Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di zaman modern ini masyarakat Indonesia telah banyak yang melupakan sejarah-sejarah terutama
sejarah peradaban Islam di Indonesia.

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dengan diproklamirkannya


proklamasi oleh Ir.Soekarno, sesungguhnya perjuangan bangsa ini masih banyak yang harus
disempurnakan. Sejak awal kebangkitan Nasional, posisi agama sudah mulai di bicarakan dalam
kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang
bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara Indonesia merdeka hendaknya
merupakan sebuah negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan
politik, sebagaimana diterapkan di negara turki oleh mustafa kamal. Golongan lainnya bependapat,
negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”.

Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam. Walaupun
Indonesia tidak memakai Islam sebagai Asas Negara, akan tetapi mayoritas kebudayaan yang diusung
oleh Islam sangat mendominasi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya penduduk yang beragama
Islam. Kebudayaan-kebudayaan yang berlaku itu berangsur-angsur membentuk suatu peradaban Islam
yang mampu membawa penduduk Indonesia kepada kemajuan dan kecerdasan.

Peradaban Islam di Indonesia Sesudah Kemerdekaan mengalami perubahan yang sangat pesat,
perubahan tersebut terjadi hampir meliputi seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam makalah
ini akan membahas sedikit tentang masalah perubahan yang ada di peradaban islam sesudah
kemerdekaan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Islam Indonesia Pada Masa Revolusi

Pada awal kemerdekannya, Indonesia menghadapi sebuah pertanyaan besar, apakah pemerintahan
akan dijalankan berlandaskan ajaran agama Islam ataukah secara sekuler? Hal ini dipicu oleh tindakan
dimentahkannya kembali Piagam Jakarta. Kedudukan golongan Islam merosot dan dianggap tidak bisa
mewakili jumlah keseluruhan umat Islam yang merupakan mayoritas. Misalnya saja, dalam KNIP dari 137
anggotanya, umat islam hanya diwakili oleh 20 orang, di BPKNIP yang beranggotakan 15 orang hanya 2
orang tokoh Islam yang dilibatkan. Belum lagi dalam kabinet, hanya Menteri Pekerjaan umun dan
Menteri Negara yang di percayakan kepada tokoh Islam, padahal Umat Islam mencapai 90% di
Indonesia.

Dalam usaha untuk menyelesaikan masalah perdebatan ideologi diambilah beberapa keputusan.
Mereka menganjurkan suatu negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintah
mengakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam
kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.

1. Departemen Agama

Departemen Agama (dulu namanya Kementerian Agama) didirikan pada masa Kabinet Syahrir pada
tanggal 3 Januari 1946. Menteri Agama yang pertama adalah M.Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12
Maret 1946. Usaha untuk mendirikan departemen itu mulanya mendapat halangan dari para perumus
UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat pada tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi Komite Nasional
pusat (KNIP), pada tanggal 11 November 1945 mengusulkan pendiriannya. Usul itu diprakarsai oleh K.H.
Abudardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro, kesemuannya adalah anggota KNIP dari
daerah Banyumas. Usul itu mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M
Kartusodarmo (semuannya anggota KNIP) dan disetujui oleh badan legislatif tersebut.[1] Dapat
dikatakan, bahwa berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pihak pemerintah kala itu
dengan keinginan mayoritas Muslim.

Sebelum terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan mengenai apakah kmenterian ini akan
dinamakan Kementerian Agama Islam atau Kementerian Agama. Akhirnya, diputuskan menjadi
Kementerian Agama, yang pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi, masing-
masing untuk kaum Muslimin, umat Prostetan, umat Katolik Roma, dan umat Hindu-Budha (dulu disebut
agama Hindu Bali). Karena ia tidak mengatur hanya satu agama, tetapi lima agama yang diakui
Indonesia, maka, pemimpin politik Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia bukahlah negara sekuler
dan bukan juga negara agama. Dasar pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dianggap
memadai untuk mrmbenarkan adanya Departemen Agama ini.

Tujuan dan Fungsi Departemen Agama (dirumuskan pada 1967) adalah sebagai berikut:[2]

1. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-


perguruan agama.

2. Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan Agama dan keagamaan.

3. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.

4. Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
hukum agama.
5. Mengurus dan mengembangkan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta
mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.

6. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.

Sesuai dengan perkembangan Departemen ini, strukturnya berkembang, yang awalnya hanya terdiri dari
empat seksi, sekarang terdiri dari lima direktorat jenderal, yaitu : Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Protestan, dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Budha. Menteri agama juga dibantu
oleh loembaga Inspektorat Jenderal, Sekretariat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Agama serta Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.

2. Pendidikan

Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan
agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan
desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak
pemerintah agar memberikan bantuan pada madrasah. Departemen agama dengan segera membentuk
seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam, mengawasi pengangkatan
guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama
mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada
tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.

Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di
Padang, menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam. Dalam rencananya, ibtidaiyah selama 6
tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud Yunus juga menyarankan
agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum yang disetujui oleh konferensi pendidikan se-
Sumatera di Padang Pajang, 2-10 Maret 1947.

Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami kemandegan karena terjadi aksi militer Belanda
kedua. Setelah revolusi selesai, usaha untuk mengkoordinasikan sekolah-sekolah agam dimulai kembali,
bukan saja untuk Jawa dan Sumatera, melainkan seluruh Indonesia. Lembaga-lembaga yang didirikan
seperti : Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun), Aliyah (3 tahun), Sekolah Guru Agama
Islam (5 tahun bagi lulusan sekolah dasar baik umum maupun agama, 2 tahun lulusan SMP atau
tsanawiyah), Sekolah Guru, dan Hakim Agama Islam/ SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah).
Dua sekolah yang terakhir mengalami perubahan pada tahun 1953. PGA menjadi 6 tahun, 4 tahun
bagian pertama dan 2 tahun bagian atas, Sedangkan, SGHA dihapuskan tahun 1954 dan digantikan
dengan Pendidikan Hakim Islam Negeri/PHIN (4 tahun bagi lulusan PGA 4 tahun).
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk
membangunnya. Mahmud Yunus membuka Islamic College petama tanggal 9 Desember 1945 di Padang,
yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.

Perguruan Tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian
kementrian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan
dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tangal 26 September 1951 secara resmi dbuka perguruan
Tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah pengawasan
Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi
ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas dalam pemerintahan dan untuk
pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut Agama Islam
Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian Agama.

IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia dengan
fakultas lebih dari seratus, Juga bermula dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun1980-an, dibuka
Program Pascasarjana IAIN dan beberapa tahun kemudian IAIN Alauddin Ujung Pandang dan IAIN Syiah
Kuala, Aceh, juga membuka program yang sama. Sampai tahun 1992, Program Pascasarjana IAIN Jakarta
sudah mengeluarkan puluhan orang doktor.

3. Hukum Islam

Lembaga Islam yang penting yang ditangani oleh Departemen Agama adalah hukum atau syariat.
Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat
pribadi.Hukum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai dan rujuk (faraidh), wakaf, hibah, dan
sangat baitul mal.

Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial
Belanda.

Kemantapan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional semakin meningkat setelah Undang-
Undang Peradialan Agama ditetapkan tahun 1989.Undang-Undang Peradilan Agama ini merupakan
kelengkapan dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam
pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 disebutkan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha
Negara. Sebagai suatu undang-undang lain untuk mengatur empat lingkungan peradilan yang
diundangkan dalam UU itu, antara lain UU tentang Peradilan Agama.

Berkenaan dengan itu, Ismail Suny mengatakan bahwa selama Orde Baru ada tiga undang-undang yang
merupakan tonggak-tonggak penting bagi umat Islam, yaitu UU no. 14/1970, UU no.I/1974, dan
UU no. 7/1989.[3] Dengan tiga undang-undang tersebut, berlakulah hukum Islam dalam tata Hukum
Nasional di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah.
4. Haji

Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji.Di masa penjajahan tahun kemuncak ialah
tahun 1926/1927 ketika sekitar 52.000 orang pergi ke Mekah.Sungguhpun angka itu baru pada tahun-
tahun terakhir terlewati, tetapi umumnya dalam keadaan biasa jumlah jamaah meningkat cepat karena
memang keinginan menunaikan ibadah haji semakin kuat.Angka tertinggi sampai tahun 1992, yaitu
sekitar 107.000 orang jamaah haji Indonesia diberangkatkan.

Sejak awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang tidak
ketinggalan berangkat ke tanah suci.Bahkan dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jamaah
haji) Indonesia ditunjuk.

Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk
dipergunakan dalam penyelenggraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi
selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud.Setelah Indonesia merdeka, usaha ini
dilanjutkan.Pada tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan Haji Indonesia, didirikan di
Jakarta.Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji.
Sebuah bank, Bank Haji Indonesia, dan sebuah perusahan kapal, Perlayaran Muslimin Indonesia (MUSI)
didirikan. Tetapi sepuluh tahun kemudian perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen
dalam mencarter kapal dari perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai kapal sendiri. Cara ini ditempuh
sampai tahun 1962, ketika MUSI dibekukan oleh pemerintah, mungkin sekali karena pertimbangan
politik.Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, Petugas Haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan
kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah anggota Masyumi,
partai yang telah dibubarkan.

Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru, Perseroan Terbatas “ Arafat” didirikan
dengan modal dari para jemah haji atau calon jemaah itu sendiri. Dan pada tahun 1964, panitia
perbaikan haji diganti dengan badan baru, Dewan Urusan Haji. Dewan ini mengajak PHI untuk kembali
mengurus jemaah haji, tetapi campur tangan pemirintah di dalamnya semakin besar, karena tanggung
jawab penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah setempat. Namun semua usaha yang dilakukan
tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh, tahu 1966, organisasi-organisasi swasta mulai lagi
melakukan kegiatan penyelenggaraan perjalanan haji. Banyak umat Islam yang menjadi korban dari
kegiatan ini, ada jamaah yang tidak dapat berangkat atau dibiarkan tanpa layanan dalam perjalanan. Ini
merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah pada tahun 1970 memegang monopoli perjalanan
haji.[4]

Alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam perjalanan penyelenggaraan haji adalah
sebagai berikut: Pertama, pemerintah merasa bertanggung jawab atas penyelenggaraan perjalanan haji
agar masyarakat merasa tenteram dan terjamin. Kedua, kemungkinan faktor laba juga menjadi
perhatian pemerintah. Kalau pun hal ini tidak dimaksudkan untuk dikejar, tetapi sekurang-kurangnya
uang masuk secara ekstra dapat juga dicatat. Uang ini, karena tiap jamaah dibebankan tambahan biaya
untuk berbagai dana, mempermudah usaha pemerintah memberikan bantuan ke berbagai proyek yang
bermanfaat bagi umat Islam, seperti penyelesaian pembagunan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI),
Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping itu, pemerintah
masih perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji (TPIH).[5] Sesuai dengan aspirasi sebagian
masyarakat, sejak awal tahun 1980-an, dikenal adanya Ongkos Naik Haji (ONH) Plus, yang tentu berbeda
dengan ONH biasa dalam hal pelayanan. Karena “kelebihan” pelayanan itu, maka biayanya juga lebih
mahal dari ONH biasa.

5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi
Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan
agama hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama.Karena itu kerjasama antara
pemerintah dan ulama perlu terjalin dengan baik.Pertama kali majelis ulama didirikan pada masa
pemerintahan SMajelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untoekarno.uk
menjamin keamanan. Di jawa barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958, diketuai oleh seorang panglima
militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961,Majelis Ulama ini bergerak
dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan pendidikan.

Dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disah kan dalam kongres tersebut, disebutkan
bahwa Majelis Ulama Indonesia berfungsi:

1. Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kepadapemerintah dan umat Islam
umumnya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.

2. Mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar
umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Mewakili islam dalam konsultasi antar umat beragama.

4. Penghubung antra ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara
pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.

Dalam periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum Majelis Ulama ini dipegang oleh Prof. Dr.
Hamka yang terpilih kembali untuk masa jabatan 1980-1985. Tidak lama setelah itu, ia mengundurkan
diri. Dia digantikan oleh K.H. Syukri Ghozali. Namun, yang disebut terakhir ini meninggal dunia pada
tanggal 20 September 1984, sebelum masa jabatannya berakhir. Dia kemudian digantikan

oleh K.H.E.Z. Muttaqin. Jabatan ketua MUI periode 1985-1990 dan periode 1990-1995 dipegang oleh
K.H. Hasan Basri.

B. Peran Islam dalam Kemerdekaan


Ajaran Islam yang dipeluk oleh sebagaian besar rakyat Indonesia telah memberikan kontribusi besar,
serta dorongan semangat, dan sikap mental dalam perjuangan kemerdekaan. Tertanamnya “RUHUL
ISLAM” yang di dalamnya memuat antara lain :

1. Jihad fi Sabilillah, telah memperkuat semangat rakyat untuk berjuang melawan penjajah ( Sartono
Kartodirdjo, 1982). Dengan semangat Jihad, umat akan melawan penjajah yang zhalim, termasuk perang
suci, bila wafat syahid, surga imbalannya.

2. Ijin Berperang Dari Allah SWT. (Q.S. Al Haj : 39) “ Telah diijinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, sesungguhnya mereka itu dijajah/ditindas, maka Allah akan membela mereka (yang diperangi
dan ditindas)”.

3. Symbolbegrijpen (Simbol kalimat yang dapat menggerakkan rakyat), yaitu “TAKBIR” Allahu Akbar,
selalu berkumandang dalam era perjuangan umat Islam di Indonesia.

4. “Khubul Wathon minal Iman”, cinta tanah air sebagian dari Iman, menjadikan semangat Partiotik bagi
umat Islam dalam melawan penjajahan.

Pada kesimpulannya Dr. Douwwes Dekker ( Setyabudi Danudirdja) menyatakan bahwa :“Apabila Tidak
ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari Indonesia”

Dengan demikian ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini, punya peranan yang sangat
penting, berjasa, dan tidak dapat diabaikan dalam perjuangan di Indonesia.

Dan ternyata agama islam tertanam begitu kokoh dalam nurani bangsa Indonesia, sehingga semangat
perjuangan mereka, khususnya para pahlawan kita tidak pernah pudar sedikitpun sampai titik darah
penghabisan.

Islam telah mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan kesucian.
Karena itu jika kaum penjajah berani menghancurkan kebenaran dan kejujuran, serta berani menodai
kesucian, mereka akan membelanya pantang menyerah. Islam juga mendidik karakter bangsa Indonesia
kayakinan akan adanya hidup di balik maqam, keyakinan dan adanya ancaman keburukan serta balasan
atas kebaikan. Maka untuk membela kebenaran mereka bersedia berjihad di jalan Allah. Demikian pula
Islam juga mendidik karakter. Perlu diketahui bahwa perjuangan membela kebenaran, menegakkan
perikemanusiaan dan perikeadilan termasuk menolong agama Allah. Sungguh, begitu besar jasa Islam di
masa lalu, maka kepada para penulis sejarah hendaklah tidak mengecilkan peran umat Islam di
nusantara ini, sehingga para generasi penerus tidak buta terhadap peran Islam dan umatnya tersebut.

Setelah 66 tahun kemerdekaan negeri ini, adalah sebuah kepatutan bagi umat Islam Indonesia untuk
mengambil peran besar dalam pembangunan ini seperti besarnya umat Islam di masa lalu. Sebab jika
peran kita lebih besar, kita akan mampu menentukan arah pembangunan yang lebih manusiawi, hingga
insyaallah dapat melepaskan diri dari penyakit peradaban kita yakni KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepostisme).
C. Peradaban Islam dan Negara Pancasila

Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang menyatakan bahwa kesetiaan
individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah
darahnya. Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib akan melahirkan rasa nasionalitas yang berdampak
pada munculnya kepercayaan diri, rasa yang amat diperlukan untuk mempertahankan diri dalam
perjuangan menempuh suatu keadaan yang lebih baik. Dua faktor penyebab munculnya nasionalisme,
yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor pertama sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap penjajah yang
menimbulkan perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan atau peperangan. Sedang faktor kedua
sebagai renaissance yang dianggap simbol kepercayaan atas kemampuan diri sendiri.

Selain kondisi bangsa Indonesia berada dalam dominasi politik, militer dan ekonomi bangsa-bangsa
asing, nasionalisme Natsir muncul atas dorongan ajaran agama yang diyakininya yang mewajibkan
kepada setiap Muslim untuk mencintai tanah airnya. Karena itu, nasionalisme merupakan bagian dari
Islam yang selalu mengajarkan agar mengenal kebudayaan dan bangsa-bangsa lain tanpa menanggalkan
pribadinya sebagai Muslim. Inilah yang dimaksud nasionalisme Islami, yaitu orang-orang yang tetap
komitmen pada pandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama yang,
-dalam arti luas-, bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan
antara sesama manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam dan lain-lain sebagainya.
Sementara nasilonalis sekuler sebaliknya, yakni tanpa perhatian melihat keterpautannya dengan agama.

Wajar jika nasionalisme dan Islamisme selalu hadir berdampingan dalam sejarah bangsa Indonesia,
bahkan selama masa penjajahan, agama menjadi aspek yang menegaskan perjuangan nasional. Selain
organisasi-organisasi nasional, seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Ambon dan
lainnya, tidak sedikit gerakan-gerakan yang berasaskan ke-Islam-an banyak yang tampil menjadi pelopor
dan penggerak bangkitnya nasionalisme. Artinya kekuatan nasionalisme dan Islamisme melebur menjadi
satu dalam memerangi segala bentuk penjajahan. Bahkan dalam sejarah Indonesia, keduanya menjadi
kekuatan besar yang terpadu dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

Bahkan pergerakan organisasi keagamaan sejak awal telah memiliki kesadaran kebangsaan dan
nasionalisme.Wadah-wadah seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, dan lainnya
telah berhasil menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian. Organisasi ini memulai gerakannya
dengan menanamkan persaudaraan antar sesama rakyat yang berada di luar batas Indonesia dengan
ikatan ke-Islam-an. Karena itu, ikatan persaudaraan yang melewati lintas etnik, budaya, politik tersebut
terus dipertahankan secara konsisten.Sebab, persaudaraan yang diikat oleh kesadaran keagamaan ini
menjadi benih-benih tumbuhnya sikap nasionalsime dan kesadaran mempertahankan NKRI.

Kaitannya hubungan antara Islam dan negara, pemikiran Natsir berorientasi pada paradigma
integralistik; yaitu penyatuan antara agama dan negara secara utuh. Artinya, dirinya menentang gagasan
yang lebih menyukai pemisahan antara agama dan negara (sekularistik). Uraian kenegaraan menurutnya
menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam. Karena itu, tujuan terbentuknya suatu
negara adalah untuk melaksanakan undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan
individu maupun sosial. Natsir tidak menentukan model negara yang dikehendaki oleh Islam, sebab
bentuk negara menurutnya merupakan urusan keduniaan. Karena itu, manusia memiliki kebebasan
menentukan model suatu negara yang hendak dibentuknya. Monarki boleh, republik pun tidak dilarang.
Ia lebih menekankan pada sisi aplikasi penyelenggaraan suatu negara. Namun ketika mengusulkan ide-
idenya, kelihatannya ia lebih cenderung pada bentuk negara republik ketimbang monarki. Hal ini dapat
dilihat dari pemikirannya mengenai demokrasi, penekanannya terhadap sistem syura (musyawarah)
dalam proses pengambilan keputusan, yang tampak lebih dominan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Peradaban Islam sesudah
kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya :

1. Departemen Agama dalam pemerintahan,

2. Pendidikan,

3. Hukum Islam,

4. Haji, dan

5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Islam telah mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan kesucian.
Apabila Tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari
Indonesia.

Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang menyatakan bahwa kesetiaan
individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah
darahnya.

B. SARAN

Mungkin inilah yang dapat kami paparkan dalam makalah kelompok kami. Meskipun penulisan ini jauh
dari sempurna minimal kami sudah berusaha dengan sebaik-baiknya. Masih banyak kesalahan dari
penulisan kelompok kami, karna kami juga masih dalam proses belajar dan kami juga butuh saran/
kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk perbaikan di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

· Yatim, Badri. (2005). Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

· Sunanto, Musyrifah. (2007). Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta :
Kencana

· Suwito. (2008). Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana

· http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/132757-T%2027807-Islam%20kultural-Metodologi.pdf.
(diaskses 14 November 2013, 11:25)

[1] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983), hlm. 14.

[2] B.J. Boland, Pergumulan Islan di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, cetakan pertama), hlm. 113.

[3] Ismail Suny, “Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam bidang Hukum.” disampaikan dalam
Simposium Islam dan Kebudayaan Nasional Indonesia, 21-24 Oktober 1991

[4] Deliar Noer, op. ct., hlm. 108

[5] Panji Masyarakat, No. 515, 11 September 1986, hlm. 17

Anda mungkin juga menyukai