Anda di halaman 1dari 82

TRAUMA MAKSILOFASIAL

YENI ANGGRAINI
K E PA N I T E R A A N K L I N I K I L M U B E D A H
RSUD DR. SOEDARSO
P S P D U N TA N
PONTIANAK
2013
PENDAHULUAN

 Merupakan trauma fisik yang dapat mengenai


jaringan keras dan jaringan lunak wajah
 Terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma
 Penyebab pada orang dewasa :: kecelakaan lalu
lintas (40-45%), penganiayaan atau berkelahi (10-
15%), olahraga (5-10%), jatuh (5%) dan lain-lain (5-
10%)
 Pada anak-anak penyebab paling sering adalah
olahraga seperti naik sepeda (50-65%), sedang
yang lainnya adalah kecelakaan lalu lintas (10-
15%), penganiayaan atau berkelahi (5-10%) dan
jatuh ( 5-10 %).
ANATOMI WAJAH

Maksilofasial dibagi menjadi


tiga bagian
 Sepertiga atas wajah =
tulang frontalis, regio supra
orbita, rima orbita dan sinus
frontalis.
 Sepertiga tengah =
maksila, zigomatikus, lakri
mal, nasal, palatinus, nasal
konka inferior, dan tulang
vomer
 Sepertiga bawah =
mandibula
DEFINISI

 Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang


mengenai wajah dan jaringan sekitarnya yang
menyebabkan hilangnya kontinuitas tulang-tulang
wajah.
ETIOLOGI
KLASIFIKASI

Trauma jaringan lunak


wajah

 Trauma pada jaringan


lunak wajah diklasifikasikan
berdasarkan jenis luka dan
penyebab seperti
ekskoriasi, luka sayat
(vulnus scissum), luka
robek (vulnus
laceratum), luka bacok
(vulnus punctum), luka
bakar (combustio) dan luka
tembak (Vulnus
Trauma jaringan keras wajah

Fraktur Sepertiga Bawah


Wajah
(Fraktur Mandibula)

 40% – 62% dari seluruh


fraktur wajah
 perbandingan pria dan
wanita, yaitu 3 : 1 – 7 : 1
 Kegiatan olahraga penyebab
paling umum fraktur
mandibular (31,5%), diikuti
oleh kecelakaan kendaraan
bermotor (sejumlah 27,2%).9
LOKASI FRAKTUR
MANDIBULA
 1/3 fraktur mandibula
terjadi di daerah
kondilar-subkondilar,
 1/3 terjadi di daerah
angulus, dan
 1/3 lainnya terjadi di
daerah
korpus, simfisis, dan
parasimfisis.
 Fraktur subkondilar
banyak ditemukan pada
anak-anak, sedangkan
fraktur angulus lebih
sering pada remaja dan
dewasa muda.
JENIS FRAKTUR MANDIBULA
Tanda dan gejala8,9,11

 Nyeri, dapat dirasakan saaat pasien mencoba


menggerakkan rahang untuk berbicara, mengunyah atau
menelan.
 Perdarahan dari rongga mulut.
 Maloklusi. Keadaan dimana rahang tak dapat
dikatupkan.
 Trismus. Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35
mm, batas terendah nilai normal adalah 40 mm.
 Pergerakan Abnormal
 Ketidakmampuan menutup rahang = menandakan
fraktur pada prosessus alveolar, angulus, ramus dari
simfisis.
 Krepitasi tulang.
 Mati rasa pada bibir dan pipi.
DIAGNOSIS

Anamnesis
 Keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur
mandibula dicurigai dari adanya nyeri, oklusi
abnormal, mati rasa pada distribusi saraf
mentalis, pembengkakan, memar, perdarahan
gigi, gigi yang fraktur atau
tanggal, trismus, ketidakmampuan mengunyah.
 Riwayat trauma seperti kecelakaan lalu
lintas, kekerasan, terjatuh, kecelakaan olah raga
ataupun riwayat penyakit patologis.10
II. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pasien secara umum


 Umumnya trauma maksilofasial dapat diketahui
keberadaannya pada pemeriksaan awal (primary
survey) atau pemeriksaan sekunder (secondary
survey).
 Pemeriksaan saluran napas merupakan suatu hal
penting karena trauma dapat saja menyebabkan
gangguan jalan napas.
 Penyumbatan dapat disebabkan oleh terjatuhnya lidah
kearah belakang, dapat pula oleh tertutupnya saluran
napas akibat adanya lendir, darah, muntahan, dan
benda asing.12
b. Pemeriksaan lokal fraktur mandibula12
1. Pemeriksaan klinis ekstraoral
 Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis
dan pembengkakan.
 Laserasi jaringan lunak .
 Jika terjadi perpindahan tempat dari fragmen-fragmen itu pasien
tidak bisa menutup geligi anterior, dan mulut menggantung kendur
dan terbuka.
 Pasien sering kelihatan menyangga rahang bawah dengan tangan.
 Dapat pula air ludah bercampur darah menetes dari sudut mulut
pasien.
 Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah
kondilus pada kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang
perbatasan bawah mandibula.
 Jika fraktur mengenai saraf mandibula maka bibir bawah akan
mengalami mati rasa.
2. Pemeriksaan klinis intraoral
 Setiap serpihan gigi yang patah harus
dikeluarkan..
 Sulkus bukal diperiksa adanya ekimosis dan
kemudian sulkus lingual.
 Dengan hati-hati dilakukan palpasi pada daerah
dicurigai farktur, ibu jari serta telunjuk ditempatkan
di kedua sisi dan ditekan untuk menunjukkan
mobilitas yang tidak wajar pada daerah fraktur.
 Palpation of the inferior borders of the mandible (A)
and preauricular areas (B). Irregularities or
tenderness indicate the possibility of fractures.
 The method of
bimanual
palpation of the
mandible to
detect fractures
through the
tooth-bearing
region.
 Patient showing
deviation of the
mandible to the right
side when
attempting to open
the mouth (A). This
patient has a right
condylar fracture
(arrow) that is seen
on panoramic
radiography (B).
III. Pemeriksaan Radiologis8,11,12

 Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan


mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan ini
memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan
pada pasien trauma, selain itu kurang
memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial
dan fraktur prosessus alveolar.
 Pemeriksaan radiografik defenitif terdiri dari
fotopolos mandibula PA, oblik lateral.
 CT Scan baik untuk fraktur kondilar yang sulit dilihat
dengan panoramic
Normal PA mandibula
 There is a mildly displaced fracture of the
angle of the right mandible.
 There is a mildly
displaced fracture
of the angle of the
right
mandible.
 Lateral view of mandible showing linear fracture
(arrow).
 Left sided mandibular fracture of the
mandibular condyle.”
 Dislocated mandible.
Both mandibular
condyles (labeled M) are
dislocated anterior to
their respective
mandibular fossae (red
and black arrows) in the
temporal bones. The
blue arrow
points to the articular
eminence which
prevents the mandibular
condyle (black M) from
relocating
in the mandibular fossa
(black arrow).
Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

 Fraktur Le Fort (LeFort


Fractures) merupakan tipe
fraktur tulang-tulang wajah
yang adalah hal klasik terjadi
pada trauma-trauma pada
wajah.
 Fraktur Le Fort diambil dari
nama seorang ahli bedah
Perancis René Le Fort (1869-
1951) yang
mendeskripsikannya pertama
kali di awal abab 20.9
Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)/ (transversal)

 merupakan jenis fraktur


yang paling sering terjadi,
 Fraktur Le Fort I meliputi
fraktur horizontal bagian
bawah antara maxilla dan
palatum/arkus alveolar
kompleks.
 menyebabkan
terpisahnya prosesus
alveolaris dan palatum
durum.
 Garis fraktur berjalan ke
belakang melalui lamina
pterigoid. Fraktur ini bisa
 Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami
pergerakan yang disebut floating jaw.
 Pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas.
 Edema pada wajah
 hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi
akibat dari adanya edema.

 Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi seri


dan palatum durum dan mendorong masuk dan
keluar secara lembut.
Fraktur Le Fort tipe II
 Fraktur Le Fort tipe II =
fraktur piramidal.
 Berjalan melalui tulang
hidung dan diteruskan ke
tulang lakrimalis, dasar
orbita, pinggir infraorbita
dan menyebrang ke
bagian atas dari sinus
maksila juga ke arah
lamina pterigoid sampai ke
arah fossa pterigopalatina.
 testing for mobility of the central midface.
 Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel sel etmoid
dapat merusak sistem lakrimalis. Karena sangat mudah
digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating
maxilla (maksila yang melayang) ”.
 Le Fort II :
 Edema pada wajah,
 edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang
terlihat seperti racoon sign.
 Perdarahan subkonjungtiva dan hipoesthesia di nervus
infraorbital, dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju
perkembangan dari edema.
 Maloklusi
 Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat
palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal.
 Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan
pada kasus ini.
Fraktur Le Fort III9

 Garis Fraktur melalui


sutura nasofrontal
diteruskan sepanjang
ethmoid junction melalui
fissure orbitalis superior
melintang kearah dinding
lateral ke orbita, sutura
zigomatico-frontal dan
sutura temporo-
zigomatikum.
 Disebut juga sebagai
“cranio-facial disjunction”.
Merupakan fraktur yang
memisahkan secara
lengkap sutura tulang dan
 Edema wajah yang masif,
 ekimosis periorbital,
 remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang
zygomatikomaksila,
 pergerakan gigi, palatum durum,
 epistaksis, keluar cairan serebrospinal pada hidung.
 Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini
yaitu keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan
lamina cribiformis.
 left inferior orbital rim
(fractured: Le Fort II is likely
present),
 and left zygomatic arch
(fractured: Le Fort III is likely
present).
 Coronal CT image shows
fracture of lateral orbital rim
(frontal process of zygoma) on
left (solid arrow); Le Fort III
fracture is present on
left, because lateral rim is also a
unique feature of Le Fort III
fractures.
 Left orbital floor on left (open
arrow) is fractured, as is
expected in Le Fort II fractures.
Right orbital floor is intact.
 The method to palpate the midface for Le Fort fractures.
The anterior teeth are grasped and the maxilla manipulated
to determine whether it moves. If motion is palpated at the
nasal bridge (A), a Le Fort II or III fracture is present. If
motion is also detected at the zygoma (B), a Le Fort III
fracture is present. If motion is not detected at either point
but the maxilla is loose, a Le Fort I fracture is likely.
FRAKTUR ZIGOMA

 insiden dari fraktur zigoma (27,64%)


 Predileksi terutama pada laki-laki, dengan
perbandingan 4:1 dengan perempuan.
 Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering
adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan
bermotor.
 Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi, hanya sekitar
4 % dari 2067 kasus
Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus :
 fraktur stable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran
ke medial), (b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial
atau ke lateral.
 Fraktur unstable after elevation: (a) hanya arkus
(pergeseran ke medial); (b) rotasi pada sumbu
vertikal, medial atau lateral; (c) dislokasi en
loc, inferior, medial, posterior, atau lateral; (d) comminuted
fracture.
 Normal lines of
fracture in a
zygomaticomaxillary
compound fracture.
Note the fracture
extending through the
infraorbital
foramen, commonly
resulting in numbness
to the upper lip, side of
the nose, and lower
eyelid.
 Penemuan klinis yang bisa ditemukan:
 Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas
pergerakan rahang.
 tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi.
 Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan.
 Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas
disebakan kelainan pada nervus infraorbital.
 diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada
muskulus rektus inferior.
 Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada
kelainan di mandibula.
 ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.
 A patient with a depressed
zygomaticomaxillary complex
fracture. Note the loss of cheek
contour on the left.
 Palpation of the zygoma externally
(A) and in the maxillary vesibule
(B) for osseous irregularities.
FRAKTUR NASAL

 Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat


trauma dengan bengkak, dan krepitus pada
jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami
epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur
dengan CSF.
 Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas
septum nasal karena adanya pergeseran
septum dan fraktur septum.
 Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti
patah hidung dengan telecanthus, pelebaran
jembatan hidung dengan canthus medial
terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.
 Method of palpating the nasal
complex for fractures. The nasal
pyramid should be moved right and
left to detect mobility.
 Patient with naso-orbitoethmoid
fracture and cerebrospinal fluid
rhinorrhea (A). The fluid leaves a
double ring where it drips onto
fabric (B).
 Lateral radiographic view of a displaced nasal bone
fracture in a patient who sustained this injury
because of a punch to the face during a hockey
game.
 A patient with naso-
orbitoethmoid fracture.
Note the increase in the
intercanthal distance and
the rounded shape of the
medial palpebral fissure
on the right. The normal
palpebral fissure on the
patient's left has an
angular relationship
between the upper and
lower eyelids.
Fraktur Sepertiga Atas Wajah

 Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang


frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis.
 Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed
ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier
yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
 Ditandai dengan destruksi atau krepitasi pada
supraorbital rims, emfisema subkutan, dan parestesi
pada supraorbital nerve.
 Patient with frontal sinus
fracture. A, Note the
swelling on the patients left
side (arrows).
 B, CT scan showing the
fractures through the
anterior and posterior
tables of the frontal sinus
and resulting
pneumocephalus.
DIAGNOSIS TRAUMA MAKSILOFASIAL
Anamnesis
Tanyakan pertanyaan spesifik tentang cedera.
 Bagaimana mekanisme cedera?
 Apakah pasien kehilangan kesadaran?
 Apakah pasien memiliki masalah visual seperti penglihatan ganda atau
kabur?
 Apakah pasien memiliki masalah pendengaran apapun, seperti
pendengaran menurun atau tinnitus?
 Apakah gigi kontak seperti biasanya (oklusi normal)?
 Apakah pasien mampu menggigit tanpa rasa sakit?
 Apakah pasien mengalami mati rasa atau kesemutan pada wajah?
 Apakah pasien mengalami kesulitan bernapas melalui hidung?
 Apakah terdapat perdarahan dari hidung atau telinga?
 Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup
mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot?
Inspeksi

Secara sistematis bergerak dari atas ke


bawah :
 a.
Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edem
a.
 b. luka tembus.
 c. Asimetris atau tidak.
 d. Adanya Maloklusi /
trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
 e. Otorrhea / Rhinorrhea
 f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's
sign.
 g. Cedera kelopak mata.
 h. Ecchymosis, epistaksis
 i. defisit pendengaran.
 Raccoon Eyes. Ecchymosis in the periorbital
area, resulting from bleeding from a fracture site in
the anterior portion of the skull base. This finding
may also be caused by facial fractures.
Palpasi

 Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya


lecet, bengkak, ecchymosis, luka, dan perdarahan,
 Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing
seperti pasir, batu kerikil.
 Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi
avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
 Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi terutama di daerah
pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang
frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma
dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.
 Palpasi zygoma sepanjang lengkungan serta artikulasi
dengan tulang frontal, tulang temporal, dan maxillae
 Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan
langit-langit secara keras dan lembut dengan mendorong
maju dan mundur, lalu naik dan turun
 Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos
atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak
mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak
interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi
terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
 Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin
menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
 Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah
hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan
Krepitasi.
 Periksa septum hidung untuk hematoma, massa
menonjol kebiruan, laserasi pelebaran
mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea cairan
cerebrospinal.
 Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan
serebrospinal, integritas membran
timpani, hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis daerah
mastoid (Battle sign).
 Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau
bengkak.
 Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-
tanda Krepitasi atau mobilitas.
 Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan
yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi
menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung
menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
 Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa
sakit, gingiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya
krepitasi.
 Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras
pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan
 Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi
temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan
bentuk, atau ecchymosis.
 Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan
satu jari di saluran telinga eksternal, sementara
pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit
atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
 Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
 Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II -
VIII
Pemeriksaan Radiologis

 untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk


mengetahui letak fraktur.
 Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan
fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
 panoramic view, postero-anterior view, lateral
oblique view. Computed Tomography (CT) scans
 Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga
tengah wajah dapat menggunakan Water’s
view, lateral skull view, posteroanterior skull
view, dan submental vertex view.
Penatalaksanaan Pasien Fraktur
Maksilofasial

 Manajemen Umum
 A : Airway maintenance with cervical spine
control/ protection
 B : Breathing and adequate ventilation
 C : Circulation with control of hemorrhage
 D : Disability neurologic examination
 E: Exposure/ enviromental control
Terapi medis umum

 Jika pasien sadar. Dudukkan pasien menghadap ke depan


sehingga lidahnya, saliva dan darah mengalir keluar.
 Jika pasien tidak sadar Saat perawatan perlu ditidurkan pada
posisi recovery, hati – hati bila ada cedera lain yang
membahayakan.
 Diberikan oksigen dan cairan kristaloid isotonik.
Mengadministrasikan Packed Red Cell (PRC) jika pasien
mengalami pendarahan masif. Diindikasikan tetanus profilaksis.
Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis :
25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.
 Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur –
kumur dengan :
 Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
 larutan garam 2 %
 jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.
Obat-obatan
 Antibiotika, diberikan golongan penisillin
selama seminggu, harus diberikan segera.
 Untuk luka wajah, gunakan Cefazolin
(Sefalosporin).
 Untuk luka rongga mulut, gunakan
klindamisin.
 Untuk patah tulang sinus, gunakan
amoksisilin.
 Untuk patah tulang dengan robeknya
duramater atau kebocoran cairan
serebrospinal, gunakan vankomisin dan
ceftazidime.
 Jika gelisah berikan diazepam.
 Manajemen nyeri. Gunakan obat oral untuk luka
ringan dan obat parenteral jika pasien tidak dapat
mengambil obat oral (yaitu, tidak melalui mulut).
Untuk obat anti-inflamasi, gunakan
ibuprofen, naproxen, atau ketorolac.Untuk kontrol
pusat, gunakan narkotika
(misalnya, kodein, oxycodone, xanax, meperidin, mo
rfin).
PEMBEDAHAN

 Prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan


sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur
maksilofasial ialah :
 reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen
tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi
segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi
segmen-segmen pada lokasi fraktur.
 Perawatan fraktur dengan menggunakan
intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi
tertutup karena tidak adanya pembukaan dan
manipulasi terhadap area fraktur secara langsung.
Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan
ialah penggunaan arch bar.
 Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah
perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area
fraktur secara langsung dengan tindakan
pembedahan.
 dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara
adekuat.
 Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah
berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau
pada fraktur unfavorable, seperti fraktur
angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis
pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen
proksimal mandibula.
FRAKTUR MANDIBULA

 IDW – IMW
 Arch Bar
 Miniplate dan screw
FITTING AN ARCH BAR. A, bending it to shape. B, fitting it round the maxilla.
C, wiring it to the maxilla. D, passing a win round a tooth. E, fixing the rubber bands.
After R.O. Dingman and P. Navig ’Surgery of Facial Fractures’ W.B. Saunders Co.
Publishers, permission requested
 Bridle wire is used for
temporary stabilization
of a fractured segment.
 This provides some
patient comfort by
minimizing mobility of
the fracture segments

Bridle wire used to decrease mobility and


provide patient comfort.
 Le Fort I : Reposisi dan arch bar maxilla digantung
dengan snar wire pada tepi
bawah orbita atau IMW.
 Le Fort II : Reposisi dengan Rowe Forceps
• Fiksasi : IDW + IMW / arch bar + suspense
• Miniplate
Fiksasi wire/arch bar dipertahankan selama 5 – 6
minggu.
 Le Fort III : Open reduction internal fixation
Fiksasi dengan miniplate dan wire
FRAKTUR ZYGOMATICUM
FRAKTUR NASAL

 KONSERVATIF
 Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal.

 Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan
tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan.
 Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai
perdarahan berhenti.
 Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya

 Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian.

 Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa


nyaman pada pasien.

 OPERATIF
 Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen
tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.
 Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan
fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
FRAKTUR NASAL

 ELEVATING A
FRACTURE OF THE
NOSE.
 A, inflitrating the site
of the fracture.
 B, raising the
depressed bones with
curved artery forceps.
Always suspect a
fracture after any
blow on the nose.
Swelling of the soft
tissues can easily
hide it.
 This custom medical
exhibit features
surgical images for
stabilization of
fractures to the
maxilla and mandible
(involving the upper
and lower jaw and
teeth). Images
include: 1. Tooth
extraction, 2.
Stabilization wire
placement, and
finally 3.
Immobilization of the
jaws with Erich arch
bars.

Anda mungkin juga menyukai