LN Char6021 10 R0
LN Char6021 10 R0
LN Char6021 10 R0
Week 10
Semua agama melalui inspirasi suci dalam ajaran iman masing-masing menyatakan
secara jelas bahwa alam semesta atau dunia ini dijadikan oleh Tuhan. Secara religius, alam
semesta diyakini sebagai entitas yang diciptakan Tuhan. Tuhan menciptakan dunia dalam
kondisi baik dan indah sejak awal mulanya. Kata ’menciptakan’ di sini mau menggambarkan
bahwa Tuhan juga bekerja ketika DIA menciptakan langit dan bumi ini.
Sesudah menciptakan dunia, manusia diberi tugas (gabe) dan tanggung jawab
(aufgabe) oleh Tuhan untuk membangun tatanan dunia agar berkembang sesuai dengan
kehendak Tuhan, Sang Pencipta itu sendiri. Dari asumsi ini, maka sebetulnya kerja yang
dilakukan manusia bukan untuk kepentingan hidup manusia saja, melainkan bermartabat ilahi
juga. Kerja bukan hanya urusan fisik-material, melainkan urusan metafisik atau transfisik
juga. Urusan metafisik membuat manusia memiliki visi spiritual-religius menuju keselamatan
atau kebaikan masa depan. Manusia perlu memiliki visi religius-spiritual untuk melihat karya
Tuhan di dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Dalam bahasa Ibu Teresa dari
Calcuta (India), seorang pekerja seharusnya ”melihat wajah Allah dalam segala sesuatu, di
dalam diri setiap orang, di manapun, sepanjang waktu, dan tangan-Nya dalam semua
pekerjaan, dan membuat kita melakukan segala yang kita lakukan-apakah kita berpikir,
belajar, bekerja, berbicara, makan atau beristirahat....” (Leteng: 2005, hlm. 24). Setiap kerja,
aktivitas fisik atau tindakan aktif orang beragama layak selalu ditempatkan/dimaknai sebagai
tindakan religius melanjutkan karya penciptaan Tuhan di dalam dunia ini. Dengan bekerja,
manusia melanjutkan pekerjaan Tuhan di dunia ini.
Berbagai kegiatan kerja yang tidak sesuai dengan rencana Allah, harus ditolak dengan
tegas. Rencana Allah kita nyatakan dalam nilai-nilai universal dan kesempurnaan seperti:
kebaikan, keindahan, kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanusiaan, keharmonisan,
keselarasan, moralitas, kedamaian, dan lain sebagainya. Kerja yang tidak merealisasikan
nilai-nilai universal yang disebutkan tadi, sesungguhnya tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kerja apapun bentuknya haruslah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif-etis bagi
manusia dan kehidupan. Pekerjaan yang mendatangkan dampak negatif-destruktif bagi
manusia, alam dan tatanan sosial masyarakat harus dihindari dan dieliminasi. Manusia harus
bekerja untuk memuliakan dan mengagungkan nama Tuhan, bukannya untuk mencari
popularitas dan kejayaan bagi diri sendiri yang egoistik. Inilah tugas ilahi manusia dalam
melakukan pekerjaannya sebagai partisipasi dalam karya penciptaan Tuhan.
Dalam konteks religiositas, kerja tidak hanya dianggap sebagai hal yang duniawi,
tetapi dimaknai dan dihayati sebagai sesuatu yang bernilai ilahi dan kudus. Kerja dimaknai
sebagai sesuatu yang suci dan ilahi. Konsekuensi logisnya yakni bahwa setiap orang beriman
(religius-spiritual) harus melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan
Banyak ajaran luhur di dalam agama-agama kita yakni Islam, Kristiani, Hindu, Budha
dan Konghucu yang membicarakan tentang makna religius kerja atau religiositas kerja.
Umumnya pandangan agama-agama menempatkan aktivitas kerja fisik manusia sebagai hal
yang bernilai religius. Kerja bukan saja fungsi teknis-mekanistik-pragmatis, melainkan
sungguh bernilai religius-spiritual-ilahiah. Melakukan pekerjaan dengan cara religius
seharusnya (das sollen) dilakukan dengan setia dan penuh rasa tanggung jawab menurut
hukum-hukum Tuhan di dalam ajaran agama-agama.
Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup
melainkan sungguh bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam
bekerja sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal
perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang
sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai dengan perintah atau
hukum Allah Swt sendiri. Banyak filsuf Islam misalnya Yusuf Qardhawi mengatakan moral
etika dan ekonomi/kerja merupakan hal yang sangat penting dalam Islam dan etika moral itu
berlaku di dalam segala aspek kehidupan (kaffah). Hal ini perlu diwujudkan dalam aktivitas
ekonomi, bisnis dan pekerjaan setiap umat Islam. Sementara itu Imam Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menekankan pentingnya akhlak di dalam bekerja. Ghazali mengatakan bahwa
seorang pedagang tidak boleh hanya memfokuskan pandangannya pada dunia saja dengan
melupakan akhirat. Sebab kalau jika demikian maka umurnya sia-sia belaka. Sebaiknya orang
yang memiliki akal dianjurkan untuk menjaga modalnya yakni agama dan bisnis berdagang.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt ”Janganlah kamu melupakan bagianmu dari
kenikmatan dunia” (al Qashas 28:77). Dengan demikan maka tujuan utama pekerjaan dan
aktivitas ekonomi di dalam Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Selain pandangan di atas banyak teks lain di dalam Alquran juga yang menunjukkan tentang
Pandangan Katolik tentang makna relgius ’kerja’ dapat ditemukan secara terperinci
di dalam Kitab Suci Alkitab dan Magisterium Gereja Katolik seperti ensiklik para paus
maupun ajaran para Bapa Gereja Katolik yang lainnya. Salah satu ensiklik terkenal yakni
”Laborem Exercens” pernah dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang
makna kerja menurut Katolik. Ensiklik Laborem Exercens mengatakan bahwa manusia
adalah citra Allah yang dipanggil oleh Allah untuk bekerja mencari nafkah, menguasai ilmu
dan teknologi (iptek), membangun kebudayaan dan kemanusiaan, peduli pada masalah-
masalah sosial dan perdamaian dunia, serta melakukan pekerjaan dengan tujuan utama untuk
memuliakan Allah Pencipta (Bapa), Allah Penebus (Putera Yesus Kristus) dan Allah
Penghibur (Roh Kudus). Ensiklik juga menegaskan bahwa di dalam dunia kerja, manusia
harus diperlakukan sebagai subjek kerja dan bukan objek kerja. Kerja untuk manusia dan
bukan sebaliknya manusia untuk kerja. Ini artinya pekerjaan dilakukan untuk memanusiakan
manusia dan bukan sebaliknya untuk mengeksploitasi atau mengorbankan kemanusiaan
manusia sebagai makhluk luhur citra Allah.
Pandangan Kristen (Protestan) tentang kerja intinya dapat ditemukan di dalam Kitab
Kejadian Bab 1 di mana Allah dikatakan menciptakan manusia dan alam semesta menurut
kehendak Allah dan semua ciptaan itu baik pada awal mulanya. Tuhan memberikan perintah
kepada manusia untuk mengembangkan diri, menaklukkan bumi dan menguasai isinya
dengan cara bekerja. Tuhan memerintahkan manusia untuk beranak cucu, menaklukkan bumi
dan menguasai isinya dengan bekerja. Malah di teks Perjanjian Baru dikatakan bahwa
’barang siapa yang tidak bekerja, janganlah ia makan’. Ini artinya bahwa manusia tidak
boleh malas tetapi harus rajin dan giat dalam melakukan pekerjaannya di bidang apa saja
untuk mengembangkan diri, memajukan masyarakat dan mengembangkan kehidupan dunia
ini ke arah lebih baik sesuai dengan rencana Tuhan sendiri.
Budha sangat memperhatikan dimensi etika bekerja. Ada banyak aturan dan larangan
yang perlu diperhatikan kaum penganut Budha dalam menjalankan pekerjaannya. Di dalam
Iddhipada di sana dijelaskan kondisi-kondisi umum yang memungkinkan seseorang Budhis
sukses dalam pekerjaannya:
Ajaran Hindu tak kalah menariknya soal kerja. Ada banyak kutipan yang menarik
berkaitan dengan pekerjaan manusia. Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban
(swadharma), bekerja adalah suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan
maupun karena tuntutan untuk kelangsungan hidup di dunia. Kutipan suci kerja menurut
Hindu kebanyakan ditemukan di dalam Bhagawadgita. “Bekerjalah demi kewajibanmu,
bukan demi hasil perbuatan itu, jangan sekali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan
pula hanya berdiam diri tidak bekerja” (Bhagawadgita II.47). “Bekerjalah seperti apa yang
telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, dan bahkan tubuh pun tidak
berhasil terpelihara jika tanpa bekerja” (Bhagawadgita III.8). “Seperti orang bodoh yang
bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa
kepentingan pribadi (tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara
ketertiban sosial“(Bhagawadgita III-25). ”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada
Brahman dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana
daun teratai tak basah oleh air” (BhagawadgitaV.10).
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan kejiwaan seseorang untuk melakukan hal yang
terbaik dari apa yang bisa dia lakukan. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan di mana
seseorang telah merasa menjadi dirinya sendiri karena dapat mengerjakan sesuatu yang
disukainya dengan hati yang riang gembira dan penuh sukacita rohani.
1
Materi ini diapdatasi dari F. Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.
Kalau Tuhan memanggil dan mengutus kita ke tempat kerja maka kita perlu percaya
pada Tuhan, percaya diri, percaya sesama rekan kerja, disiplin,bertanggung jawab, dan
memiliki kualitas integritas diri yang baik. Dengan kekayaan religius diri seperti ini, kita bisa
mengetahui kekurangan dan kelebihan diri sehingga mampu mencapai apa yang lebih baik
lagi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kekayaan mental memampukan kita melakukan refleksi
(renungan) dan retrospeksi (melihat ke belakang) untuk melakukan retrodiksi (ramalan)
antisipatif ke masa depan yang lebih baik lagi di dalam praktik kerja kita sesuai dengan
ketentuan Tuhan.
Pada hemat saya, hidup dalam saat sekarang adalah kunci spiritualitas di segala
bidang, tetapi terutama di tempat kerja. Sangat mudah membiarkan pikiran mengembara dan
berjalan begitu saja selama jam-jam kerja, khususnya jika pekerjaan kita membosankan,
mengulang-ulang hal yang sama atau menjemukan (seperti yang kadang-kadang terjadi pada
jenis pekerjaan apapun). Sepenuhnya hidup dalam saat sekarang, berarti kita dapat melihat
nilai kerja yang sedang kita lakukan pada saat kita melakukannya. Akibatnya, pekerjaan
diresapi makna, pekerjaan menjadi bermakna secara spiritual.
Bagaimana dapat tetap hidup seperti itu, tentu saja merupakan persoalan besar.
Menurut hemat saya, kita dapat berbuat seperti itu dengan sebaik-baiknya jika kita
menghayati pekerjaan kita sebagai sebuah doa. Maksudnya bukan berdoa ketika kita sedang
bekerja, melainkan memandang pekerjaan sebagai sebuah panggilan spiritual (doa).
Bekerja dengan baik itu diharapkan sesuai dengan nilai-nilai luhur di dalam
organisasi. Entah itu nilai keadilan, entah itu nilai keimanan, entah itu nilai kejujuran, entah
itu nilai disiplin, entah itu nilai persaudaraan dll.Kita bekerja dengan baik sesuai dengan
nilai-nilai organisasi yang baik dan positif juga.
Bekerja dengan baik dapat juga dilihat dari sudut pandang hak dan kewajiban sebagai
pekerja, keduanya harus terlaksana dengan seimbang. Harus ada keadilan di dalam bekerja.
Karyawan wajib melakukan pekerjaan sesuai dengan aturan-normatif yang sudah ditetapkan
oleh perusahaan (pemilik usaha). Sebaliknya seorang pemilik usaha juga harus
memperhatikan hak-hak yang harus didapatkan oleh para karyawannya. Sehingga antara
karyawan dan pemilik usaha selalu berusaha untuk saling melakukan yang terbaik, berlaku
adil satu sama lain. Saling menjaga antara karyawan dan perusahaan merupakan hal yang
mulia di dalam organisasi.
Bekerja dengan baik sangat ditentukan juga oleh visi, misi, dan budaya organisasi
perusahaan di satu pihak; dan faktor budaya, tradisi, dan etos kerja bekerja di pihak lainnya.
Julia Balzer Briley seorang perawat, pengarang, dan pembicara, dari Kota Cumming,
Georgia menulis pengalamannya terkait aspek pengembangan diri dalam kerja ini. Julia
menulis keyakinan rohaninya dalam kisah inspiratif berikut ini. ”Untuk menambah
kedalaman spiritual dalam kerja saya, saya telah menempatkan diri untuk mengikuti kursus-
kursus yang memberikan sertifikat dalam bidang perawatan secara menyeluruh. Bagian
pertama program ini adalah perawatan diri sendiri. Saya diminta untuk menelaah raga-
jiwa-roh saya sendiri. Ini juga meliputi praktikum terstruktur dalam hal-hal seperti menulis
catatan harian tentang perawatan diri dan spiritualitas kontemplatif. Irama tetap praktik
setiap hari itulah yang akan membantu kita untuk memandang dan menghayati kerja kita
sebagai jalan rohani, dan saya berusaha keras, berjuang sungguh-sungguh untuk
mewujudkan hal ini. Saya merasakan bahwa batas waktu tugas-tugas selama kursus
memberikan kepada saya struktur yang saya perlukan. Saya menjadi terbuka kepada Allah
yang berbicara kepada saya melalui intuisi saya tentang cara saya dapat membantu para
perawat dan orang lainnya yang sepanggilan untuk melihat spiritualitas kerja mereka”
(Pierce: 2010, hlm. 179).
Julia sangat menyadari diri sungguh-sungguh bahwa salah satu bagian penting dari
aspek religius kerja adalah terus-menerus mengembangkan diri dalam bidang profesi yang
digelutinya. Terus mengembangkan diri dalam profesi kerja termasuk bagian religiositas
kerja juga. Orang yang terus mengembangkan diri akan menunjukkan kualitas kerja yang
baik dan semakin tinggi pula. Kualitas kerja perlu diwujudkan dalam jenis kerja apapun
profesi yang digeluti. Benarlah pepatah menarik Martin Luther King Jr, :
atau Shakespeare menulis puisi.Ia harus menyapu jalan dengan sedemikian baiknya,
sehingga segenap penghuni surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata:
Pekerjaan itu tidak perlu dibandingkan. Karena semua orang yang bekerja di dalam
perusahaan atau organisasi sama-sama memainkan perannya untuk kepentingan bersama.
Karena itu semua pekerjaan baik adanya. ”Jika Anda membandingkan pekerjaan dengan
pekerjaan, maka ada perbedaan besar antara pekerjaan mencuci piring dan pekerjaan
mewartakan firman Tuhan, tetapi dalam hal menyenangkan hati Allah, kedua pekerjaan itu
sama sekali tiada bedanya” (William Tyndale).
Cara 7: Memutuskan apa yang ”Cukup” dan berpegang teguh pada keputusan Anda
Sikap dan perilaku taat peraturan/norma perusahaan muncul dari dalam hati nurani
karyawannya. Hal ini mengandaikan adanya kesadaran diri yang tinggi dari karyawan dalam
bekerja. Sikap disiplin kerja biasanya ditandai oleh adanya berbagai inisiatif, usaha, niat,
kemauan, dan kehendak baik untuk mentaati peraturan dengan ikhlas dan loyal. Karyawan
yang berdisiplin tinggi, tidak semata-mata patuh/ taat terhadap peraturan secara kaku dan
mati, tetapi terlebih berkehendak (berniat) baik untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-
peraturan perusahaan. Ini artinya seorang karyawan perlu bersikap rendah hati untuk taat
aturan perusahaan yang ada demi kebaikan dirinya sendiri. Aturan sebetulnya ada untuk
melindungi kebaikan pribadi karyawan itu sendiri.
Avin Vadilla Helmi (Buletin Psikologi 1996) menunjukkan tiga (3) indikator disiplin
kerja sebagai berikut:
b). Upaya dalam mentaati peraturan tidak boleh didasarkan adanya perasaan takut atau
terpaksa.
c). Komitmen dan loyal pada perusahaan tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja.
Disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom-up) berbeda dengan disiplin
terhadap peraturan perusahaan. Kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang bersifat
individual semata, melainkan juga membutuhkan disiplin terhadap komitmen kelompok tim
kerja. Tim-tim kerja akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika setiap anggota
kelompok dapat memberikan andil yang sesuai dengan hak dan tanggung jawab
masing-masing. Kaitan antara disiplin terhadap peraturan perusahaan secara top-down dengan
disiplin kelompok (tim kerja) secara bottom-up sebagai upaya saling melengkapi dan saling
menunjang. Disiplin dari pimpinan tertinggi perusahaan ke bawah (top-down) tidak dapat
dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok yang dibangun oleh tim
kerja dari karyawan yang paling rendah hingga pimpinan yang tertinggi.
Disiplin
Dalam pekerjaan kita sehari-hari, kita harus juga menjadi pencipta dunia, lebih baik
memberikan perhatian kepada apa yang sedang kita lakukan-mempertanyakan nilai, maksud,
proses kerja, dan juga sarana-sarana serta tujuan-tujuan dari kerja kita. Kita perlu sedikit
disiplin untuk hal-hal ini.
Tidak mudah melihat kesempatan-kesempatan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi
bila menghadapi sekian banyak telepon yang belum dijawab pada daftar tugas sehari-hari
kita, terjadinya gangguan pada komputer, laporan yang harus segera diselesaikan, dan klien
yang marah-marah di telepon. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah memperjelas
tujuan-tujuan kita ketika kita sedang tidak bekerja. Kita perlu berpikir-ketika sedang tidak
bekerja-baik itu penyair, pencetak, pedagang, pengajar, pengacara, perawat, penjaga parkir,
pramuniaga, pastor/pendeta/ustad/biksu, pengusaha, manejer, direktur, ataupun wartawan
yang bagaimanakah yang menjadi keinginan kita? Disiplin berpikir seperti ini dapat
membangkitkan sikap sadar yang lebih tinggi ketika kita kembali ke tengah hingar-bingar
tempat kerja kita. Bagaimana memberikan perhatian yang dapat meningkatkan kesadaran
kita akan yang ilahi/transenden? Keduanya merupakan hal yang sama (Michael Coyne).
Dalam bekerja orang cenderung bertindak berdasarkan nilai-nilai dasar yang diyakini
dan dianutnya. Hal ini terkait erat dengan masalah sistem nilai. Sistem nilai yang dianut akan
terlihat jelas dari sikap yang tercermin dalam perilaku seseorang. Menurut Kelman
(Brigham: 1994), perubahan sikap ke dalam perilaku terdiri dari tiga (3) tingkatan yaitu
disiplin dalam pelaksanaan kerja karena kepatuhan, disiplin pelaksanaan karena identifikasi,
dan disiplin pelaksanaan kerja karena internalisasi.
Kepatuhan kerja terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut
dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan perusahaan atau atasan
yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat kerja, maka disiplin
kerja tidak tampak sama sekali. Seorang karyawan akan bersikap pura-pura atau munafik.
Maka sebetulnya setiap karyawan harus bisa menghayati kerja sampai pada level
internalisasi nilai ini. Internalisasi menjadi ukuran kedewasaan sikap, kematangan
kepribadian dan kompetensi kerja yang ideal. Hal ini mengandaikan adanya kemampuan
untuk memaknai kerja secara spiritual, jika tidak, maka kerja yang dilakukan akan kehilangan
makna dan relevansi positifnya bagi organisasi.
Seorang pekerja, baik sebagai karyawan maupun pimpinan (manejer) harus berani
menghadapi risiko kerja. Risiko kerja memiliki konsekuensi luas, alternatif ganda, akibat
berbeda, tak pasti, dan efek yang sering kali bersifat personal.
Etika religius kerja (ERK) adalah prinsip normatif yang mengandung sistem nilai dan
keyakinan moral religius sebagai pedoman bagi setiap individu baik sebagai manejer
maupun karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya di tempat kerja.
Masalah kompleks yang sering dihadapi oleh para manejer adalah dalam menghadapi
tingkah laku para karyawan. Keadaan ini bisa menjadi tekanan dan bahkan tantangan dalam
Etika religius kerja karyawan terpancar keluar dari keyakinan imannya tentang
nilai-nilai kebijaksanaan utama dalam bekerja. Karyawan yang memiliki kualitas religius
yang cukup memadai akan bekerja dengan penuh tanggung jawab, adil dan jujur, loyal, ulet
dan setia pada pekerjaannya. Etika religius kerja memotivasi karyawan untuk bekerja
berlandaskan nilai-nilai keyakinan rohani daripada berorientasi pada motivasi-motivasi
materialistik belaka seperti uang, kuasa, ambisi, popularitas dan sebagainya. Etika religius
kerja mewajibkan karyawan mengabdi pada pekerjaannya semata-mata sebagai hal yang
bernilai rohani tanpa memiliki vested interested (kepentingan khusus) atau pun hidden
agenda (agenda terselubung) tertentu yang picik dan murahan.
Etika religius bisnis (ERB) adalah suatu prinsip etis-moral, religius-spiritual yang
harus diikuti apabila menjalankan bisnis atau usaha di bidang apa saja. Bisnis dimaknai
sebagai segala aktivitas produktif untuk mendapatkan keuntungan, uang atau modal. Maka
ruang lingkup bisnis bisa mencakup bidang apa saja seperti ekonomi, sosial, politik, hukum,
dan praktik kerja profesional apa saja yang mendatangkan kegunaan pragmatis dari sisi
uang/modal. Etika religius bisnis mengalir dan meresapi bidang kerja manusia dalam ranah
publik dan tatanan sosial.
Keputusan perusahaan tanpa etika religius bisnis, biasanya timbul jika pengambilan
keputusan hanya untuk menguntungkan pihak perusahaan, tanpa mempedulikan tanggung
jawab sosial pada kemanusiaan. Praktik bisnis yang tidak etis-religius dapat berpengaruh
buruk terhadap citra perusahaan. Karena perusahaan bisa saja mencapai untung besar namun
memperlakukan karyawan secara tidak adil dan tidak manusiawi. Sehingga melecehkan
martabat karyawan sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat luhur. Maka di sini perlulah
dikembangkan sebuah model etika bisnis yang berkarakter religius di dalam perusahaan.
Selain implementasinya yang diperuntukkan bagi karyawan, etika religius bisnis juga
perlu menjamin tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan. Realisasinya dapat
diekspresikan melalui penciptaan kode etik relasi perusahaan dengan klien, menampung
aspirasi/keluhan mereka, dan meminta umpan balik (feed back) dari pelanggan. Di sini kita
belajar untuk mendengarkan saran dan masukan dari bawah, dari pihak pelanggan. Sebuah
“spiritualitas mendengarkan” aspirasi arus bawah penting diperhatikan.
Dari segi manajemen sumber daya manusia (SDM), ada delapan (8) ruang lingkup
kerja dalam suatu perusahaan yaitu: perencanaan tenaga kerja, rekrutmen, seleksi dan
penempatan, pelatihan dan pengembangan, penilaian prestasi kerja, konpensasi,
pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja.
Perencanaan tenaga kerja disusun untuk menjamin kebutuhan tenaga kerja perusahaan
terpenuhi secara konstan dan memadai. Oleh sebab itu perencanaan ini tergantung kepada
Rekrutmen dilakukan bila perusahan memerlukan tenaga kerja baru. Rekrutmen bisa
dilakukan dengan penyampaian dari mulut ke mulut apabila karyawan baru yang dibutuhkan
hanya beberapa orang. Bila membutuhkan karyawan baru lebih dari 10 orang maka
pengumuman rekrutmen dapat disampaikan melalui iklan di media masa atau bekerja sama
dengan mitra perusahaan perekrutan.
Seleksi dan penempatan tenaga kerja bisa melalui empat (4) tahap yaitu: menilai
formulir lamaran, mewawancarai, menggunakan tes lainnya bila perlu, dan memperoleh
referensi.
Penilaian prestasi kerja dilaksanakan untuk menilai seorang karyawan secara akurat
untuk memperoleh dasar pengambilan keputusan promosi, mutasi, demosi atau penurunan
pangkat, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Konpensasi atau balas jasa adalah pemberian penghargaan langsung maupun tidak
langsung kepada para karyawan. Adapun jenis-jenis konpensasi itu adalah konpensasi gaji
atau upah dan evaluasi jabatan.
Setiap karyawan yang bekerja pada perusahaan perlu memahami ruang lingkup
kerjanya dengan baik. Ia merasa diri perlu belajar, melatih diri dan mengembangkan diri
secara maksimal di tempat kerja. Orang seperti ini akan bertindak tepat dalam
mengembangkan pekerjaannya. Ia tidak ragu-ragu menolak dan menyatakan “tidak” pada
suatu pekerjaan yang tidak baik, tidak bermoral dan tidak religius. Orang yang memahami
ruang lingkup kerja dengan baik memiliki motivasi spiritual yang kukuh dan berani
menentukan sendiri pilihan-pilihan positif dan baik yang patut dikedepankan untuk
memajukan perusahaan ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Ia mampu menahan dan
mengendalikan diri terhadap godaan-godaan tidak etis di tempat kerja untuk melakukan
tindakan kontraproduktif yang merusakkan diri maupun perusahaan. Termasuk di dalamnya
godaan materi uang (korupsi), seks (pelecehan seksual) dan kuasa (penyalahgunaan
kekuasaan).
Secara pesikologis, semua orang tentu pernah mempunyai masalah dengan aspek
percaya diri ini. Ada tipe orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir
keseluruhan dimensi hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang
kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan dan lain-lain. Ada juga orang
yang merasa belum percaya diri dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang
ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau
keadaan tertentu.
Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta
memiliki harapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap
berpikiran positif dan dapat menerimanya dengan ikhlas serta gigih berjuang mencapainya.
Orang yang kurang percaya diri di tempat kerja akan tampil sebagai pribadi yang
merusakkan sistem-sistem kerja yang ada. Mereka tidak akan mengembangkan profesi secara
etis, tetapi mencari pangkat atau kedudukan dengan cara tidak sehat. Ia bisa melakukan
hal-hal tidak etis di tempat kerja (curang) untuk menutupi kondisi kurang terampil (unskill)
dan kecakapan dirinya. Cuatan keluarnya bisa dalam bentuk sikap mencari muka dengan
atasan, munafik atau pura-pura, asal bos senang (ABS), konspirasi atau sekongkol untuk
menjatuhkan orang rekan kerja, menyebar gosip atau fitnah pada orang lain untuk
mendapatkan posisi tertentu dan sebagainya. Seharusnya kalau orang memiliki skill yang
memadai, ia tidak akan mudah mencari kepentingan tertentu di tempat kerja dengan cara-cara
licik, keji, tidak santun, tidak religius, tidak bermoral.
Maka dari itu, rasa percaya diri sangat mempengaruhi kebebasan dan otonomi kerja
seseorang di tempat kerja. Sekalipun peluang begitu besar untuk meniti karier di perusahaan
tempat kerja tetapi, kalau Anda menghadapinya dengan kurang percaya diri, maka jalan
menuju pintu gagal menjadi semakin terbuka lebar. Sebaliknya, meski begitu banyak
tantangan dan hanya memiliki peluang yang kecil untuk melanjutkan jenjang karir yang lebih
tinggi di tempat bekerja, kalau kita hadapi dengan penuh percaya diri maka kemungkinan
berhasil menjadi lebih besar. Kepercayaan diri memberikan energi perkembangan dan
moralitas kepada seseorang untuk bertumbuh ke arah pribadi yang berkarakter positif.
Pribadi yang percaya diri akan selalu menjadi pribadi yang optimistis.
Kita perlu memupuk dan mengembangkan semangat kepercayaan diri di tempat kerja
dengan cara-cara yang fair, profesional, bermoral-etis serta didukung oleh semangat spiritual
yang memadai. Hanya dengan itu kepercayaan diri kita di tempat kerja tidak bersifat negatif,
Kepercayaan diri di tempat kerja harus ditempatkan di atas dasar usaha menciptakan
kebahagiaan bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga menciptakan kebahagiaan bagi
sesama. Kita mencapai kebahagiaan (dan kesuksesan) dengan memperhatikan hukum-hukum
kepatutan dan etika yang bersifat umum sehingga bisa mendatangkan manfaat yang berguna
dalam konteks kerja. Kita tidak boleh mencapai kebahagiaan (kesuksesan) di tempat kerja
dengan menciptakan ketidak-bahagiaan bagi sesama. Kita harus mencapai kebahagiaan
dengan ikut membahagiakan sesama juga. Kita sukses, sesama pun sukses! Dan ini hanya
mungkin jika ada hukum cinta kasih pada sesama dalam pelaksanaan kerja kita sehingga
pekerjaan tidak mengalienasi manusia yang satu dengan manusia yang lain di tempat kerja.
Lingkungan kerja harus menciptakan kondisi yang kondusif bagi karyawan untuk bekerja
dengan kebebasan yang berdampak positif bagi perusahaan dan dirinya.***
“Tidak ada yang dapat memaksa saya menjadi bahagia dengan caranya (seperti ia
membayangkan kebahagiaan itu bagi orang lain). Setiap orang boleh mencari
kebahagiaannya dengan jalannya sendiri. Jalan yang akan membantunya hanya jika ia tidak
menginjak kebebasan orang lain (hak orang lain). Yaitu kebebasan untuk mendapatkan
tujuan yang sama, kebebasan yang dapat tumbuh bersama dengan kebebasan setiap orang
berdasarkan suatu hukum umum” (Immanuel Kant).
Bekerja bukan hanya untuk mencari makan. Dengan bekerja, secara religius,
sebenarnya manusia berpartisipasi untuk membangun dan mengembangkan dunia bersama
Allah Sang Pencipta. Kerja adalah cara keterlibatan riil manusia dalam seluruh rencana
keselamatan dan penciptaan Tuhan yang terus berlangsung di dalam dunia. Dengan demikian
maka pekerjaan harus dihayati sebagai panggilan, dan kalau sebagai panggilan berarti harus
dilakukan dengan baik. Bekerja juga merupakan bentuk aktualisasi diri, maka kalau mau
mengenal seseorang dengan baik maka lihatlah bagaimana ia bekerja, apakah ia bekerja
dengan baik atau tidak.
Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda
(Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu
(Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.
Ensiklik Laborem Exercens” dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II tentang Makna Kerja
menurut Pandangan Katolik. Vatikan: Sekretariat Kepausan.
Frederikus Fios (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
https://www.islampos.com/arti-bekerja-dalam-islam-25564/
http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/laborem-exercens-dengan-
bekerja.html
http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html
http://confucius-rohaniwan.blogspot.co.id/2009/12/7-etos-kerja-dalam-perspektif-agama.html