Anda di halaman 1dari 8

Hukum Penyiaran di Indonesia

berdasarkan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran

1. Sejarah Hukum Penyiaran di Indonesia

Pengaturan tentang penyiaran di Indonesia bermula sejak sebelum kemerdekaan, dengan


dikeluarkannya Radiowet oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934. Secara tidak
langsung peraturan tersebut dijadikan pijakan untuk pendirian NIROM (Nederlands
Indische Radio Omroep Maatschaapij) yang memperoleh hak-hak istimewa dari
pemerintah Hindia Belanda.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pengaturan radio siaran swasta berkembang


seiring dengan bermunculannya radio-radio siaran dan radio komunikasi terutama pada
masa peralihan orde lama ke orde baru. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah.
Selama hampir 27 tahun, radio siaran hanya diatur oleh aturan-aturan yang tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan. Namun memasuki tahun 1997, dengan proses
yang cukup alot, DPR-RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang
Penyiaran yang kemudian disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Penyiaran pada tanggal 29 September 1997. Pada masa
berlakukannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran diwarnai
dengan pro kontra terutama berkaitan dengan lembaga pengawas (BP3N), selain itu
dengan penghapusan Departemen Penerangan oleh Presiden (saat itu Presiden
Abdurahman Wahid), membuat substansi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Penyiaran tidak lagi sesuai. Oleh sebab itu, pada tahun 2002, Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran dicabut dengan diundangkanya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.

Berdasarkan substansi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran,


beberapa pasal mengharuskan pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah
diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Penyelenggara
Penyiaran Publik ; Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Lembaga
Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia ; Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia ; Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2005 Tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga
Penyiaran Asing ; Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 Tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta ; Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas ;
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Meskipun hal-hal pokok penyiaran telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2002 Tentang Penyiaran, namun peraturan perundang-undangan lain juga banyak
yang berkaitan dengan hal-hal penyiaran. Peraturan perundang-undangan itu diantaranya
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang HAM, Undang-Undang Pers,
Undang-Undang-Undang Hak Cipta.

2. Asas, Dasar dan Tujuan Penyiaran di Indonesia]

Berdasarkan pasal 2 UU No. 32/2002, dasar dari Penyelenggaraan Penyiaran


Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 dengan berdasarkan asas manfaat, adil dan
merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian,
kebebasan dan tanggung jawab. Untuk tujuan Penyiaran, berdasarkan pasal 3 UU No.
32/2002, adalah memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa
yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan
umum dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan
sejahtera serta menumbuhkan industri Penyiaran Indonesia.
Fungsi Penyiaran Indonesia termuat dalam pasal 4 UU No. 32 /2002. Sebagai
kegiatan komunikasi massa Fungsi Penyiaran yang termuat dalam pasal 4 tersebut adalah
berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control dan perekat
social, serta ekonomi dan kebudayaan.

3. Penyiaran, Jasa Penyiaran dan Lembaga Penyiaran

Maksud dari Penyiaran dalam UU No. 32/ 2002 adalah kegiatan pemancarluasan
siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, laut atau di antariksa
dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media
lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan
perangkat penerima siaran.

Spectrum frekuensi radio

Sarana pemancar/ perangkat penerima siaran (berupa pesan


Transmisi di darat/laut/ atau rangkaian pesan berbentuk suara,
Antariksa gambar atau suara dan gambar, grafis
krakter)

Inti dari UU No. 32/2002 adalah pengaturan tentang Jasa Penyiaran. Berdasarkan
pasal 13, Jasa Penyiaran terdiri dari Jasa Penyiaran Radio dan Jasa Penyiaran Televisi.
Kedua jasa penyiaran tersebut diselenggarankan 4 Lembaga Penyiaran yaitu :
a. Lembaga Penyiaran Publik ;
b. Lembaga Penyiaran Swasta ;
c. Lembaga Penyiaran Komunitas ;
d. Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Berikut ini penjelasan tentang masing-masing lembaga Penyiaran :
a. Lembaga Penyiaran Publik
Berdasarkan UU No. 24/1997, yaitu UU Penyiaran yang tidak berlaku lagi dengan
disahkannya UU No. 32/2002, Lembaga Penyiaran Publik disebut dengan
Lembaga Penyiaran Pemerintah. Berdasarkan pasal 14 UU No. 32/ 2002, yang
dimaksud dengan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) adalah Lembaga Penyiaran
yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat independent,
netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan
masyarakat. LPP berupa Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik
Indonesia (TVRI), yang keduanya memiliki lokasi stasiun pemancar di daerah
ibukota negara yang lingkup siarannya nasional. Disamping berlokasi di daerah
ibukota Negara, daerah provinsi, kabupaten dan kota dapat didirikan LPP yang
lingkup siarannya lokal. Dalam penyelenggaraannya, LPPdiawasi oleh DPR untuk
LPS di tingkat pusat, dan DPRD untuk pengawasan tingkat daerah. Disamping
itu LPP diawasi oleh Dewan Pengawas, yang ditetapkan oleh Presiden bagi RRI
dan TVRI, dan ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota utk LPP lokal. Dewan
Pengawas akan mengangkat dan menetapkan Dewan Direksi.
Teknis penyelenggaraan LPP diatur dalam PP No. 11/2005 tentang
Penyenlenggaraan Penyiaran LPP, yang selanjutnya diatur dalam PP No. 12 /
2005 tentang LPP RRI dan PP No. 13/2005 tentang LPP TVRI.

b. Lembaga Penyiaran Swasta (LPS)


Berdasarkan pasal 16 ayat (1) UU No. 32/2002, LPS adalah lembaga penyiaran
yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia yang bidang usahanya
hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Beberapa
pembatasan dala penyelenggaraan LPS diatur dalam pasal 16 UU No. 32/2002.
Pembatasan tersebut antara lain tentang :
- Pemusatan kepemilikan ;
- Kepemilikan silang LPS dan media lain (mdia elektronik dan media cetak)
- Pengaturan dan jangkauan wilayah siaran
Secara teknis, LPS diatur oleh PP No. 50 / 2005 tentang Penyelenggaraan LPS.
Jangkauan siaran LPS berdasarkan UU No. 32/2002 adalah local, dengan kata lain
LPS tidak boleh melakukan siaran secara nasional. Namun ketentuan ini
ditentang oleh LPS yang berbentuk televisi swasta karena dianggap sebuah
langkah mundur dari dunia penyiaran di Indonesia.

c. Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK)


Berdasarkan pasal 21 UU No.32/2002, LPK adalah lembaga penyiaran yang
berbadan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat
independent dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, jangkauan wilayah
yang terbatas, dan melayani kepentingan komunitasnya. Teknis penyelenggaraan
LPK terdapat dalam PP No. 51/2005 tentang Penyelenggaraan LPK.

d. Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB)


Berdasarkan pasal 25 UU No. 32 2005, LPB adalah lembaga penyiaran yang
berbentuk badan hukum Indonesia yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan yang memencarkan atau
menyalurkan materi siaran khusus kepada pelanggan melalui media radio,
televisi, multi-media atau media informasi lain. LPB terdiri dari 3 bentuk yaitu :
- LPB melalui satelit;
- LPB melalui kabel;
- LPB melalui terestrial.
Dalam penyelenggaraannya, LPB memiliki batasan-batasan yang harus ditaatinya.
Batasan tersebut antara lain :
- kewajiban melakukan sensor internal kepada seluruh materi siaran;
- kewajiban menyediakan minimal 10% dari kapasitas kanal, untuk
menyalurkan program dari LPP dan LPS.
- Kewajiban menyediakan 1 kanal untuk siaran produksi dalam negeri
berbanding 10 kanal siaran produlsi luar negeri (1:10).
Teknis Penyelenggaraan LPB diatur dalam PP No. 52 / 2005 tentang
Penyelenggaraan LPB.

Disamping keempat lembaga penyiaran tersebut, UU No. 32 / 2002 memuat hal-


hal yang berkaitan dengan Lembaga Penyiaran Asing (LPA) yang diatur dalam
pasal 30 yang mengatur larangan LPA didirikan di wilayah Indonesia. Teknis
Penyelenggaraan LPA diatur dalam PP No. 49/2005 tentang Pedoman Kegiatan
Peliputan LPA.

4. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Keberadaan KPI diatur dalam UU Penyiaran. KPI sebagai lembaga independen secara
tegas diatur pada pasal 1 butir 13 UU Penyiaran yang menyebutkan bahwa KPI dalah
lembaga negara yang bersifat independen yang berada di pusat dan daerah yang tugas dan
wewenangnya diatur dalam UU Penyiaran sebagai wujud peran serta masyarakat di
bidang penyiaran. Lebih lanjut, dasar hukum pembentukan KPI dimuat dalam pasal 7 UU
Penyiaran. KPI Pusat terdiri dari 9 orang anggota, sedangkan KPI Daerah terdiri dari 7
orang. Syarat menjadi anggota KPI Pusat dan Daerah diatur dalam pasal 10 UU
Penyiaran.

Fungsi KPI adalah mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan
penyiaran. Untuk menjalankan fungsinya, KPI memiliki kewenangan berdasarkan pasal
8 ayat (2) UU Penyiaran, yaitu :
a. Menetapkan standar program siaran ;
b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran ;
c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar
program siaran ;
d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan pedoman perilaku penyiaran
serta standar program siaran ;
e. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga
penyiaran, dan masyarakat.

Untuk tugas dan kewajiban KPI, diatur dalam pasal 8 ayat (3) UU Penyiaran, yaitu :
a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai
dengan HAM ;
b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran ;
c. Ikut membantu iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri
terkait ;
d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil dan merata serta seimbang ;
e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kriik dan
apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran ; dan
f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin
profesionalitas di bidang penyiaran.

Sesuai pasal 7 ayat (3) UU Penyiaran, KPI dibentuk ditingkat pusat dan dan daerah
(KPID) yang dibentuk di tingkat provinsi. Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang
dan kewajibannya KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan KPID
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Provinsi sesuai pasal 7 ayat (4)
UU Penyiaran.

5. Jangkauan Siaran dan Sarana Teknik Penyiaran

UU Penyiaran mengatur soal jangkauan siaran dalam pasal 31 UU Penyiaran. Akan tetapi
dalam perkembangan pelaksanaannya, pasal ini ditentang oleh kalangan LPS terutama
Televisi. Hal tersebut disebabkan, jangkauan siaran yang diatur dalam pasal 31 tersebut,
hanya diperbolehkan sebatas jangkauan local, sedangkan hal tersebut dianggap sebagai
kemunduran, karena selama ini penyelenggara TV swasta sudah memiliki jangkauan
siaran nasional. Oleh karena itu pelaksanaan dari pasal 31 tersebut seolah-olah mandul
dan sampai saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut.

Untuk pengaturan sarana teknik penyiaran diatur dalam pasal 32, yang berisi bahwa
setiap pendirian dan penyelenggaraan penyiaran wajib memenuhi ketentuan rencana
dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran.

6. Perizinan & Pelaksanaan Siaran

Perizinan untuk penyelenggaraan radio siaran swasta terdiri dari dua tahap yaitu izin
untuk penyelenggaraan dan izin alokasi serta penggunaan spektrum frekuensi radio yang
diberikan oleh negara setelah memperoleh masukan dan hasil evaluasi dengan pendapat
antara pemohon dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).1 Selanjutnya secara
administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI. Untuk
pendiriannya, radio siaran swasta harus dengan modal awal yang seluruhnya milik warga
negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU
Penyiaran. Untuk hal cakupan wilayah siaran, satu penyelenggaraan radio siaran swasta
hanya dapat beroperasi dengan satu saluran siaran pada satu cakupan wilayah siaran.

Ihwal pelaksanaan siaran, diatur dalam pasal 35 UU Penyiaran yang mengatur bahwa isi
siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran. Isi siaran wajib dijaga
1
Pasal 33 ayat (4) UU Penyiaran
netralitasnya, dan tidak boleh megutamakan kepentingan golongan tertentu. Selain itu,
isi siaran juga harus memuat 60 % mata acara yang berasal dari dalam negeri. Isi siaran
tidak bleh bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, bohong, menonjolkan unsur
kekerasa, cabuk, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang,
mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan. Isi siaran juga dilarang
memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama,
martbat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Bahasa pengantar yang
dipergunakan dalam isi siaran harus mempergunakan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar.2 Setiap mata acara siaran wajib memiliki hak siar yang dicantumkan dalam mata
acara tersebut. Bahasa daerah dan bahasa asing dapat dipergunakan dengan ketentuan
khusus. Bahasa daetah dipergunakan untuk muatan lokal dan mendukung acara tertentu,
sedangkan bahasa asing dipergunakan sesuai dengan mata acara siaran. Berkaitan dengan
relai dan siaran besama dapat dilakukan dengan pihak dalam negeri atau pihak dalam
negeri. Dalam hal siaran iklan dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu siaran iklan dan iklan
layanan masyarakat.

7. Pengawasan Siaran

Bentuk pengawasan untuk penyelenggaraan Radio Siaran Swasta sedikitnya dilakukan


oleh Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers dan pengawasan lain yang dilakukan oleh
organisasi terkait. Untuk kaitannya dengan masalah penyiaran, bentuk pengawasan yang
diuraikan adalah yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Keberadaan KPI diatur dalam UU Penyiaran. KPI sebagai lembaga independen secara
tegas diatur pada pasal 1 butir 13 UU Penyiaran yang menebutkan bahwa KPI dalah
lembaga negara yang bersifat independen yang berada di pusat dan daerah yang tugas dan
wewenangnya diatur dalam UU Penyiaran sebagai wujud peran serta masyarakat di
bidang penyiaran. Lebih lanjut, dasar hukum pembentukan KPI dimuat dalam pasal 7 UU
Penyiaran.

Fungsi KPI adalah mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan
penyiaran. Untuk menjalankan fungsinya, KPI memiliki kewenangan berdasarkan pasal
8 ayat (2) UU Penyiaran, yaitu :
a. Menetapkan standar program siaran ;
b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran ;
c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar
program siaran ;
d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan pedoman perilaku penyiaran
serta standar program siaran ;
e. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga
penyiaran, dan masyarakat.
Mengenai standar siaran dan pedoman perilaku penyiaran, KPI telah mengesahkan dan
memberlakukan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang
ditetapkan tgl 30 Agustus 2004. P3SPS tersebut diharapkan berlaku sebagai code of
conduct bagi seluruh pelaku penyelenggara siaran.
2
Psal 37 UU Penyiaran
Untuk tugas dan kewajiban KPI, diatur dalam pasal 8 ayat (3) UU Penyiaran, yaitu :
a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai
dengan HAM ;
b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran ;
c. Ikut membantu iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri
terkait ;
d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil dan merata serta seimbang ;
e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kriik dan
apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran ; dan
f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin
profesionalitas di bidang penyiaran.

Sesuai pasal 7 ayat (3) UU Penyiaran, KPI dibentuk ditingkat pusat dan dan daerah
(KPID) yang dibentuk di tingkat provinsi. Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang
dan kewajibannya KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan KPID
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Provinsi sesuai pasal 7 ayat (4)
UU Penyiaran.

Selain KPI, pengawasan juga dilakukan oleh organisasi penyiaran radio dan televisi,
meskipun setelah KPI berdiri, pengawasan yang dilakukan oleh organisasi tersebut telah
melalui banyak kompromi, yang beberapa kali menimbulkan konflik antara KPI dan
organisasi-organisasi tersebut.Organisasi-organisasi yang dimaksud adalah Persatuan
Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Asosiasi Televisi Siaran
Indonesia (ATVSI).

PRSSNI didirikan pada tanggal 17 Desember 1974 saat para penyelenggara radio siaran
swasta menyelenggarakan Kongres I Radio Siaran Swasta. Tujuan pendirian PRSSNI
adalah untuk mewujudkan dan meningkatkan peran anggota dalam mencerdaskan dan
mensejahterakan bangsa dengan memperjuangkan dan membela kepentingan anggota
serta turut menciptakan kondisi menguntungkan bagi pengembangan industri radio.3

Berdasarkan anggaran dasarnya, PRSSNI menetapkan dan memberlakukan Standar


Profesional Radio Siaran Swasta Nasional untuk melaksanakan peran dan fungsi dari
sebuah radio siaran swasta nasional Standar Profesional ini adalah perwujudan dari self
regulation industri radio siaran yang disusun, dikembangkan serta disosialisasikan oleh
Dewan Kehormatan Kode Etik PRSSNI sebagai pedoman bagi penyelenggaraan radio
siaran. Pedoman tersebut mengalami evaluasi di setiap tahunnya. Hal tersebut dilakukan
agar tetap sesuai dengan perkembangan masyarakat, negara dan kemajuan teknologi
industri radio siaran swasta. Meskipun demikian, pedoman tersebut tetap menjamin
kebebasan berkreasi, berekspresi, dan menjalankan bisnis serta beroperasi sesuai dengan
kebijakan dalam hal kebebasan individu yang sejalan dengan tanggung jawab sosial.
Prinsip bagi penyelenggaraan radio siaran swasta adalah kebebasan yang disertai
tanggung jawab dalam rangka mengutamakan kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan
masyarakat. Disamping itu pedoman tersebut mengarah pada standar profesionalisme
3
Anggaran Dasar PRSSNI, Jakarta, 2001
radio siaran yang tinggi. Dalam hal pengawasan, sesuai anggaran dasar PRSSNI,
pengawasan terhadap pelaksanaan standar profesional radio siaran dilakukan oleh Dewan
Pengawas Standar Profesional radio Siaran.

Anda mungkin juga menyukai