Diagnosis Leptospira Dan Permasalahannya: Ning Rintiswati, Luthvia Annisa
Diagnosis Leptospira Dan Permasalahannya: Ning Rintiswati, Luthvia Annisa
PERMASALAHANNYA
ABSTRACT
Leptospirosis is directly or indirectly transmitted disease from animals
to human. This is one of the most widespread zoonosis in te world, with
a higher incidence in tropical and subtropical country. It has a wide
spectrum of clinical manifestations, ranging from mild flu-like syndrome,
to the severe form with multiple organ dysfunctions that can lead to
death. Leptospirosis is a treatable disease, however its wide spectrum of
symptoms that may mimic other diseases, makes it difficult to confirm
its diagnosis by clinical findings alone. Several laboratory diagnosis
methods for leptospirosis have been developed, but every methods has
its limitations. Moreover in Indonesia, the availability of laboratory
resources as well as skilled laboratory personnel in some areas are still
very limited.
ABSTRAK
Leptospirosis merupakan penyakit yang ditularkan secara langsung
maupun tidak langsung dari hewan ke manusia. Penyakit ini tersebar
di seluruh dunia namun memiliki kejadian yang lebih tinggi di
negara dengan iklim tropis dan subtropis. Spektrum penyakit ini
sangat luas, mulai dari bentuk ringan hingga bentuk berat yang dapat
menyebabkan kematian. Leptospirosis merupakan penyakit yang
10
dapat diobati, namun gejalanya yang luas dan dapat menyerupai gejala
penyakit lain membuat diagnosisnya sulit ditegakkan secara klinis.
Banyak metode diagnosis laboratorium yang telah dikembangkan,
namun setiap metode memiliki keterbatasannya masing-masing.
Selain itu keterbatasan fasilitas laboratorium dan teknisi yang terampil
masih menjadi masalah di banyak daerah di Indonesia.
PENDAHULUAN
Pada tahun 1914, Dr. Ryokichi Inada menemukan patogen
penyebab Weil’s disease, penemuan ini dipublikasikan dalam “Theory
on Spirochaeta icterohaemorrhagiae (japonica)”. Kemudian pada tahun
1917, Hideyo Noguchi menamakannya leptospira, leptos berarti
langsing, spira berarti spiral.
Familia Leptospiraceae merupakan anggota dari ordo
Spirochetales. Terdapat 3 genera pada famili ini, yaitu Leptospira,
Leptonema, dan Turneria. Sebelum 1989, Genus Leptospira dibagi
menjadi dua spesies, Leptospira interrogans (strain patogenik) dan
Leptospira biflexa (strain saprofitik). (1) Kemudian pengelompokan
berdasarkan genotipik lebih dikembangkan saat ini. Genomospecies
mencakup seluruh serovar dari L. interrogans dan L. biflexa, yang
dibagi menjadi 20 spesies, kemudian dikelompokkan menjadi tiga
kelompok besar berdasarkan filogenisitas dan patogenisitasnya, yaitu:
patogenik (strain yang diisolasi dari manusia atau hewan), intermediet,
dan saprofitik (strain yang hidup di alam bebas, nonpatogenik). (2)
Secara morfologi, Leptospira memiliki ukuran panjang tubuh
5-15 um dan diameter 0,1-0,2 um, dengan bentuk salah satu ujungnya
membengkok seperti kait. Leptospira sulit untuk diwarnai, namun
dapat menunjukkan impregnasi perak. Pada gambaran mikroskopik
elektron didapatkan filamen aksial tipis dengan membran yang halus.
11
Bakteri ini bersifat motil, sehingga sangat baik diamati gerakannya di
bawah mikroskop medan gelap. Leptospira dapat tumbuh baik pada
kondisi aerobik dengan suhu 28-30oC. (3)
Leptospira dapat memasuki tubuh host melalui luka atau abrasi
kulit dan melalui membran mukosa seperti selaput mata, hidung dan
tenggorokan, lewat kontak langsung maupun tidak langsung dengan
urin atau jaringan hewan yang telah terinfeksi. Setelah memasuki
sirkulasi host, fase ini dapat berlangsung hingga 7 hari setelah masa
inkubasi yang disebut fase bakteremia. Selain di darah, Leptospira
dapat berada di cairan serebrospinal dan hampir semua jaringan di
tubuh host pada fase ini. Selanjutnya Leptospira akan dibersihkan dari
sirkulasi oleh sistem imun host, sehingga disebut fase imun. Namun
Leptospira akan bertahan di dalam tubulus renalis selama beberapa
minggu hingga beberapa bulan. (4)
KEPENTINGAN DIAGNOSTIK
Leptospira merupakan penyebab leptospirosis, salah satu zoonosis
yang tersebar paling luas di seluruh dunia, terutama pada daerah
tropis dan subtropis. Di Indonesia sendiri, insiden leptospirosis masih
tinggi dengan puncak saat musim hujan, dimana banyak dijumpai
genangan air. Spektrum klinis leptospirosis sangat luas, mulai dari
gejala ringan mirip flu seperti mialgia, demam, batuk, hingga bentuk
berat yang disebut penyakit Weil dengan gambaran klinik ikterik, gagal
ginjal dan gangguan hepar akut hingga perdarahan pulmonal yang
dapat mengakibatkan kematian. Keberhasilan penegakan diagnosis
leptospirosis secara dini berkaitan dengan outcome penyakit yang
lebih baik, sehingga metode diagnostik yang tepat sangat dibutuhkan
dalam penanganan leptospirosis. (2)
Beberapa pendekatan diagnostik telah banyak digunakan
selama ini, baik secara serologis, isolasi Leptospira, deteksi antigen,
pemeriksaan langsung, maupun pendekatan yang paling mutakhir
12
secara molekular. Saat ini Microscopic Agglutination Test (MAT)
adalah “baku emas” serologis dalam penegakan diagnosis leptospirosis
karena spesifisitasnya yang tinggi. Namun antibodi anti-Leptospira
hanya dapat dideteksi pada minggu kedua setelah munculnya gejala
penyakit, sehingga pada fase awal penyakit, MAT dapat memberikan
hasil negatif palsu. Sensitivitas MAT yang rendah pada awal penyakit
membuatnya tidak dapat digunakan untuk diagnosis pada awal
penyakit. (1)(5)
BAHAN PEMERIKSAAN
Bahan pemeriksaan untuk pasien suspek leptospirosis harus
diperhatikan tidak hanya dari jenis pemeriksaan yang akan dilakukan,
namun juga mempertimbangkan fase infeksi dari leptospirosis.
Leptospira masih berada dalam darah hingga 7-10 hari setelah
onset gejala (fase bakteremia), pada fase ini Leptospira dapat juga
berada di cairan serebrospinal dan di jaringan organ tubuh. Isolasi
Leptospira dari darah tidak akan memberi hasil yang bermakna jika
dilakukan setelah fase bakteremia tersebut. Setelah itu, Leptospira
akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh sistem imun host hingga
terdeposisi di tubulus konvulutus renalis dan bertahan hingga
beberapa bulan, membuatnya ikut dilepaskan bersama urin. Sehingga
setelah minggu pertama penyakit, deteksi Leptospira menggunakan
sampel dari urin. (4)
Untuk kultur, urin langsung diinokulasikan pada media dalam
kurun 1 jam dari pengambilan spesimen. Untuk stabilitas yang lebih
lama, urin dapat diencerkan dalam serum albumin bovine 1% dengan
rasio 1:10 dan disimpan di suhu 5-200 C. Untuk darah dapat langsung
diinokulasikan pada media kultur dan perlu dijaga dari panas dan
dingin berlebih (pada suhu ruang). Spesimen untuk kultur dapat
diulang (multiple specimens) dengan jarak setidaknya satu hari untuk
meningkatkan kemungkinan terisolasinya Leptospira. (8)
13
Antibodi anti-Leptospira mulai diproduksi saat fase imun pada
minggu kedua setelah onset gejala atau kadang sedikit lebih lama.
Pemeriksaan serologi dapat memberikan hasil negatif palsu jika sampel
diambil sebelum munculnya antibodi. Untuk konfirmasi diagnosis,
dilakukan pemeriksaan serologi ulang dengan interval tujuh hari
(paired sera). (1)
2. Metode Kultur
Kultur Leptospira dapat menggunakan media selektif;
Fletcher, Stuart, EMJH (Ellinghausen-McCulloughJohnson-Harris)
14
yang dikombinasikan dengan Neomisin atau 5-fluorouracil untuk
meminimalkan kontaminan. Leptospira tumbuh pelan, kultur dapat
tumbuh beberapa hari sampai dengan empat minggu, namun hasil
negatif dilaporkan setelah 6 minggu inkubasi. (8)
Panjangnya waktu kultur yang diperlukan membuat metode ini
hanya digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Hasil kultur yang positif
dapat tetap viabel hingga lebih dari 8 minggu. Hasil positif dikirimkan
ke reference laboratory untuk serotyping. (8)
3. Metode Serologi
Saat ini metode diagnosis serologi merupakan teknik yang
paling sering digunakan. Antibodi spesifik terhadap Leptospira akan
muncul 7-10 hari setelah onset meski kadang sedikit lebih lama dari
itu, lalu menetap beberapa minggu atau bulan bahkan tahun. Teknik
serologi yang menggunakan tes aglutinasi mikroskopik (MAT) dapat
membedakan serovarian.
15
Penentuan nilai cut off juga krusial dalam pemeriksaan MAT,
namun masih banyak menjadi perdebatan karena tiap daerah dapat
menetukan nilai cut off dengan menyesuaikan data di daerah tersebut.
Nilai titer yang rendah pada daerah non endemis dapat dianggap positif
meski tetap harus disesuaikan dengan klinis dan riwayat paparannya.
(1) Sedang pada daerah endemis, banyak orang yang telah memiliki
kadar antibodi terhadap Leptospira akibat paparan sebeumnya,
sehingga cut off nilai titer antibodi ditentukan lebih tinggi atau dengan
pemeriksaan ulang untuk melihat serokonversi atau peningkatan 4
kali lipat dari titer pemeriksaan sebelumnya.
Keterbatasan utama dalam metode ini adalah kewajiban menjaga
kelangsungan panel hidup Leptospira. Antibodi dari strain yang tidak
terdapat pada panel kemungkinan menjadi tidak terdeteksi. Pada
spesimen tunggal dapat terjadi false negatif jika spesimen diambil
sebelum fase imun. Dan bahaya paparan biohazard pada personel
yang melakukan pemeriksaan dengan panel hidup Leptospira.
16
Kekurangan dari teknik ini adalah ketersediaannya belum luas.
KESIMPULAN
1. Deteksi Leptospira dengan teknik amplifikasi DNA dapat
menjadi teknik yang ideal karena cepat dan bermakna sejak
minggu pertama onset penyakit sehingga mendukung early
diagnosis. Namun penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk
mengembangkan teknik ini dengan menggunakan primer lokal.
2. Mengembangakan rapid diagnostic serologis.
. Diperlukan penelitian kolaborasi antara mikrobiologis dengan
klinisi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Musso D, La B. Laboratory diagnosis of leptospirosis : A challenge.
JMII [Internet]. 2013;46(4):245–52. Available from: http://dx.doi.
org/10.1016/j.jmii.2013.03.001
17
2. Picardeau M. Diagnosis and epidemiology of leptospirosis. Med
Mal Infect [Internet]. 2013;43(1):1–9. Available from: http://
dx.doi.org/10.1016/j.medmal.2012.11.005
3. Carroll KC, Hobden JA. 2016. Jawetz, Melnick & Adelberg’s
Medical Microbiology: 27th Ed. McGraw Hill, p.330–331.
4. Evangelista, K. V., & Coburn, J. 2010. Leptospira as an emerging
pathogen: a review of its biology, pathogenesis and host immune
responses. Future Microbiology, 5(9), 1413–1425. http://doi.
org/10.2217/fmb.10.102
5. Picardeau M, Bertherat E, Jancloes M, Skouloudis AN, Durski
K, Hartskeerl RA. Rapid tests for diagnosis of leptospirosis :
Current tools and emerging technologies. Diagn Microbiol Infect
Dis [Internet]. 2014;78(1):1–8. Available from: http://dx.doi.
org/10.1016/j.diagmicrobio.2013.09.012
6. Levett PN, Branch SL, Whittington CU, Edwards CN. Two
Methods for Rapid Serological Diagnosis of Acute Leptospirosis.
2001;8(2):349–51.
7. Bal AE, Gravekamp C, Hartskeerl RA. Detection of Leptospires
in Urine by PCR for Early Diagnosis of Leptospirosis.
1994;32(8):1894–8.
8. Garcia SL, Isenberg HD. 2007. Clinical Microbiology Procedures
Handbook 2nd ed. Washington : ASM Press. (1)3.14.1-3.14.4
18