Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita,


termasuk pasien yang berumur >40 tahun akan menyebabkan disabilitas
penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelompok usia produktif
namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik.
PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker bronchial,
infeksi paru-paru, trombo embolik disorder. keberadaan asma, hipertensi,
osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety (Shodiq R N, 2017). Pasien
PPOK akan mengalami kelemahan otot inspirasi dan disfungsi otot yang
berkontribusi terjadinya sesak nafas. Sesak nafas merupakan suatu gejala
yang kompleks yang merupakan keluhan utama yang mengakibatkan
ketidakefektifan pola nafas pada pasien PPOK (Fauzi R, 2018).

PPOK lebih banyak ditemukan pada pria perokok berat. Merokok


merupakan penyebab utama terjadinya PPOK dengan risiko 30 kali lebih
besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok dan merupakan
penyebab dari 85-90 % kasus PPOK. Kurang lebih 15-20 % perokok akan
mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya
rokok yang dihisap, umur mulai merokok dan status merokok yang
terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian tidak semua penderita
PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga
mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering
terkena asap rokok) juga beresiko menderita PPOK (Ikawati, 2016).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih menjadi ancaman bagi
masyarakat dunia (Quaderi & Hurst, 2018). PPOK akan berdampak negatif
terhadap kesehatan penderita (Silalahi & Siregar, 2019). Penyakit ini
memiliki prognosis yang akan terus memburuk seiring dengan
bertambahnya waktu, salah satu dampak yang akan dirasakan oleh pasien
adalah adanya batuk produktif yang terjadi terus menerus (Somantri,
2018). Batuk yang terjadi pada pasien PPOK merupakan akibat dari proses
inflamasi bronkus, akibatnya aktivitas sillia menurun dan terjadi aktifasi
sel goblet (Masriadi, 2016). Aktifasi sel ini akan menyebabkan akumulasi
sekret sehingga terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas (Sari, 2016).

Diperkirakan 328 juta orang memiliki COPD di seluruh dunia.


Dalam 15 tahun, COPD diperkirakan menjadi penyebab utama kematian di
seluruh dunia (Quaderi & Hurst, 2018). Data World Health Organization
(WHO) tahun 2016, menunjukkan bahwa lebih dari 3 juta orang
meninggal karena PPOK pada tahun 2012, yakni sebesar 6% dari semua
kematian global tahun itu dan lebih dari 90% kematian PPOK terjadi di
negara berpenghasilan rendah dan menengah (Putra, 2017). Di Indonesia,
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2017 angka kematian
akibat PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di
Indonesia dan prevalensi PPOK rata-rata sebesar 3,7% (Alhogbi, 2017). Di
jawa timur penderita PPOK urutan ke 8 dari 33 provinsi rata-rata sebesar 3
% (Riskesdas, 2018)

PPOK merupakan suatu kondisi terjadi penyempitan saluran udara


dan peningkatan obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh asap rokok.
Komponen-komponen asap rokok bisa merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Biasanya paparan asap rokok tersebut terjadi selama
beberapa tahun sebelum gejalanya berkembang. Komposisi genetik dalam
sisi seseorang juga mempengaruhi risiko (Dwi A F, 2017). PPOK penyakit
yang ditandai oleh keterbatasan jalan napas progresif yang disebabkan
oleh reaksi peradangan abnormal. Tercakup didalamnya penyakit seperti
bronkitis kronis dan emfisema. Gejala yang dominan pada PPOK adalah
sesak napas yang seringkali dimulai saat aktivitas, batuk, yang mungkin
produktif menghasilkan sputum, dan mengi (Ovei N B, 2018). Sesak nafas
pada pasien PPOK terjadi akibat hiperinflasi dinamik yang bertambah
berat dengan peningkatan Respiratory Rate. Hal ini terjadi karena pasien
PPOK mengalami kelemahan otot inspirasi dan atau disfungsi otot yang
berkontribusi terhadap terjadinya sesak nafas (Siska K A, 2019). Sesak
nafas pada pasien PPOK dapat mengakibatkan ketidakefektifan pola nafas,
yaitu keadaan ketika seseorang individu mengalami kehilangan ventilasi
yang aktual atau potensial yang berhubungan dengan perubahan pola
pernafasan (Siska K A, 2019). Sesak nafas pada pasien PPOK dapat
mengakibatkan ketidakefektifan pola nafas, yaitu keadaan ketika
seseorang individu mengalami kehilangan ventilasi yang aktual atau
potensial yang berhubungan dengan perubahan pola pernafasan (Siska K
A, 2019).

Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas sangat penting di


tangani oleh perawat, salah satu peran perawat adalah sebagai edukator
dalam melakukan tindakan mandiri yang berupa upaya pemberian latihan
batuk efektif yang bertujuan untuk mengeluarkan sekret pada jalan nafas
serta tindakan lain yang bisa dilakukan adalah mengatur posisi pasien
semifowler dan hindari polusi lingkungan misalkan asap dan debu. Dari
uraian tersebut, perlu di lakukan studi kasus tentang asuhan keperawatan
pada pasien dengan Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Ariyanti,
2016)

1.2. Batasan Masalah

Literature Review ini berfokus pada penatalaksanaan pasien dewasa


Chronic obstructive pulmonary disease (PPOK) dalam pemenuhan
kebutuhan oksigenasi.

1.3. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Gambaran Asuhan Keperawatan Pasien Dewasa Chronic


obstructive pulmonary disease (PPOK) dalam Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum

Melakukan Asuhan Keperawatan Pasien Dewasa Chronic obstructive


pulmonary disease (PPOK) dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi
berdasarkan hasil literature review.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Menganalisa Pengkajian Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan


Oksigenasi pada Pasien Dewasa Chronic obstructive pulmonary
disease (PPOK) berdasarkan hasil literature review.
2. Menganalisa Diagnosa Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada Pasien Dewasa Chronic obstructive pulmonary
disease (PPOK) berdasarkan hasil literature review.
3. Menganalisa Intervensi Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada Pasien Dewasa Chronic obstructive pulmonary
disease (PPOK) berdasarkan hasil literature review.
4. Menganalisa Implementasi Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada Pasien Dewasa Chronic obstructive pulmonary
disease (PPOK) berdasarkan hasil literature review.
5. Menganalisa Evaluasi Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada Pasien Dewasa Chronic obstructive pulmonary
disease (PPOK) berdasarkan hasil literature review.
1.5. Manfaat

1.5.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan


mengembangkan tujuan ilmu keperawatan dewasa tentang Gambaran
Asuhan Keperawatan Pasien Dewasa Chronic obstructive pulmonary
disease (PPOK) dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi

1.5.2. Manfaat Praktis

1) Bagi pasien dan keluarga


Mendapatkan pelayanan asuhan keperawatan terkini untuk mengatasi
gangguan pemenuhan kebutuhan dasar Oksigenasi pada pasien
Dewasa dengan Chronic obstructive pulmonary disease (PPOK).

1) Bagi perawat

Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam memberikan


asuhan keperawatan pada pasien Dewasa dengan Chronic obstructive
pulmonary disease (PPOK) yang meliputi proses keperawatan yaitu,
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

2) Bagi Rumah Sakit

Menjadikan karya tulis ilmiah ini sebagai masukan dan evaluasi terhadap
pelayanan yang diberikan pada pasien dewasa dengan Chronic obstructive
pulmonary disease (PPOK).

3) Bagi Institusi Pendidikan

Karya tulis ini bermanfaat sebagai masukan atau bahan ajar bagi
dosen dan mahasiswa untuk mempelajari asuhan keperawatan pada
pasien dewasa dengan Chronic obstructive pulmonary disease
(PPOK).
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep PPOK

2.1.1 Pengertian PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di definisikan sebagai


suatu penyakit keterbatasan aliran udara yang menetap, yang bisa bersifat
progesif, dan terkait dengan adanya respon inflamasi kronis saluran nafas
dan paru-paruterhadap gas atau partikel berbahaya (Ikawati, 2016).

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang


dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan repons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya,
disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
(PDPI 2011)

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang


dicirikan oleh keterbatasanaliran udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya.
Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan
respons inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas
berbahaya yang menyebabkan penyempitan jalan napas, hipersekresi
mukus, dan perubahan padasistem pembuluh darah paru. (Brunner &
Suddarth 2014)

PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara


di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara
bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun atau berbahaya disertai efek ekstraparu
yang berkontrinusi terhadap derajad berat penyakit. Karakteristik
hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
bronchitis kronik(obstruksisaluran napas kecil) dan emfisema(kerusakan
parenkim) yang bervariasi pada setiap individu (GOLD, 2017). PPOK
adalah penyakit umum, yang ditandai dengan gejala pernapasan yang
menetap dan adanya keterbatasan aliran udara pada saluran napas atau
kelainanalveolar, yaitu biasanya disebabkan oleh paparan signifikan
terhadap partikel udara atau gas-gas yang berbahaya. Jika pernah
mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktivitas atau bertambah
dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami
sesak nafas disertai batuk berdahak, dengan demikian dapat dikatakan
sebagai penderita PPOK. Disebabkan oleh pajanan factor resiko, seperti
merokok, polusi udara didalam maupun diluar ruangan (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru-paru


yang ditandai dengan penyumbatan terusmenerus aliran udara dari paru-
paru. Ini adalah penyakit paru-paru yang mengancam kehidupan
didiagnosis yang mengganggu pernapasan normal dan tidak sepenuhnya
reversibel. Mencakup bronkitis kronis dan emfisema (WHO, 2016).

PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara


di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara
bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun atau berbahaya disertai efek ekstraparu
yang berkontrinusi terhadap derajad berat penyakit. Karakteristik
hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
bronchitis kronik(obstruksisaluran napas kecil) dan emfisema(kerusakan
parenkim) yang bervariasi pada setiap individu (GOLD, 2017).

PPOK adalah penyakit umum, yang ditandai dengan gejala


pernapasan yang menetap dan adanya keterbatasan aliran udara pada
saluran napas atau kelainanalveolar, yaitu biasanya disebabkan oleh
paparan signifikan terhadap partikel udara atau gas-gas yang berbahaya.
Jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktivitas
atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau
pernah mengalami sesak nafas disertai batuk berdahak, dengan demikian
dapat dikatakan sebagai penderita PPOK. Disebabkan oleh pajanan factor
resiko, seperti merokok, polusi udara didalam maupun diluar ruangan
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

2.1.2 Etiologi PPOK

1) (Wahyuningsih & Oemiyati, 2013)

Penyebab dari PPOK yaitu pajanan dari partikel antara lain yang pertama
adalah merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif akan mengalami hipersekresi mucuc
dan obstruksi jalan napas kronik. Ada hubungan antara penurunan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP‫ )׀‬dengan jumlah, jenis lamanya
merokok. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran
napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok saat hamil akan
meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-
parunya (Oemiyati, 2013).Kedua adalah polusi dari dalam yaitu memasak
dengan bahan biomassa dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya
terpajan asap bahan bakar kayu dari asap bahan bakar minyak diperkirakan
memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak menghabiskan
waktunya pada lingkungan didalam ruangan, seperti rumah, tempat kerja,
perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan di dalam
ruanaganyang penting antara lain SO2, dan CO yang dihasilkan dari
memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organic yang mudah menguap
dari cat, karpet, dan mebel air, bahan percetakan dan alergi dari gas dan
hewan peliharaan. Ketiga yaitu polusi di luar ruangan, polusi udara
mempunyai pengaruh buruk pada VEP‫׀‬, polusi yang paling kuat
menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zincdan debu, bahan asap
pembakaran, asap pabrik, asap tambang. Peningkatan kendaraan bermotor
di jalan raya sebagai masalah polusi pada kota metropolitan di dunia. Pada
negara berkembang sebagian besar rumah tangga dimasyarakat
menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu
bakar.Penyebab yang keempat polusi di tempat kerja mislnya debu-debu
organic (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri
tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik
cat, tinta. Selain itu etiologi PPOK adalah karena genetika (Alpha 1-
antitrypsin). Factor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1-3% pada
pasien PPOK. Riwayat infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang
melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring.
Infeksi saluran pernafasan akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita
anak-anak. Penyakit ini dapat memberikan kecacatan pada saat dewasa,
dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK, jenis kelamin, usia,
konsumsi alcohol dan kurang aktivitas (Oemiyati, 2013).

PPOK merupakan inflamasi local saluran napas paru, akan ditandai dengan
hipersekresimucus dan sumbatan aliran udara yang presisten. Gambaran
ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar bronchus pada
perokok dan membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak factor
resiko yang diduga kuat merupakan factor etiologi dari PPOK
diantaranyapaparan partikel, genetic, pertumbuhan dan perkembangan
paru, stress oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran napas, status
ekonomi, nutrisi yang kurang baik. (Wahyuningsih, 2013).

2) Ikawati (2016)

Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang


dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.Beberapa
faktor paparan lingkungan antara lainadalah:

a. Merokok Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK,


dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan
bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus. Kurang
lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat
PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai
merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang.
Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah
perokok.Kurang lebih 10% orang yang tidak merok juga mungkin
menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena
asap rokok) juga berisiko PPOK.

b. Pekerjaan Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas
dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar
debu katun dan debu gadum toluene diisosianat, dan asbes,
mempunyai resiko yang lebih besar dripada yang bekerja ditempat
selain yang disebutkan diatas.

c. Polusi UdaraPasien mempunyai disfungsi paru akansemakin


memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa
berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor,
dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.

d. Infeksi Kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan secara kronis


merupakan pemicu inflamasi neutrofilik pada saluran nafas, terlepas
dari paparan asap rokok.

Sedangkan faktor resiko berasal dari host/pasiennya antara lain:

a) Usia

Semakin bertambah usia semakin besar resiko menderita PPOK. Pada


pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan
besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin.
Namun kejadian ini hanya dialami < 1% pasien PPOK

b) Jenis kelamin Laki – laki lebih berisiko terkena PPOK dari pada
wanita, mungkin ini terkait dengankebiasaan merokok pada pria.
Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita
karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok. Selain itu, ada
fenomena menarik bahwa wanita lebih rentan terhadap bahaya
merokok dari pada pria. Bukti – bukti klinis menunjukan bahwa
wanita dapat mengalami penurunan fungsi paru yang lebih besar dari
pada pria dengan status merokok yang relatif sama. Wanita juga akan
mengalami PPOK yang lebih parah dari pada pria. Hal ini diduga
karena ukuran paru-paru wanita umumnya relatif lebih kecil dari pada
pria, sehingga dengan paparan rokok yang sama presentase paru yang
terpapar pada wanita lebih besar dari pada pria.

c) Adanya Gangguan fungsi paeu yang sudah terjadiAdanya gangguan


fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya
defisiensi immunoglobulin A atau infeksi pada masa kanak-kanak
seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi
paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejan
dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih
berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk didalamnya
adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir
dengan berat badan rendah, ia memiliki resiko lebih besar untuk
mengalami PPOK.

d) Predisposisi Genetik, Yaitu Defisiensi Α 1 Antitripsin (ATT)


Defisiensi ATT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema,
yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan didalam paru-paru
secara progesif karena adanya ketidakseimbangan antra enzim
proteolitik dan faktor frotektif. Makrofag dan neutrofil melepas enzim
lisosomal yaitu elastase yang dapat merusak jaringan di paru. Pada
keadaan normal faktor protektif ATT menghambat enzim proteolitik
sehingga mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan ATT
menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap kerusakan paru.
ATT diproduksi oleh gen inhibitor protease (M). Satu dari 2500 orang
adalah homozigot untuk generesesif (Z), yang menyebabkan kadar
dalam darah rendah dan berakibat emfisema yang timbu lebih cepat.
Orang yang heterozigot (mempunyai genMZ) juga berisiko menderita
emfisema, yang makin meningkat kemungkinan bya dengan merokok
karena asap rokok juga dapat menginaktivasi ATT. Wanita
mempunyai kemungkinan perlindungan oleh estrogen yang
menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti ATT. Karennya, faktor
resiko pada wanita lebih rendah daripada pria.

3) Menurut Burnner & Suddarth (2014)

a. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh bakteri/virus

b. Polusi udara

c. Rokok

d. Pajanan di tempat kerja/sumber allergen (batu bara, katun, biji-


bijian padi)

2.1.3 Klasifikasi PPOK

a) Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut (Muwarni,


2011) yaitu :

1) Bronchitis KronisAdanya gangguan klinis yang ditandai


hiperproduksi mukus dari pecabangan bronkus dengan
pencerminan batuk yang menahun. Produksi tersebut terdapat
setiap hari selama 2 tahun berturut – turut.

2) Emfisema Adanya kelainan paru dengan pelebaran abnormal


dari ruang udara distal dan bronkiolis terminal yang disertai
penebalan dan kerusakan didinding alveoli.

3) Asma kronis dan bronchitis asmatis

a) Asma menahun pada asmabronkial menahun yang


menunjukan adanya obstruksi jalan napas.

b) Bronchitis asmatia
Adalah bronchitis yang menahun kemudian
menunjukkan tanda – tanda hiperaktivitas bronkus, yang
ditandai dengan sesak nafas dan wheezing.

b) Klasifikasi derajat PPOK Berdasarkan Global Initiative Chronic


For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2011) PPOK
diklasifikasikan berdasarkan stadium, yaitu :

1) Derajat I (PPOK ringan)Ditandai dengan keterbatasan aliran


udara ringan, dan biasanya tidak selalu disertai batuk kronik
dan produksi spuntum. Individu ini tidak menyadari kalau
fungsi parunya tidak normal pada tahap ini.

2) Derajat II (PPOK sedang) Ditandai dengan bertambahnya


keterbatasan aliran udara dan memburuknya gejala, khususnya
nafas yang pendek terjadi saat berolahraga. Batuk dan produksi
sputum kadang muncul, sebagian individu akan mencari
pengobatan saat derajat ini karena nafas yang semakin pendek
dan dan bertambah seringnya eksaserbasi penyakit ini. Saat
dyspnea dan eksaserbasi meningkat, kualitas hidup pasien
menjadi terpengaruhi.

3) Derajat III (PPOK parah) Ditandai dengan keterbatasan aliran


udara yang parah, nafas yang semakin pendek, berkurangnya
kapasitas saat bergerak, kelemahan dan eksaserbasi berulang
yang hamper selalu mempengarugi kualitas hidup pasien.

4) Derajat IV (PPOK sangat parah) Ditandai dengan keterbatasan


aliran udara yang berat dan gagal nafas, pasien juga
menunjukan gejala klinis cor pulmonal (gagal jantung kanan)
meliputi peningkata vena jugularis dan edema pitting pada
pergelangan kaki. Pada derajat ini kualitas pasien terganggu
secara signifikan dan eksaserbasi dapat membahayakan hidup
pasien
5) Menurut Wibisono & KK (2015)

Untuk membedakan keparahan penyakit PPOK, dapat dirasakan


pada hasil uji spirometri yang menunjukan tingkat keparahan
obstuksinya. Menurut GOLD 2015, terdapat 4 tingkatan
berdasarkan hasil FEV1 pasca bronkodilasi, yaiutu GOLD1,
GOLD 2, GOLD 3 dan GOLD 4, seperti tersaji pada tabel 7.1. uji
spirometri sebaiknya dilakukan padasaat pasien dalam kondisi
stabil dan bebas infeksi. Pasien tidak boleh mnggunakan
bronkodilator aksi pendek dalam 6jam sebelum test dilakukan, atau
β-agonis aksi panjang dalam 12 jam sebelum test, atau teofilin
lepas lambat 24 jam sebelum test dilakukan. FEV1 harus diukur
sebelum pemberian inhalasi bronkodilator. FEV1 diukur 30-45
menit setelah pemberian bronkodilator.Peningkatan FEV1 lebih
besar dari 200 ml atau 12% dianggap signifikan. tabel 7.1
menunjukkan klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada
pasien PPOK berdasarkan hasil spirometrinya.

Tabel 7.1.klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK


berdasarkan nilai FEV1 postbronkodilator (GOLD 2015)

TINGKAT INTERPRETASI NILAI FEV1 DAN GEJALA

GOLD I RINGAN FEV1 ≥ 80%

GOLD II SEDANG 50% < FEV1 < 80%

GOLD III BERAT 30% < FEV1 < 50%

GOLD IV SANGAT BERAT FEV1 < 30%

Namun demikian, keparahan berdasarkan kategori GOLD ini ternyata


tidak selalu berkorelasi dengan kulitas hidup pasien. Karena itu, tetap perlu
dilakukan penilaian terhadap kualits hidup pasien PPOK. Beberapa alat ukur yang
dikembangkan, COPD Assesment Test (CAT) paling banyak dipakai karena
cukup praktis untuk pemakaian klinis rutin. Nilai CAT < 10 menunjukan gejala
yang sedikit, sedangkan nilai ≥ 10 menunjukan gejala yang lebih parah. Selain itu
ada juga balat ukur terhadap kemampuan bernafas yang disebut Modified British
Research Council Questionaire (mMRC) dengan angka 0-4, mana semakin
meningkat angkanya menunjukan kesulitan bernafas yang makin meningkat.

Dari pengukuran ini, maka GOLD 2015 mengelompokan pasien PPOK


menjadi 4 golongan, sebagai berikut:

a. Pasien kelompok A: risiko rendah, gejala lebih sedikit GOLD 1 atau


GOLD 2, serangan akut 0-1/tahun dan tanpa hospitalisasi, CAT < 10
atau mMCR 0-1b.

b. Pasien kelompok B : resiko rendah, gejala lebih banyak GOLD 1 atau


GOLD 2 , serangan akut 0-1/tahun dan tanpa hospitalisasi CAT ≥ 10
atau mMCR ≥ 2c.

c. Pasien kelompok C : resiko tinggi, gejala lebih sedikit GOLD 3 atau


GOLD 4 , serangan akut ≥ 2 x/tahun ≥ 1 atau dengan hospitalisasi
CAT < 10 atau mMCR 0-1d.

d. Pasien kelompok D : resiko tinggi, gejala lebih banyak GOLD 3 atau


GOLD 4 , serangan akut ≥ 2 x/tahun ≥ 1 atau dengan hospitalisasi
CAT≥ 10 atau mMCR ≥ 2

2.1.4 Manifestasi Klinis

1) Brunner & Suddarth (2014)

a) PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea


saat mengerahkan tenaga kerap memburuk seiring waktu.

b) Penurunan berat badan sering terjadi.

c) Gejala yang spesifik dengan penyakit.

2) Menurut Wibisono & KK (2015)


a) Batuk berdahak dan sesak napas.

b) Batuk sering muncul bersamaan dengan sesak napas.

c) Dahak tidak banyak hanya beberapa sendok teh/hari

d) Bersifat mukoid namun menjadi purulen pada keadaan infeksi.

e) Sesak napas terutama waktu mengerahkan tenaga, bila penyakit


progesif bergerak sedikit sudah sesak.

f) Tidak banyak abnormalitas yang di jumpai pada pemeriksaan fisik.

g) Wheezing tidak selalu ditemukan dan tidak berkolerasi dengan


keparahan obstruksi.

h) Ekspirasi yang > 4 detik suatu indikasi yang bermakna dari


obstruksi.

3) Brunner & Suddarth (2014)

a) Batuk kronis.

b) Produksi sputum

c) Dispnea saat mengerahkan tenaga kerap memburuk seiring


dengan waktu.

d) Penurunan berat badan sering terjadi.

e) Gejala yang spesifik dengan penyakit.

1) Asma

2) Bronkitis

3) Efisema

4) Menurut (Padila, 2012)

Manifestasi klinis pada pasien PPOK adalah :


a) Batuk yang sangat produktif dan mudah memburuk oleh udara
dingin atau infeksi.

b) Hipoksia, yaitu keadaan kekurangan oksigen di jaringan atau


adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen seluler akibat defesiensi
oksigen yang diinspirasi atau meningkatnya penggunaan oksigen
pada tingkat seluler.

c) Takipnea adalah pernapasan lebih cepat dari normal dengan


frekuensi <24 kali permenit.

d) Sesak nafas atau dyspnea.

e) Terdapat otot bantu pernafasan

f) Hipoksia dan hiperkapnea

g) Takipnea

2.1.5 Patofisiologi

Faktor risiko utama pada PPOK adalah merokok. Komponen –


komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. PPOK terjadi karena perubahan patologi pada saluran
napas besar maupun kecil, parenkim paru, dan vaskularisasi paru. Eksudat
hasil inflamasi seringkali merupakan penyebab dari meningkatnya jumlah
dan ukuran sel kelenjar mucus, serta tergangguanya mobilitas silia. Selain
itu, terjadi penebalan sel-sel otot polos dan jaringan penghubung pada
saluran napas. Inflamasi terjadi pada saluran napas sentral maupun perifer.
Apabila terjadi inflamasi kronik maka akan menghasilkan kerusakan
berulang yang akan menyebabkan luka dan terbentuknya dan membuat
saluran napas perifer mengalami penyempitan dan penghambatan.
Kemudian kondisi tersebut dapat berkembang manjadi obstruksi saluran
napas yang parah. Penurunan volume paksa (FEV‫ )׀‬merupakan respon
terhadap inflamasi yang terjadi pada saluran napas sebagai hasil dari
abnormalitas perpindahan gas didalam darah dikarenakan terjadi
kerusakan di sel parenkim paru. Kerusakan sel-sel parenkim paru
mengakibatkan terganggunya proses pertukaran gas didalam paru-paru,
yaitu pada alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru. Penyebaran keruskan
tersebut tergantung pada etilogi penyakit, dimana factor yang paling
umum adalah asap rokok yang mengakibatkan emfisema sentrilobular
yang mempengaruhi terutama pada bagian bronkiolus (Williams &
Bourdet, 2014)

Beberapa factor patologi seperti bronchitis kronik, emfisema, dan


asma kronik. Bronchitis kronik dikenali dengan adanya batuk kronik dan
produksi sputum selama 3 bulan dan selama dua tahun berturut-turut.
Epitelium bronkial mengalami peradangan dalam jangka waktu yang lama
dengan hipertropi kelenjar mucus dan peningkatan jumlah sel globet.
Terjadi kerusakan silia dan pergerakan mukosiliari. Selain itu viskositas
mucus dan sekresinya meningkat, yang kemudian akan menyebabkan
hambatan untuk mengeluarkannya. Pembesaran kelenjar mukus dapat
diakibatkan karena adanya infeksi, kemudian apabila terjadi infeksi dan
inflamasi dapat menyebabkan keruskan structural yang irreversibledari
dinding saluran napas. (Williams & Bourdet, 2014)
Genetik: Defisiensi Merokok
antitrypsin alfa-1

Penuruna Mengandung zat – Mengandung


n etralisasi Faktor lingkungan zat berbahaya radikal bebas
elastase
Induksi aktivasi Peningkatan
Polusi udara makrofag dan stress oksidatif
leukosit

Peningkatan Pelepasan faktor Peningkatan Peningkatan apoptosis


pelepasan kemotaktik neutrofil pelepasan oksidan dan nekrosis dari sel
elastase yang terpapar

Peningkatan jumlah neutrofil


Cedera Sel Cedera Sel
didaerah yang terpapar

Respon Inflamasi

Hipersekresi mukus Lisis dinding alveoli Fibrosa paru

Bronkitis Kerusakan alveolar Obstruksi paru


Nyeri
Penumpukan lender Kolaps saluran napas PPOK
Kronis
dan sekresi berlebihan kecil saat ekspirasi
Kompensasi tubuh dengan
Emfisema peningkatan RR
Merangsang Obstruksi
refleks jalan
Gangguan
batuk napas
pertukaran O2 dan Ketidakefektifan Pola
Napas
CO2 dari dan ke
Ketidakefektifan paru Sesak napas Timbul reflek batuk
Bersihan Jalan
Penurunan asupan O2
Napas
Penurunan
nafsu makan Tidur tidak efektif
Hipoksemia
Gangguan
Pertukaran Gas
Gangguan
Pe↓ perfusi O2 ke jaringan
Pola Tidur
Mengantuk, lesu Penurunan
berat
Intoleran Aktivitas badan
Keletihan
Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang
Dari Kebutuhan Tubuh

(Muttaqin, 2009 dalam Rahayu, 2016)


2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan Penunjang Menurut Wahid & Suprapto (2013),

a) Pengukuran Fungsi Paru

1) Kapasitas inspirasi menurun.

2) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkhial, dan asma.

3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit


paru obstruktif

kronis.

4) FVC awal normal menurun pada bronkhitis dan asma.

5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada


emfisema).

b. Analisa Gas Darah

PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma.


Nilai pH normal,

asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.

2.1.7 Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan medis menurut Muttaqin (2014) yang dapat diberikan


kepada klien dengan PPOK, yaitu:

a. Pengobatan farmakologi

a. Anti inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolinm dan lain-lain)


(Muttaqin, 2014).

b. Bronkodilator. Golongan adrenalin: isoprote Ncl, ossiprenalin,


golongan xantin: aminopilin, teopilin (Murwani, 2011).

c. Antibiotik
Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK dengan
pemilihan antibiotic bergantung kepada kebijakan lokal, terapi
secara umum berkisar pada penggunaan yang disukai antara
amoksilin, klaritromisin, atau trimotopri.Biasanya lama terapi tujuh
hari sudah mencukupi (Francis, 2014).

d. Ekspektoran: Amnium karbonat, acetil sistein, bronheksin,


bisolvon, tripsin (Muwarni, 2011).

e. Vaksinasi

Vaksinasi yang dapat diberikan pada pasien PPOK antara lain vaksin
influenza dan pneumococcus regular (Brashers, 2012). Vaksinasi
influenza dapat mengurangi angka kesakitan yang serius.Jika tersedia,
vaksin pneumococcusdirekomendasikan bagi penderita PPOK yang
berusia diatas 65 tahun dan mereka yang kurang dari 65 tahun tetapi nilai
FEV1-nya <40% prediksi (Ikawati, 2011).

f. Indikasi oksigen

Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun


yang tidak dapat diatasi dengan obat.Serangan jangka pendek
dengan eksaserbasi akut dan serangan akut pada asma (Marwarni,
2011). Pengobatan oksigen bagi yang memerlukan, O2 harus
diberikan denganaliran lambat 1-2 liter/menit (Padila,2012). Terapi
oksigen yang jangka panjang akan memperpanjang hidup penderita
PPOK yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah yang
sangat rendah (Ringel, 2012).

Oksigen diberikan 12 jam/liter, hal ini akan mengurangi kelebihan


sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam
darah. Terapi oksigen juga dapat memperbaiki sesak nafas selama
beraktivitas (Irianto, 2014).

b. Pengobatan Non farmakologi


a. Rehabilitasi

Pada pasien PPOK dapat dilakukan rehablitasi, ada beberapa teknik lebih
afektif dari lainnya tetapi semuanya berpotensi membantu, teknik control
pernapasan, fisioterapi dada, terapi okupasional, latihan olahraga, latihan
otot pernapasan (Brashers, 2012). Program aktivitas olahraga yang dapat
dilakukan oleh penderita PPOK antara lain: sepeda ergometri, latihan
treadmill atau berjalan diatur dengan waktu, dan frekuensinya dapat
berkisar dari setiap hari sampai setiap minggu (Morton, 2012). Latihan
bertujuan untuk meningkatkan kebugaran dan melatih fungsi otot
skeletalagar lebih efektif, dilaksanakan jalan sehat (Muttaqin, 2014).

b. Konseling nutrisi

Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada lebih
dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden malnutrisi
bervariasi sesuai dengan derajat abnormalitas pertukaran gas
(Morton, 2012). Perlu diberikan hidrasi secukupnya (minum air
cukup : 8-10 gelas sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya
protein dan mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat
menyebabkan sekresi bronkus meningkat, sebaiknya dicegah
(Ikawati, 2011).

c. Penyuluhan

Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif dalam


mengurangi resiko terjadinya PPOK dan memperlambat kemajuan
tingkat penyakit (Morton, 2012).

2.1.8 Komplikasi PPOK

Komplikasi yang terjadi pada PPOK adalah gagal jantung nafas kronik,
gagal nafas akut, infeksi berulang, dan cor pulmonal. Gagal nafas kronik
ditunjukan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg
PaCO2>50 mmHg, serta Ph dapat normal. Gagal nafas akut pada gagal
nafas kronik ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, volume
sputum bertambah dan purulent, demam dang kesadaran menurun. Pada
pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. (Jackson,
2014).

PPOK merupakan penyebab utama hipertensi pulmoner yang terjadi


akibatefek langsung asap rokok terhadap pembuluh darah intrapulmoner.
Hipertensi pulomoner pada PPOK biasanya disertai curah jantung normal
dan insidens hipertensi pulmoner diperkirakan 2-6 per 1.000 kasus.
Osteoporosis yang terjadi pada pasien PPOK disebabkan faktor malnutrisi
yang menetap, merokok, penggunaan steroid dan inflamasi sistemik
(Soeroto & Suryadinata, 2014)

2.2 Konsep Oksigenasi

2.2.1 Definisi Oksigenasi

Kebutuhan Oksigenasi adalah kebutuhan dasar manusia yang


digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh mempertahankan
hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel (Hidayat & Uliya, 2014)

2.2.2 Proses Oksigenasi

a) Ventilasi Ventilasi merupakan proses keluar masuknya oksigen


dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer.
Proses ventilasi dipengaruhi oleh bebrapa hal yaitu adanya
perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, semakin
tinggi tempat maka tekanan udara semakin rendah, demikian
sebliknya, semakin rendah tempat tekanan udara semakin
tinggi.

b) Difusi Gas

Difusi gas merupakan antara oksigen di alveoli dengan kapiler


paru dan CO2 di kapiler dengan alveoli. Proses pertukaran ini
dipengaruuhi olrh brbrrpa faktor yitu luasnya permukaan paru,
tebal membran respirasi yang terdiri atas epitel alveoli dan
interstisial (keduaya dapat mempengaruhi proses difusi apabila
terjadi penebalan.

c) Transportasi GasTransportasi gas merupakan proses


pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan
tubuh ke kapiler. Pada proses ini 02 diberikan dengan Hb
membentuk Oksihemoglobin dan CO2 akan berkaitan dengan
Hb membentuk Karbominohemoglobin. (Hidayat & Ulia 2014)

Gangguan oksigenasi yang sering muncul pada pasien dengan


Penyakit Paru Obstruktif Kronik. (Tarwoto & Wartonah 2011)

1) Hipoksemia

Hipoksemia merupakan keadaan di mana terjadi penurunan


konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi
O2arteri (SaO2) di bawah normal (normal PaO285-100 mmHg,
SaO295%). Pada neonatus, PaO2< 50 mmHg atau SaO2< 88%.
Pada dewasa, anak, dan bayi, PaG2< 60 mmHg atau SaO2<
90%. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan ventilasi, pertusi,
difusi, pirau (shunt), atau berada pada tempat yang kurang
oksigen. Pada keadaan hipoksemia, tubuh akan melakukan
kompensasi dengan cara meningkatkan pernapasan,
meningkatkan stroke volume, vasodilatasi pembuluh darah, dan
peningkatan nadi. Tanda dan gejala hipoksemia di antaranya
sesak napas, frekuensi napas 35 x/menit, nadi cepat dan dangkal,
serta sianosis.

2) Hipoksia

Merupakan keadaan kekurangan oksigen di jaringan atau tidak


adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen seluler akibat
defisiensi oksigen yang diinspirasi atau meningkatnya
penggunaan oksigen pada tingkat seluler. Hipoksia dapat terjadi
setelah 4-6 menit ventilasi berhenti spontan. Penyebab lain
hipoksia adalah :

a) Menurunnya hemoglobin

b) Berkurangnya konsentrasi oksigen, misalnya jika kita berada


pada puncak gunung

c) ketidakmampuan jaringan mengikat oksigen, seperti pada


keracun sianida

d) menurunnya difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah


seperti pada pneumonia

e) menurunnya perfusi jaringan seperti pada syok;

f) kerusakan atau gangguan ventilasi

g) Tanda-tanda hipoksia di antaranya kelelahan, kecemasan,


menurunnya kemampuan konsentrasi, nadi meningkat,
pernapasan cepat dan dalam, sianosis, sesak napas, serta
clubbing finger.

3) Gagal napas Merupakan keadaan di mana terjadi kegagalan


tubuh memenuhi kebutuhan oksigen karena pasien kehilangan
kemampuan ventilasi secara adekuat sehingga terjadi kegagalan
pertukaran gas karbondioksida dan oksigen. Gagal napas
ditandai oleh adanya peningkatan CO2 dan penurunan O2 dalam
darah secara signifikan. Gagal napas dapat disebabkan oleh
gangguan sistem saraf pusat yang mengontrol sistem pernapasan,
kelemahan neuromuskular, ker acunan obat, gangguan
metabolisme, kelemahan otot pernapasan, dan obstruksi jalan
napas.

4) Perubahan pola napas Pada keadaan normal, frekuensi


pernapasan pada orang dewasa sekitar 18-22 x/menit, dengan
irama teratur, serta inspirasi lebih panjang dari ekspirasi.
Pernapasan normal. Perubahan pola napas dapat berupa:

a) Dispnea, yaitu kesulitan bernapas, misalnya pada pasien


dengan asma;

b) Apnea, yaitu tidak bernapas, berhenti bernapas

c) Takipnea, yaitu pernapasan lebih cepat dari normal dengan


frekuensi lebih dari 24 x/menit;

d) Bradippea, yaitu pernapasan lebih lambat (kurang) dari


normal dengan frekuensi kurang dari 16 x/menit;

e) Kussmaul, yaitu pernapasan dengan panjang ekspirasi dan


inspirasi sama, sehingga pernapasan menjadi lambat dan
dalam, misalnya pada penyakit diabetes melitus dan uremia;

f) Cheyne-stokes, merupakan pernapasan cepat dan dalam


kemudian berangsur-angsur dangkal dan dikuti periode apnea
yang berulang secara teratur. Misalnya pada keracunan obat
bius, penyakit jantung, dan penyakit ginjal Biot, adalah
pernapasan dalam dan dangkal disertai masa apnea dengan
periode yang tidak teratur, misalnya pada meningitis.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigenasi

1) Saraf Otonom

Rangsangan simpatis dan parasimpatis dari saraf otonom dapat


mempengaruhi kemampuan untuk dilatasi dan konstriksi, hal ini
dapat terlihat dari simpatis dan parasmpatis.

2) Hormon dan Obat

Semua obat termasuk derivat catecholamine apat melebarkan


saluran pernapasan.
3) Alergi pada Saluran Napas

Banyak factor yang dapat menimbulkan alergi, antara lain debu


yang terdapat dalam hawa pernapasan, bulu binatang, serbuk
benang sari bunga, kapuk, makanan, dan lain – lain.

4) Lingkungan

Linkungan dapat mempengaruhi kebutuhan oksigenasi, seperti


faktor alergi, ketinggian tanah, dan suhu.

5) PerilakuYang dapat mempengaruhi oksigenasi adalah perilaku


dalam mengkonsumsi makanan (nutrisi), misalnya obesitas dapat
mempengaruhi perkembangan paru.

2.4 Konsep Batuk Efektif

2.4.1 Pengertian Batuk Efektif

Latihan mengeluarkan sekret yang terakumulasi dan mengganggu di


saluran nafas dengan cara dibatukkan. Gombong (2014).

2.4.2 Tujuan Batuk Efektif

1. Membebaskan jalan nafas dari akumulasi secret

2. Mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan diagnostik laborat

3. Mengurangi sesak nafas akibat akumulasi secret. Gombong (2014).

2.4.3 Indikasi Batuk Efektif

a. Klien dengan gangguan saluran nafas akibat akumulasi secret

b. Pemeriksaan diagnostik sputum di laboratorium. Gombong (2014).

2.4.4 Prosedur Batuk Efektif

A. Tahap PraInteraksi

1) Mengecek program terapi


2) Mencuci tangan

3) Menyiapkan alat

B. Tahap Orientasi

1) Memberikan salam dan sapa nama pasien

2) Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan

3) Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien

C. Tahap Kerja

1) Menjaga privacy pasien

2) Mengatur posisi pasien

3) Menganjurkan pasien untuk minum air hangat dulu

4) Instruksikan pasien untuk meletakkan satu tangan di dada dan satu


tangan di abdomen

5) Instruksikan pasien melakukan tarik nafas dalam melalui hidung


dengan mulut tertutup

6) Intruksikan pasien menahan nafas 3-5 detik

7) Instruksikan pasien menghembuskan nafas perlahan (lewat mulut,


bibir seperti meniup)

8) Memasang perlak/alas dan bengkok (di pangkuan pasien bila


duduk atau di dekat mulut bila tidur miring)

9) Instruksikan pasien untuk melakukan nafas dalam 2 kali , yang ke


3: inspirasi, tahan nafas dan batukkan dengan kuat

10) Menampung sputum dalam pot sputum

11) Lakukan tindakan ini 2-3 kali

12) Anjurkan pasien untuk minum air hangat


13) Merapikan pasien

D. Tahap Terminasi

1) Melakukan evaluasi Tindakan

2) Berpamitan dengan klien

3) Mencuci tangan

4) Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan. Gombong


(2014).

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan

2.5.1 Pengkajian pada PPOK

a) Anamnesis

1) Identitas

Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki,


tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan
perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari paparan
polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar yang
digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017). Kebanyakan penderita
PPOK terjadi pada individu di atas usia 40 tahun (PDPI, 2011). Hal
ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur
30-40 tahun (Oemiati, 2013).

2) Keluhan utama

Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru


obstruktif kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat
bila aktivitas, kadang- kadang disertai mengi, batuk kering atau
dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada (PDPI, 2011).
3) Riwayat kesehatan sekarang

Bahwa Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan


obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang
terhadap symptom saluran napas dan dengan peningkatan kerusakan
paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.
Kebiasaan memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur
yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan
bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35% dapat
memicu terjadinya PPOK. Menurut Oemiati (2013)

Produsi mukus berlebihan sehingga cukup menimbulkan batuk


dengan ekspetorasi selama beberapa hari ± 3 bulan dalam setahun
dan paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut dapat memicu
terjadinya PPOK (Somantri, 2012).

4) Riwayat kesehatan masa lalu

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala


pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja (PDPI, 2011). Dan memiliki riwayat penyakit sebelumnya
termasuk asama bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi
saluran nafas saat masa kanak-kanak dan penyakit respirasi lainya.
Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk
penyakit respirasi (Soeroto & Suryadinata, 2014).

5) Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (PDPI, 2011). Riwayat


keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainya. (Soeroto &
Suryadinata, 2014). Riwayat alergi pada keluarga (Mutaqqin, 2008).

6) Pola Fungsi Kesehatan

Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
a) Pola Nutrisi dan Metabolik.

Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia,


ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan
berat badan.

Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.

b) Aktivitas/Istirahat.

Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-


hari, ketidakmampuan untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas
atau istirahat.

Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan


umum/kehilangan massa otot.

c) Sirkulasi.

Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah.

Tanda: Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi


jantung/takikardi berat, distensi vena leher, edema dependent,
bunyi jantung redup, warna kulit/membran mukosa
normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
d) Integritas Ego.
Gejala: peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.
e) Hygiene.
Gejala: Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hygiene.
Tanda: Kebersihan buruk, bau badan.
f) Pernapasan.
Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2
tahun, episode batuk hilang timbul.
Tanda: pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu
pernapasan, bentuk dada barel chest atau normo chest, gerakan
diafragma minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan
pada area paru, warna pucat dengan sianosis bibir dan kuku,
abu-abu keseluruhan.
g) Keamanan.
Gejala: riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan,
adanya / berulangnya infeksi.
h) Seksualitas.
Gejala: Penurunan libido

i) Interaksi Sosial.

Gejala: hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap


pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik karena
penyakit lama.

Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena


disstres pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian
hubungan dengan anggota keluarga lain.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
1) Pernafasan (B1: Breathing).

a) Inspeksi.

Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta


penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara
yang tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot,
dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak
fektif dan penggunaan otot- otot bantu nafas (sternocleidomastoideus).
Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas
kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen disertai demam mengindikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernafasan.

b) Palpasi.

Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya


menurun.

c) Perkusi.

Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor


sedangkan diafrgama menurun.
d) Auskultasi.
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai
tingkat beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar
karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut
penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan dispnea
dan keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang mengalami
emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus
tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya.
Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat
pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami
mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
2) Kardiovaskuler (B2:Blood).
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut
nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak
mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami
distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya
sianosis.
3) Persyarafan (B3: Brain).
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi
penyakit yang serius.
4) Perkemihan (B4: Bladder).
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan
pada sistem perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya
oliguria yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.
5) Pencernaan (B5: Bowel).
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien
tidak nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat badan.

6) Tulang, otot dan integument (B6: Bone).

Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat


keletihan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan
pemenuhan ADL (Activity Day Living).
7) Psikososial.

Pasien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya.


2.5.2 Diagnosa Keperawatan PPOK

a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas

1) Definisi

Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran


nafas guna mempertahankan jalan nafas yang bersih (Wilkinson,
2017)

2) Batasan Karakteristik

Batasan karakteristik yang dapat ditemukan pada ketidakefektifan


bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai
berikut:

a) Subjektif

Dispnea

b) Objektif

1. Suara nafas tambahan (misalnya, crackle, ronki, dan mengi)\


2. Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan

3. Sianosis

4. Kesulitan untuk bicara

5. Penurunan suara napas

Definisi: Suaranya lembut dengan pitch rendah

Cara mengkaji: Teknik mendeng arkan suara nafas menggunakan


stetoskop dikenal dengan teknikauskultasi. Teknik auskultasi
merupakan teknik dasar yang digunakan oleh dokter untuk
mengevaluasi suara nafas. Teknik ini cukup sederhana dan murah,
namun memilikikelemahan yaitu hasil analisisny a yang subjektif
(Kiyokawaet al. 2013 dalam Syafria et al., 2014).

6. Batuk tidak efektif / tidak ada

7. Ortopnea

Definisi: Posisi klien duduk diatas tempat tidur dengan badan


sedikit menelung-kup di atas meja disertai bantuan dua buah
bantal.Masing-masing posisi diberlakukan selama 15menit, lalu
dicatat nilai fungsi ventilasi parunyayang terdiri dari frekuensi
nafas dan arus puncak ekspirasi (Ritianingsih et al., 2011)

8. Gelisah

9. Mata terbelak

3) Factor yang Berhubungan

Faktor yang berhubungan dengan terjadinya ketidakefektifan bersihan


jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai berikut:

a) Lingkungan : Merokok, menghirup asap rokok, dan perokok


pasif.
b) Obstruksi Jalan Nafas: Spasme jalan nafas, retensi sekret, mukus
berlebih, adanya jalan nafas buatan, terdapat benda asing di jalan
napas, sekret di bronki, dan eksudat di alveoli.

c) Fisiologis: Disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding


bronkial, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), Infeksi,
Asma, Jalan nafas alergik (trauma).

b. Gangguan Pola Tidur Berhubungan Dengan Ketidaknyamanan Fisik

c. Intoleransi Aktivitas Berhubungan Dengan Ketidakseimbangan


Antara Suplei dan Kebutuhan Oksigenasi

2.5.3 Intervensi Keperawatan PPOK

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan


ketidakefektifan bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah
sebagai berikut:

Hasil NOC:

a) Pencegahan Aspirasi: Tindakan personal untuk mencegah masuknya


cairan dan partikel padat ke dalam paru.

b) Respon Ventilasi Mekanik: Orang Dewasa: Perubahan alveolar dan


perfusi jaringan disokong secara efektif oleh ventilasi mekanik.

c) Status Pernapasan: Ventilasi: Kepatenan Jalan Napas: Jalan napas


trakeobronkial terbuka dan bersih untuk pertukaran gas.

d) Status Pernapasan: Ventilasi: Pergerakkan udara masuk dan keluar


paru.

Tujuan/Kriteria Evaluasi:

a) Menunjukkan pembersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan


oleh Pencegahan Aspirasi; Status Pernapasan; Kepatenan Jalan Napas;
dan Status Pernapasan: Ventilasi tidak terganggu.
b) Menunjukkan Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas, yang
dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut (sebutkan 1-5:
gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan):

1) Frekuensi dan irama pernapasan

2) Kedalaman inspirasi

3) Kemampuan untuk membersihkan sekresi

c) Pasien akan:

1) Batuk efektif.

2) Mengeluarkan sekret secara efektif.

3) Mempunyai jalan napas yang paten.

4) Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih.

5) Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal.

6) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal.

7) Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di rumah.

Intervensi:

a) Manajemen Jalan Napas: Memfasilitasi kepatenan jalan udara.

b) Pengisapan Jalan Napas: Mengeluarkan sekret dari jalan napas dengan


memasukkan sebuah kateter pengisap ke dalam jalan napas oral
dan/atau trakea.

c) Kewaspadaan Aspirasi: Mencegah atau meminimalkan faktor resiko


pada pasien yang beresiko mengalami aspirasi.

d) Manajemen Asma: Mengidentifikasi, menangani, dan mencegah


reaksi inflamasi/konstriksi di dalam jalan napas.
e) Peningkatan Batuk: Meningkatkan inhalasi dalam pada pasien yang
memiliki riwayat keturunan mengalami tekanan intratoraksik dan
kompresi parenkim paru yang mendasari untuk pengerahan tenaga
dalam menghembuskan udara.

f) Pengaturan Posisi: Mengubah posisi pasien atau bagian tubuh pasien


secara sengaja untuk memfasilitasi kesejahteraan fisiologis dan
psikologis.

g) Pemantauan Pernapasan: Mengumpulkan dan menganalisis data


pasien untuk memastikan kepatenan jalan napas dan pertukaran gas
yang adekuat.

h) Bantuan Ventilasi: Meningkatkan pola napas spontan yang optimal,


yang memaksimalkan pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam
paru.

Aktivitas Keperawatan:

a) Pengkajian

1) Kaji dan dokumentasikan hal hal berikut :

a) Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain

b) Keefektifan obat yang di programkan

c) Hasil oksimetri nadi

d) Frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan

e) Factor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mucus


kental, dan keletihan

2) Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui


penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.

3) Pengisapan Jalan Napas (NIC):


a) Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakea.

b) Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SVO2) dan status
hemodinamik ( tingkat MAP [mean anterial pressure] dan irama
jantung) segera sebelum, selama, dan setelah pengisapan.

c) Catat jenis dan jumlah secret yang di kumpulkan.

a) Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga.

1) Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (misalnya,


oksigen, masin pengisapan, spirometer, inhaler, dan intermitten
positive pressure breathing [IPPB]).

2) Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan


merokok di dalam ruang perawatan; beri penyuluhan tentang
pentingnya berhenti merokok.

3) Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam


untuk memudahkan pengeluaran sekret.

4) Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada batuk.

5) Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada


sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau.

6) Pengisapan Jalan Napas (NIC): Instruksikan kepada pasien


dan/atau kelurga tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu.

b) Aktivitas Kolaboratif:

1) Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu.

2) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau


peralatan pendukung.

3) Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi (dilembabkan)


sesuai dengan kebijakan institusi.
4) Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonik, dan
perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol
institusi.

5) Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal.

c) Aktivitas Lain:

1) Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran sekret.

2) Anjurkan penggunaan spirometer insentif.

3) Jika pasien tidak mampu ambulasi, pindahkan pasien dari satu sisi
tempat tidur ke sisi tempat tidur yang lain sekurangnya setiap dua
jam sekali.

4) Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk


menurunkan kecemasan dan meningkatkan kontrol diri.

5) Berikan pasien dukungan emosi (misalnya, meyakinkan pasien


bahwa batuk tidak akan menyebabkan robekan atau “kerusakan”
jahitan)

6) Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan


maksimal rongga dada (mis., bagian kepala tempat tidur di
tinggikan 45° kecuali ada kontraindikasi.

7) Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret.

8) Singkirkan atau tangani faktor penyebab, seperti nyeri, keletihan,


dan sekret yang kental.

2.5.4 Implementasi

Berikut ini adalah implementasi keperawatan pada klien PPOK menurut


Nugraha et al., (2016):

a. Melakukan auskultasi suara napas dan mencatat suara napas


tambahan seperti mengi, crackles, atau ronki.
b. Mengkaji dan memantau frekuensi pernapasan. Mencatat rasio
inspirasi ke- ekspirasi.

c. Mencatat kerebadaan dan derajat dyspnea.

d. Memriksa kecepatan aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow


rate, PEER) sebelum dan setelah terapi dengan menggunakan meter
aliran puncak (peak flow meter, PFM).

e. Membantu klien mempertahankan posisi nyaman untuk


memfasilitasi pernapasan dengan meninggikan kepala tempat tidur,
bersandar pada meja di atas tempat tidur, atau duduk di tepi tempat
tidur.

f. Membantu klien latihan pernapasan abdomen atau pernapasan


dengan mendorong bibir.

g. Mengobservasi batuk yang peristen, batuk kering, batuk basah.


Membantu tindakan untuk meningkatkan efektivitas upaya batuk.

h. Meningkatkan asupan cairan menjadi 3000 mL/hari dalam toleransi


jantung,berikan air hangat atau hangat kuku.
Merekomendasikanasupan cairan antara waktu makan, bukan selama
makan.

i. Membantu pajanan pada polutan lingkungan seeprti debu, asap, dan


bantal bulu sesuai dengan situasi individual.

j. Menggunakan sebuah spacer ketika memberikan inhaler dosis


terukur (materedd-dose inhalasi, MDI), dan spacer dengan masker
sesuai indikasi.

k. Memberikan medikasi sesuai indikasi.

Berikut ini adalah implementasi keperawatan tambahan untuk pasien


PPOK dengan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
yaitu teknik batuk efektif, clapping dan madu. Jenis madu yang dapat
diberikan adalah madu tualang, Untuk pemberian madu, klien dianjurkan
untuk mengkonsumsi madu pada pagi sebelum sarapan setiap hari dengan
dosis 20 mg (Muhamad et al., 2018).

Madu memiliki kandungan antioksidan yang dapat mencegah terjadinya


PPOK. Enzim super oxidase dismutase merupakan salah satu zat
antioksidan yang dapat mencegah terjadiya PPOK, selain SOD banyak zat
pada madu yang berperan dalam mencegah PPOK seperti vitamin A, C, E,
peroksidase, glukosidase, beta karoten, dan flavonoid. Senyawa tersebut
dapat memutuskan rantai radikal bebas sehingga tidak terjadinya
kerusakan pada sel paru dan menurunkan hipersekresi mukus dengan
menurunkan mediator inflamasi (Saputra & Wulan, 2016).

2.5.5 Evaluasi

a. Menunjukkan perbaikan pertukaran gas dengan menggunakan


bronkodilator dan terapi oksigen

1) Tidak menunjukkan tanda-tanda kegelisahan, konsusi, atau agitasi.

2) Hasil pemeriksaan gas darah arteri stabil tetapi tidak harus nilai-nilai
yang normal karena perubahan kronis dalam kemampuan pertukaran
gas dari paru.

b. Mencapai bersihan jalan napas

1) Berhenti merokok.

2) Menghindari bahan-bahan yang merangsang dan subu yang ekstrem.

3) Meningkatkan intake cairan hingga 6-8 gelas sehari.

4) Melakukan postural drainase dengan benar.

5) Mengetahui tanda-tanda awal terjadinya infeksi dan waspada terhadap


pentingnya melaporkan tanda-tanda ini jika terjadi.

c. Memperbaiki pola pernapasan

1) Berlatih dan menggunakan pernapasan diafragma dan bibir yang


dirapatkan.
2) Menunjukkan penurunan tanda-tanda upaya bernapas.

d. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam batasan toleransi.

1) Mengatur aktivitas untuk menghindari keletihan dan dyspnea.

2) Menggunakan pernapasan terkendali ketika melakukan aktivitas.

e. Mencapai toleransi dan melakukan latihan serta melakukan aktivitas


dengan sesak napas lebih sedikit.

f. Mendapatkan mekanisme koping yang afektif serta mengikuti


program rehabilitasi paru.

g. Patuh terhadap program terapeutik.

1) Mengikuti regimen pengobatan yang telah ditetapkan.

2) Berhenti merokok.

3) Memepertahankan tingkat aktivitas yang dapat diterima (Muttaqin,


2012).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian

Review ini bertujuan untuk mengetahui dan memeriksa literature (examine

literature) tentang penatalaksanaan pasien dewasa Chronic obstructive pulmonary

disease (PPOK) dalam pemenuhan kebutuhan dasar Oksigenasi. Peneliti

melakukan review penelitian yang menggunakan desain studi kasus yang

berhubungan dengan asuhan keperawatan pada pasien dewasa Chronic

obstructive pulmonary disease (PPOK) dalam pemenuhan kebutuhan dasar

Oksigenasi
3.2 Kerangka Kerja

Identifikasi dan penetapan masalah penelitian

Penetapan Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis

Penetapan PICO

Melakukan pencarian hasil penelitian dengan kata kunci “asuhan keperawatan”,


“Chronic obstructive pulmonary disease” dan “Kebutuhan Dasar Oksigenasi”

Melakukan seleksi terhadap referensi telah didapatkan

Melakukan review dan analisa artikel jurnal yang terpilih dengan menggunakan
Critical Appraisal

Menyusun pembahasan dan mengambil kesimpulan hasil review sesuai dengan


tujuan yang telah ditetapkan
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Literature Review Gambaran Asuhan Keperawatan
Pasien dewasa Chronic obstructive pulmonary disease (PPOK) Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Oksigenasi
Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Jurnal penelitian terbaru yang terbit pada 10 tahun terakhir yaitu dari tahun 2010
sampai dengan 2020. Sumber database online yang digunakan berasal dari
repositori baik dari Indonesia atau dari Negara lain yang menggunakan bahasa
Internasional
1) Kriteria Inklusi
1. Telah terpublikasi dengan system Open Access Journal
2. Naskah Jurnal terdiri dari abstract dan fulltext
3. Artikel berbahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
4. Jurnal terindeks google scholar
5. Jurnal dari Indonesia terindeks SINTA
2) Jumlah Referensi
Jumlah referensi yang digunakan dalam literature review ini adalah 5-10
artikel utama fulltext.
3.3 Metode
Review ini bertujuan untuk mengetahui dan memeriksa literature (examine
literature) tentang penatalaksanaan pasien anak Chronic obstructive pulmonary
disease (PPOK) dalam pemenuhan kebutuhan dasar Oksigenasi.
3.4.1 Protocol and Registration
Pada penelitian ini menggunakan metode analisis design Literature Review dan
sesuai dengan indikator inklusi yang spesifik dalam penseleksian dokumen elalui
sistem pencarian yang komprehensif (Comprehensive literature search). Peneliti
melakukan review jadi hasil penelitian yang menggunakan berbagai desain
penelitian yaitu quasi eksperimen, pra eksperimen, korelasional dan
komparasional
3.4.2 Eligibility Creteria
Eligibility Criteria pada penelitian ini dilakukan berdasarkan kriteria inkusi untuk
mengeliminasi dan menyeleksi data. Hasil penelitian yang direview merupakan
penelitian dengan karakteristik studi berupa PICO yang terdiri dari :
1) Population
Partisipan penelitian adalah pasien dewasa dengan Chronic obstructive
pulmonary disease (PPOK) dan mengalami gangguan dalam pemenuhan
kebutuhan dasar oksigenasi dari berbagai kelompok usia.
2) Intervention
Jenis intervensi utama yang ditetapkan adalah pengkajian, penetapan diagnosa
keperawatan, penyusunan intervensi keperawatan, pelaksanaan tindakan mandiri
keperawatan dan evaluasi untuk mengatasi masalah gangguan pemenuhan
kebutuhan oksigenasi.
3) Comparison
Tidak ada intervensi pembanding.
4) Outcome
Hasil yang diukur dalam penelitian adalah pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit pada pasien anak dengan Chronic obstructive pulmonary disease
(PPOK)
3.4.3 Information Sources
Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi dari pencarian electonic
databases, dan pencarian reference list articles, tidak ada pembatasan bahasa pada
aritikel. Penelitian ini diambil dari data base elekronik Google Scholar dan
repository STIKES RS Baptis Kediri, melalui database scanning, dan screening
artikel dilakukan secara mandiri oleh peneliti. Peneliti mengikuti syarat dalam
pemenuhan kriteria inklusi.
3.4.4 Search
Peneliti mengguakan seluruh electronic search strategy untuk setiap database
electronic, dengan limitasi kriterian inklusi. Peneliti menggunakan Search String
dengan kata kunci : Nursing Care Plan; Nursing Intervention [And]; Chronic
obstructive pulmonary disease; Oxygenation dan dalam bahasa Indonesia : Asuhan
Keperawatan; Tindakan Mandiri Keperawatan; Penyakir Paru Obstruksi Kronis [dan]
Kebutuhan Oksigenasi
3.4.5 Data Collection Process
Peneliti mengidentifkasi data melalui pendekatan PICO (Population,
Intervenstion, compare, dan outcame). Peneliti melakukan seleksi dan
penmeriksaan. Data juga diidenftifikasi oleh pembimbing, untuk dilakukan review
hasil ekstraksi oleh peneliti, setelah itu dilakukan diskusi terkait hasil ekstraksi
data yang telah dilakukan oleh peneliti. Peneliti melakukan Critical Appraisal
menggunakan istrumen Critical Appraisal Skill Program (CASP).
3.4.6 Data Items
Informasi data yang diekstrak diantaranya adalah; 1) Karakteristik responden
diantaranya usia, masalah keperawatan, derajat dehidrasi dan tindakan mandiri
keperawatan; 2) Tipe intervensi yaitu tindakan mandiri keperawatan untuk
mengatasi masalah gangguan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.; 3) Tipe
Outcame yang diukur yaitu pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.
3.4.7 Risk of Bias in Individual Studies
Peneliti melakukan validasi terhadap literatur dengan melakukan ekstraksi data.
Peneliti mengidentidfikasi penelitian pada literatur apakah telah dilaksanakan
sesuai dengan prosedur, dan diukur menggunakan alat yang tervalidasi, dan juga
metode pengumpulan data dalam apakah dilakukan blank metode. Peneliti
mengeksplorasi variabilitas pada hasil penelitian (heterogenencity), dan peneliti
menentukan tujuan penelitian atau hipotesis sebelum melakukan analisa. Peneliti
dalam menetapkan tindakan mandiri keperawatan untuk mengatasi masalah
gangguan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.pada setiap literatur
mungkin akan menghasilkan efek yang berbeda-beda sesuai dengan metodologi
penelitian yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai