Anda di halaman 1dari 3

IDEOLOGI GENDER DALAM KELUARGA

Oleh :

Buku : Perilaku Gender yang Terjadi dalam Keluarga

( alamat website: http://blog.unnes.ac.id/novita3011/?p=13 )

Penulis : Novita Windiarti

Penerbit : WordPress

RINGKASAN

Gender didefinisikan sebagai aturan atau normal perilaku yang berhubungan dengan
jenis kelamin dalam suatu sistem masyarakat. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah
melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat. Kita perlu menyadari bahwa Allah tidak pernah
memandang yang satu lebih utama dari yang lainnya, tetapi sebaliknya memberikan peran
masing-masing untuk sebuah tujuan. Dengan kata lain, Alkitab dengan jelas dan tegas
menyatakan tentang laki-laki dan perempuan memiliki peranan masing-masing dalam rencana
Allah sehingga diciptakan-Nya laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan Allah bagi
keluarga.

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak
mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan , maupun pengertian-pengertiantentang
kehidupan. Salah satu perilaku yang dipelajari di dalam keluarga adalah perilaku yang
berkaitan dengan gender. Bagaimana anak laki-laki harus bersikap atau bagaimana anak
perempuan harus berperilaku diajarkan pertama kali di dalam keluarga. Ada sebuah
uangkapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada cara memperlakukannya.
Ungkapan tersebut tidak salah karena laki-laki dan perempuan memang sudah diperlakukan
secara berbeda sejak mereka dilahirkan.

Ideologi gender yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial
dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas
kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-
imperior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki
(ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-
laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua.

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat


ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara
hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Banyak
streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggung jawab mutlak
terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab
domestik melulu tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan
(istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga,

Perbedaan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
keluarga tidak lepas dari penafsiran yang keliru terhadap ayat-ayat dalam Alkitab. Ada
banyak perikop mengatakan bahwa istri haruslah tunduk dan patuh kepada suami (Ef 5:22;
Kol 3:18, 1 Pet 3:1). Berbagai kisah dalam Alkitab seolah memarginalisasikan/meminggirkan
perempuan. Lebih-lebih jika dalam menafsirkan berbagai ayat-ayat Firman Tuhan itu hanya
berdasar pemahaman teks yang terpotong-potong, dan bukan secara kontekstual dengan
pengamatan secara holistik.

Dalam Efesus 5:21 dikatakan “Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di
dalam takut akan Kristus”. Sementara, dalam Efesus 6:9 dikatakan “Dan kamu tuan-tuan,
perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah bahwa Tuhan
mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka”. Dari kedua ayat
tersebut dapat disatukan dua benang pikiran sebagai berikut.

Pertama, dari segi keluarga, suami dilihat sebagai kepala keluarga dan istri wajib
tunduk padanya serta menghormatinya. Sebagai kepala, suami harus mengasihi istrinya
seperti dirinya sendiri serta mengasuh dan merawatnya bagaikan tubuhnya sendiri. Kedua,
dari segi gerejawi, Kristus dilihat sebagai kepala tubuh-Nya, yaitu gereja. la
menyelamatkannya dengan menyerahkan diri baginya. Melalui air baptisan dan firman, la
menguduskannya, sehingga gereja itu berdiri bagaikan pengantin perempuan di hadapan-Nya
dengan cemerlang, tanpa cacat. Kristus mengasihi tubuh-Nya dan merawat kita sebagai
anggota tubuh itu, dan kita hendaknya tunduk pada-Nya dalam segala hal.
Titik kesamaan dan perbedaan dalam dua kiasan di atas jelas:

1) Suami dan Kristus adalah kepala, tetapi sebagai kepala rumah tangga, sang suami
menjalankan suatu fungsi sosial dan sang istri hendaknya tunduk pada bidang itu saja.
Istri tetap bertanggung jawab kepada Allah.
2) Suami dan Kristus sama-sama mengasihi, tetapi Kristus menyerahkan nyawa-Nya dan
menyelamatkan gereja, sedangkan suami merawat istri dalam hidup sehari-hari serta
menerima keselamatan bersamanya dari Kristus.
3) Gereja dikiaskan dengan pengantin (bandingkan 2 Korintus 11:2 – 3) yang setelah
dimandikan dan dihias tampak cemerlang bagi pengantin laki-laki; baru secara
eskatologis, pada akhirat, gereja akan menjadi seperti itu (bandingkan Wahyu 19:7 dan
22:17). Lain sekali cara pengantin perempuan bersatu dengan suaminya menjadi suatu
unit baru yang fana, sehingga daya tarik antara suami dan istri memang merupakan suatu
rahasia. Kesamaannya ada, namun perbedaan lebih besar.

Dalam penumbuhan kesadaran akan kesetaraan gender dalam keluarga dibutuhkan


perubahan paradigma, khususnya dalam hubungan suami istri. Suami istri saling menghargai
sebagai pribadi yang semartabat. Perbedaan-perbedaan fungsi lebih bertumpu pada
pembagian tugas dan partisipasi daripada atas dasar gender. Orangtua yang memiliki
kesadaran gender tinggi akan membekali anak-anak dengan kesetaraan gender pula.

Dapat kita simpulkan bahwa Alkitab tidak membicarakan superior/dominansi dari


gender tertentu tetapi adanya kesetaraan gender untuk tujuan Allah maka seorang laki-laki
harus dapat mengambil perannya sebagai kepala yang berfungsi sebagai manager yang
melindungi keluarga dan pasangannya mengambil peran sebagai penolong. Keduanya secara
koperatif mewujudkan tujuan Allah yakni untuk kemuliaan nama Tuhan. Seorang laki-laki
seharusnya menyadari bahwa di pundaknya Allah memberikan tanggung jawab untuk
melindungi keluarganya dari segala keretakan bukan sebaliknya menciptakan konflik dalam
rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai