Nama Upacara/Tradisi Upacara Rokat Pangkalan (Objek Penelitian): Lokasi Penelitian: Desa Ambunten Tengah dan Ambunten Timur, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep, Madura.
Waktu Penelitian: Mei-Juli 2015
Deskripsi Tradisi rokat pangkalan (sebagian masyarakat Upacara/Tradisi: menyebutnya upacara rokat tase’) merupakan upacara ruwat laut yang dilangsungkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Se Kobasa Tase’ (Sang Penguasa Laut) atas ikan tangkapan yang diperoleh selama setahun terakhir, juga sebagai pengharapan agar nelayan diberi keselamatan dan hasil yang melimpah ketika mencari nafkah di lautan. Waktu Upacara: Rokat pangkalan dilangsungkan ketika memasuki mosem poco’ (musim puncak), yaitu musim ketika ikan di laut sedang banyak-banyaknya dan cuaca sangat bersahabat bagi nelayan untuk melaut, waktu-waktu ketika ikan tangkapan nelayan begitu melimpah. Berhubung musim puncak tidak mesti datang setiap tahun, sebagian masyarakat memilih rutin melangsungkan upacara rokat pangkalan pada bulan Rejheb (bulan Rajab dalam kalender Hijriyah). Tradisi Lain yang Kenduri (selamatan); Mamaca (tradisi membaca kitab kuno Masuk di Dalamnya: peninggalan leluhur); Topeng Dhalang (wayang orang khas Madura); Tari Muang Sangkal (tari tolak bala). Susunan Rangkaian 1. Kenduri, dilaksanakan malam sebelum upacara. Acara: 2. Mamaca, dilaksanakan malam hari sebelum upacara, setelah Kenduri, dilangsungkan semalam suntuk. 3. Arak-arakan, mengarak sesajian/tumbal dan anggota upacara ke pangkalan/pelabuhan tempat upacara. 4. Tari Muang Sangkal, setelah arak-arakan sampai di pangkalan. 5. Doa Bersama, sebelum larung sesaji ke tengah laut. 6. Nyakak Bumi, ritual membajak bumi di kawasan pantai sebagai simbol tanggul pemisah antara daratan dan lautan. 7. Larung Sesaji, ritual melarung sesaji ke tengah laut dengan naik perahu hias. 8. Pertunjukan Topeng Dhalang, malam hari setelah upacara, dilakukan semalam suntuk. Gambaran Upacara: Gambaran suasana berlangsungnya upacara rokat pangkalan adalah sebagai berikut: Pada hari berlangsungnya upacara rokat pangkalan, masyarakat berkumpul dan membentuk barisan di belakang iring-iringan pembawa sesajian, dengan kepala kerbau sebagai sesajian utama. Masyarakat yang ikut dalam ucapara itu akan berjalan dari jalan raya menuju menuju pantai tempat di mana sesajian itu akan dilarungkan. Sesajian lain berupa aneka macam buah-buahan, telur, ayam, patung kambing, boneka manusia dari tepung, nasi dengan berbagai macam warna—nasi putih, nasi hijau, nasi merah, dan nasi hitam—telah dipersiapkan. Semua sesajian itu diletakkan di dalam miniatur-miniatur perahu yang dibuat dari batang pisang yang dirangkai dengan bambu dan batang tebu. Sesajian itu akan diarak ke laut, diiringi tetabuhan. Ketika iringan itu tiba di tepi pantai, dipertunjukkan tarian-tarian simbolik, di antaranya adalah tari muang sangkal. Setelah tarian-tarian simbolik yang dipertunjukkan di tepi pantai selesai, seluruh peserta upacara akan berdoa dipimpin oleh Kiai dan tetua adat. Selesai berdoa, tokoh-tokoh masyarakat beranjak menaiki beberapa perahu nelayan yang sudah dihias. Perahu- perahu yang telah dihias itu nantinya akan dinaiki oleh para peserta upacara. Perahu-perahu hias itulah yang akan mengantarkan mereka ke tengah laut tempat sesaji akan dilarungkan. Puncak dari rangkaian upacara rokat pangkalan itu adalah melarungkan col-ocolan (miniatur-miniatur perahu) berisi aneka sesajian itu di laut lepas. Unsur-unsur/ Elemen - Kepala kerbau (sebagai simbol runtuhnya ego dan sifat-sifat /Sesajian dalam hewaniah pada manusia). Upacara: - Col-ocolan (lelarung/ sesajian), yaitu sejumlah miniatur perahu yang dibuat dari batang pisang, bambu, atau batang tebu. - Boneka laki-laki dan perempuan yang dibuat dari tepung beras (melambangkan bahwa manusia terdiri dari dua jenis kelamin), diletakkan di dalam col-ocolan. - Jenang putih dan jenang merah (melambangkan siang dan malam), diletakkan di dalam col-ocolan. - Damar Ambang (pelita yang mengambang), berupa pelita yang terbuat dari tutup botol yang ditengahnya diberi sumbu dan diletakkan di dalam mangkuk berisi minyak. Selama upacara, damar ambang harus selalu menyala, apinya tidak boleh padam. - Nase' Rasol (tumpeng), yaitu nasi yang dibentuk menyerupai kerucut disertai lauk-pauk yang diletakkan di atas talam/baki. - Tajin (bubur beras) lima warna, yang melambangkan lima jenis warna air laut. - Aeng Partemon, yang merupakan air pertemuan dua sumber di daratan, jika tidak menemukan, bisa juga diganti dengan air muara pertemuan antara sungai dengan lautan. Memiliki filosofi menyatunya dua entitas, manusia dengan alam, daratan dengan lautan, bahwa dua entitas tersebut bisa hidup rukun dan damai, saling tergantung satu dengan yang lain. - Katopa’ panglobar merupakan ketupat yang dibuas khusus untuk ruwatan, berisi beras dan merupakan ketupat yang belum dimasak. Panglobar dalam Bahasa Madura berarti penutup. Ketika doa bersama sudah dilaksanakan, tetua adat dengan seorang perwakilan nelayan akan menarik masing-masing ujung tali (janur) ketupat sehingga bagian wadah ketupat akan terbuka, maka beras di dalam wadah ketupat itu akan berhamburan. Terbukanya ketupat itu merupakan simbol dari terbukanya pintu rejeki. - Aeng bhebur (air kembang tujuh rupa) yang ditelakkan di dalam baskom besar. Merupakan simbol menyatunya berbagai entitas di alam semesta. Angka tujuh adalah simbol tujuh samudera atau tujuh lapis langit. Air ini diperebutkan di akhir upacara sebagai simbol keberkahan. Narasumber Kunci: - Ki Munawwir (76 tahun). Tokang Thegges Mamaca. Tinggal di Dusun Pandan, Ambunten Tengah, Sumenep. - Ki Siman (70 tahun). Dalang pada pementasan topeng dhalang di Desa Ambunten Tengah, Kecamatan Ambunten, Sumenep, pada 9-10 Mei 2015. Merupakan seorang pujangga dan ahli macapat. - Sutipno (56 tahun). Pemimpin grup topeng dhalang “Rukun Pewaras” yang beralamatkan di Slopeng, Kecamatan Dasuk, Sumenep. - Syairozi (62 tahun). Tokoh masyarakat Desa Ambunten, pensiunan PNS yang intens menggeluti seni dan budaya lokal. - Syakdilla (67 tahun). Tokoh masyarakat Ambunten. Seringkali menjadi pemimpin doa dalam ritual-ritual budaya dan keagamaan di Ambunten. - Zainur Hasan (53 tahun). Ketua Panitia rokat pangkalan Desa Ambunten Tengah-Ambunten Timur selama lima tahun terakhir. Beliau merupakan PNS yang menggeluti kebudayaan lokal. Tinggal di Kampung Pakapa, Ambunten Tengah. - Mudhar (46 tahun). Nelayan Ambunten, peserta upacara rokat pangkalan. - Haji Musa (58 tahun). Juragan perahu, peserta upacara rokat pangkalan. - Haji Tamimi/Haji Miming (56 tahun). Kepala Desa Ambunten Timur.
)* Disarikan dari penelitian Badrul Munir Chair berjudul “Dimensi Kosmologis Upacara Rokat Pangkalan: Relevansinya dengan Religiusitas Manusia Madura”.