Anda di halaman 1dari 7

Konteks Konflik

1. Konteks Ekonomi Politik Orde baru dan Paska Orde

Baru

Sejak jatuhnya presiden Soekarno pada 11 Maret 1966,

pemerintah Orba menaruh perhatian besar pada upaya

menciptakan suatu sistem politik yang menempatkan negara

pada posisi yang kuat dimana para pemegang kekuasaan (antara

lain mencakup kalangan militer, birokrat sipil, teknokrat dan

kapitalis pribumi) mampu merencanakan, melakukan,

mengarahkan dan mengontrol kebijakan dan program

pembangunan dibawah payung kekuasan eksekutif (Hikam, 1999:

66-67). Para elit pemegang kekuasaan meyakini bahwa proses

pembangunan ekonomi hanya dapat berjalan efektif dalam system

politik yang demikian. Untuk mencapai tujuan itu, dua strategi

paralel diterapkan. Dalam bidang politik, pemerintah orba selalu

berupaya meminimalkan potensi munculnya konflik social,

sementara pada waktu yang bersamaan, di bidang ekonomi

pemerintah memaksimalkan produktivitas ekonomi (Mas’oed,

1989). Secara umum, stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi

yang tinggi merupakan dua sumber utama dari mana pemerintah

orba memperoleh legitimasi politik selama lebih dari tiga dekade.

Pemerintah orba mendominasi wacana dan praktek

pembangunan. Dengan bertumpu pada strategi pertumbuhan

292 Potret Retak Nusantara


ekonomi, pemerintah berperan sebagai satu-satunya agen

perencana dan pelaksana pembangunan. Pemerintah

menentukan tujuan, strategi dan program pembangunan,

sementara warga masyarakat menginternalisasi dan

berpartisipasi dalam tahap implementasi. Dengan kata lain,

pemerintah memainkan peran sebagai penyedia layanan publik,

dan masyarakat sebagai penerima layanan tersebut. Sebagai

akibatnya, pembangunan yang menjadi proses yang top-down,

elitis dan terisolasi dari masyarakat. Inisiatif pembangunan yang

muncul dari masyarakat acapkali dipertimbangkan sebagai bentuk

penentangan wacana dan praktek pembangunan yang dilakukan

oleh pemerintah.

Setelah kejatuhan Presiden Soeharto pada Mei 1998,

liberalisasi politik dan pelembagaan demokrasi telah mengubah

secara berarti konstelasi politik. Pembatasan kebebasan

berbicara, berekspresi, berasosiasi dan berkumpul dan juga hak-

hak sipil lainnya telah hilang. Sejumlah undang-undang politik

baru diberlakukan seperti UU tentang pemilu, parpol, susunan

dan kedudukan MPR/DPR, dll. Pemberlakuan sejumlah UU

tersebut memberikan jaminan formal-legal untuk kompetisi,

partisipasi dan liberalisasi politik. Partai-partai politik, Ormas,

NGO, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya dengan

variasi ideologi memperoleh ruang gerak yang makin leluasa.


Negara, Pelaku Bisnis, dan Masyarakat Sipil 293

Selain itu, dua UU desentralisasi diberlakukan dan

diimplementasikan sejak Januari 2001. Pemberlakuan UU tentang

desentralisasi ini secara gradual telah mengubah proses

pembuatan kebijakan dimana pemerintah daerah mempunyai

lebih banyak kewenangan untuk memutuskan program-program

dan pelayanan publik.

Singkatnya, kebijakan depolitisasi dan pendekatan politik

yang represif yang diterapkan oleh rezim orba telah berakhir dan

digantikan oleh pluralisme politik yang mengarah ke kompetisi

demokratis dan representasi.

(Meskipun sistem politik telah berubah menjadi lebih

demokratis, dua pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu 1999,

yakni pemerintahan Wahid dan Megawati menghadapi problem

lemahnya kapasitas pemerintah yang disebabkan karena sifat

koalisi yang mendasari pembentukan pemerintah. Kedua

pemerintahan paska orba mencakup wakil-wakil dari semua

parpol yang mendukung Wahid dan Mega sebagai presiden,

khususnya parpol Islam, teknokrat, dan kekuatan-kekuatan sosial

yang mendominasi lanskap politik orba, seperti militer, perwakilan

daerah dan kelompok-kelompok fungsional (Golkar). Kabinet

Wahid (kabinet persatuan nasional) dan juga kabinet Megawati

(kabinet gotong royong) terbentuk sebagai hasil dari ‘power


brokering’ sebagaimana terjadi pada Sidang Umum MPR tahun

1999 untuk memilih presiden)

2. Potret Retak Nusantara

meskipun rezim politik telah berganti. Pemerintah paska orba

tetap menekankan pada strategi pertumbuhan ekonomi, meskipun

ada sejumlah kebijakan pembangunanan yang lebih menekankan


pada perlindungan lingkungan sebagaimana terlihat dari

pemberlakuan UU tentang pengelolaan sumberdaya alam. Akan

tetapi dalam prakteknya, tidak ada upaya berarti untuk mencapai

titik temu diantara dua kepentingan yang tidak selalu sejalan,

yakni pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup.

Sebagaimana akan dipaparkan di bawah, baik pertumbuhan

ekonomi maupun perlindungan lingkungan tampak menjadi

kepentingan yang eksplisit dan permanen yang mencirikan

pertikaian dan konflik diantara pemerintah dengan masyarakat

sipil dan juga diantara badan-badan pemerintah sendiri.

2. Konteks Pembuatan Keputusan tentang Pendirian dan

Operasi IIU

Sejak awal pendirian IIU telah memunculkan kontroversi.

IIU berhasil memiliki status PMDN pada tahun 1985, hanya

dalam waktu dua tahun setelah pendiriannya pada tahun 1983.

Namun demikian, sejumlah badan pemerintah tidak menyetujui


pilihan lokasi pabrik, pemberian ijin HPH, dan AMDAL. Pada

waktu itu, Meneg Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH)

dan juga Menteri PU tidak menyetujui untuk memberikan ijin

pembangunan pabrik dan dan konsesi penebangan hutan pinus

seluas 86.000 ha. Pada 1985, menteri kependudukan dan LH

mengirim surat ke menteri perindustrian yang menyatakan

ketidaksetujuannya dengan proyek IIU karena pabrik pulp dan

rayon membutuhkan banyak suplai air dan berpotensi

menimbulkan pencemaran air. Areal konstruksi pabrik juga

berdekatan dengan sungai Bolon and Kisat yang mensuplai air

bagi 65.260 ha lahan pertanian dan 668.000 jiwa (ANGOC et.al,

1991: 59). Area di sekitar IIU juga dikenal sebagai “rice bowl” bagi

Sumatra Utara.

Di tingkat daerah, penolakan yang sama disampaikan oleh

Negara, Pelaku Bisnis, dan Masyarakat Sipil 295

Otorita Pengembangan Proyek Asahan (OPPA). Dalam suratnya

ke Menristek/ketua BBPT, tertanggal 9 Agustus 1984, OPPA

menolak lokasi IIU dengan argumen bahwa air limbah akan

mengganggu proyek PLTA di sungai Asahan. Argumen yang sama

dilaporkan kepada Presiden pada tanggal 4 Maret 1985 bahwa

proyek IIU akan menghancurkan proyek Asahan. Namun

demikian, gubernur menyetujui rencana lokasi IIU, tanpa

mempedulikan kekhawatiran munculnya pencemaran (Kompas,

8 Juni, 2003).
Sementara Meneg KLH dan OPPA cenderung menolak lokasi

IIU, Menristek sebaliknya menyetujui lokasi pabrik dan kelayakan

AMDAL-nya. Untuk mempercepat proses ijin lokasi, Menristek

menggelar ‘scientific meeting’ pada 17 Mei 1985 di gedung BPPT,

yang diikuti oleh sejumlah ahli lingkungan hidup. Pendapat yang

pro dan kontra terhadap lokasi pabrik IIU tidak dapat dicarikan

titik temu, dan karena itu tidak ada kesepakatan final yang dicapai

melalui pertemuan tersebut. Menristek selanjutnya mengirim

surat kepada Presiden untuk meminta ‘petunjuk’. Presiden

mengatakan “berilah syarat-syarat secukupnya agar Indorayon

cepat-cepat berproduksi”. Hasilnya, pemerintah menerbitkan

surat keputusan bersama (13 Nopember 1986) yang

ditandatangani oleh Meneg KLH dan Menristek dan menyatakan

bahwa IIU dapat segera beroperasi dengan memenuhi sejumlah

persyaratan lingkungan (Kompas, 8 Juni 2003). Keputusan

pemerintah ini mengakhiri (untuk sementara) pertikaian diantara

badan-badan pemerintah berkaitan dengan masalah lokasi dan

ijin operasi IIU. Pertikaian yang kurang lebih sama diantara

badan-badan pemerintah akan kembali berulang setelah jatuhnya

pemerintah orba (lihat bagian selanjutnya).

Pemerintah provinsi Sumatra Utara kemudian mulai

melakukan proses pengalihan hak pemilikan tanah dan proses

pembebasan tanah, karena hampir semua lokasi IIU merupakan

tanah ulayat (adat). Pemerintah menawarkan kepada para

pemegang tanah adat yang kebanyakan petani untuk direkrut


296 Potret Retak Nusantara

sebagai pekerja pabrik. IIU membangun pabrik pada tahun 1986

setelah BKPMD Sumatra Utara menerbitkan ijin operasi yang

memuat persyaratan-persyaratan untuk mencegah polusi. Areal

pabrik IIU meliputi 225 ha tanah di desa Sosorladang, kecamatan

Porsea, kabupaten Toba Samosir, Sumatra Utara (ANGOC et al.,

1991: 59).

Anda mungkin juga menyukai