Kita semua pasti pernah memiliki sebuah impian. Tak jauh berbeda denganku. Aku
juga memiliki impian, impianku bisa dibilang tidak terlalu besar, aku hanya bermimpi kedua
orang tuaku selalu rukun dan bisa menyaksikan dan merasakan kesuksesanku dimasa depan.
Namun itu hanyalah sebuah impian, hanya Tuhan yang mengetahui umur kita. Kita tak bisa
menghindari kematian, semua pasti akan mengalaminya.
Aku mengalami kejadian tak mengenakkan yang dirasakan oleh banyak siswa di
dunia. Sehingga aku meminta ayah dan ibuku untuk memindahkanku ke SD di desaku,
jaraknya hanya duaratus meter, awalnya mereka menolak namun kuancam dengan kata-kata
“Jika kalian tidak mau, maka aku akan berhenti sekolah”. Aku masuk ke sekolah itu saat
tahun pelajaran baru di bangku kelas lima.masa masa itu kulewati dengan damai dan bahagia,
bahkan aku mendapatkan nilai ujian sekolah teringgi se-Kecamatan. Akupun meminta
disekolahkan di SMP unggulan di sini. Kasih sayang aneh yang kurasakan kini benar-benar
terjadi, saat kami bertiga berkumpul tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami,
aku memulai perbincangan dengan menceritakan hari-hariku di sekolah, namun tanggapan
mereka singkat. Mereka menjadi sering bertengkar. Lama-kelamaan setiap malam mereka
bertengkar, puncaknya ketika aku tengah mengerjakan soal penentu kelulusan, mereka
memutuskan untuk berpisah.Hari pengumuman kelulusanpun tiba, namun tidak ada yang bisa
menghadirinya karena hari itu adalah persidangan perpisahan kedua orang tuaku. Namun
ternyata aku berhasil menjadi salah satu siswa dengan nilai ujian tertinggi di sekolahku. Hari
itu kebahagian, kesedihan dan amarah melebur menjadi satu, air mataku tak bisa mengalir, ku
ingin hancur, ku ingin tak pernah dilahirkan. Ku menatap langit yang tadinya menyilaukan
kini berubah kehitaman, hujan turun dengan derasnya seolah ingin memadamkan perasaan
ang terus menggebu ini. Ku menangis dan tertawa di taman itu sambil menahan nafas. Impian
kecilku sirna. Aku tak bisa menggapainya.
Aku merombak impianku, kini ku bermimpi untuk meraih kesuksesan ‘tuk diriku
sendiri dan pergi jauh dari kota kecil yang dipenuhi kenangan pahit ini, pergi sejauh dan
selama mungkin. kini aku mengerti kenapa saat teka mereka pernah mengatan “Aku sibuk”,
bukan “Kami sibuk”, karena ternyata selama ini mereka saling berdusta, mereka sibuk
bercumbu dengan pasangannya masing-masing. Kuberpikir “apakah dua hati yang bergirigi
itu bila disatukan akan melahirkan sesuatu yang baik?”. Beberapa bulan kemudian mereka
hidup bahagia dengan pasangannya masing-masing, aku lebih memilih meninggalkan kota
kecil ini dan bersekolah di salah satu SMA unggulan di Daerah ini, untungnya mereka masih
mau. Membiayaiku aku tinggal disebuah gubuk kecil di lingkungan sekolah, aku selalu bisa
tertawa lepas ketika bertemu teman-temanku, melupakan segala lara yang terus mengutukku.
Beberapa temanku pernah berkata “hidupmu seperti tak ada beban ya?”, kala itu ku tersadar,
ku terlena dengan kesedihan yang mendalam ini, hingga ku tak bisa merasakan kesedihan
lagi. Aku menceritakan kisah hidupku ini ke beberapa teman sekelasku, keabanyakan dari
mereka kaget, mereka menatap iba diriku, seolah mereka tak pernah menyangka raut wajah
yang kusembunyikan dibalik topeng sumeringah itu. Terkadang aku pulang kerumah untuk
sekadar membersihkannya, karena aku adalah satu-satunya penghuni di rumah ini. Di
penghujung SMA, kedua orang tuaku berkata bahwa mereka mungkin tidak mampu
membiayaiku kuliah, lagi-lagi kesedihan menggema.
Aku berhasil di terima di perguruan tinggi kedinasan impinku yang terletak di kota
terbesar di negeri ini, namun aku harus melunasi satu-satunya bayaran untuk masuk ke sana
yang tak sedikit jumlahnya, demi mendapatkan uang itu aku rela melakukan segala cara,
sekotor apapun, aku mendapatkannya berkat tangan panjang ini di rumah ayah dan ibuku,
tentu mereka tak menyadarinya. Aku bilang bahwa aku menabung selama SMA kepada
mereka. Karena jika kubisa kuliah disana, maka ku tak perlu pusing tentang biaya, karena aku
dibayar bukan membayar.
Aku tiba di kota itu pada malam malam hari menaiki bus, ku memandangi sekeliling,
Kota yang tak pernah tidur ini terus membuatku takjub kota ini benar benar telah menjadi
hutan beton. Cahaya indah kekuningan menjulang tinggi ke angkasa meyayat kegelapan sang
malam. Gubuk yang akan ku tinggali berada dekat dengan sungai terganas di kota itu.
Penghuni dan pemilik nya sangat ramah kepadu, saling berbagi adalah kewajiban di sini. Aku
kegirangan di kamar karena impianku untuk pergi dari kota kecil itu tercapai meskipun harus
menumpuk dosa indah dan kebohongan manis.
Sebentar lagi aku akan lulus dari tempatku menuntut ilmu, semua tugas akhir telah ku
laksanakan. Sebulan lagi adalah acara yang ku nanti-nanti, ya, itu adalah wisuda, setelah itu
aku akan bekerja sebagai abdi negara dan hidup tenang. Malam itu aku terbangun mendengar
suara guntur yang menggelegar ke seluruh penjuru kota, langit menangis dengan derasnya.
Ku pikir akan baik-baik saja, sampai kusadari, kini ku tengah menyelam di dalam air, aneh,
aku tak bisa bernafas, ku tak bisa melihat waktu, perlahan ku mulai terangkat ke permukaan,
ku tak cahaya kekuningan yang menyayat sang malam, yang kulihat hanyalah rembulan
merah yang seolah melantunkan melodi kegelapan dan bintang-bintang yang menari, mereka
mulai menggila, ku tak bisa berkutik melihat pemandangan itu.
Malam telah diusak oleh cahaya hangat yang kini menyinari dunia ini, dinginnya sang
malam pun sudah tak kurasakan, sesosok cahaya megulurkan tangannya kepadaku seolah
sebagai candaan semata, namut aku tetap meraih tangan itu dan menggenggamnya erat.
Semua ikatan yang membelengguku di dunia ini kini telah terputus, kini kesedihan yang
tertidur telah bangkit, ku memanggil ayah dan ibuku “Ayah, ibu jangan tinggalkan aku.
Ayah, ibu kasihanilah aku. Ayah, ibu sayangilah aku. Ayah, ibu tebarkanlah kebahagiaan
kepadaku. Ayah, ibu temukan aku untuk sekali saja. Ayah, ibu aku tak ingin berada di tempat
yang sepi itu. Ayah, ibu biarkan aku berada di samping kalian untuk sekali saja. Ayah, ibu
aku ingin mengantarkan kepada kalian impian yang indah ini. Ayah, ibu disini semakin gelap.
Ayah, ibu aku mencintai kalian”. Impianku berhenti di tengah jalan karena aku terlalu
meremehkan kematian. Aku melupakan kematian yang seharusnya hal yang paling diingat.
Kini yang tersisa untukku hanyalah penebusan dosa.
IDENTITASPENULIS
Nama :YUSUFWAISHOL
IDIg :@yusufwaisholmandidikali
No.WA :081289942959
Email :yusufwaishol@gmail.com
Alamat :DusunVIIIRT016/RW008No.007KampungSukosariKecamatanKalirejo
KabupatenLampungTengahProvinsiLampung,KodePos34174