan memberikan terapi individu
untuk dilakukan suatu proses asuhan keperawatan, meningkatkan kemampuan dan
menurunkan tanda, dan gejala klien dengan perilaku kekerasan serta meningkatkan
kemandirian cara mengontrol perilaku kekerasan dan menambah ilmu pengetahuan pada
diri klien ganggguan jiwa dengan resiko perilaku kekerasan.
Metode:Menggunakan metode deskriptif analitik pada 2 klien menggunakan format
pengkajian, tanda dan gejala, standar operasional prosedur tindakan, jadwal kegiatan, dan
evaluasi kemampuan klien resiko perilaku kekerasan.
Hasil: Karakteristik klien dengan berjenis kelamin perempuan dengan rata-rata berusia
20-50 tahun dengan diagnosa keperwatan jiwa resiko perilaku kekerasan. Rencana
tindakan keperawatan menggunakan strategi pelaksanaan selama 4 kali
pertemuan.Sebelum dilakukan terapi individu selama 4 kali pertemuan tanda dan gejala
klien 1 mendapatkan skor 6 dan klien 2 denan skor 9. Setelah dilakukan asuhan
keperwatankedua klien mengalami penurunan tanda dan gejala perilaku kekerasan baik
fisik maupun verbal. Dari total 18 item tanda dan gejala perilaku kognitif klien 1 dan 2
didapatkan skor 4,dan peningkatan kemampuan klien dalam mengontrol perilaku
kekerasan dengan prosentase 100% dengan jumlah 7 item sebelum diberikan terapi
individu klien 1 mendapatkan skor 28,45% dan klien 2 dengan skor 28,57%, setelah di
berikan terapi peningkatan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dengan skor klien
1 dan 2 skor85,71%.
Rekomendasi: Perlu adanya kontinuitas dan modifikasi kombinasi pada terapi individu
yang di berikan.
ABSTRAK
Background: The risk of violent behavior is a condition where the response to stressors
faced by a person is demonstrated by violent behavior both verbally and non-verbally.
Forms of aggressive behavior that are shown verbally, or physically to objects, or ones
that lead to actively destructive potential cause pain, danger, and suffering. Handling
violent behavior in addition to take medication to do individual therapy is very helpful in
the process of healing violent behavior.
Objective: To describe the results of the analysis of nursing care by providing individual
therapy to be carried out in a nursing care process, improve the ability and decrease the
signs, and symptoms of the client with violent behavior and increase the independence of
how to control violent behavior and increase knowledge in mental disrupted clients with
behavioral risks violence in Jeruk Agung village.
Method: Using a descriptive analytical method with a case study approach on 2 clients
using assessment formats, signs and symptoms, standard operating procedures, schedule
of activities, and evaluating the client's ability with the risk of violent behavior.
Results: Characteristics of female clients with an average age of 20-50 years with a
diagnosis of mental health at risk of violent behavior. The plan of nursing action carried
out is individual therapy using an implementation strategy including: deep breathing
relaxation, channeling positive energy, good talking, taking medicine, and controlling
violent behavior spiritually for 4 meetings. Before doing individual therapy for 4
meetings, both clients showed signs and symptoms of feeling irritable, irritable, and lack
of support from the family and the surrounding environment. After doing individual
therapy using the 1-4 implementation strategy for 4 meetings, both clients experienced a
decrease in signs and symptoms of physical and verbal violence. From a total of 18 items
of cognitive behavioral signs and symptoms with a percentage of 100% to 1 with a
percentage of 1% and an increase in the client's ability to control violence behavior with a
percentage of 100% with 7 items before being given therapy individual clients 1 get a
score of 28.45% and client 2 28.57%, after being given therapy the individual
experienced an increase in the ability to control violent behavior with a client score of 1
and 2 have score of 85.71%.
Recommendations: There needs to be continued and combination modification on the
individual therapy provided. Clients with a risk of violent behavior are advised to do
individual therapy on a scheduled basis.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa atau psychoces adalah adanya kepribadian yang
tidak normal yang di tandai dengan mental dalam profound-mental dan
terganggunyaemosional yang dapat merubah seseorang sehingga tidak
dapat mengontrol dirinya dalam lingkungan masyarakat (Vandestra,
2017). Menurut Depkes RI (2010) gangguan jiwa adalah perubahan fungsi
jiwa sehingga menyebabkan seseorang mengalami perubahan kejiwaan
yang menyebabkan kesengsaraan dan menghambat seseorang untuk hidup
bersosial.
Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stresor yang
dihadapi oleh seseorang yang di tunjukkan dengan perilaku kekerasan baik
secara verbal maupun non verbal (Stuart & Laria, 2009). Menurut
Varcarolis (2006) perilaku kekerasan adalah sikap atau perilaku kekerasan
yang menggambarkan perilaku amuk, bermusuhan berpotensi untuk
merusak secara fisik atau dengan kata-kata.
Menurut WHO (2017) pada umumnya gangguan jiwa yang terjadi
karena gangguan kecemasan gangguan depresi. Diperkirakan 4,4% dari
populasi global menderita gangguan depresi, dan 3,6% dari gangguan
kecemasan. Adanya peningkatan lebih dari 18% pada orang dengan
gangguan depresi pada tahun 2005 dan 2015. Depresi merupakan
penyebab terbesar gangguan kejiwaan di seluruh dunia. Lebih dari 80%
penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara yang
berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2017).
Berdasarkan usia klien dengan gangguan jiwa pada usia produktif,
masa dewasa merupakan masa kematangan dari aspek kognitif, emosi dan
perilaku. Kegagalan yang dialami seseorang untuk mencapai kematangan
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan pengkajian pada pasien resiko perilaku
kekerasan.
b. Menggambarkan diagnosa keperawatan pada psaien dengan
masalah utama resiko perilaku kekerasan.
c. Menggambarkan rencana asuhan keperawatan dengan masalah
utama resiko perilaku kekerasan
d. Menggambarkan implementasi asuhan keperawatan dengan
masalah utama resiko perilaku kekerasan.
e. Mengevaluasi tindakan keperawatan dengan masalah utama resiko
perilaku kekerasan.
D. Manfaat studi kasus
Karya tulis ini diharapkan memberikan manfaat bagi:
1. Bagi masyarakat pengelola pasien perilaku kekerasan dengan
meningkatkan pengetahuan terapi mengontrol menggunakan terapi
individu.
2. Bagi pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperwatan menembah
keluasan ilmu teknologi terapan bidang keperawatan mengontrol
perilaku kekerasan menggunakan terapi individu.
3. Bagi penulis memperoleh gambaran dalam mengaplikasikan hasil riset
keperawatan khususnya tentang pemberian terapi mengontrol perilaku
kekerasan dengan penerapkan terapi individu.
4. Bagi pasien dan keluarga memeperoleh gambaran dan ilmu
pengetahuan untuk menerapkan secara terjadwal menggunakan terapi
individu.
5. Bagi Puskesmas diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan
dengan memberikan terapi individu kepada klien resiko perilaku
kekerasan secara continue.
Depkes RI. (2010). Keperawatan Jiwa : Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta:
Depkes
Dermawan, Deden & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa : Konsep dan KerangkaKerja
Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Yogyakarta: Gosyen Publish.
Hardianto, H., & Fitriani, D. R. (2017). Analisis Praktek Klinik Keperawatan Jiwa
pada Klien Resiko Perilaku Kekerasan dengan Intervensi Inovasi Terapi Musik
terhadap Penurunan Emosi Marah di Ruang Belibis Rumah Sakit Jiwa Daerah
Atma Husada Mahakam Samarinda.
Indriyani, D. W. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Ny. K Dengan Gangguan Jiwa:
Perilaku Kekerasan Di Ruang Srikandi Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Iyus, Yosep. (2010), Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama
Keliat Budi Ana. Proses Keperawatan. Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999.
Keliat, B,A, dan Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa
Marmis W.F. (2005) Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press; 2005. p. 63-9
Medik, D.R.D.J.P. (1993). Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia III. Jakarta. Departemen Kesehatan, 145-156.
NANDA. (2010). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi . Jakarta:EGC
Notoatmojo. S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga
dalamMerawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di Rs Jiwa Islam.
Jakarta: Klender.
Nursito, E. H. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. S Dengan Gangguan
Isolasi Sosial: Menarik Diri Di Ruang Maespati Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Prabowo, Eko. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
(PSP)
PENELITI
Roy Mahardika
INFORMED CONSENT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah
mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh Roy Mahardika dengan judul “Analisis Asuhan Keperawatan
Pada Klien Gangguan Jiwa Dengan Resiko Perilaku Kekerasan Di Wilayah
Kecamatan Klirong”. Saya memutuskan setuju untuk berpartisipasi pada
penelitian ini secara sukarela tanpa paksaan. Bila selama penelitian ini saya
menginginkan mengundurkan diri, maka saya dapat mengundurkan sewaktu-
waktu tanpa sanksi apapun.
Saksi
....................................... ........................................
Peneliti
Roy Mahardika
RENCANA TINDAKAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
21/01/2019 Resiko Perilaku TUM: Klien dapat 1. Klien menunjukkan tanda-tanda 1. Bina hubungan saling percaya
Kekerasan mengontrol perilaku percaya kepada perawat Beri salam setiap berinteraksi
kekerasan. - Wajah cerah tersenyum Perkenalkan nama, nama panggilan
TUK: - Mau berkenalan perawat dan tujuan perawat
1. Klien dapat - Ada kontak mata berinteraksi
membina - Bersedia menceritakan Tanyakan dan panggil nama
hubungan saling perasaan kesukaan klien
percaya Tunjukkan rasa empati, jujur, dan
menepati janji setiap kali
berinteraksi
Tanyakan perasaan klien dan
masalah yang dihadapi
Buat kontrak interaksi
Dengarkan dengan penuh perhatian
ungkapan perasaan klien
21/01/2019 Resiko Perilaku 2. Klien dapat 2. Klien mampu menceritakan 2. Bantu klien mengungkapkan perasaan
Kekerasan mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang marahnya:
penyebab dilakukannya: Motivasi klien untuk menceritakan
perilaku - Menceritakan penyebab penyebab rasa kesal atau jengkelnya
kekerasan yang perasaan jengkel/kesal baik Dengarkan tanpa menyela atau
di lakukannya diri sendiri maupun memberi penilaian setiap ungkapan
lingkungan perasaan klien
22/01/2019 Resiko Perilaku 3. Klien dapat 3. Klien mampu menceritakan tamda- 3. Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda
Kekerasan mengidentifikasi tanda saat terjadi perilaku kekerasan: perilaku kekerasan yang dialaminya:
tanda-tanda perilaku Tanda fisik: mata merah, Motivasi klien menceritakan
kekerasan tangan mengepal, ekspresi kondisi fisik (tanda-tanda fisik)
tegang, dan lain-lain Saat perilaku kekerasan terjadi
B. Fase Kerja
1. Mendiskusikan dengan pasien tentang:
a. Penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu
b. Perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
c. Perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat
marah
d. Akibat perilakunya
2. Menjelaskan cara melakukan tarik nafas dalam dan
penyaluran energi positif/olahraga
3. Melatih klien cara melakukan tarik nafas dalam dan
penyaluran energi positif/olahraga
4. Membimbing klien cara memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
5. Memberikan reinforcement positif
C. Fase Terminasi
1. Evaluasi Subyektif
Menanyakan perasaan klien setelah berbincang-bincang
D. Sikap Terapeutik
1. Berhadapan dengan mempertahankan kontak mata
2. Membungkuk kearah klien dengan sikap terbuka dan rileks
3. Mempertahankan jarak terapeutik
E. Tehnik Komunikasi
1. Menggunkan kata-kata yang mudah dimengerti
2. Menggunakan tehnik komunikasi yang tepat
DOKUMEN Keliat, B.A. 1996. Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. EGC:
TERKAIT Jakarta
Keliat, B.A. Dkk. 1997. Proses Keperawatan Jiwa Edisi I.
EGC:Jakarta
Nurjanah, I. 2005. Komunikasi Keperawatan: Dasar-Dasar
Komunikasi Bagi Perawat. Mecomedika: Yogyakarta
D. Sikap Terapeutik
1. Berhadapan dengan mempertahankan kontak mata
2. Membungkuk kearah klien dengan sikap terbuka dan rileks
3. Mempertahankan jarak terapeutik
E. Tehnik Komunikasi
1. Menggunkan kata-kata yang mudah dimengerti
2. Menggunakan tehnik komunikasi yang tepat
DOKUMEN Keliat, B.A. 1996. Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. EGC:
TERKAIT Jakarta
Keliat, B.A. Dkk. 1997. Proses Keperawatan Jiwa Edisi I.
EGC:Jakarta
Nurjanah, I. 2005. Komunikasi Keperawatan: Dasar-Dasar
Komunikasi Bagi Perawat. Mecomedika: Yogyakarta
C. Fase Terminasi
1. Evaluasi Subyektif
Menanyakan perasaan klien setelah berbincang-bincang
2.Evaluasi Obyektif
Meminta klien untuk menjelaskan kembali inti pembicaraan
yang telah dilakukan
3.Rencana Tindakan Lanjut
Meminta klien untuk mengingat hal-hal tentang yang belum
disebutkan dan meminta klien untuk menerapkan cara yang
diajarkan
4. Kontrak yang akan dating
a. Menyepakati topik yang akan dibicarakan
b. Menyepakati tempat yang akan dibicarakan
c. Menyepakati lamanya waktu yang akan dibicarakan
D. Sikap Terapeutik
1. Berhadapan dengan mempertahankan kontak mata
2. Membungkuk kearah klien dengan sikap terbuka dan rileks
3. Mempertahankan jarak terapeutik
E. Tehnik Komunikasi
1. Menggunkan kata-kata yang mudah dimengerti
2. Menggunakan tehnik komunikasi yang tepat
DOKUMEN Keliat, B.A. 1996. Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. EGC:
TERKAIT Jakarta
Nama :
Tempat :
Nama :
Tempat :
Nama :
Tempat :
M B T M B T M B T M B T
5 Mengungkapkan perasaan
jengkel/marah pada orang
lain dengan baik
Keterangan :
M : Mandiri
B : Bantuan
T : Tidak melakukan
Nama :
Tempat :
4 22 Mengungkapkan perasaan
Januari jengkel/marah pada orang lain
2019 dengan baik
Nama Pasien :
Tempat :
3 Mendominasi pembicaraan
4 Bawel
5 Skrasme
6 Fight of idea
7 Perubahanisifikir
9 Meremehkan keputusan
Jumlah
Perilaku
1 Mondar-mandir
2 Melempar/mumukul benda/orang
lain
3 Merusak barang
4 Sikap Bermusuhan
5 Agresif/pasif
6 Sinis
7 Curiga
Jumlah
Keterangan :
Y=1
T=0
1 2 3
Mochamad Ali Sodikin , Titin Andri Wihastuti , Lilik Supriati
1
Rumah Sakit JIwa Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang
2,3
Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri, orang
lain dan lingkungan, Perilaku kekerasan adalah alasan masuk yang utama di rumah sakit jiwa dr. Radjiman
Wediodiningrat Lawang yaitu 538 kasus (53,01%) dengan rerata lama hari rawat di ruang intensif psikiatri 7
– 8 hari, lama hari rawat ditentukan oleh pemendekan fase intensif pasien. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh latihan asertif dalam memperpendek fase intensif dan menurunkan gejala
perilaku kekerasan di ruang Intensive Psyciatric Care Unit (IPCU) RSJ.dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
Penelitian ini menggunakan desain “Quasi experimental pre-post test with control group”. Sample
penelitian ini adalah klien Skizoprenia dengan perilaku kekerasan berjumlah 60 orang yang terdiri dari 30
orang kelompok perlakuan yang diberikan latihan asertif dan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan dan 30 orang kelompok kontrol yang hanya mendapatkan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa fase intensif pasien lebih cepat pada kelompok perlakuan
daripada kelompok kontrol dengan nilai p <0.001 dan didapatkan penurunan gejala perilaku kekerasan
yang lebih besar pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol dengan nilai p <0.001.Dapat
disimpulkan bahwapemberian latihan asertif dapat memperpendek fase intensif dan menurunkan gejala
perilaku kekerasan pasien oleh karena itu direkomendasikan untuk diterapkan di ruang perawatan intensif
psikiatri.
Kata kunci :Latihan asertif, fase intensif, perilaku kekerasan, ruang perawatan intensif psikiatri
ABSTRACT
Violence behavior is a maladaptive anger response in form of doing harm to self, other and environment.
Violence behavior is the primary reason of why inmates have been put into dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang Mental Hospital, as much as 538 cases (53,01%) with the average time on intensive psychiatric
ward about 7 – 8 days, as the care time is determined by shorthening of intensive phase. The Aimof this
study was to understand the effects of assertiveness training in shortening intensive phase and decreasing
of violence behaviour symptom in Intensive Psychiatric Care Unit ( IPCU ) ward of dr. Radjiman
WediodiningratMental Hospital of Lawang. Quasi experimental pre-post test with control group design was
used in these study. Samples were involved in these study are 60 Schizophrenic clients with violence
behavior that consist of 30 experimental group given assertiveness training and violence behavior nursing
care standard and 30 control group given only violence behavior nursing care standard. Result showed that
shorten intensive phase was found in experimental group rather than control group with value p <0.001 and
greater violence behavior symptom lowering was found in experimental group rather than control group
with value p <0.001. In conclusiongiving assertiveness training can shortening intensive phase and
decreasing of aggressive behavior symptom on client, so that it is surely recommended to be applied in
intensive psychiatric ward.
Keywords :Assertiveness training, Intensive Phase, Intensive Psychiatric Care Unit, Violence Behavior .
Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol: 3, No. 2, November 2015; Korespondensi : M. Ali Sodikin.
Rumah Sakit Jiwa dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Jl. Jend. A. Yani Lawang. Email
:alisodikin2410@gmail.com telp. 085604123823
www.jik.ub.ac.id
169
perawatan perilaku kekerasan di ruang IPCU intervensi dan kelompok kontrol.
RSJ.Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Malang adalah standar asuhan keperawatan pengaruh latihan asertif dalam memperpendek
(SAK) perilaku kekerasan.Strategi preventif fase intensif dan menurunkan gejala perilaku
untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan kekerasan di ruang IPCU RSJ. Dr. Radjiman
berupa peningkatan kesadaran diri perawat, Wediodiningrat Lawang.
edukasi pasien dan latihan asertif (Stuart,
2013).Peningkatan kesadaran diri dilakukan METODE
dengan meningkatkan kemampuan perawat
Desain penelitian yang digunakan dalam
sehingga mampu menggunakan diri secara
penelitian ini adalah “Quasi Eksperimen Pre-
terapeutik. Edukasi pasien berisi latihan
Post test With control Group” dengan
komunikasi dan cara yang tepat untuk
intervensilatihan asertif. Penelitian ini
mengekspresikan marah.
membandingkan perbedaan fase intensif dan
Latihan Asertif merupakan salah satu terapi gejala perilaku kekerasan pada pasien
spesialis untuk melatih kemampuan komunikasi schizophrenia dengan diagnosa perawatan
interpersonal dalam berbagai situasi (Stuart & perilaku kekerasan. Pada kelompok perlakuan
Laraia, 2005). Dari jabaran di atas disimpulkan diberikan latihan asertif(AT) dan standar
bahwa strategi preventif pencegahan perilaku asuhan keperawatan perilaku kekerasan(SAK
kekerasan yaitu peningkatan kemampuan PK) dan pada kelompok kontrol hanya
perawat, edukasi kepada pasien dalam diberikan standar asuhan keperawatan perilaku
berkomunikasi dan mengekspesikan marah, kekerasan(SAK PK) tanpa latihan asertif.
serta latihan asertif untuk meningkatkan
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
kemampuan interpersonal dalam berbagai
analisis univariat, bivariatmenggunakan ujit
situasi (Wahyuningsih, 2009).
test , Wilcoxon, Mann-Whitney untuk melihat
Latihan asertifbertujuan untuk membantu perbandingan pemendekan fase intensif dan
merubah persepsi untuk meningkatkan penurunan gejala perilaku kekerasan pada
kemampuan asertif individu, mengekspresikan pasien.
emosi dan berfikir secara adekuat dan untuk
membangun kepercayaan diri (Linet al. 2008). HASIL
Pada pasien schizophrenia yang kronik latihan 1. Karakteristik responden
asertifterbukti meningkatkan perilaku asertif
Karakteristik dari 60 pasien yang dijadikan
dan kemampuan berkomunikasi secara
responden dalam penelitian ini rerata usia
interpersonal dengan segera setelah intervensi
31,50 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan
diberikan (Lee, 2013)
tertua 54 tahun, jenis kelamin terbanyak laki –
Menurut Rezan (2009) pemberian latihan laki (66,7%), jenjang pendidikan terbanyak SD
asertif dapat mengurangi perilaku agresif (35%), sebagian besar tidak bekerja (75%),
pasien yang diarahkan pada diri sendiri, orang sebagian besar tidak kawin (65%), rerata lama
lain maupun lingkungan. Pada penelitian menderita gangguan jiwa 75,32 bulan dengan
dengan subyek remaja yang diberikan latihan lama sakit terpendek 1 bulan dan terpanjang
asertif, didapatkan perbedaan yang signifikan 240 bulan (2 tahun), rerata frekuensi dirawat
peningkatan level asertif antara kelompok adalah yang ke 2,47, jumlah responden yang
2. Hasil analisa pengaruh latihan asertif dalam memperpendek fase intensif dan menurunkan
gejala PK
Tabel5.1 pengaruh latihan asertif dalam memperpendekfase intensif dan menurunkan gejala PK
www.jik.ub.ac.id
171
PEMBAHASAN mengkaji pasien yang beresiko melakukan
perilaku kekerasan, menangani dengan efektif
Fase intensif pasien sebelum pemberian AT pasien perilaku kekerasan sebelum, selama dan
dan SAK PK pada kelompok perlakuan dan sesudah perilaku kekerasan
sebelum pemberian SAK PK pada kelompok berlangsung.(Stuart, 2013).
kontrol
Fase intensif pasien setelah pemberian AT dan
Berdasarkan hasil penelitian skor mGAF-R
SAK PK pada kelompok perlakuan dan setelah
(Modified Global Assesment of Function –
pemberian SAK PK pada kelompok kontrol
Revised) pada kelompok perlakuan sebelum
diberikan latihan asertif dan standar asuhan Skor mGAF-R setelah diberikan latihan asertif
keperawatan perilaku kekerasan dan kelompok dan standar asuhan keperawatan perilaku
kontrol sebelum diberikan standar asuhan kekerasan mengalami peningkatan nilai p
keperawatan tidak menunjukkan perbedaan <0.001 begitu pula dengan kelompok yang
yang bermakna dengan nilai p 0,213 dan hanya mendapatkan standar asuhan perawatan
memiliki skor minimum dan maksimum yang perilaku kekerasan tanpa latihan asertif juga
sama yaitu 14 – 24 hal ini menunjukkan bahwa mengalami peningkatan skor mGAF-R dengan
semua responden baik dari kelompok nilai p <0.001. Pemberian latihan asertif
perlakuan maupun kelompok kontrol berada memberikan dampak yang lebih signifikan dan
dalam kondisi akut / intensif (skor mGAF-R < bermakna dengan nilai p 0.001 (nilai p <0.05)
30), hampir semua pasien yang dijadikan dengan rerata rangking mGAF-R perlakuan
responden masuk rumah sakit dengan alasan 38,62 dan kelompok kontrol 22,38. Hal ini
melakukan tindakan kekerasan terutama yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
diarahkan kepada orang lain atau lingkungan. Vinick (1983), Lee (2013), Rezan (2009) bahwa
pemberian latihan asertif dapat menurunkan
Skor mGAF-R 11 – 20 merupakan kondisi
tingkat agresifitas yang diarahkan pada diri
dimana pasien menunjukkan menderita akibat
sendiri maupun pada lingkungan.
pengabaian atau dalam bahaya mencederai diri
sendiri dan orang lain. Skor mGAF-R 21 – 30 Latihan asertifmemberikan hasil yang signifikan
merupakan kondisi dimana pasien dan bermakna terhadap pemendekan fase
menunjukkan ketidakmampuan fungsional intensif dengan nilai p <0.001 dengan
pada hampir seluruh area (Vylder, 2012 ; perbedaan rerata 31,467. Dan pada IK 95%
Werbeloff, 2015). pemberian latihan asertif dapat
memperpendek fase intensif pasien antara
Pasien yang masuk rumah sakit jiwa seringkali
19,373 jam sampai dengan 43,560 jam. Pada
berada dalam kondisi krisis dan tidak dapat
beberapa responden perlakuan didapatkan
berpikir dengan jernih,sehingga mekanisme
lama hari rawat yang kurang dari 4 hari yaitu 2
koping pasien menjadi maladaptif, kondisi
hari (1 responden), 3 hari (15 responden)
distress yang dialami pasien dapat
sedangkan pada responden kontrol didapatkan
menyebabkan perilaku agresif.Perawat yang
4 responden yang memiliki hari rawat 3 hari.
bekerja di unit emergensi maupun ruang
intensif psikiatri seringkali menjadi korban dari Skor mGAF-R > 30 menunjukkan pasien sudah
perilaku agresif pasien, sehingga perawat yang tidak berada dalam fase intensif / fase akut
bekerja di ruang intensif harus mampu sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang
www.jik.ub.ac.id
173
satu unsur dalam penilaian GAF (Global <0.001.
Assesment of Function) adalah fungsi sosial, Berdasarkan penjelasan diatas dapat
pada sesi 3 diajarkan melatih pasien membina disimpulkan bahwa pemberian latihan asertif
hubungan sosial dalam memenuhi dapat memperpendek fase intensif dan
kebutuhannya, melatih pasien menyelesaikan memperpendek lama hari rawat pasien.Dengan
masalah terkait kebutuhan dan keinginan pemendekan fase intensif dan lama hari rawat
(problem solving) serta melatih pasien yang pendek dapat meningkatkan kualitas
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi hidup (Quality of Live) pasien gangguan jiwa
oleh pasien dan orang lain (conflict resolution). serta dapat mengurangi atau mencegah
Teknik pelaksanaan latihan asertif kekambuhan pasien. Untuk itu perlu dilakukan
menggunakan metode describing (penjelasan / penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
menggambarkan mengenai perilaku baru yang kekambuhan (relaps) pada pasien yang telah
akan dilatih), modeling (pemberian contoh diberikan latihan asertif.
perilaku yang dilatih), role playing (berlatih
perilaku yang dicontohkan dengan kelompok Komposit gejala perilaku kekerasan sebelum
atau orang lain), feedback (memberikan umpan pemberian AT dan SAK PK pada kelompok
balik terhadap perilaku baru yang telah perlakuan dan sebelum pemberian SAK PK
dipraktekkan, mana yang baik, dan mana yang pada kelompok kontrol
perlu ditingkatkan), transfering (mempraktekan Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa skor
dalam kehidupan sehari-hari). Dengan komposit gejala perilaku kekerasan
menggunakan metode diatas pasien dilatih (penjumlahan respon perilaku, sosial, kognitif,
untuk meningkatkan kemampuannya secara fisik dan PANSS-EC) sebelum pemberian latihan
menyeluruh tidak hanya berfokus pada perilaku asertif dan standar asuhan keperawatan
kekerasan yang dilakukan pasien. perilaku kekerasan pada kelompok perlakuan
Pemendekan fase intensif dan lama hari rawat dan pemberian standar asuhan keperawatan
kurang dari 4 hari (lama pemberian latihan perilaku kekerasan saja tanpa latihan asertif
asertif 4) pada responden perlakuan pada kelompok kontrol tidak menunjukkan
diperkirakan terjadi karena respon yang perbedaan yang bermakna dengan nilai p 0,405
berbeda dari pasien terhadap latihan asertif ( >0.05). Masing masing dari hasil observasi
yang diberikan. Pada sesi 1 latihan asertif gejala perilaku kekerasan sebelum intervensi
pasien dilatih untuk mengenali diri, mengubah juga tidak menunjukkan perbedaan yang
pikiran, perasaan dan latihan perilaku asertif, bermakna, dari respon perilaku didapatkan nilai
sesi 2 melatih kemampuan mengungkapkan p 0,203; respon sosial nilai p 0,261; respon
keinginan dan kebutuhan serta cara kognitif nilai p 0,137; respon fisik nilai p 0,457
memenuhinya sedang sesi 3 melatih dan skor PANSS-EC(Positive and Negative
kemampuanmenjalin hubungan sosial dalam Syndrome Scale - Excited Component) nilai p
memenuhi kebutuhan. Respon yang berbeda 0,280.
ini sesuai dengan pendapat Jiménez (2004) Rerata skor komposit gejala perilaku kekerasan
dimana respon terhadap tindakan (treatment) sebelum pemberian latihan asertif dan standar
merupakan faktor yang sangat berpengaruh asuhan keperawatan perilaku kekerasan pada
terhadap lama hari rawat dengan nilai p kelompok perlakuan adalah 86,53 dengan nilai
www.jik.ub.ac.id
175
perbedaan yang bermakna skor komposit Indikator respon perilaku
perilaku kekerasan dengan nilai p <0.05.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan yang
Perilaku kekerasan merupakan kondisi bermakna dari indikator respon perilaku baik
kedaruratan yang harus ditangani dengan pada kelompok yang mendapatkan latihan
segera, tindakan untuk mengatasi kondisi asertif dan standar asuhan keperawatan
tersebut adalah dengan melakukan pengikatan perilaku kekerasan maupun pada kelompok
(restrain) dan pengobatan tanpa persetujuan yang hanya mendapatkan standar perilaku
pasien (involuntary medication), saat ini dalam kekerasan. Skor indikator respon perilaku
menangani pasien dengan perilaku kekerasan kelompok perlakuan sebelum intervensi
lebih ditekankan pada metode yang tidak mempunyai nilai minimal 15 dan maksimal 20,
memaksa (noncoercive) dengan tujuan : 1) setelah diberikan latihan asertif dan standar
menjamin keselamatan staff, pasien dan asuhan keperawatan perilaku kekerasan terjadi
lingkungan, 2) membantu pasien agar dapat penurunan dengan nilai minimal 5 dan
mengontrol emosi dan perilakunya, 3) sedapat maksimal 10 hasil tersebut menunjukkan
mungkin menghindari pengikatan (restrain), 4) penurunan yang signifikan dengan nilai
menghindari intervensi atau tindakan yang p<0.001. Pada kelompok perlakuan juga
bersifat memaksa (coercive) yang dapat didapatkan penurunan yang signifikan dengan
membuat kondisi pasien menjadi agresif. nilai p < dari 0.001.
(Richmondet al. 2012).
Pemberian latihan asertif dan standar asuhan
Pasien atau individu yang masuk rumah sakit keperawatan perilaku kekerasan memberikan
jiwa menunjukkan individu tersebut berada hasil penurunan skor indikator respon perilaku
dalam kondisi distress dan memiliki respon yang bermakna dibandingkan dengan kelompok
koping yang maladaptif, perawat yang bekerja yang hanya mendapatkan standar asuhan
di ruang emergensi maupun ruang intensif keperawatan perilaku kekerasan dengan nilai p
psikiatri seringkali dihadapkan dengan pasien – <0.001 dengan nilai median 8 pada kelompok
pasien yang berperilaku agresif yang berpotensi perlakuan dan 10,50 pada kelompok kontrol.
dapat membahayakan pasien sendiri, staff, Hal ini senada dengan penelitian yang
pasien lain maupun lingkungan, sehingga dilakukan oleh Wahyuningsih (2009) dan Alini
pencegahan dan penanganan perilaku agresif (2010) yang menyatakan bahwa latihan asertif
merupakan kemampuan klinis yang harus dapat menurunkan respon perilaku pada pasien
dikuasai oleh perawat yang bekerja di ruang perilaku kekerasan dengan nilai p <0.05.
intensif. (Stuart, 2013)
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
Berdasarkan hasil penelitian dan penjelasan di bahwa pemberian latihan asertif dan standar
atas dapat disimpulkan bahwa pemberian asuhan keperawatan perilaku kekerasan
latihan asertif secara bermakna dapat memberikan hasil penurunan skor respon
menurunkan gejala perilaku kekerasan yang perilaku yang bermakna daripada hanya
lebih besar pada kelompok perlakuan diberikan standar asuhan keperawatan perilaku
dibandingkan dengan kelompok kontrol.berikut kekerasan, sehingga perlu adanya peningkatan
ini akan dijelaskan hasil penelitian dari variabel kualitas sumber daya perawat dalam
– variabel gejala perilaku kekerasan. pelaksanaan latihan asertif, hal ini sejalan
www.jik.ub.ac.id
177
perilaku marah menjadi pikiran yang sesuai skor indikator respon fisik yang bermakna
dengan kenyataan. Hal ini sesuai dengan hasil antara responden perlakuan dan responden
penelitian yang dilakukan Wahyuningsih (2009) kontrol (nilai p <0.001) dengan rerata rangking
dimana didapatkan hasil yang bermakna responden perlakuan 24,75 dan responden
dengan nilai p 0.005 dengan rerata selisih skor kontrol 36,25. Hal ini selaras dengan penelitian
respon kognitif sebelum dan sesudah latihan Wahyuningsih (2009) dimana didapatkan
asertif sebesar 7,50. Dominic (2003) juga penurunan respon fisik yang bermakna (p
mengemukakan bahwa yang perlu dirubah oleh 0.005) dengan rerata selisih 3,39 antara skor
individu untuk mengatasi masalah emosi respon fisik sebelum dan sesudah latihan
maupun perilakunya adalah adanya keyakinan asertif. Hasil penurunan respon fisik yang
irasional yang dikembangkan oleh dirinya. bermakna dengan nilai p <0.05 juga ditemui
pada penelitian yang dilakukan oleh Alini (2010)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
yang mengkombinasikan latihan asertif dengan
pemberian latihan asertif dan standar asuhan
relaksasi otot progresif.
keperawatan perilaku kekerasan dapat
menurunkan skor indikator respon kognitif Respon fisik merupakan gejala yang dapat
yang bermakna, sehingga perlu peningkatan ditemukan atau dapat diobservasi dengan
kualitas sumber daya perawat dalam mudah pada pasien dengan perilaku kekerasan.
pelaksanaan standar asuhan keperawatan dan Berdasarkan penjelasan dan penelitian diatas
pelaksanaan latihan asertif. dapat disimpulkan bahwa pemberian latihan
asertif dan standar asuhan keperawatan
Indikator respon fisik perilaku kekerasan secara signifikan dapat
menurunkan indikator respon fisik pada pasien
Hasil penelitian menunjukkan penurunan yang
dengan perilaku kekerasan, oleh karena itu
bermakna dari indikator respon fisik baik pada
perlu peningkatan kualitas sumber daya
kelompok yang mendapatkan latihan asertif
perawat dalam pelaksanaan standar asuhan
dan standar asuhan keperawatan perilaku
keperawatan dan pelaksanaan latihan asertif.
kekerasan maupun pada kelompok yang hanya
mendapatkan standar perilaku kekerasan. Skor Skor PANSS – EC
indikator respon fisik kelompok perlakuan
Hasil penelitian menunjukkan penurunan yang
sebelum intervensi mempunyai nilai minimal 8
bermakna dari skor PANSS - EC baik pada
dan maksimal 10 dengan rerata 8,60 setelah
kelompok yang mendapatkan latihan asertif
diberikan latihan asertif dan standar asuhan
dan standar asuhan keperawatan perilaku
keperawatan perilaku kekerasan terjadi
kekerasan maupun pada kelompok yang hanya
penurunan dengan nilai minimal 5 dan
mendapatkan standar perilaku kekerasan. Skor
maksimal 6 dengan nilai median 5 hasil
PANSS - EC kelompok perlakuan sebelum
tersebut menunjukkan penurunan yang
intervensi mempunyai nilai minimal 25 dan
signifikan dengan nilai p <0.001. Pada kelompok
maksimal 28 dengan rerata 26,63 setelah
perlakuan juga didapatkan penurunan yang
diberikan latihan asertif dan standar asuhan
signifikan dengan nilai p < dari 0.001 dan
keperawatan perilaku kekerasan terjadi
memiliki nilai terendah 5 dan tertinggi 7 dengan
penurunan dengan nilai minimal 14 dan
nilai median 6.
maksimal 17 dengan nilai median 15 hasil
Dari hasil penelitian juga didapatkan perbedaan tersebut menunjukkan penurunan yang
www.jik.ub.ac.id
179
oleh penurunan gejala perilaku kekerasan dan dan menurunkan gejala perilaku kekerasan
gejala perilaku kekerasan yang tinggi akan pasien.Pelaksanaan Standar Asuhan
beresiko memanjangnya lama hari rawat dan Keperawatan (SAK) perilaku kekerasan perlu
beresiko untuk mengalami perawatan kembali tetap dipertahankan dan ditingkatkan serta
(readministration). Korelasi negatif pada perlu dilakukan pelatihan latihan asertif pada
responden perlakuan dimungkinkan juga perawat yang bekerja di tatanan pelayanan
karena respon terhadap pengobatan yang keperawatan jiwa agar pelayanan keperawatan
diterima oleh responden perlakuan pada pasien dapat lebih optimal.Perlu
berbeda.Respon yang berbeda ini sesuai dioptimalkan fungsi perawat kesehatan jiwa
dengan pendapat Jimenes (2004) dimana dimasyarakat agar jumlah pasien yang dirawat
respon terhadap tindakan (treatment) di rumah sakit jiwa tidak mengalami
merupakan faktor yang sangat berpengaruh overload.Perlu penelitian lebih lanjut mengenai
terhadap pemendekan fase intensif dan lama pengaruh latihan asertif pada pasien perilaku
hari rawat. kekerasan dengan desain longitudinal untuk
mengikuti perkembangan pasien sampai pasien
KESIMPULAN pulang, kemampuan pasien di rumah, lama
Pemberian latihan asertif terbukti secara pasien di rumah (tidak terjadi kekambuhan /
signifikan dalam memperpendek fase intensif relaps).
www.jik.ub.ac.id
181
eb?index, diperolehtanggal 30 Agustus Vylder, J. E. D., Ben-David S., Schobel S.A.,
2014) Kimhy D., Malaspina D., Corcoran C.M.,
(2012). Temporal association of stress
Shiina A., Nakazato M., Mitsumori M., Koizumi
sensitivity and symptoms in individuals
H., Shimizu E., Fujisaki M.& Iyo M.,
at clinical high risk for psychosis.
(2005) An open trial of outpatient group
Psychological Medicine. Cambridge
therapy for bulimic disorders:
University Press
combination program of cognitive
doi:10.1017/S0033291712001262
behavioral therapy with assertive
training and self-esteem enhancement. Vinick (1983) The effect of assertiveness
Psychiatry and Clinical Neurosciences59, training on aggression and self concept
690–696. in conduct disordered adolescent,
diunduhtanggal 6 Maret 2015)
Smith, G.N., Ehmann T.S., Flynn S.W., MacEwan
Wahyuningsih, D.(2009).PengaruhAssertiveness
G.W., Tee K., Kopala L.C., Thornton A.E.,
training(AT)TerhadapPerilakuKekerasan
Schenk C.H., Honer W.G., (2011). The
PadaKlienSkizophrenia Di RSUD
Assessment of Symptom Severity
Banyumas.Universitas Indonesia, Tesis
andFunctional Impairment With DSM-
FK-UI. Tidak Dipublikasikan
IVAxis V. Psychiatric Services.62 (4)
:411–417 Warnke.I., Wulf Rössler and Uwe Herwig,
(2011). Does psychopathology at
Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principles admission predict the length of
and practice of psychiatric nursing.(8th inpatient stay in psychiatry?
edition). St Louis: Mosby. Implications for financing psychiatric
Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of services.BMC Psychiatry 11(120).
Psychiatric Nursing (10 ed.). St Louis, Werbeloff N., Dohrenwend B.P., Yoffe R., van
Missouri: Mosby. Os J., Davidson M., Weiser M.,(2015)The
Association between Negative
Townsend, M. C. (2009). Psychiatric Mental
Symptoms, Psychotic Experiencesand
Health Nursing : Concepts of Care in
Later Schizophrenia: A Population-Based
Evidence - Based Practice (6 ed.).
Longitudinal Study. PLoS ONE10(3).
Philadelphia: F.A Davis Company.
Winkler D., Naderi-Heiden A., Strnad A., Pjrek
Townsend, M. C. (2014). Essentials of E., Scharfetter J., Kasper S., Frey R.,
Psychiatric Mental Health Nursing (2011). Intensive care in
Concepts of Care in Evidence-Based psychiatry.European Psychiatry26 : 260–
Practice (6 ed.). Philadelphia: F. A. Davis 264 elsiviere
Company. doi:10.1016/j.eurpsy.2010.10.008.
Urbanoski, K.A., Henderson C., Castel S., (2014). Zhang.J, Harvey.C , Andrew. C., (2011). Factors
Multilevel analysis of the determinants associated with length of stay and the
of the global assessment of functioning risk of readmission in an acute
in an inpatient population. BMC psychiatric inpatient facility: a
Psychiatry, 14:63 doi:10.1186/1471- retrospective study. Australian and New
244X-14-63 Zealand Journal of Psychiatry, 45, .