Anda di halaman 1dari 29

BAB 81: Menjemput Manusia Primitif

Jasmina sedang berusaha menghabiskan gelas berisi es coklat ala-ala yang dijual di stasiun gambir. Sabtu
malam seperti ini, stasiun gambar sudah layaknya pasar malam yang sedang membagikan aneka macam
sembako. Rame, riweh, sesak dan melelahkan. Terlihat para penumpang yang keluar melalui peron-
peron dari berbagai daerah, begitu juga dengan para penumpang dari Jakarta yang menuju peron-peron
untuk pergi ke sebuah tujuan.

Dan disinilah Jasmina, sedang menunggu seorang pria primitif yang lebih suka bepergian antar kota
menggunakan kereta dari pada moda transportasi lain. Padahal banyak pilihan moda transportasi
Bandung-Jakarta hari gini. Alasannya pertama sih klasik, gak mau mikirin macet. Kalau naik mobil atau
travel, pasti terkendala macet di jalanan, apalagi Sabtu malam. Alasan kedua, karena lebih romantis.
Sambil duduk, bisa menatap pemandangan. Alasan ketiga, lebih intim. Bayangkan ketika turun dari
peron, disambut yang terkasih, seperti di film-film.

Dan disinilah Jasmina, menembus kemacetan hampir 2 jam hanya untuk tiba di stasiun gambir pada
pukul 9 malam dari kantornya. Ia yakin, ketika cowok itu sampai, perlu 2 jam lagi bagi mereka untuk bisa
sampai di rumah. Kalau alasannya lebih romantis, kira-kira pemandangan indah apa yang bisa dilihat
antara pukul 5 sampai 9 malam dari kereta? Tidak banyak pastinya. Jasmina sungguh tidak sabar
memang menanti si primitif keluar dari peron. Ya, untuk mencubitnya. Kakinya yang lelah karena
bekerja seharian, harus berjuang lagi bersama kemacetan kota Jakarta 2 jam. Dengan keriwehan stasiun
dan rasa lelah, jauh banget dari adegan-adegan film romantis jaman dulu.

"Kalau nyender tuh di pundak, jangan di tiang bangunan. Nanti stasiun ini roboh!", cetus suara yang
sangat familiar di telinga Jasmina. Gadis itu mencari-cari arah suara, yang ternyata ada di balik
punggungnya. Ia berbalik dan melihat sosok cowok itu, yang berpura-pura melihat ke arah lain sambil
menahan tawa. Devon Lee Burnwood. Sang penumpang jaman batu. Gayanya jauh dari primitif. Ia
mengenakan jaket hoodie berwarna abu-abu, celana jeans biru tua dan sepatu basket. Ia justru terlihat
seperti anak SMA dengan tubuh raksasa.

Rambutnya panjang ala yakuza sudah dibabat habis dengan potongan bak CEO, demi acara besok.
Dengan rambut pendek yang rapi, cowok itu terlihat semakin dewasa dan tentu saja, luar biasa tampan.
Jasmina belum pernah melihat Devon dengan tampilan seperti ini. Sejak SMA, ia terbiasa melihat cowok
itu dengan potongan ala anak basket. Sejak ia sibuk kuliah dan absen dari club basket, ia menjadi leluasa
memanjangkan rambutnya dan jauh dari kesan rapi.
"Huufff akhirnya muncul juga pak calon dokter. Mana kopernya?", tanya Jasmina acuh tak acuh, padahal
ingin sekali Jasmina lari dan memeluk Devon. Ia hanya melihat cowok itu menggunakan ransel, dimana
tangannya memegang sebuah buku di kanan, dan HP di kiri.

"Enggak perlu, toh mau pulang kerumah. Kamu gak ada denger baju-baju aku udah disumbangin atau
dibakar kan?", tanya cowok itu jahil. Jasmina hanya mampu mendelik malas, memutar balik badannya
dan mengisyaratkan cowok itu untuk mengikutinya ke lapangan parkir dengan jari telunjuknya yang ia
bengkokkan berkali-kali. Gadis itu mulai berjalan tegas di depan Devon, bak CEO seram yang akan
melalukan inspeksi dadakan di pabrik. Cowok itu hanya tersenyum simpul sambil mengikuti Jasmina
dengan langkah gontai. “Hemm penyambutan yang cukup romantis, seperti biasa”, pikir Devon.

Sosok gadis itu dari belakang sungguh fenomenal. Ia sudah banyak berubah dari jaman SMA kelas 10
ketika Devon mengenalnya pertama kali. Tubuhnya tinggi dan langsing, namun masih berani
menggunakan sepatu kerja dengan hak 7 cm. Setelan kerjanya kali ini adalah sepotong blus putih lengan
panjang yang terbuat dari kain siffon lembut, dengan aksen pita yang terikat manis di bagian leher. Rok
model pinsil diatas lutut sungguh membuat postur tubuhnya yang langsing benar-benar tercetak
sempurna. Rambut panjangnya yang dahulu selalu berkibar, sekarang berwarna hitam legam dan
dicepol rapi. Jasmina sang eksekutif muda nan seksi, asisten manajer di perusahaan Marketing
communication Cecilia Adnan.

Ketika Jasmina berjalan bak peragawati sambil menyampirkan tas kulit hitam di bahunya, seakan-akan ia
sedang membelah lautan manusia di stasiun gambir. Tidak sedikit cowok-cowok yang menatap gadis
yang memang semakin cantik itu. Beberapa cowok usia matang malah terlihat ingin “menabrakkan diri”
agar bisa lebih dekat dan sukur-sukur bisa berkenalan dengannya. Devon yang menyaksikan dari
belakang, sekarang merasa geram. Ia memasukkan HP ke celana jeansnya, dan menyusul Jasmina agar
dapat berjalan di sampingnya. Ia rampas tangan langsing itu dan menggenggamnya dengan posesif,
menuntutnya agar berjalan lebih cepat. Hellooowww situ pake sepatu basket, sini pake hak 7 cm!

Jasmina terkejut dengan perhatian sang calon dokter. "Tumben, biasa juga cuek", gumamnya. Namun
gadis itu tidak berkata-kata. Dalam hati, sebenarnya Jasmina girang bukan main di gandeng seperti ini.
Momen yang sangat langka! Mereka memasuki mobil mungil Jasmina, dan memutuskan agar Devon
yang menyetir mobil Jasmina. Setidaknya sekarang Jasmina memiliki waktu 2 jam untuk mengomeli
Devon, eh maksudnya berbicara hati ke hati setelah 4 bulan tidak bertemu.

"Hemm... mana cemilanku?", tanya Devon.


"Hah, cemilan apa?", tanya Jasmina bingung. Seingatnya, Devon gak ada mesen apa-apa tadi.

"Ih, kamu jadi pacar gak pengertian banget sih. Kalo pacar tuh pulang, apalagi naik kereta, pasti donk dia
laper. Bawain apa kek, pizza kek, kebab kek, donat kek, nasi goreng kek", tutur Devon. Jasmina mendelik
ke arah Devon.

"Ih, harusnya kamu donk, yang dari luar kota bawa oleh-oleh. Brownies kek, roti kek, batagor kek, cuanki
kek...", balas Jasmina tidak mau kalah.

"Kakek-kakek mau gak Jas? Lahhh, laperrr ni Jass", Devon memasang tampang memelas menatap
Jasmina. Pas banget lagi jalanan macet.

"Ihh kamu nihhh, tau gitu kan kita bisa makan dulu di stasiun", bales Jasmina sambil mencoba membuka
sepatu kerjanya yang cukup menyiksa. Ia merebahkan tubuhnya di kursi setelah memiringkannya ke
belakang. Untung saja tadi gak makan di stasiun, ribet banget disana.

"Ya udah sekarang kita mampir dulu yaaaaa", pinta Devon. Jasmina berfikir dan akhirnya mendelik ke
arah Devon. Menemani Devon artiya, ia harus ikutan makan. Ogah.

"Gak ahhh. Takutnya besok bajunya gak muat", elak Jasmina. Devon melotot tak percaya. Ia mendengus
kesal, karena perutnya benar-benar keroncongan. Kenapa ini pacarnya sungguh-sungguh tidak
pengertian. Hanya demi memasukkan dirinya ke dalam kebaya yang pasti sengaja di buat kekecilan, ia
tega menyiksa Devon.

Ketika mereka akhirnya menyetir 30 menit, Devon melihat sebuah gerai makanan cepat saji yang
memiliki fasilitas drive thru. Ia segera membelokkan mobil Jasmina dan mengantri di belakang sebuah
mobil Avanza silver. Jasmina yang menyadari bahwa mereka mampir, kontan menegakkan duduknya
dan celingak ke kiri dan ke kanan.

"Devon kita sekarang ada dimana?", tanyanya.

"Jurang", jawab Devon asal sambil melihat-lihat menu yang terpampang jelas di kanan mobil itu masih di
dalam antrian.

"Iyaaa, kita akan ada di jurang kehancuran kalo kamu bandel bangetttt", kata Jasmina geram sambil
mencubit lengan cowok itu.

"Awwww hahahahaha kamu aja noh yang nyelam ke jurang. Aku laper Jas. Aku mau pesen buat aku aja.
Kamu duduk manis aja liatin macet", jawab Devon sambil mencubit pipi gadis itu.

"Devonnn jangan cubit-cubit, nanti pipi aku kendurrr. Besok kita mau acaraaa ihhhhh", keluh Jasmina.
Tapi Devon hanya tersenyum.
Sudah lebih dari 2 tahun Devon dan Jasmina resmi pacaran, sejak insiden bungee jumping. Namun
sayangnya hubungan mereka harus terkendala jarak dan waktu. Jarak karena memang Jakarta dan
Bandung tidak bisa dibilang dekat, waktu karena entah kenapa mereka memiliki jadwal yang kacau.
Jasmina seorang eksekutif muda yang hari-hari santai akan memiliki jam kerja antara pukul 8 sampai 5
sore. Di hari-hari kacau bila ada event atau lembur, ia bisa tidur di kantor 2 hari 2 malam. Sedangkan
Devon saat ini sedang koas di salah satu rumah sakit pemerintah di Bandung. Yah yang namanya koas,
jadwal belajar dan bantu-bantu di rumah sakit benar-benar tidak menentu.

Awal-awal pacaran masih bisa mereka lalui dengan berjam-jam ngobrol di telfon, video call, atau Devon
yang setiap pulang ke Jakarta setiap 2 minggu sekali. Seminggu sekali bila ia benar-benar rindu pada
gadis itu. Namun semenjak ia koas dan kegiatan Jasmina yang semakin menggila, percuma juga Devon
pulang ke Jakarta pada akhir pekan. Biasanya justru di akhir pekan itulah agenda Jasmina super padat.
Akhirnya tanpa ada perjanjian, tanpa ada omongan yang serius, mereka mulai saling mengerti. Tidak ada
acara ngambek bila mereka bisa bisa akan bertemu setelah 2 bulan, itu pun intensitas pertemuan yang
cukup singkat dan jauh dari kesan intim.

Padahal bila dipikir-pikir, perjuangan cinta Devon dan Jasmina tidak bisa dibilang gampang. Jasmina
menunggu lebih dari 4 tahun agar cowok itu benar-benar menyatakan cintanya. Selama 4 tahun itu,
mereka urung memiliki pasangan lain, dan halu bahwa mereka adalah pasangan tanpa status. Sebuah
keyakinan dari diri mereka kalau suatu hari mereka akan bersama, membuat Jasmina tidak gentar walau
di goda begitu banyak teman kampus saat itu. Begitu juga Devon yang menjadi primadona fakultas
kedokteran. Ia yakuza berhati setia. Cihhhhh. Hahahahaa

"Yaaa mau pesen apa mas?", tanya sang operator super ramah menggoda. Sepertinya ia terkesan
dengan penampilan Devon yang tampan. Jasmina segera menampakkan wajahnya kepada sang operator
makanan cepat saji itu, agar, yaaa sekedar tau aja, sang supir bersama pacarnya. Jasmina tersenyum
ramah dan berpura-pura melihat-lihat menu yang terpampang di jendela pemesanan itu. Sang operator
sedikit kecewa sepertinya tidak bisa leluasa menggoda Devon.

"Saya mauuu burger ikan 1, burger daging sapi 1, milkshake coklat 1, air mineral 1, sama kentang goreng
2 ya mbak", jawab Devon sambil tersenyum puas. Ia tau saat ini ada betina kelaparan yang mulai panik
dan marah.
"Ok, makasih, jumlahnya jadi sekian dan sekian ya mas, silahkan dibayar di depan. Terima kasih", sang
operator masih tetap super ramah. Devon pun tak kalah ramahnya mengangguk-angguk kepada sang
operator. Ia sudah bisa membayangkan memasukkan semua makanan itu ke perut laparnya sambil
menggoda Jasmina. Sementara pikiran Jasmina sedang melayang ke topic yang lain. Cemburu. Huff,
Jasmina bisa membayangkan bagaimana Devon menjalani hari-harinya di kerubuti cewek-cewek di
kampusnya?

"Kok pesennya banyak banget? Uda seminggu gak makan Pak?", tanya Jasmina. Devon tidak kuatir
dengan sindiran pacarnya. Ia memeluk erat pesanan-pesanannya bak harta karun.

"Aku laperrr. Awas kalo minta yaaaa. Ini buat aku semua!", jawab Devon dengan tampang licik dan
sedikit memonyongkan bibirnya. Ketika akhirnya semua makanan itu sudah masuk ke dalam mobil
mungil Jasmina, tentu saja, wanginya semerbak menggoda. Perut Jasmina yang terakhir diisi oleh makan
siang, tiba-tiba bergejolak hebat. Tapi ketika ia memikirkan kebaya super ketat yang harus ia kenakan
besok, hatinya remuk.

"Devon kamu tega banget. Kamu tau besok adalah hari yang penting banget buat aku. Buat kita! Kok
kamu... kok kamuuu...", Jasmina tidak mampu meneruskan kata-katanya. Sedangkan Devon, huff, cowok
itu dengan tidak sopannya sudah menggenggam setidaknya 8 kentang goreng dan memasukkannya ke
dalam mulutnya sekaligus. Ia kemudian menggigit saos sambal dengan giginya, kemudian
menuangkannya di mulutnya, seakan-akan semua bisa ia campur di sempurna ketika ia mengunyah. Ia
melakukan semua itu sambil menjalankan mobil Jasmina keluar dari kompleks restoran cepat saji itu dan
kembali ke jalan raya.

"Devon kamu unbelieveable. Jorok banget sihhhh", protes Jasmina sambil tak lepas tatapannya ke sang
cowok. Devon tetap santai. Kali ini Devon membuka sebuah burger ikan, dan menggigitnya. Tidak lupa
saus sambal yang tadi, ia konsumsi dengan cara yang sama. Wangi burger ikan itu benar-benar menyiksa
Jasmina.

“Kuuuurrruuukkk krruuukkk kurruukkk”, tiba-tiba perut Jasmina bernyanyi, tepat saat musik di mobil itu
sedang jeda dan senyap. Devon yang ikut mendengar “nyanyian sumbang” itu melirik ke arah perut
Jasmina dan mulai tertawa tertahan, karena ada bongkahan burger ikan di mulutnya.

"Heemmm Nyaammm", jawab Devon sambil tertawa ngikik ke arah jalanan. Jasmina tidak tahan lagi.
Akhirnya ia ambil kentang goreng, dan ia konsumsi dengan cara yang sama dengan Devon.
"Eh eh ehhhh balikin. Itu ronde kedua aku. Aku besok gak harus pake kebaya", protes Devon bercanda.
Ia sebenarnya memang membelikan burger dan kentang goreng untuk Jasmina. Melihat Devon protes,
Jasmina justru merampas milkshake coklat dari bungkusan itu dan berusaha meminumnya. Bukankah ia
tadi barusan meminum segelas es coklat di stasiun gambir? Ahhh apalah apalah lah itu.

"Eh eh ehhh jangan itu punyaku. Kamu air mineral aja. Udah malem.", kali ini Devon serius. Jasmina
keheranan melihat selera Devon kali ini.

"Sejak kapan kamu doyan milkshake coklat?", tanyanya. Jasmina akhirnya menyerah soal es coklat. Yah,
ia tidak butuh itu (lagi). Air mineral saja.

"Hemmm sejak pacaran sama kamu. Sepertinya aku membutuhkan sesuatu yang manis dan
menenangkan sekarang", jawab Devon sok imut. Ia bermaksud memuji Adelia yang sudah
menularkannya kecintaan terhadap coklat. Adelia berfikir keras, kenapa seseorang memerlukan
milkshake coklat dalam hidupnya, sesuatu yang manis dan menenangkan...

"Jadi maksud kamuuuu, sejak pacaran ama aku, hidup kamu jadi getir dan memusingkan?", tanya
Jasmina sok marah. Devon mengangkat alisnya dan memberikan senyum tipis tak percaya. Yang benar
aja.

"Bukan loh ya, maksudnya aku tuh baru tau ternyata es coklat, milkshare coklat, coklat beneran yang
kamu gilai itu ternyata beneran enak, jadi aku tuh sekarang udah sukaaaa banget ama coklat", jawabnya
mantap.

"Sering dapet coklat donk", tanya Jasmina dengan cepat sambil menepuk pundak Devon. Maksudnya
gerakannya itu, agar cowok itu menjawab dengan refleks yang cepat.

"Ya ia lah", jawab Devon cepat tanpa berfikir. Namun kemudian ia merasa terjebak. Ya, pertanyaan
jebakan batman. Ia bersiap-siap, badai akan datang.
"Ooooooooo jadi itu kenapa kamu suka coklat sekarang ya. Ternyata ada supplier", protes Jasmina
sambil menjewer telingat kiri Devon dengan pelan. Itu masih peringatan. Devon tertawa ngakak. Ia
kembali memasukkan segerombolan kentang goreng ke dalam mulutnya.

"Pantesan kamu akhir-akhir ini susah di hubungi. Siapa yang ngasih? Siapa pemasok coklat-coklat kamu
itu?", tanyanya lagi sambil kembali menepuk pundak Devon.

"Suster ama adek-adek kelas”,jawab Devon refleks. Ia kemudian menepok jidatnya. Aduhhhh ini strategi
yang salah. Harusnya Jasmina aja yang nyupir. Ia bisa makan dengan tenang, dan sesi hipnoterapi abal-
abal ini bisa dia hindari. “ya, kadang keluarga pasien juga suka ngasi hihihi”, kata Devon lagi. Udah
keceplosan, ya udah sekalian aja jujur.

"Apaaaaa? Setelah aku harus menyingkirkan adik-adik kelas kamu itu, sekarang aku harus bersaing ama
suster yang kece-kece badai itu?", tanya Jasmina sambil pura-pura ngambek. Ia akhirnya memutuskan
untuk menggigit burger itu dengan gigitan yang super besar, sehingga pipinya sah sudah seperti burung
unta. Ia terlihat kesulitan mengunyahnya. Demi ego.

"Hahahaha kok kamu mau sih bersaing ama dia? AKu aja gak mau tuh", kata Devon asal sambil
menyerobot milkshake coklat itu dari tangan Jasmina dan meminumnya dengan penuh rasa menggoda.
Jasmina semakin geram melihatnya.

"Ya ngapain juga kamu bersaing ama mereka bambangggg Devon. Awas aja ya kalo aku periksa hape
kamu isinya WA dan pesan-pesan mesum dari cewek-cewek yaaa”, ancam Jasmina lagi. Devon hanya
tertawa. Ia harus mengingatkan dirinya untuk menghapus pesan-pesan WA dari para suster dan adik
kelasnya. Walau tidak satupun ada yang ia balas, tapi tetap saja, daripada bikin ribut sama Jasmina.

Ya, sudah lebih dari 2 tahun sejak mereka resmi jadian, tapi hubungan mereka mungkin masih seperti
anak SMA yang baru mulai pacaran. Karena pada dasarnya Jasmina juga tidak memiliki pengalaman
pacaran “yang benar”, begitu juga dengan Devon. Sehingga sekarang mereka seperti 2 teman dekat
yang memiliki perasaan yang sama. Walau ada sesi cemburu sini cemburu sana, tapi perasaan memiliki
mereka mungkin masih “di kulit-kulit” saja. Mungkin karena mereka terlalu nyaman menjadi teman
terlalu lama.
Dulu, Jasmina bisa dengan gambling menulis puisi, membuat kata-kata indah di pesan WA atau posting
sesuatu di media sosial tentang kak Miko. Begitu juga ketika ia “pacaran paksa” dengan Bagas. Ada
momen dimana ia dan Bagas memaksa untuk lebih bucin dan mengeksplor dan mengekspresikan
perasaan “cinta” secara berlebihan. Pangilan mesra, sikap romantis, postingan yang membuat iri, semua
hal yang diimpikan oleh #couplegoals. Walau semua itu palsu, tapi rasanya sungguh menyenangkan.
Bahkan di akhir momen itu, Jasmina benar-benar baper dan bucin. Tidak salah kan kalo perempuan itu
butuh perhatian dan perlakuan lebih?

Sekarang ketika akhirnya Jasmina memiliki pacar yang asli, terkadang ia bingung harus memulai dari
mana pacaran ini. Ia dan Devon sudah berteman akrab cukup lama, mereka bahkan bertetangga!
Dengan prilaku Devon yang anteng, kadang Jasmina tidak bisa membedakan apakah cowok itu nyaman
atau tidak perduli dengan “pacaran ala kadarnya” ini. Cukup telfonan seadanya, ketika berjumpa
ngobrol seperti biasa, dan berpisah seperti tidak ada kesan kangen atau tersiksa. Kadang ingin rasanya
Jasmina memohon kepada Devon agar ia lebih “sweet”. Tapi di satu sisi, Jasmina merasa tidak nyaman
bila harus melakukan “sweet stuffs” kepada Devon. Ia kuatir: pantaskah, Devon bakal risih kah, norak
kah, dan kah kah kah yang lain.

Hari ulang tahun, hari valentine, atau bahkan anniversary mereka, berlalu begitu saja. Di rayain sih, tapi
ya bareng-bareng dengan semua orang gitu. Entah itu di rumah Devon dengan keluarga besar
Burnwood, atau di rumah Jasmina dengan sang papa, kak Gading, kak Almira dan dedek bayi, atau
malah semuanya berkumpul entah itu makan di restoran. Entah itu aneh atau tidak, yang jelas Jasmina
belum merasa keberatan. Devon pun sepertinya tidak. Apakah iya? Apa iya mereka tidak butuh momen
berdua dengan mesra?

Memikirkannya lagi, sebenarnya Jasmina juga ingin meng-upgrade hubungan pacarannya dengan
Devon. Mereka tidak ingin terjebak dengan pacaran gaya SMA yang masih ngomongin sekitar makan
dimana, gimana sekolah, gimana kerjaan, ke mall mana, dan lain-lain. Makan malam romantis artinya,
pergi ke restoran yang rada sepi, makan steak yang enak, dan ngobrol tentang hal yang sama.

Momen intim mereka adalah… Ketika Jasmina mengantar Devon ke stasiun Gambir atau menjemputnya.
Mereka akan berpisah, dadah-dadahan, atau kalau lagi romantis banget, Devon mungkin akan
memeluknya beberapa detik. Mereka akan saling menatap, namun tidak ada kata-kata kangen yang
memilukan yang keluar dari bibir mereka. Kata-kata “aku bakal kangennn” pasti akan berujung “usahain
tidur di kereta”, atau “nyupir pulang jangan ngebut-ngebut”. Ketika akhirnya mereka benar-benar
terpisah, pasti ada perasaan yang menyiksa. Ada banyak kata yang ingin terucap, namun begitu susah
untuk disampaikan. Devon masih dengan dindingnya yang tinggi, sedangkan Jasmina ternyata masih
pemalu dan sungkanan. Hadeh… sampe lebaran kuda ya gak bakal kemana-mana…

“Udah sampe Jas”, usik Devon seakan memutus lamunan Jasmina. Gadis itu kelabakan.

“Eh iya bentar aku bukain pagar rumahku dulu”, kata Jasmina. Ia kemudian turun sambil menenteng
sepatu yang enggan ia pakai lagi. Ia membuka pagar yang memang tidak digembok, dan mendorongnya
begitu lebar agar Devon bisa memarkirkan mobil mungilnya di carport rumah Jasmina.

Ketika mobil itu sudah terparkir rapi, Jasmina kemudian menutup pintu pagar itu, menyisakan sekitar
semester agar Devon bisa keluar. Sudah terlalu malam, sebaiknya cowok itu pulang. Apalagi besok
adalah hari besar mereka. Devon keluar dari mobil, tepat ketika Jasmina menggeliatkan badannya ke
atas dan ke kiri dan ke kanan, sambil menguap lebar. Ia tidak menyadari Devon sedang
memperhatikannya.

“Capek banget buk?”, tanyanya usil sambil mendekati Jasmina. Gadis itu kontan menegangkan
badannya dengan sikap sempurna dan tersenyum kikuk. Ia malu dipergoki sedang mengulet-ulet badan.
Bagaimanapun, ia tetap harus menjaga image “sempurna” di depan Devon. Walau mereka sama-sama
tahu, itu tidaklah penting lagi. Devon mungkin mengenalnya seperti ia mengenal telapak tangannya
sendiri.

“Ih, si pak dokter ngagetin aja. Sono pulang. Istirahat!”, jawab Jasmina sambil mengayunkan sepatunya
ke arah rumah Devon, seakan mengusir cowok itu. Kemudian ia tersenyum jahil yang membuat Devon
berjalan lebih mendekatinya. Lebih dekat, lebih dekat lagi dan lagi. Jasmina kontan sangat risih dengan
sikap tiba-tiba cowok itu. “Apaan ni cowok, diusir malah deket kayak mau malak”, pikir Jasmina.

Tiba-tiba, Devon dengan gerakan yang sangat lambat, memegang salah satu tangan Jasmina yang
sedang tidak memegang sepatu. Ia tersenyum manis sambil menggosok punggung tangan itu. Akhirnya
dengan lengan lebarnya, ia memeluk tubuh Jasmina dengan lembut. Sikapnya kikuk namun berusaha
memantapkan perbuatannya. Semakin lama, semakin erat ia memeluk Jasmina. Saat ini hidung Devon
dapat mencium wangi rambut gadis itu, walau ia telah beraktifitas seharian. Rambut Jasmina selalu
harum stroberi.
Sebaliknya dengan Jasmina, ia tidak siap. Pada akhirnya ia menegangkan badannya menjadi selurus
lemper, dan membiarkan tubuhnya di peluk. Ia pejamkan matanya, menunggu seakan-akan ada hal luar
biasa yang akan terjadi. Walau sudah ratusan hari mereka bersama, momen seperti ini sangatlah jarang.
Kalaupun terjadi, selalu berakhir seperti ini. Ingin rasanya Jasmina membalas pelukan itu, tapi apa daya.
Tangan yang satu sedang memegang sepatu, dan tangan yang satu lagi terlalu tegang untuk bisa berbuat
apa-apa. Kenapa tidak bisa seperti di film romantis? Bahkan wanita yang sedang memegang panci dan
sutil saja mampu membalas pelukan suaminya. Suami??

“Siap untuk acara besok Jas?”, tanya Devon sambil belum melepaskan pelukannya. Jasmina masih
menutup matanya, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia mengangguk-angguk
dengan kecang berkali-kali, ingin memastikan Devon tau jawabannya. Ya, ia siap. Devon melepaskan
pelukannya dengan lembut dan menatap wajah Jasmina. Gadis itu masih menutup matanya, kali ini
dengan lebih kencang sampai kelopak-kelopak matanya berkerut. Wajahnya tentu saja sudah merah
merona. Devon tersenyum penuh kemenangan. Sesuatu yang selalu ia suka dari Jasmina. Rona malunya.

“Sampai besok Jas”, pamit Devon sambil berjalan mundur ke arah pagar. Ia melambai pelan. Jasmina
hanya bisa tersenyum kikuk. Ia berusaha mengangkat salah satu tangannya untuk melambai kecil, tapi
entah ia terlalu malu, grogi, atau serba salah, akhirnya tangan itu hanya naik sampai ke batas
pinggangnya saja. Tidak bisa dikatakan sebagai lambaian, lebih kepada usaha mengusir nyamuk. Sosok
tinggi besar itu hilang, dan ia yakin sudah memasuki pagar rumahnya sendiri.

“Bye Dev…”, Jasmina berkata pelan, dan ia yakin cowok itu tidak mendengarnya. Sesudah itu, ia tidak
habis-habisnya meruntuki dirinya. Selalu begini, momen romantis dan intim selalu berlalu begitu saja.
Selalu menjadi momen kikuk ala anak-anak SMP. Ya Tuhan mereka sudah berumur 23 tahun!

See you tomorrow…

BAB 82: Pernikahan: Akhirnya Hari Itu Tiba

Ruang serba guna di salah satu hotel berbintang 5 itu dihias begitu gemerlap pada malam ini. Nuansa
warna maroon dan gold begitu kentara di setiap dekorasi meja, pelaminan, bunga-bunga yang dirangkai
begitu indah di setiap sudut-sudut ruangan. Jalan menuju panggung di hias karpet merah maroon,
dimana di sepanjang jalannya di diapit oleh pilar-pilar kayu bercat emas, yang dibagian atasnya dirangkai
bunga-bunga mawar impor berwarna maroon. Sungguh suasana resepsi pernikahan yang megah.
Jasmina mengelus tubuhnya yang sudah langsing, dibalut oleh kebaya tile prancis berwarna merah
maroon. Kebaya indah itu khusus dibuat oleh salah satu designer kenamaan yang terkenal dengan
desain klasik dan penggunaan payet-payet jepang bertaburkan Kristal Swarovsky. Jasmina mengelus
rambutnya yang sudah di sanggul rapi di bagian atasnya, sedangkan ujung-ujung rambutnya di gelung
seperti spiral, dan disampirkan dengan anggun ke bagian depan tubuhnya. Tidak hanya baju, dan
rambut, bahkan make-upnya pun sempurna pada malam ini. Bibirnya yang jarang menggunakan warna
merah maroon, seakan membuat penampilannya malam ini menjadi begitu spesial.

Jasmina melirik ke arah samping kanannya. Seorang cowok gagah dan berwajah rupawan, berdiri kokoh
mengenakan jas hitam tuxedo. Rambutnya yang tidak pernah serapi ini, berkilau-kilau di terpa
pencahayaan gedung. Ia tau, cowok itu juga grogi. Beberapa kali Jasmina memergokinya meremas-
remas kedua tangannya sambil merapatkan bibir, seperti biasanya. Ketika ia menatap Jasmina, mata
mereka bertemu. Jasmina tersenyum manis, berusaha menenangkannya. Ingin rasanya ia menggenggam
tangan Devon, namun kedua tangannya sekarang sedang sibuk menggenggam sebuah buket bunga yang
berwarna merah maroon juga.

“In position semua! Ok dalam hitungan ketika, lagu Shania Twain-From this moment akan diputar. Ketika
lirik, From this momentttt, langsung jalan ya. Kaki kanan duluan. Liat tangan saya untuk aba-aba”, seru
sang wedding organizer (WO). Jasmina dan Devon mengangguk. Begitu juga dengan kedua orang tua
dari kedua belah pihak.

Intro lagu Shania Twain itu berkumandang, dan seluruh rombongan pengantin yang berdiri di pintu
gerbang gedung serba guna itu tampak tegang. Sebentar lagi prosesi sang pengantin memasuki gedung
menuju pelaminan akan di mulai. Ketika aba-aba dari sang WO sudah ada, belasan orang tersebut
berjalan pelan menuju pelaminan dengan senyum terkembang. Tampak tamu-tamu yang sudah hadir,
tak kuasa menatap rombongan itu dengan wajah penuh bahagia. Jasmina mampu melihat beberapa
teman yang berdiri dan melambai kepada mereka. Tak ayal membuat dirinya tambah grogi. Begitu juga
Devon.

Ketika akhirnya rombongan pengantin itu mendekati panggung, kedua orang tua dan sang pengantin
akhirnya berjalan ke tempat di kursi-kursi yang disiapkan dengan sangat indah di atas panggung. Nuansa
panggung berwarna maroon dengan tentu saja, ratusan bunga berwarna maroon dengan hiasan gold
dimana-mana. Ketika akhirnya semua sudah duduk rapi, sang MC langsung mempersilahkan tamu untuk
duduk di meja-muja bulat yang tersebar di seluruh ruang serba guna, tanda acara akan segera di mulai.
Jasmina dan Devon tersenyum lega. Jasmina menyerahkan buket bunga itu kepada Devon dan segera
mengambil walkie-talkie dari asistennya dan mulai memantau keadaan.
“Ok, pengantin sudah di atas panggung. Tim acara harap segera merapat ke belakang panggung.
Pastikan seluruh pengisi acara stanby! Tim acara STANDBY. Tim konsumsi, segera keliling dan pastiin
semua makanan sudah on set ya. Pasti sekarang pada mulai rame di prasmanan dan stall makanan.
Langsung segera diisi kembali walau baru habis setengah!”, Jasmina mulai memberi perintah sambil
melirik Devon yang sudah bisa bernafas lega sekarang. Mereka berdua akhirnya menatap panggung,
melihat Naga dan kak Tyas yang masih tampak tetap tegang. Malam besar sang pengantin.

“Kamu mau makan duluan gak? Aku sama Rania kayaknya masih harus muter-muter dulu mastiin semua
beres. Kamu duduk aja di meja pojokan itu tuh. Khusus WO sama pengiring pengantin disitu”, arah
Jasmina sambil menunjuk sebuah meja yang terletak di pojokan, di sambil area VVIP. Devon
mengangguk. Percuma mengekori gadis ini, karena walau ia berkebaya ketat dan memakai sepatu cantik
yang sepertinya menyiksa, ia akan tetap memantau pesta ini sampai. Orangtua kak Naga sengaja
menyewa Cecilia Adnan Event Organizer untuk acara ini. Padahal biasanya, perusahaan PR ini fokusnya
lebih ke acara korporat dan Brand building.

Kak Tyas tampak cantik bukan kepalang. Ia mengenakan kebaya brokat prancis berwarna gold dengan
songket berwarna merah maroon dengan hiasan emas. Tidak hanya itu, ia juga mengenakan ornament-
ornamen dan aksesoris khas pengantin Batak yang dipesan khusus, sehingga penampilannya begitu
mewah dan bercahaya. Kak Naga Bonar jangan ditanya, gagah luar biasa. Ia mengenakan jas hitam
dengan songket yang juga berwarna merah maroon. Di kepalanya, terdapat bulang Batak untuk laki-laki,
yang seakan menabalkannya menjadi raja yang gagah perkasa malam ini.

Sebagai keturunan Batak, sang papa bersikeras agar acara pernikahan pertama di keluarganya itu di
gelar dengan nuansa Batak yang kental namun juga modern. Musik-musik Batak mengalun, tarian tor-
tor di gelar, begitu juga dengan kata-kata sambutan dari tetua-tetua dan orang-orang yang
berpengaruh. Para pendukung acara dan panitia juga memakai pakaian khas Batak, termasuk Jasmina.
Hanya saja, setelah iring-iringan pengantin, ia melipat ulosnya dan memberikannya kepada Devon agar
bisa berlari-lari bebas mengawal acara.

“Fiuhh, akhirnya bisa makan sebentar nih”, kata Rania sambil mengambil posisi di samping kiri Devon
sang abang. Di depannya, sudah ada sepiring kecil lasagna dan jus apel. Jasmina yang juga butuh
istirahat, mengambil posisi di samping kanan Devon. Ia juga mengambil lasagna dan jus jeruk. Dengan
kemben dan kebaya yang menyesakkannya, ia memang tidak sanggup makan apa-apa lagi setelah ini.
“Gila ya, pestanya mewah banget!”, kata Rania lagi. Jasmina tersenyum lemas mendengarnya. Ia sedikit
kelelahan. Pesta sudah berlangsung selama 2 jam setelah prosesi iring-iringan, dan sepertinya tamu
masih belum sepenuhnya pulang. Musik-musik semakin hot dan beberapa tamu tampak berjoget di
depan panggung! Tarian tor-tor dengan iringan musik “Sinanggar Tulo” bolak balik diputar. Beberapa
tamu akan berdiri dan ikut berjoget sambil mengibas-ngibaskan uang yang akan mereka selipkan
diantara jari-jari para penari tor-tor. Tapi setidaknya panitia-panitia seperti Rania dan Jasmina bisa
istirahat sejenak sambil menyaksikan “hiburan itu”.

“Banyak cowok cakep Dev, kayaknya anak-anak yang papanya kuliah di Harvard, atau malah mungkin
lulusan sana tuh, temen-temen si Naga”, kata Rania lagi sambil tertawa penuh. Devon langsung
mementung kepala Rania dengan buket bunga kecil yang tadi dipegang Jasmina ketika iring-iringan.

“Awwww, hurts you knowww”, kata Rania lagi. Jasmina tertawa. Setelah hampir 5 tahun berteman,
akhirnya gadis itu mampu berbahasa Indonesia yang benar. Bukan EYD, karena gadis itu tidak berencana
untuk mempelajari bahasa Indonesia secara formal. Setelah lulus dari SMA Internasional, ia melanjutkan
kuliah di Australia. Namun ia sengaja tinggal bersama teman-teman dari Indonesia, agar ia tidak
kehilangan “identitas” sebagai orang Indonesia. Ketika 3,5 tahun disana, ia justru makin fasih berbahasa
Indonesia!

“Kalo mau, nanti aku minta kak Naga kenalin. Ntar aku bilang kamu lagi ngincer calon CEO atau pewaris
tahta hahahah”, kata Jasmina yang berhasil membuat Devon mendelik ke arah kedua gadis itu. Jasmina
dan Rania kontan tertawa. Membayangkan menjalani kisah bak di novel-novel romantis, membuat Rania
dan Jasmina tidak berhenti terbahak-bahak.

“Skalian donk, cari buat kamu juga Jas”, seloroh Rania lagi sambil melirik kea rah Devon. Cowok itu kesal
dengan adiknya, dan membuat ia sekali lagi mementung kepala Rania.

“AWWWW Devoonnnn, aku kan Cuma becanda!!”, kata Rania sambil meringis. Ia buru-buru membuka
kamera depan HP miliknya, untuk memastikan dandanan paripurna rambutnya tidak terganggu oleh
pentungan sang abang.

“Ganjen banget jadi cewek”, kata Devon.

“Apa itu ganjen Jas?”, tanya Rania. Ia belum sepenuhnya paham dengan kosakata bahasa Indonesia.
“Heemmm kayak naughty girl gitttuhh, kata Jasmina menjawab asal. Karena sesungguhnya ia juga
bingung mengartikannya dalam bahasa Inggris.

“Iyuuhhh Devon, aku bukan seperti itu. Enak aja. Makanyaaa cariin donk aku cowok yang menurut kamu
okee. Biar aku gak repot nyari. Kamu kira gampang wanita karir seperti kami ini mencari pasangan hahh?
Susah tauu, kita ini super sibuk dan super sukses. Jasmina mah enak, uda gak harus mikir dan nyari-nyari
lagi. Tinggal lompat pagar, ehh nemu deh. Nah aku?”, cerocos Rania.

“Noh, cariin Dev. Dokter ajaaaa dokterrrr”, kata Jasmina mengusulkan sambil mengedip matanya
berulang kali kea rah Rania. Rania kontan menggeleng.

“Gak mau, mau yang kayaaaa”, kata Rania sambil tertawa terbahak-bahak. Jasmina yang sedang minum
menjadi tersedak karena ingin ikutan tertawa. Devon berpura-pura tidak dengar. Setelah bertahun-
tahun berada di antara 2 gadis itu, ia tahu ia TIDAK AKAN PERNAH menang dengan argument apapun.
Seakan-akan Rania dan Jasmina selalu bersengkongkol untuk memojokkannya dengan cara yang usil.
Lebih baik ia diam.

“Eh Dev, kamu kok masih grogi sih? Acara udah mau selesai Bang, santaiiii santaaiiii, relax”, kata Rania
lagi sambil pura-pura mengelus punggung Devon yang tampak tegang. Cowok itu juga tidak tampak
makan terlalu banyak. Mungkin ia lelah?

“Kamu masih laper Dev?”, tanya Jasmina. Devon menggeleng namun ia tidak menatap Jasmina.
Tatapannya kosong kea rah tamu-tamu yang masih tetap bersemangat. Musik bernuansa Batak masih
terus mengalun. Kali ini lagu “Sai anju ma au”, yang terkenal sedih dan memilukan.

“Eh kenapa sih kalian udah bertahun-tahun bareng masihhh juga pangil Dav Dev Dav Dev Jas Jus Jas
Jus… panggil sayang donkkkk. Honeeyyy, Babyyyy…”, goda Rania dengan wajah mesum, yang sukses
membuat Jasmina dan Devon kikuk. Sangking kikuknya, Jasmina terbata-bata ingin membalas sindiran
Rania.

“Kan aku manggil biar spesifik. Ntar kalo aku panggil dia sayang, semua cowok pada noleh, gimana
donk?”, jawab Jasmina asal sambil memasukkan sedikit potongan lasagna ke mulutnya. Rania mendelik,
seakan ia menemukan celah untuk mencerca tetangganya itu.

“Jadi maksud kamu, semua cowok yang ada di gedung ini, udah pernah kamu panggil sayang???”, tanya
Rania dengan mengikik. Devon langsung memasang mata mendelik dengan becanda, dan memutar
lehernya bak robot ke arah Jasmina. Ia meminta penjelasan. Padahal ia tau itu Cuma becanda. Sekarang
mereka berdua malah bersengkongkol untuk menyudutkan Jasmina.

“Eh bukan gitttuuu. Maksudnya… kan panggilan sayang itu udah biasa. Kita juga gak biasa kok ya Dev.
Bener kan?”, Jasmina meminta dukungan Devon. Cowok itu menatap Jasmina dengan datar.
“Aku gak keberatan kok kalo kamu panggil aku sayang, atau baby, atau honey”, jawabnya masih dengan
ekspresi datar sambil melipat tangannya di dada bidangnya. Seakan-akan ia kesal karena selama ini
Jasmina enggan memanggilnya dengan mesra seperti itu. Jasmina panic. What??? Reaksi Devon
menimbulkan gelak tawa Rania. Hayooo Jasminaaa kok jawabannya gak kompak ama pacarnya.

“Lah, kenapa kamu gak ngomong dari kemaren kalo kamu suka dipanggil begitu? Lagian kamu juga,
kenapa gak manggil aku begitu duluan? Panggil cantik kek, manis kek, kesayangan kek, gak ada tuh
kamu panggil-panggil aku begitu”, kata Jasmina yang pura-pura emosi. Rania mulai menyantap pasta di
depannya dengan seru, karena ada tontonan pasangan yang sedang berantam seru. Andai ada popcorn,
pikirnya. Ini drama cinta sungguhan.

“Yang bilang kamu cantik siapa? Yang bilang kamu Manis siapa? Apalagi kesayangan? Panggilan itu harus
mesra, tapi juga….realistis”, jawab Devon lagi masih dengan ekspresi datar tapi jahil. Kelihatan dari
bibirnya yang mulai bergetar karena menahan tawa. Jasmina geram. Ia mencubit perut cowok itu yang
penuh otot. Ia yakin pasti sakit.

“Awwww awww awwww. Nah bener kan. Next time aku panggil kamu kepiting aja”, kata Devon sambil
tertawa ngikik diikuti oleh Rania. Jasmina menatap adik kakak itu dengan pandangan tidak percaya.
Abang dan adik, sama saja.

“Perhatian, perhatian. Sebentar lagi, pengantin wanita akan melemparkan buket bunga kepada para
lajang-lajang wanita yang ada di gedung ini. Harap para wanita single yang ada di ruangan ini, ayo
berkumpul di depan panggung sekitar 15 menit lagi”, begitu pengumuman dari MC.

“Jasmina! Kamu harus kesana!”, kata Rania sambil menggoyang-goyangkan punggung tangan Jasmina.
Gadis itu akhirnya bisa menyantap pasta dan jus dengan tenang. Kenapa ia harus mengorbankan waktu
istirahatnya yang sebentar ini untuk berebut bunga? Bahkan buket bunga itu, ia yang pesan!

“Konon, yang mendapat buket bunga ini, akan segera dilamar oleh pasangannya. Atau yang gak punya
pasangan kayak aku, ya langsung cepet dapat pasangan!”, kata Rania lagi. Namun akhirnya ucapannya
itu mengundang tatapan aneh Jasmina dan Rania ke arah Devon. Ya bagaimanapun, Jasmina kan sudah
punya pacar. Jadi kalau ia mendapatkan bunga itu, bukankah itu artinya ia sedikit memaksa hubungan
mereka untuk berjalan secepat jet menuju pernikahan? Padahal saat ini mereka seakan-akan belum
keluar gerbang SMA.
“Ya, kalo kamu dapet bunganya sekarang, bukan berarti minggu depan kamu kawin. Ya awetkan aja dulu
bunganya sampe waktu itu tiba. Simpan di lembaran buku lah, semprot hairspray ato masukin freezer
sekalian. Yang penting, samber dulu bunganya, kawin bisa nanti-nanti”, kata Rania.

“Hemmm…”, Rania menggumam sambil masih mengulum pasta di mulutnya. Ia masih menimbang-
nimbang. Sebenarnya ia lebih kuatir akan perasaan Devon sih. Ia tidak mau dianggap sebagai cewek
yang tidak sabaran. Kurang sabar apa Jasmina? Ia menunggu 4 tahun agar Devon mau meruntuhkan
dindingnya. Mitos yang belum tentu bener, tapi nanti malah bikin hubungan sama Devon keruh. Uda
sukur setelah 4 taon mereka akhirnya benar-benar jadian.

“Gimana Dev? Menurut kamu, kami harus rebutan bunga gak?”, tanya Rania jahil. Cowok itu
mengangkat bahunya dengan pelan.

“Mungkin lucu juga buat sosial media kalian. Nanti aku bantu videoin deh”, kata Devon diluar dugaan
mereka. Rania dan Jasmina langsung terpekik seperti mendapat ide brilian! Benar juga! Sosial Media! Ini
bakal jadi konten yang VIRAL!

“Ok hayuuu kita rebut. Bentar aku abisin ini dulu”, kata Jasmina. Rania bertepuk tangan dengan girang.
Akhirnya kedua gadis itu dan Devon mulai bergerak menuju dekat panggung. Devon sudah siap dengan
HP milik Rania di tangannya. Ia berjanji akan mendokumentasikan segalanya. Tidak diduga, ada begitu
banyak para perempuan single yang berkumpul di dekat panggung. Ini akan menjadi pertempuran yang
sengit, gumam Jasmina. Ia tidak menyangka, gerombolan itu selain single, juga gragas.

Alunan musik Batak yang semangat berkumandang, dan rombongan para single itu menarikan tor-tor
dengan gembira. Rania dan Jasmina pun turut dalam kemeriahan itu. Telapak tangan mereka diangkat
hampirsetinggi ketiak, dan mereka gerakkan ke atas dan kebawah, dengan jari-jari sedikit terbuka. Tapi
kok tidak seperti sesi tor-tor yang tadi, ketika banyak tamu muncul ke depan untuk menyematkan uang
seratus ribuan ya? Hihihi

Ketika akhirnya kak Tyas berdiri dan menuju bibir panggung, sorak sorak bergema dari para wanita-
wanita lajang itu. Mereka mulai berdempet ria, merapat kea rah panggung, memohon kepada sang
pengantin untuk memberikan mereka sumbanagn… Eh maksudnya sang bunga keberuntungan. Kak Tyas
tampak mengayun-ayunkan buket bunga itu, seperti mengayun-ayunkan daging ke puluhan singa lapar.
“Kasih aku kakkk kasih aku kak. Uda 40 umurku, belom juga aku kawin kak! Urgent aku kak!”, seloroh
salah satu wanita lajang itu. Jasmina tertawa ngakak. Ia mengenalinya sebagai salah satu tante kak Naga
Bonar, yang memang terkenal sangat kocak namun hangat. Begitu-begitu, ia salah satu Direktur di salah
satu perusahaan keluarga milik keluarga besar kak Naga Bonar.

“Jangan kasih dia kak. Walau udah tua, banyak kali pacarnya kak. Aku aja kak, belon pernah aku
bepacar!”, pinta salah satu wanita single yang umurnya mungkin masih di awal 20 tahun. Jasmina
mengenalinya sebagai salah satu sepupu kak Naga Bonar. Ponakan sang direktur tadi. Tubuhnya tinggi
dan sangat kurus, dan ia tampak melayang di himpit-himpit oleh “para pemburu bunga” yang lain.

Jasmina dan Rania tidak mampu menahan tawa mereka akibat seloroh-seloroh lucu dari pada wanita
single yang mulai terlihat seperti penonton music rock yang berhimpit-himpit dengan tangan di atas
kepala mereka, bersiap menerima kaos berkeringat sang vokalis (kalau disini, ya si buket bunga itu).
Mereka melompat-lompat walau memakai songket atau rok panjang yang ketat menyiksa, lengkap
dengan sandal hak tinggi. Kak Tyas tertawa tanpa iba. Ia malah lebih mengibas-ngibaskan buket bunga
besar berwarna merah maroon dengan hiasan gold itu di atas kepalanya, berpura-pura akan melempar,
yang membuat mereka semangkin menggila. Devon masih terus merekam kerumunan yang sangat
antusias itu.

“Satuuuuu…. Duaaa….. tigaaaaa!”, seru sang MC. Buket bunga itu diterbangkan setinggi-tinggi dan
sejauh mungkin, dan kontan terjadi pertumpahan darah eh maksudnya pertumpahan dandanan para
wanita itu demi sebuket bunga yang sudah tercampai ke arah tak menentu. Pencahayaan yang
menyorot mereka, membuat mata-mata mereka silau ketika melihat ke atas. Hal itu membuat mereka
kelimpungan mencari jejak sang bunga yang ternyata sudah terlempat sampai 6 meter dari ujung
panggung. Sang pemburu malah lari berpencar ke segala arah karena seperti kehilangan jejak sang buket
karena silau. Apa kak Tyas ini exkulnya lempar lembing?

Rania dan Jasmina tidak jadi mengikuti para rombongan berlari menjauhi panggung. Mereka
memutuskan untuk tidak ikut terhimpit dan jatuh terjengkang sementara ada sebuah kamera yang
menyoroti acara itu. Oh tidak. Mereka harus lebih menyelamatkan image mereka. Apalagi saat ini Devon
masih menyorot dengan HP milik Rania. Akhirnya sang tante berusia 40 yang mendapat buket bunga itu.
Sang direktur berteriak kegirangan dan mulai berselfie ria bersama “para pejuang” lainnya.
“Jasmina! Tangkap!”, tiba-tiba kak Tyas melemparkan sebuah buket bunga berwarna maroon dan gold
ke arah Jasmina yang ternyata berdiri sendiri di depan panggung! Jasmina dengan refleks yang bagus,
menangkap bunga itu. Kok? Buket bunganya ada 2? Jasmina berusaha untuk menganalisa keadaan. Ia
refleks mencari HT. Nihil. Mencari Rania. Gadis itu ternyata mendekati Devon sang abang, dan
mengambil HP miliknya, menggantikan cowok itu untuk tetap menyorot Jasmina yang saat ini sedang
menggendong buket bunga dari kak Tyas.

“Kak Tyas, ini buat aku?”, tanya Jasmina sambil menatap kak Tyas yang berdiri di ujung panggung.
Mereka saling menatap. Tiba-tiba sang MC memberikan sebuah mikrofon kepada kak Tyas.

“Jasmina, hari ini tidak akan pernah terjadi tanpa bantuan kamu sayang. Aku dan Naga ingin
mengucapkan terima kasih karena telah… menyatukan kami. Sekarang, giliran aku untuk ngebuat kamu
bahagia….”, jawab kak Tyas. Jasmina memeluk buket bunga di dadanya. Ya, ia bahagia karena di
apresiasi begitu tinggi di depan begitu banyak orang. Bukankah agak sedikit berlebihan? Apalah apalah,
yang penting Jasmina sekarang mendapat sebuah buket. Kalo mau apresiasi lebih lagi, ada sepatu yang
ingin Jasmina beli sebenarnya. Itu saja kenapa? Daripada ia menjadi pusat perhatian seperti ini. Apalagi
lampu tiba-tiba menyorot ke tubuh langsingnya.

Ketika Jasmina ingin menunjukkan buket itu kepada Devon dan Rania, ia melihat saat ini bahkan cowok
itu sedang menggenggam sebuah mikrofon. APA? UNTUK APA DIA MENGGENGGAM SEBUAH
MIKROFON? Devon bahkan bukan bagian dari tim acara! Dengan kekikukannya yang luar biasa, apa yang
bisa ia katakannya di ACARA SEBESAR INI!

“Jasmina… aku minta waktu kamu sebentar, boleh…”, kata Devon sambil memegang mikrofon itu
dengan begitu erat. Tangannya sampai memutih sempurna. Kontan para rombongan wanita single yang
tadinya sudah bergelimpangan karena jatuh, berdiri dan mulai menyoraki.

“Suiittt suiiitttt”, kata mereka.

“Setelah bertahun-tahun kita bersama, aku merasa, kamu adalah seorang teman, sahabat, adik, pacar,
dan wanita yang sangat spesial untukku…”, katanya lagi. Jasmina terkejut, dan kakinya mulai bergetar. Ia
sering melihat adegan-adegan seperti ini di youtube atau instagram. Sepertinya, ini adalah cara
seseorang untuk…
“AWWW SWETTT SWEEETTTT”, Penonton mulai menggila…

“Kita sudah melalui banyak hal yang indah, hal sedih, dan kita sering berjuang bersama. Kita melewati
jarak dan waktu, melewati banyak perdebatan dan masalah bersama-sama…”, katanya lagi, sambil
berjalan semeter lebih dekat ke Jasmina. Penonton mulai lebih riuh lagi. Rania terus saja menyorot
mereka, begitu juga dengan kamera besar yang seharusnya hanya menyorot pengantin dan acara!

“Setiap hari aku semakin yakin, tidak ada orang lain yang ingin aku miliki, yang akan mendampingiku di
masa depan. Hanya kamu Jamina Winata…”, kata Devon lagi. Ia berjalan dengan pelan semeter lagi lebih
dekat ke Jasmina. Saat ini jarak mereka hanya terpaut 2 meter. Bedanya, kali ini Devon merogoh
kantong celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak beludru warna merah maroon! Ia membukanya,
dan ada sebuah cincin yang indah di dalamnya. Itu… itu… seperti sebuah cincin…

“Jasmina, will you marry me in the future?”, kata Devon tiba-tiba, yang sukses membuat Jantung
Jasmina berenti berdetak sebentar dan Paru-parunya mengembang maksimal sehingga ia sulit bernafas!
Apa ini? Apa ini? Kenapa Devon tiba-tiba seperti ini?

“OOOOwww Kereeenn!! Suittt suittttt”, penonton mulai bertepuk tangan dan menyoraki mereka
berdua. Dada Jasmina bergemuruh hebat. Kakinya yang sudah lebih karena hak 7cm itu, rasanya lumer
seperti pudding sutera. Tapi ia tahu, ia tidak boleh ambruk sekarang. Terlalu banyak kamera, terlalu
banyak orang, dan momen ini mungkin hanya terjadi 100 tahun sekali…

Cowok itu lantas berlutut dengan satu kakinya, dan menyerahkan cincin itu ke arah Jasmina, seakan-
akan ia sedang menunggu penghakiman yang luar biasa! cincin itu seakan melayang, berada di antara
kepala Devon yang tertunduk, dan tangan Jasmina yang sedang memeluk buket bunga. Penonton
bersorak sorai dengan gembira. Untung saja tamu-tamu agung dan pejabat penting sudah pulang.
Tinggal keluarga dan panitia yang tersisa dan menyaksikan pemandangan yang tidak biasa ini.

“Terima! Terima Terima!”,begitu sorak sorai para pentonton.

Hati Jasmina langsung tidak keruan. Ini momen pertama ia dilamar oleh seseorang. Kenapa
pengalamannya harus melibatkan ruangan yang begitu luas, orang yang begitu banyak, dan suasana
yang benar-benar menegangkan? Ide siapa ini? Jasmina akhirnya bisa menarik satu nafasnya, yang
akhirnya melelehkan air matanya. Ia menatap Devon yang saat ini sedang berlutut di hadapannya sambil
menundukkan wajahnya. ”Oh Devon, kamu tidak saja baru meruntuhkan dinding tebal yang selama ini
menutupi kita berdua, tapi kamu seakan mengalirkan sungai arum jeram yang berhasil meluruhkan dan
mencabik-cabik perasaan senang ini. Aku harus gimana”, gumam Jasmina dalam hati. Bila mereka saat
ini sedang berdua, ingin rasanya Jasmina puas menjewer dan mencubit cowok itu, dan mengatakannya
ngawurr ngawurr ngawur. Tapi kalau sudah begini…

Ketika cowok itu menatap mata Jasmina, gadis itu melihat ketulusan di balik pandangan buram karena
air matanya. “Devon…sejak kapan kamu bisa semanis ini? Apakah ini benar-benar Devon?”, gumam
Jasmina lagi dalam hati. Tapi hatinya berkata, ia tidak memungkiri bahwa ia benar-benar bahagia. Ya, ia
juga tidak bisa melihat ada sosok lain yang ingin ia genggam di masa depannya. Hanya Devon. Hari ini,
besok, dan semoga selalu dan selamanya.

“Ya Devon. I will marry you in the future”, Kata Jasmina pelan tapi mantap. Suaranya memang tanpa
mikrofon. Tapi ekspresi dan bibirnya mengisyaratkan kalau ia menerima pinangan Devon, ekspresi yang
di tangkap oleh sang MC

“Diterima! SHE SAID YES!”, kata sang MC yang sukses membuat satu ruangan itu bersorak-sorai bahagia.

Devon yang sejak tadi merasa di ujung tanduk, terpaku menatap mata Jasmina. Ia mencari-cari
pembenaran dan konfirmasi atas teriakan penonton. Jasmina menatapnya tanpa berkedip dan
mengangguk-angguk berkali-kali dengan senyuman manis. Devon kontan berdiri, mengambil cincin dari
kotak kecil itu dan menyematkannya di jari manis kiri Jasmina. Matanya belum berani menatap mata
Jasmina, karena saat ini pun tangan besar Devon sedang bergetar hebat. Beberapa butir keringan
tampak membasahi dahi putihnya. Bibirnya biru dan terus menerus ia gigit dari dalam. Devon pasti
sangat tersiksa! Tersiksa karena grogi dan terlalu bahagia!

“Devon… thank you”, kata Jasmina sambil masih terisak pelan. Devon menjadi lebih tenang dan
menatap gadis yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun.

“Kenapa… kok bisa… Ah Devon this is the sweetest thing…”, akhirnya Jasmina berucap grogi. Devon
memasukkan kota cincin itu, dan memeluk Jasmina dengan lembut. Para penonton semakin menggila.
Tiba-tiba band pernikahan itu menyanyikan sebuah lagu dari Kahitna yang berjudul “sepasang merpati”,
yang sukses membuat suasana lebih baper…
“Terimakasih kau terima pertunangan indah ini

Bahagia meski mungkin tak sebebas merpati

Dan kubertanya maukah kau terima?

Pinangan tanpa sisa cinta yang lain

Rona bahagia perpancar dari anggukan

Saat kupasangkan pasang cincin di jemari

Terimakasih kau terima pertunangan indah ini

Bahagia meski mungkin tak sebebas merpati

Saat kupasangkan pasang cincin di jemari

Terimakasih kau terima pertunangan indah ini

Bahagia meski mungkin tak sebebas merpati”

BAB 82: Ada Apa Dengan Devon?

Beberapa hari sebelum acara pernikahan Naga Bonar dan Tyas…

Devon dan beberapa rekan di kelompok koas sedang berdiri tegak tanpa dengan menatap salah satu
keluarga pasien yang berada di ruangan VIP rumah sakit pemerintah di kota Bandung itu. Ruangan VIP
yang luas dengan interior ruangan yang cukup kuno, seakan membuat suasana begitu angker. Hanya
suara AC yang sepertinya sudah lama, menderu agak keras sehingga bisa mengisi kekosongan ruang
yang sunyi itu. Sunyi setelah isakan tangis keluarga pasien itu terhenti setelah sang pasien
menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Keluarga pasien itu hanya 1 orang. Hanya satu orang yang telah setia menungguinya selama satu minggu
terakhir. Wanita yang Devon taksir berusia sekitar 40an itu selalu setia pagi siang dan malam menunggui
pasangannya itu. Pasien penyakit jantung dan paru-paru basah itu sebenarnya kondisinya mulai
membaik, karena itu ia bukan pasien ICU. Hanya perlu pemulihan setelah operasi jantung. Namun 2 hari
terakhir, kondisinya diperparah oleh paru-paru basah yang cukup tiba-tiba. Kondisinya langsung
menurun drastis, dan beliau meninggal tenang dalam keadaan tidur. Suster baru menyadarinya ketika
memeriksa pasien pada pukul 3 pagi, namun semua sudah terlambat. Sang wanita yang terbangun oleh
huru-hara di dini hari itu, tampak sangat terpukul.

Sejak dinyatakan meninggal, keluarga pasien meminta agar diberi waktu beberapa jam agar ia bisa
duduk dan mencerna semuanya, sambil memandangi lelaki tampan yang sudah tidak bernyawa itu.
Untung saja asisten sang wanita sigap dan mengurus segala urusan administrasi rumah sakit dan proses
pemakanan sang pria yang akan berlangsung beberapa jam lagi. Semua sudah beres. Ijinkanlah ia
berpamitan sebentar di kamar yang sudah mereka huni dalam sepekan ini.

“Dia meninggal dengan tenang kan?”, tanya sang wanita yang ternyata bernama Bu Laras kepada Devon
dan rekan-rekan di tim koasnya. Mereka ditugaskan untuk menemani sang wanita sampai tiba waktu
ambulans menjemputnya untuk proses pemakaman.

“Iya bu, tenang sekali seperti tidur. Insya Allah beliau tidak merasakan sakit apapun”, kata salah satu
rekan Devon mencoba menghibur sang ibu.

“Syukurlah, sejak dulu, cowok ini gak tahan sakit. Badannya saja yang kekar, tatonya banyak. Tapi kalo
disuntik, bisa ketakutan setengah mati!”, kata sang ibu dengan senyum yang lirih.

“Mau operasi kemaren saja, syaratnya banyak banget… hadehh…”, katanya lagi sambil tersenyum lebih
mengembang. Tanyannya mengelus-elus sang almarhum dengan lembut. Mereka begitu saling
mencintai, sampai maut memisahkan mereka.

“Luar biasa ya bu, perjuangan kalian berdua. Cinta yang abadi. Saya iri bu”, kata salah satu rekan wanita
Devon yang terkenal paling baper dan bucin. Sang ibu tersenyum manis ke arahnya. Ia mengangguk.

“Ya, dia memang cinta abadi saya. Andaikan kami sempat menikah…”, katanya lirih yang disambut oleh
rasa kaget luar biasa dari Devon dan rekan-rekannya. Sang ibu sudah menduga, kalau reaksi para calon
dokter itu akan terkejut seperti itu.
“Kaget ya? Iya, saya sama Aa Bima tidak pernah menikah. Kami bersahabat sejak SMP dan SMA. Selalu
satu sekolah, dan kami juga tinggal di tempat yang berdekatan. Hubungan kami udah seperti kakak dan
adik yang selalu kompak. Dimana ada Bima, selalu ada aku. Dimana ada aku, Bima selalu mengekori.
Temen-temen selalu menjodohkan kami. Tapi kami pikir, ahhh yang bener aja. Udah kayak saudara ini”,
katanya memulai cerita sedihnya. Devon dan rekan-rekannya mendengarkan dengan seksama. Mereka
tau, cerita setelah ini pasti lebih memilukan.

“Ketika lulus SMA, orangtuaku mengirimku sekolah ke singapur, sedang Aa Bima kuliah di ITB sini. Dia
selalu ingin jadi arsitek, sedangkan aku selalu ingin menjadi designer. Ketika aku berpisah, baru aku
menyadari kalau aku rindu sama dia, dan mungkin juga suka. Berkali-kali aku berusaha untuk menjalin
hubungan dengan orang lain, tapi pikiranku selalu ke Aa Bima. Tapi yang aku denger malah, dia jadi
inceran cewek-cewek di ITB, dan hahahahah dia justru bolak-balik ganti pacar”, katanya lagi.

“Trus ibu nyatain gak? Maksudnya, apa ibu akhirnya ngaku sama beliau kalo ibu sebenarnya suka sama
dia?”, tanya rekan Devon yang baper tadi. Ia seperti seorang fanatic Novel yang tidak sabar menunggu
cerita berikutnya.

“Ya enggak donk, gengsi waktu itu. Aku malah akhirnya berantem sama dia dan benci banget. Hobinya
gonta-ganti pacar mulu, sedangkan waktu itu aku malah menghindari cowok-cowok yang deketin aku.
Aku sebenarnya berharap sih, aku di deketin juga dengan Aa Bima dan dijadiin pacarnya. Walau Cuma
sebentar aja”, jawabnya lirih.

Devon jadi teringat akan Jasmina yang menghiba-hiba agar dijadikan pacar sementara kak Miko. Masa-
masa di mana Jasmina berharap bisa bertahta di hati kak Miko walau Cuma sekedar, seakan sekedar
menghapus rasa penasaran saja. Toh akhirnya Miko menyukai Jasmina, syukurnya di saat yang tidak
tepat. Di saat Jasmina sudah berlabuh ke hati yang lain. Hati Bagas, hati Devon, ah entahlah yang jelas
syukurlah perasaan mereka akhirnya tidak bersatu.

“Akhirnya ketika lulus kuliah, aku menerima pinangan orang yang dijodohkan oleh kedua orangtuaku.
Padahal saat itu kalau saja Aa Bima melamarku, orangtuaku pasti sangat setuju. Karena mereka sudah
mengenal Aa seperti mengenal anaknya sendiri. Tapi cowok itu tidak kunjung melamarku. Jadi harus
gimana donk? Jangankan melamar, mendekatiku lebih dari seorang teman saja tidak. Ya sudah aku
harus move on kan?”, tanyanya dengan senyum lemas dan masih mengelus pungung tangan sang
almarhum.
“Ternyata setelah aku menikah, aku baru mengetahui kalau Aa itu sebenarnya menyukaiku. Selalu
menyukaiku malah. Tapi ia kuatir akan menodai hubungan persahabatan kami yang sudah terlalu lama.
Ia kuatir hubungan kami akan kikuk bila ada percikan-percikan asmara di antara kami. Ia sama sekali
tidak menyangka kalau sebenarnya aku juga suka sama dia. Akhirnya malah setelah aku menikah, ia
memutuskan pacarnya, dan selalu sendiri sampai beberapa bulan yang lalu…”, kata sang ibu kembali
meneruskan ceritanya.

Sekarang air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia seka berkali-kali dengan satu tangannya. Devon
dengan sigap memberikan sang ibu sekotak tisu dengan logo rumah sakit. Sang ibu berterima kasih.

“Perkawinanku tidak bahagia, walaupun suamiku baik sekali. Kadang aku suka mencari tau tentang Aa,
tapi terlalu gengsi untuk berhubungan lagi dengannya. Dia tidak pernah menikah, bahkan pacaran lagi.
Aa Bima jadi gila kerja, walau sukses, dia kesepian dan jadi mudah sakit. Aku prihatin, tapi aku ga bisa
mendekat. Aku perempuan bersuami”, katanya sambil terisak.

“Beberapa bulan yang lalu, suami saya meninggal karena kecelakaan di pabrik. Kejadiannya tiba-tiba,
aku sempet shock. Syukurlah anak-anak sudah cukup besar dan membantu menenangkan saya. Salah
satu dukungan mereka adalah, justru membawa Aa Bima ke hadapan saya. Kami jadi berhubungan baik
lagi.”, kata sang ibu yang saat ini isakannya mulai berhenti.

“Aa mulai menyatakan cintanya yang terpendam sejak SMA, dan aku juga entah kenapa jadi berani
mengutarakan kekesalan aku karena menunggunya terlalu lama. Ternyata ego, gengsi, malu, sungkan,
kadang itu semua gak penting dan gak perlu dalam hal perasaan. Kita bisa kehilangan momen penting.”,
katanya lagi.

“Ketika Aa akan menjalani operasi jantung, ia sudah melamarku, dan kami berjanji akan melangsungkan
pernikahan sederhana begitu ia keluar dari tempat ini. Yah, sekarang kami akan meninggalkan tempat
ini, tapi Aa sudah tidak sakit lagi… tapi juga sudah tidak bisa menemani aku lagi…”, katanya mulai terisak
lagi. Salah satu rekan wanita Devon mulai memeluk pundaknya yang bergetar hebat menahan tangis.
“Aku bilang, Aa sih, telat mulu. Coba kalo dari dulu bilang suka sama aku, bilang mau kawin sama aku,
mungkin anak kita udah 5 Aa,udah pada gede-gede juga. Sekarang udah tua begini, mana bisa Aa punya
anak lagi sama aku”, katanya lagi sambil menggenggam tangan almarhum dengan lembut.

“Makanya kalian ya, kalo sekarang punya pacar dan uda rencana mau ngabisin waktu bersama-sama,
cepet-cepet ditentuin tanggalnya. Kalian yang belum punya pasangan, uda seumur ini, coba diliat dari
temen-temen karib, ada yang bisa nyangkut gak? Ngapain jauh-jauh nyari jodoh, kalo tentangga aja
ternyata lebih cocok jadi pasangan”, kata sang ibu, yang membuat perut Devon seakan tertonjok kuat.

“Gak usah gengsi, gak usah malu, jangan terlambat! Kalo rasanya sudah pas, sikat aja! Setiap pasangan
pasti ada masalah, ada ketakutan, tapi jangan ngebikin kita jadi orang bego karena kehilangan pasangan.
Tuhan bisa mengambil mereka kapan saja, tanpa aba-aba”, katanya lagi sambil memandang Devon dan
rekan-rekannya. Mereka semua tertunduk sedih. Sang Ibu benar, jangan sampai terlambat.

Sepanjam 4 jam perjalanan di kereta, Devon tidak sanggup memikirkan hal lain selain percakapan sang
ibu di ruang VIP tersebut. Ia memandang ke jendela dengan tatapan kosong, seakan pohon-pohon yang
tertiup angin itu adalah sebuah film tentang Jasmina. Adegan demi adegan Jasmina dan Devon sejak
mereka duduk di kelas 10 seakan terus berputar-putar di balik pohon, awan, jembatan dan gedung-
gedung yang dilewati kereta api menuju Jakarta tersebut.

Ya, ia dan Jasmina sudah berteman cukup lama, walau tidak selama bu Laras dan pak Bima. Namun
hubungan Devon dan Jasmina sudah melalui banyak hal. Jasmina yang bolak balik patah hati,
transformasi gadis itu dari seorang gadis “insecure” menjadi seorang wanita hebat, sampai perjuangan
Jasmina yang kerja sambil kuliah dengan begitu gigihnya. Devon menyaksikan semuanya dan selalu
mendukung gadis itu seperti biasanya.

Dan pertanyaan yang paling penting adalah… Kenapa Devon sampai menunggu waktu 4 tahun untuk
menyatakan cintanya kepada Jasmina? Walau Devon berhati emas, ia juga adalah seorang laki-laki yang
egois. Ia tidak mau berada di hati Jasmina yang masi memiliki akar-akar dan carut-marut perasaan
dengan cowok-cowok lain. Ia ingin serpihan-serpihan perasaan Jasmina untuk kak Miko dan Bagas,
sudah hilang tanpa bekas di hatinya. Ia ingin Jasmina hanya mengosongkan ruang itu untuk Devon.
Ketika ia yakin Jasmina cukup “steril”, baru deh ia resmikan.
Tapi setelah itu, tidak ada banyak yang berubah. Mereka tetap menjalankan hubungan nyaman “Jasmina
Devon”, yang memang selalu dekat, layaknya sahabat. Setidaknya setelah jadian, sudah berkurang
orang-orang yang ingin mengganggu mereka.

Tapi mendengar cerita bu Laras, Devon jadi berfikir begitu keras. Bagaimana bila Jasmina sudah bosan
dengan hubungan yang ini-ini saja? Jujur memang Devon sangat beruntung jatuh cinta pada temannya
sendiri, sehingga hubungan mereka begitu nyaman. Tapi tidak dipungkiri bahwa bagaimana pun ia juga
laki-laki normal, ada kalanya ia ingin melampiaskan rasa sayangnya yang sudah meluber-luber di dalam
hatinya sampai gadis itu remuk. Tapi kadang ia kuatir, bagaimana bila hal itu akan membuat kekikukan
diantara mereka?

Terkadang ingin rasanya Devon mengurung gadis itu hanya untuknya, agar para senior-senior
kampusnya dulu dan cowok-cowok di kantor Jasmina tidak mendekatinya lagi. Bagaimanapun Devon
adalah cowok normal, penuh dengan rasa cemburu. Tapi apa daya, sudah lebih dari 4 tahun ini mereka
tinggal di kota yang berbeda dengan kesibukan yang luar biasa. Devon menyukai Jasmina yang pintar
dan aktif, dan Devon merasa, Jasmina juga menyukainya karena dedikasinya pada pendidikannya, pada
keinginannya yang cepat-cepat ingin menjadi dokter.

Devon sudah memantapkan hatinya. Ia tidak ingin Jasmina meragukan kesungguhannya, walau ia sudah
pernah menunjukkannya dengan cara terjun ke jurang. Ia juga sudah yakin bahwa gadis itu sepertinya
ingin hidup bersama dengannya sampai akhir. Benarkah mereka adalah pasangan eternal love? Sebelum
ke stasiun, Devon menyempatkan diri untuk memilih cincin yang akan menjadi symbol kesungguhannya.
Selama perjalanan kereta, ia genggam kotak belundru itu seakan-akan ia sedang menggenggam hatinya.
Memantapkan niatnya.

Ketika Devon turun dari peron, ia berusaha mencari gadis yang selama ini bertahta di hatinya. Jasmina
Winata. Tidak perlu waktu lama untuk menemukannya, karena aura gadis itu seakan bersinar hanya
untuk mata Devon, bahkan dari kejauhan. Gadis itu sedang bersandar di salah satu tiang stasiun sambil
terus menyeruput es coklat yang selalu ia beli dalam setiap kesempatan.

Tubuhnya tinggi dengan bentuk badan bak gitar, rambutnya yang hitam legam tampak bersinar dengan
pencahayaan stasiun, dan wajah lelahnya yang tetap menunjukkan kecantikannya. Casing gadis itu
mungkin berubah banyak sejak SMA, tapi hatinya tetap seperti dulu. Riang, lugu dan penuh kasih
sayang. Hati yang telah meluruhkan dinding-dinding hati Devon yang dingin.
“Jasmina aku kangen banget sama kamu! Sudah 3 hari aku gak bisa tidur mikirin kamu dan hubungan
kita. Boleh aku peluk kamu sebentar?”, begitulah kira-kira yang ingin Devon katakana ketika melihat
sosok Jasmina dari samping. Alih-alih mengatakan seperti itu, ia malah berkata: "Kalau nyender tuh di
pundak, jangan di tiang bangunan. Nanti stasiun ini roboh!"

Ketika Jasmina berputar dan akhirnya mereka saling menatap, Kaki Devon terpaku seakan menempel
kuat bak kaki gajah. Belum pernah ia segugup itu. Bukankah sebuah pelukan bisa melumerkan suasana
canggung seperti ini? Tapi Devon tidak kunjung merentangkan lengan lebarnya untuk Jasmina.
Tepatnya, ia tidak tau harus berbuat apa sekarang. Untung saja gadis itu segera mengambil aba-aba
untuk mengikutinya ke tempat parkiran mobil.

Ketika akhirnya Devon mengantar Jasmina pulang, ingin rasanya ia mulai mencurahkan apa yang selama
4 jam berputar-putar di kepalanya. Tapi hari sudah malam, Jasmina kelihatannya sedang kelelahan, dan
besok adalah acara yang sangat penting. Devon tau, begitu ia membuka mulut soal itu, akan butuh
waktu berjam-jam untuk membahasnya. Ia butuh tenaga ahli tambahan.

Ketika ia mengutarakan kepada Rania tentang niatnya untuk melamar Jasmina, gadis itu malah
memberikan ide gila untuk melamar di acara resepsi pernikahan kak Tyas. Rania langsung menghubungi
kak Tyas dan tentu saja, semua mendukung berat rencana ini. Buket bunga identik segera di pesan,
instruksi kepada MC langsung disampaikan, sampai “susunan acara” khusus itu di susun dengan apik
oleh Rania. Ia sebenarnya sudah tidak sabar melihat perkembangan hubungan abangnya dan Jasmina
yang masih malu-malu kucing itu. Padahal ia sudah tidak sabar ingin memiliki ponakan!

Ketika acara rebutan bunga itu akan dimulai, langkah Devon begitu berat karena kakinya tidak berhenti
bergetar. Perasaan ini lebih hebat dari pertandingan basket yang tersisa hanya 30 detik, sementara bola
ada di tangan Devon, dan ia diharapkan untuk mencetak 2 angka dengan memasukkan bola basket ke
ring. Sukur-sukur bisa 3 angka dengan melempar dari jarak yang jauh. Matanya berkunang-kunang, tapi
ia tidak bisa mundur. Ia melihat sekilas ke sekeliling gedung yang masih dipenuhi oleh keluarga
mempelai dan para panitia yang jumlahnya ada seratusan.

Aba-abanya adalah, ketika buket bunga pertama di lempar, Devon harus bersiap-siap menyerahkan HP
Rania kembali ke tangan gadis itu, agar ia bisa menyorot kegiatan “lamaran dadakan” itu. Begitu benar si
buket terlempar jauh, seakan-akan ada tayangan slow motion dimana semua mata berusaha melawan
silau untuk melacak keberadaan bunga itu. Tapi tidak dengan Devon, ia terus menatap Jasmina dan Kka
Tyas secara bergantian. Dan benar saja, asisten sang MC membawa bunga identik ke tangan kak Tyas,
dan itu merupakan aba-aba kedua. Kak Tyas menatap Devon dengan penuh arti, dan memberikan
jempolnya tanda mendukung. Atau tanda Devon harus kuat, harus sabar, dan jangan grogi. Semacam
itulah.

“Jasmina! Tangkap!”, tiba-tiba kak Tyas melemparkan sebuah buket bunga berwarna maroon dan gold
ke arah Jasmina. Saat itu juga secara bersamaan, kak Tyas menerima mikrofon dari sang MC, sedangkan
Devon menerima mikrofon dari salah satu panitia. Ini dia saatnya, gumam Devon dengan hati
mengkerut.

Ketika kata-kata yang sudah di hafal mati oleh Devon semalaman meluncur kaku dari mulutnya, ia bisa
melihat tatapan kaget luar biasa dari Jasmina. Tatapan yang sama ketika ia melompat ke jurang, tatapan
yang sama ketika ia memergokinya bertelanjang dada ketika ia keluar dari kamar mandi, tapi tatapan
yang ada saat ini benar-benar berkali-kali lipat dari semua itu. Jasmina menatapnya seakan-akan ia alien
yang tidak ia kenal. “Ya Jasmina, ini aku, aku yang selama bertahun-tahun telah terlalu bodoh untuk
menyia-nyiakan kamu”, batin Devon.

“Jasmina, will you marry me in the future?”, begitu kata-kata itu meluncur, seakan-akan seluruh organ
penting Devon seperti jantung, otak, dan paru-paru melayang keluar dari tubuhnya. Ia serahkan seluruh
hidupnya pada cincin yang tampak melayang, menunggu sang pujaan hati menerimanya. Bila tidak ia
terima, ia tidak bisa menjamin organ-organ penting itu bisa berfungsi seperti semua lagi. Ya, mungkin itu
akan menjadi awal kehancurannya.

“Diterima! SHE SAID YES!”, kata sang MC yang menggema. Tapi Devon seperti ter-skip. Maksudnya
gimana? Jasmina menerima atau tidak. Devon berusaha menatap mata Jasmina yang sudah penuh air
mata. Ia menangis karena sedih atau marah, atau terlalu bahagia? Jasmina bilang apa? Kenapa semua
orang bersorak-sorai? Apakah mereka sedang mentertawakan Devon yang sudah di tolak dan menjadi
pecundang?

Devon masih tetap menatap Jasmina, dan gadis itu mengangguk lembut. Devon senang, tapi ia masih
ragu. Ini di terima kan? Lamarannya di terima kan? Ahhhh… Kali ini Devon tidak perduli. Di terima atau
tidak, ia akan tetap menyematkan cincin di tangannya. Alih-alih marah, Jasmina justru merelakan tangan
lentik dan lembut itu untuk Devon.
“Devon… thank you”, kata Jasmina sambil masih terisak pelan. Devon tau, ini adalah awal kebahagiaan
lain dalam hidupnya. Ia memeluk Jasmina dengan lembut, pelukan paling ikhlas, tulus, dan penuh kasih,
seakan-akan meneluarkan seluruh kegalauannya selama ini. Ketika lagu “sepasang merpati” dari Kahitna
berkumandang, air mata Devon ingin sekali luruh saat itu juga. Dada Devon dapat merasakan getaran
tubuh Jasmina yang masih terisak lembut. Semua itu membuat hatinya hangat.

“Terima kasih kau terima, pertunangan indah ini. Bahagia, mesti mungkin, tak sebebas merpati….”,
begitu lirik lagunya.

“Ya Jasmina, terima kasih telah menerima aku apa adanya selama ini, dan terima kasih telah menerima
pertunangan yang indah ini. Kita akan saling menemani sampai di ujung waktu”, bisik Devon kepada
Jasmina. Gadis itu kembali terisak dan membalas pelukan Devon dengan erat.

THE END,

Ups, jangan kuatir, besok akan segera di Upload Pacaran Paksa Volume 2: Married edition!

Anda mungkin juga menyukai