Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

HUKUM HAK ASASI MANUSIA

OLEH:
I GEDE ANANDA EKA DIANA
1904551037

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
A
1. Pengaturan HAM dalam UUD 1945
Hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan
filosofis tentang manusia yang melatarbelakanginya. Menurut Pancasila sebagai dasar
dari bangsa Indonesia hakikat manusia adalah tersusun atas jiwa dan raga, kedudukan
kodrat sebagai makhluk Tuhan dan makhluk pribadi, adapun sifat kodratnya sebagai
mahluk individu dan makhluk sosial. Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara
Indonesia telah lebih dulu dirumuskan dari Deklarasi Universal hak-hak asasi manusia
PBB , karena Pembukaan UUD 1945 dan pasasl-pasalnya diundangkan pada tanggal 18
Agustus 1945 , adapun Deklarasi PBB pada tahun 1948. Hal itu merupakan fakta pada
dunia bahwa bangsa Indonesia sebelum tercapainya pernyataan hak-hak asasi manusia
sedunia oleh PBB, telah mengangkat hak-hak asasi manusia dan melindunginya dalam
kehidupan bernegara yang tertuang dalam UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945
alinea kesatu dinyatakan bahwa “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa”. Dalam
pernyataan tersebut terkandung pengakuan secara yuridis hak asasi manusia tentang
kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
PBB pasal I.1
Dasar filosofi hak-hak asasi manusia tersebut bukanlah kebebasan individualis,
malainkan menempatkan manusia dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial)
sehingga hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia
.Kata-kata berikutnya adalah pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut :
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”.
Penyataan tentang “ atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” mengandung arti
bahwa dalam deklarasi bangsa Indonesia terkandung pengakuan manusia yang
berketuhanan Yang Maha Esa, dan diteruskan dengan kata “…supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas…” dalam pengertian bangsa maka bangsa Indonesia mengakui
hak-hak asasi manusia untuk memeluk agama sebagaimana tercantum dalam Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia PBB pasal 18, dan dalam pasal UUD 1945 dijabarkan
dalam pasal 29 ayat (2) yaitu negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Melalui Pembukaan UUD 1945 dinyatakan dalam alinea empat bahwa Negara
Indonesia sebagai suatu persekutuan bersama bertujuan untuk melindungi warganya
terutama dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak asasinya. Adapun tujuan negara
yang merupakan tujuan yang tidak pernah berakhir (never ending goal) adalah sebagai
berikut :
 Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
 Untuk memajukan kesejahteraan umum.

1
Affandi, H. (2013). Hak  asasi  manusia,  pemerintahan  yang  baik, dan  demokrasi di Indonesia. Bandung: CV. Kancana Salakadomas.
 Mencerdaskan kehidupan bangsa.
 Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Tujuan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat formal maupun material
tersebut mengandung konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk melindungi seluruh
warganya dengan suatu undang-undang terutama untuk melindungi hak-hak asasi manusia
demi untuk kesejahteraan hidup bersama. Berdasarkan pada tujuan Negara sebagai
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, Negara Indonesia menjamin dan
melindungi hak-hak asasi manusia pada warganya terutama dalam kaitannya dengan
kesejahteraan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah, antaralain berkaitan dengan hak-
hak asasi di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan agama. Berikut
merupakan rincian dari hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam pasal pasal UUD 1945,
yaitu sebagai berikut :
a. Hak atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, Pasal 27 Ayat (1).
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 27 Ayat (2).
c. Hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, Pasal
28.
d. Hak memeluk dan beribadah sesuai dengan ajaran agama, Pasal 29 Ayat (2).
e. Hak dalam usaha pembelaan negara, Pasal 30.
f. Hak mendapat pengajaran, Pasal 31.
g. Hak menikmati dan mengembangkan kebudayaan nasional dan daerah, Pasal 32.
h. Hak di bidang perekonomi, Pasal 33.
i. Hak fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, Pasal 34.

2. Pengaturan HAM dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950


Bertolak belakang dengan nuansa kebhatinan pembuatan UUD 1945, pembentukan
Konstitusi RIS 1949 berada pada masa euforia pengakuan dan perlindungan HAM yang
berselang setahun setelah DUHAM PBB 1948. Konstitusi RIS termuat 22 pasal mengenai
HAM dalam batang tubuh Konstitusi RIS. Sehingga dalam konstitusi RIS sangat terlihat
implementasi muatan DUHAM tahun 1948. Dalam perkembangannya selang setahun, maka
dibentuklah UUDS 1950 dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia3

3
Lihat dalam Pasal I Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, sehingga

naskahnya berbunyi sebagai berikut..


yang berisi 146 pasal. Menurut catatan Soepomo, setidaknya terdapat tiga perbedaan
mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasan tentang HAM.
Pertama, hak dasar mengenai kebebasan beragama atau keisyafan bathin dan pikiran meliputi
kebebasan bertukar agama atau keyakinan, dan sebagainya tertuang pada Pasal 18 Konstitusi
RIS4 oleh UUDS 1950, pernyataan meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak
ditegaskan lagi. Kedua, di dalam Pasal 21 UUDS 19505 diatur perihal hak berdemontstrasi
dan hak mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada konstitusi RIS, dan ketiga, dasar
perekonomian sebagaimana dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945, diadopsi ke dalam Pasal 38
UUDS 1950. Dalam UUDS 1950 juga memuat hal-hal yang merupakan perkembangan dari
HAM itu sendiri, disamping pengakuan terhadap individu-individu sebagai pencerminan
HAM, diatur mengenai Materi HAM dalam UUD 1950 terdiri dari 36 Pasal yang terbagi
dalam dua bab, Bagian V tentang Hak-hak dan Kebebasan Dasar Manusia, yakni dari Pasal 7
-Pasal 34 dan Bagian VI tentang Asas-asas Dasar, yaitu Pasal 35 -Pasal 43. Hak-hak dasar
manusia dalam UUDS 1950 tidak saja mencakup hak asasi, tetapi terdapat kewajiban asasi,
serta terdapat sejumlah larangan atas adanya pelanggaran HAM, namun dalam UUDS 1950
mengatur adanya hak milik sebagai fungsi sosial atau ketentuan-ketentuan lainnya yang
bersifat sosial masyarakat dan hakhak 6. Dalam sejarah Konstitusi Indonesia berturut-turut
KRIS (1949) dan UUDS 1950 mengatur HAM secara rinci, karena ditetapkan sesudah
diumumkannya Universal Declaration of Human Rights, maka dapat dikatakan “Konstitusi
yang dipengaruhi oleh Deklarasi HAM sedunia itu. Hubungan saling mempengaruhi antara
konstitusi di dunia dengan Universal.

5
Op. Cit., Majda El-Muhtaj, hlm. 108.

6
Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (3) Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui.

(4) Pemberian sokongan berupa apapun oleh penguasa kepada penjabat-penjabat agama dan persekutuan-persekutuan atau perkumpulan-perkumpulan agama dilakukan
atas dasar sama hak.(5) Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh-taat kepada undang-undang termasuk aturan-aturan hukum

yang tak tertulis.

3. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 (Amandemen)


Gelombang reformasi yang terjadi di Indonesia memicu perubahan yang signifikan
mengenai HAM. Diantaranya perubahan UUD 1945 secara bertahap dan melakukan
constitusional reform yang sebelumnya hanya memuat 71 butir menjadi 199 butir
ketentuan. Terlihat pada perubahan kedua dan ketiga dalam Sidang MPR tahun 2000
yang meliputi HAM dalam Pasal 28A-28J. Pengaturan HAM dalam UUD 1945
merupakan komitmen negara untuk memenuhi syarat keberadaan Indonesia sebagai
negara hukum7 . Dampak dari amandemen menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, utamanya
pemerintah8, meskipun pada tahun pertama reformasi ditandai oleh konflik horizontal,
antara lain di Ambon, Poso, dan Kalimantan, dimana pelanggaran hak asasi dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat sendiri. Bahkan terdapat beberapa agenda
demokrasi yang dicanangkan pasca era Presiden Soeharto, diantaranya:
1) Constitutional and rule of law;
2) Regional autonomy;
3) Civil-military relation;
4) Civil society
5) Governance structure reform, social-economic development, good governance, and
ombudsman;
6)Gender;
7) Religion pluralism9.

7
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011, hlm. 166

8 Lihat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 UUD 1945.


9
Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) hlm. 256

B. Kaitan Pengaturan HAM Dengan Putusan MK Terkait Dengan Pidana Mati

Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 adalah putusan yang menguji konstitusionalitas pidana mati
dalam sistem hukum Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. Walaupun yang diuji hanya terhadap satu undang-undang saja, putusan ini
memberikan dampak yang besar terhadap konstitusionalitas pidana mati yang terdapat di dalam
berbagai undang-undang lainnya.

Tercatat ada sekitar 12 (dua belas) undang-undang lain yang mengatur mengenai pidana mati,
yaitu:

1. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);


2. KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer);
3. Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api;
4. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa
Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana
yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan;
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 21 Tahun 1959
tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi;
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa
Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-
Undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana
Penerbangan;
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme;
10. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
11. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan
12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-
Undang.

Banyaknya undang-undang yang terkait serta sensitifnya isu pidana mati dalam sistem
hukum Indonesia yang tidak hanya berbicara soal hukum semata, melainkan juga berkaitan
dengan ideologi dan pandangan hidup masyarakat Indonesia, Putusan Nomor 2-3/PUU-
V/2007 ini dapat dianggap sebagai salah satu putusan dari Mahkamah Konstitusi yang
sangat penting, bahkan dianggap sebagai landmark decision karena persoalan
konstitusionalitas pidana mati dalam sistem hukum Indonesia akan selalu mengacu kepada
putusan ini.10
10 .
Budiardjo, M. (1977). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT. Gramedia

Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di awal, putusan ini juga penting yang
memberikan petunjuk perlunya kebijakan moderasi pidana mati dalam sistem hukum
Indonesia di masa yang akan datang. Mengingat putusan ini menguji suatu kebijakan yang
sifatnya sensitif dan ideologis, maka majelis hakim cukup berhati-hati dalam mengambil
keputusan. Bahkan untuk sampai pada pertimbangan yang bersifat rekomendasi yaitu
pidana mati konstitusional dalam sistem hukum Indonesia dan di masa yang akan datang
harus dimoderasikan, majelis hakim butuh bekerja keras dalam melakukan penafsiran
terhadap pasal-pasal terkait dengan berbagai macam konsep dalam hal pemidanaan, hak
asasi manusia, konstitusi, dan prinsip-prinsip internasional.
DAFTAR PUSTAKA

-Affandi, H. (2013). Hak asasi manusia, pemerintahan yang baik, dan demokrasi di
Indonesia. Bandung: CV. Kancana Salakadomas.
-Lihat dalam Pasal I Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah menjadi
Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, sehingga naskahnya berbunyi
sebagai berikut..
-Op. Cit., Majda El-Muhtaj, hlm. 108.
-Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011, hlm. 166
-Lihat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 UUD 1945.
-Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2010) hlm. 256
-Budiardjo, M. (1977). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT. Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai