KHAIRUL

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1132

STUDI FAKTOR FISIKA KIMIA PERAIRAN


TERHADAP BIOTA AKUATIK DI EKOSISTEM SUNGAI
BELAWAN

Khairul
Dosen Prodi Pendidikan Biologi STKIP Labuhan Batu
*email : khairul_spi@yahoo.com

Abstract
The purpose of this research is to know the condition of physical and chemical factors in
aquatic biota in aquatic ecosystems against River Belawan. This research uses a method of
exploration with the taking of sampling is carried out for 3 months. The taking of sampling is
carried out in situ and ex situ (laboratory test). Based on the research results at the 3rd station
observations can be known to the average of the highest water temperature at station 1 (29, 5
O
C) and lowest in station 3 (27 OC), brightness of the highest average water at station 3 (76 cm)
and the lowest in station 2 (72 cm), the average flow velocity is highest at station 1 (9.5 m/s)
and the lowest in station 3 (5.3 m/s), the pH of the water the highest average at station 2 (6.8)
and the lowest in station 3 (6.8), the highest average salinity at station 1 (15, 7ppt) and the
lowest station 3 (5.4 ppt), DO the highest average at stations 1 and 2 (3.5 mg/litre) and lowest
in station 3 (3.4 mg/liter), the highest average BOD on station 1 (6.3 mg/litre) and lowest in
station 2 (0.5 mg/litre), nitrate average high at station 1 (13.1 mg/litre) and lowest in station 1
(3.9 mg/liter), and the highest average phosphate at station 3 (0.53 mg/litre) and lowest in
station 1 (0.3 mg/litre).

Key Words :waters physical chemistry , aquatic biota, belawan river

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi faktor fisika dan kimia perairan
terhadap biota akuatik diekosistem Sungai Belawan.Penelitian ini menggunakan metode
eksplorasi dengan pengambilan sampling dilakukan selama 3 bulan.Pengambilan sampling
dilakukan secara insitu dan ekssitu (uji Laboratorium). Berdasarkan hasil penelitian pada ke-3
stasiun pengamatan dapat diketahui rata-rata suhu air tertinggi pada stasiun 1 (29,5 OC) dan
terendah pada stasiun 3 (27 OC), kecerahan air rata-rata tertinggi pada stasiun 3 (76 cm) dan
terendah pada stasiun 2 (72 cm), kecepatan arus rata-rata tertinggi pada stasiun 1 (9,5 meter/
detik) dan terendah pada stasiun 3 (5,3 meter/ detik) , pH air rata-rata tertinggi pada stasiun 2
(6,8) dan terendah pada stasiun 3 (6,8), salinitas rata-rata tertinggi pada stasiun 1 (15,7ppt)
dan terendah pada stasiun 3 (5,4 ppt) , DO rata-rata tertinggi pada stasiun 1 dan 2 (3,5 mg/
liter) dan terendah pada stasiun 3 (3,4 mg/ liter), BOD rata-rata tertinggi pada stasiun 1 (6,3
mg/ liter) dan terendah pada stasiun 2 (0,5 mg/ liter), Nitrat rata-rata tertinggi pada stasiun 1
(13,1 mg/ liter) dan terendah pada stasiun 1 (3,9 mg/ liter), dan Posfat rata-rata tertinggi pada
stasiun 3 (0,53 mg/ liter) dan terendah pada stasiun 1 (0,3 mg/ liter).

Kata kunci:fisika kimia perairan, biota akuatik, sungai belawan


Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1133

PENDAHULUAN

S ungai Belawan sebahagian besar terletak di Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan


Medan Belawan. Secara geografis Kecamatan Medan Belawan berbatasan dengan:
― Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan dan Medan Labuhan
― Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
― Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
― Sebelah Timur Berbatasan dengan Selat Malaka.

Sungai Belawan merupakan sumber pendapatan bagi nelayan.Para nelayan melakukan


penangkapan ikan di Perairan Sungai Belawan. Berbagai jenis ikan yang menjadi target
tangkapan mereka seperti: kakap, kerapu, belanak, baung, sembilang, senangin, dan lain-lain.
Berbagai jenis udang seperti udang kelong, udang tiger, udang kertas, udang kecepe dan lain-
lain serta kepiting bakau. Mereka menangkap Ikan berbagai alat tangkap seperti: ambai, jala,
pancing, bubu dan jaring insang (gill net).
Oleh karena itu Sungai Belawan mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat
pesisir Belawan. Masyarakat memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi, mencari nafkah,
rekreasi bahkan kebudayaaan.Menurut Siahaan dkk (2011) sungai merupakan ekosistem yang
sangat penting bagi manusia.Sungai juga menyediakan air bagi manusia baik untuk berbagai
kegiatan seperti pertanian, industri maupun domestik.
Secara geografis Perairan Sungai Belawan merupakan tempat mengalirnya beberapa
anak sungai yang disebut muara. Muara merupakan penggabungan beberapa sungai yang
menyatu dan membentuk suatu daerah yang lebih besar, dimana dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Sungai Belawan mempunyai panjang 74 kilometer. Dimana aliran
sungai Belawan melawati beberapa kawasan pemukiman, industri, Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) dan pertambakan. Dengan adanya aktivitas tersebut, akan
mempengaruhi lingkungan sehingga mengganggu kehidupan organisme air (Yeanny, 2007).
Pemanfaatan sumberdaya perairan secara optimal sangat dibutuhkan agar pengelolaan
lingkungan dapat dilakukan secara baik dan benar, terutama mengenai fungsi dan manfaat
ekosistem pada perairan tersebut.Untuk itu diperlukan pengamatan kondisi parameter
perairan.Hal ini sebagai upaya untuk mendeteksi apakah perairan itu telah mengalami
pencemaran atau tidak.Hal lainnya adalah untuk mengetahui interaksi antar komponen
penyusun ekosistem perairan tersebut termasuk faktor fisik dan kimia perairan tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Perairan Belawan dan dilaksanakan pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2014. Lokasi pengamatan adalah beberapa muara sungai, yakni: stasiun 1
berada di muara Sungai Baharu yakni pada titik koordinat 30 45’7,60” LU 980 37’51,2” BT,
stasiun 2 berada di muara Sungai Buluh yakni pada titik koordinat 30 44’22,1”LU 980 38’26,6”
BT, dan stasiun 3 berada di muara Sungai Terjun yakni pada titik koodinat 30 44’20,2”LU 980
39’8,59” BT.
Pengukuran parameter fisika kimia perairan yang meliputi: suhu air, kecerahan air,
kecepatan arus, pH air, salinitas, oksigen terlarut dilakukan secara insitu, sedangkan BOD,
nitrit dan posfat dilakukan uji laboratorium di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas 1 Medan.
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1134

Tabel 1. Pengamatan Parameter Fisika Kimia Perairan


No Parameter Metode Alat
1 Suhu Air In situ Thermometer
2 Kecerahan Air In situ Secci disk
3 Kecepatan Arus In situ Pelampung + Stopwatch
4 pH air In situ pH meter
5 Salinitas In situ Refractometer
6 DO (Disolved Oxygen) In situ DO meter
7 BOD (Biologycal Oxygen Demand) Laboratorium Spectrophotometer
8 Nitrat (NO3) Laboratorium Spectrophotometer
9 Posfat (PO4) Laboratorium Spectrophotometer

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan parameter fisika dan kimia perairan akan di
analisis secara diskriptif. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk matrik, dan dianalisis
secara diskriptif untuk mendapatkan hubungan karakteristik fisika dan kimia perairan Belawan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Faktor Fisik dan Kimia Perairan Belawan


Data parameter kualitas air selengkapnya disajikan pada Tabel 2.di bawah ini:
Tabel 2. Data Rata-rata Hasil Pengamatan Kualitas Air Pada Setiap Stasiun
No Parameter Satuan Baku Stasiun
Mutu 1 2 3
Fisika
O
1 Suhu Air C 28 – 32 29,5 28 27
2 Kecerahan Air Cm - 75 72 76
3 Kecepatan Arus meter/ - 9,5 7,6 5,3
detik
Kimia
4 pH air Unit 7 - 8,5 6,7 6,8 6,6
5 Salinitas ‰ s/d 34 15,7 9,9 5,4
6 DO mg/ liter >5 3,5 3,5 3,4
7 BOD mg/liter 20 6,3 0,5 0,7
8 Nitrat mg/ liter 0,015 3,9 13,1 10,6
9 Posfat mg/ liter 0,008 0,3 0,44 0,53
Sumber: Data Primer & KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Untuk Biota
Laut.
Keterangan: Stasiun 1 (Muara Sungai Baharu), Stasiun 2 (Muara Sungai Buluh), Stasiun 3
(Muara Sungai Terjun)

Suhu Air
Data hasil pengamatan suhu air pada setiap stasiun adalah sebagai berikut: Stasiun1
suhu rata-rata 29,5 OC, Stasiun 2 suhu rata-rata 28 OC, dan Stasiun 3 suhu rata-rata 28 OC.
Jika dibandingkan antara hasil pengukuran lapangan dengan baku mutu air menurut KepMen
LH No.51 suhu air di Perairan Sungai Belawan masih sesuai. Tingginya hasil pengamatan suhu
air pada stasiun 1, hal ini diduga karena pada stasiun 1 merupakan perairan yang terbuka,
badan sungaiyang lebih lebar, dan sedikit ditumbuhi oleh pepohonan sehingga cahaya matahari
langsung menembus badan air. Stasiun 2 dan stasiun 3 merupakan perairan yang lebih sempit
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1135

dan banyak ditumbuhi vegetasi nipah (Nypah fruticans) sehingga cahaya matahari tidak
langsung menembus badan air terlebih dahulu terhalang oleh pepohonan.
Menurut Odum (1998) suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari,
ketinggian geografis, dan faktor penutupan pepohonan (kanopi) dari vegetasi yang tumbuh
disekitarnya.Menurut Suriadarma (2011) perbedaan lainnya disebabkan karena adanya
perbedaan waktu pengukuran, juga diduga disebabkan karena adanya perbedaan kandungan
nutrient atau ion-ion garam yang secara fisik dapat meningkatkan daya hantar panas.
Barus (2004) menyatakan pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh faktor
anthropogen (yang disebabkan oleh aktivitas manusia) seperti limbah panas, yang berasal dari
air pendingin pabrik, penggundulan hutan yang menyebabkan hilangnya perlindungan badan
air. Kantun (2012) menyatakan bahwa bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di dunia
mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu.Ada yang mempunyai toleransi yang besar
terhadap suhu, disebut eurytermal. Sebaliknya ada pula toleransinya kecil, disebut
stenotermal.Menurut Chacόn- Chaverri dan McLarney (1992) juvenil ikan biasanya ditemui
bergerombol, ukuran kecil, dan pada daerah rawa payau yang memiliki kisaran suhu yang luas
(12-36 OC).

Kecerahan Air
Pengamatan kecerahan air pada setiap stasiun diperoleh data pada stasiun 1 berkisar 75 cm,
stasiun 2 berkisar 72 cm, dan stasiun 3 berkisar 66 cm. Rendahnya nilai pengamatan kecerahan
air pada setiap stasiun diduga karena banyaknya sedimen lumpur dan partikel lainya, tingginya
kandungan limbah organik, dan limbah domestik. Hal ini diduga karena tiap-tiap stasiun
pengamatan letaknya di daerah muara sungai-sungai kecil yang mengarah ke Perairan Sungai
Belawan yang lebih besar, sehingga semua kompenen partikel tersebut menumpuk di daerah
muara sungai. Perbedaan jarak antara satu stasiun dengan stasiun lainnya dari arah pantai
mempengaruhi tingkat kecerahan perairan tersebut.
Menurut Suriadarma (2011) tingkat kecerahan air akan semakin tinggi dengan semakin
jauhnya jarak dari pantai. Tingkat kecerahan yang rendah di perairan sungai dan laut yang
berdekatan dengan pantai di duga akibat banyak terdapatnya partikel tersuspensi yang terbawa
aliran sungai dari lahan atas dan adanya proses sedimentasi serta abrasi pantai. Barus (2004)
menyatakan bahwa bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang
akan mendukung kehidupan organisme air dalam habitatnya. Apabila intensitas cahaya matahari
berkurang, hewan air akan dirangsang untuk melakukan ruaya (migrasi).

Kecepatan Arus
Data hasil pengukuran kecepatan arus pada stasiun yaitu stasiun 1 berkisar 6,7
meter/detik, stasiun 2 berkisar 5,9 meter/detik, dan stasiun 3 berkisar 5,3 meter/detik. Kecepatan
arus pada masing-masing stasiun pengamatan nilainya bervariasi karena pengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: 1. Posisi Perairan Sungai Belawan yang berhadapan langsung
dengan Selat Malaka menjadikan pola arus dan massa air sangat di pengaruhi oleh fenomena
yang terjadi di selat tersebut; 2. Pengaruh arus pasang surut (pasut); 3. Pergerakan angin;
4.Selain itu kondisinya Perairan Sungai Belawan dipengaruhi oleh beberapa aliran sungai,
sehingga karena pola arus yang terjadi cenderung bergerak sepanjang tahun dan membentuk
sedimentasi baik dari hulu maupun ke arah muara.
Menurut Nontji (2002) arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat
disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan dalam densitas air laut atau disebabkan oleh
gerakan gelombang. Pada dasar perairan yang dangkal tentu arusnya deras. Merujuk hasil
penelitian Safitri et al (2012) pada Laut Timor sering kali didominasi oleh proses percampuran
dan penyebaran air tawar. Masukan air tawar berasal dari curah hujan dan juga aliran
sungai.Kondisi demikian menyebabkan terjadinya interaksi antara air tawar dengan air laut.
Interaksi ini akan sangat mempengaruhi pada penyebaran temperatur, salinitas, dan faktor
oseanografi lainnya. Perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1136

yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap distribusi organisme
perairan.

Derajat Keasaman (pH)


Hasil pengukuran pH pada masing-masing stasiun yakni stasiun 1 (6,7) stasiun 2 (6,8)
dan stasiun 3 (6,6). Berdasarkan pengamatan, menunjukan nilai pH masih mendekati nilai pH
netral (7) dan masih dalam kisaran sesuai baku mutu KepMen KLH No. 51.
Diduga rendahnya nilai pH karena dipenangaruhi oleh buangan limbah bahan organik
dan anorganik melalui sungai sehingga terjadi penimbunan di muara sungai.Hal ini sesuai
dengan pendapat Yuliastuti (2011) fluktuasi pH dipengaruhi oleh adanya buangan limbah
organik dan anorganik ke sungai.
Menurut Meilawati et al (2005) jika nilai pH berada di bawah standar baku mutu maksimum
maka kualitas air/ sedimen bersifat acid (asam). Begitupun jika nilai pH berada di atas standar
baku mutu maksimum maka kualitas air/ sedimen bersifat alkali (basa). pH air semakin ke
muara semakin asam karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang kemudian
membebaskan Karbondioksida (CO2) apabila terurai.
Menurut Barus (2004) perairan yang mengandung kapur akan mempunyai nilai pH
yang relatif lebih stabil, sedangkan perairan yang mengandung sedikit kapur akan mempunyai
nilai pH yang berfluktuasi sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi. Hal ini merujuk
penelitian yang dilakukan Fadil (2011) kisaran pH 6,15 – 6,78 masih dalam rentang pH baku
mutu air baik untuk air kelas I maupun kelas II. Menurut Chacόn- Chaverri dan McLarney
(1992) juvenil ikan dapat hidup pada kisaran pH 5,7 ― 8.8.

Oksigen Terlarut (DO)


Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut pada stasiun 1
(3,5 mg/l), stasiun 2 (3,5 mg/l), dan stasiun 3 (3,4 mg/l). Nilai tersebut bila dibandingkan
dengan nilai baku mutu jauh lebih rendah. Diduga kelarutan oksigen yang rendah ini, karena
saat pengambilan sampel air dilakukan pada musim kemarau sehingga proses oksidasi oleh
bakteri pengurai meningkat.
Mikroorganisme akan mengoksidasi Amonium menjadi Nitrat. Proses ini dikenal sebagai proses
nitrifikasi. (Borneff (1982); Schoerbel (1987); Hὒtter (1990) dalam Barus (2004)). Proses
oksidasi amonium menjadi nitrit oleh aktivitas kelompok bakteri Nitrosomonas dapat dilihat di
bawah ini:
NH4 + O2 ---------› NO2
(Amonium) Nitrosomonas (Nitrit)

Selanjutnya proses oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh aktivitas kelompok bakteri Nitrobacter
dapat dilihat di bawah ini:
NO2 + O2 ---------› NO3
(Nitrit) Nitrosomonas (Nitrat)

Barus (2004) berpendapat proses oksidasi akan menyebabkan konsentrasi oksigen


terlarut menjadi rendah, terutama pada musim kemarau saat curah hujan sangat sedikit dimana
volume aliran air sungai menjadi rendah. Dibarengi dengan tingginya suhu dan apabila volume
air limbah tidak berkurang akan menyebabkan laju oksidasi tersebut meningkat tajam. Ikan
bulan-bulan termasuk ikan dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut yang rendah. Berdasarkan
hasil penelitian Wells et al. (2007) yang melakukan pengamatan terhadap ikan bulan-bulan
tentang hubungan kecepatan renang dan kebutuhan oksigen terlarut yakni dengan kisaran 0,8 –
5 mmol/liter. Kelarutan oksigen mempengaruhi kehidupan organisme di suatu perairan, karena
oksigen terlarut disuatu perairan merupakan faktor pembatas. Jika kadar oksigen terlarut terlalu
rendah bisa mengakibatkan biota air akan mati (Fardiaz, 1992).
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1137

Menurut Udi Putra (2008) kebutuhan oksigen terlarut yang diperlukan oleh ikan atau
organisme air lainnya sangat bergantung pada faktor-faktor suhu, pH, CO2 serta kecepatan
metabolik biota air tersebut. Kebutuhan oksigen akan meningkat dengan meningkatnya suhu air.

Biologycal Oxygen Demand (BOD)


Hasil uji laboraorium diperoleh nilai BOD pada stasiun 1 (6,3 mg/liter), stasiun 2 (0,5
mg/liter) dan stasiun 3 (0,7 mg/liter). Berdasarkan KepMen KLH No. 5 nilai baku mutu air
untuk BOD maksimum 20 mg/liter, jika dibandingkan dengan nilai hasil uji dari masing-masing
stasiun pengamatan sangat jauh berbeda, namun masih layak. Nilai BOD yang tinggi dinilai
merupakan pencemaran di suatu perairan.Perbedaan nilai ini diduga karena dipengaruhi adanya
perbedaan buangan limbah bahan organik telah terakumulasi muara sungai, dan aktivitas
perombakan bahan organik oleh bakteri pengurai.Nilai BOD rendah mengindikasikan perairan
ini belum tercemar.
Ali et al (2013) menyatakan BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh
bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik di dalam air. Rahayu dan Tantowi (2009)
menyatakan bahwa semakin besar kadar BOD di perairan sungai menandakan bahwa perairan
tersebut telah tercemar yang diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan pertanian.
Selanjutnya menurut Yudo (2010) semakin besar konsentrasi BOD suatu perairan, menunjukan
konsentrasi bahan organik juga tinggi. Lee, et al. (1978) menerangkan bahwa tingkat
pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 dimana kandungan
≤ 2,9 mg/l merupakan perairan yang tidak tercemar, kandungan 3,0 - 5,0 mg/l merupakan
perairan yang tercemar ringan, kandungan 5,1 – 14,9 mg/l merupakan perairan yang tercemar
sedang dan kandungan ≥ 15,0 mg/l merupakan perairan yang tercemar berat.

Salinitas
Hasil rata-rata pengukuran salinitas pada stasiun 1 (15,7‰), stasiun 2 (9,9‰), dan
stasiun 3 (5,4‰). Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan jarak antara stasiun
pengamatan. Beberpa hal yang tentunya akan mempengaruhi salinitas antara lain pasang surut,
jumlah partikel yang terbawa ke arah muara sungai, kondisi musim, serta jarak antara sungai ke
laut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa perairan estuaria memiliki
gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air tawar dari sungai dan air laut
melalui pasang surut. Lebih lanjut menurut Nybakken (1992) perbedaan lainnya adalah
tergantung musim dan topografi.Boeuf & Payan (2001) menyatakan bahwa ikan yang hidup
pada salinitas yang lebih rendah menghabiskan lebih sedikit energi untuk osmoregulasi.
Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun
horizontal (Effendi,2003; Fadil (2011).

Nitrat (NH3) dan Posfat (PO4)


Hasil pengukuran kadar nitrat pada stasiun 1 (3,9 mg/l), stasiun 2 (13.1 mg/l), dan
stasiun 3 (10,6 mg/l). Kadar fosfat pada stasiun 1 (0,3 mg/l), stasiun 2 (0,44 mg/l) , dan stasiun
3 (0,53 mg/l). Jika dibandingkan nilai nitrat dan posfat pada stasiun pengamatan sangat berbeda
jauh dan nilainya di bawah nilai baku mutu air berdasarkan KepMen LH No.5 tahun 2004.
Hal ini diduga aliran sungai menjadi sumber pembawa limbah buangan untuk unsur
nitrat dan fosfat ke badan sungai yang kemudian tertimbun di muara sungai, karena sumber
nitrat dan fospat berasal dari limpasan lahan pertanian dan limbah rumah tangga. Jika nilainya
tinggi nitrat dan fosfat berarti mendapat mendapat sumber pasokan limpasan yang tinggi yang
terbawa aliran sungai dan begitu pula sebaliknya yang pada akhirnya semua sumber limpasan
nitrat dan fosfat tersebut terakumulasi di daerah muara sungai.
Menurut Effendi (2003) sumber utama peningkatan kadar nitrat diperairan berasal dari
limpasan pupuk pertanian. Risamasu dan Hanif (2011) menyatakan konsentrasi nitrat di lapisan
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1138

permukaan yang lebih rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di
lapisan permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh fitoplankton. Selain itu,
konsentrasi nitrat yang sedikit lebih tinggi di dekat dasar perairan juga dipengaruhi oleh
sedimen. Di dalam sedimen nitrat diproduksi dari biodegradasi bahan-bahan organik menjadi
ammonia yang selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat (Seitzinger, 1988)
Boyd (1982) menyatakan bahwa fosfat terbentuk sebagai hasil perombakan bahan
organik dalam kondisi aerobik.Keberadaan orthophosphate di perairan, dengan segera dapat
diserap oleh bakteri, fitoplankton dan makrofita.Fitoplankton dapat menyerap orthophosphate
lebih cepat dibandingkan dengan makrofita, tetapi makrofita mempunyai kemampuan
menyimpan fosfor lebih besar dari pada fitoplankton.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui rata-rata suhu air berkisar 29,5 – 27 OC,
kecerahan air rata-rata berkisar 72- 76 cm, kecepatan arus rata-rata berkisar 5,3 – 9,5 meter/
detik, pH air rata-rata berkisar 6,6 – 6,8, salinitas rata-rata berkisar 5,4 – 15,7ppt, DO rata-rata
berkisar 3,4 -3,5 mg/ liter, BOD rata-rata berkisar 0,5 – 6,3 mg/ liter, Nitrat rata-rata berkisar
3,9 – 13,1 mg/ liter, dan Posfat rata-rata berkisar 0,3 – 053 mg/ liter.

SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengecek kondisi perairan Sungai Belawan
secara kontinyu mengingat peran vitalnya.
2. Perlu melakukan analisis parameter lainnya terutama logam berat seperti Hg, Pb, Cd
dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ali, A., Soemarno dan Mangku Pornomo. 2013. Kajian Kualitas Air Dan Status Mutu Air
Sungai Metro Di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 2,
265-274.

[2] Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU
Press.165 hal.

[3] Boeuf G. and Payan P. 2001. How should salinity influence fish growth ?. Comp. Biochem
Physiol C Toxicol Pharmacol 130:411–423.

[4] Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Sci. Publ.
Co., Amsterdam, 318 pp

[5] Chacόn-Chaverri D. dan W.O. McLarney .1992. Desarrollo Temprano del sabalo, Megalops
atlanticus (Pisces: Megalopidae). Rev. Biol. Trop. 40: 171-177

[6] Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1139

[7] Fadil, M.S. 2011. Kajian Beberapa Aaspek Parameter Fisika Kimia Airn Dan Aspek
Fisiologis Ikan Yang Ditemukan Pada Aliran Buangan Pabrik Karet Di Sungai Batang
Arau. Artikel.Pascasarjana. Universitas Andalas.

[8] Fardiaz, S. 1992 .Polusi Air dan Udara.Kanisius.Yogyakarta.

[9] Kantun, W. 2012. Suhu dan Tingkah Laku Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus
albacores).STITEK Balik Dewa.

[10] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk
Biota Laut.Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup. MENLH, Jakarta.

[11] Lee, C.D., S.B. Wong and L.C. 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish as Biological
Indicator of Water Quality, with Reference on Water Pollution. Control in Developing
Countries. Bangkok Thailand.

[12] Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

[13] Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologis.Penerjemah M. Eidman
et.al.Terjemahan dari Marine biology an ecologycal approach.PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

[14] Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Universitas Gajah Mada. Yokyakarta.

[15] Rahayu, S. dan Tantowi. 2009. Penelitian Kualitas Air Bengawan Solo Pada Saat Musim
Kemarau.Jurnal Sumber Daya Air. 5. 127-136.

[16] Risamasu, Fonny J.L. dan Hanif Budi Prayitno. 2011. Kajian Zat Hara Fosfat, Nitrit, Nitrat
dan Silikat di Perairan Kepulauan Matasiri, Kalimantan Selatan. Ilmu Kelautan. Vol. 16
(3) 135-142. ISSN 0853-7291

[17] Safitri, M, S.Y. Cahyarini, dan M.R. Putri. 2012. Variasi Arus Arlindo dan Parameter
Oseanografi di Laut Timor Sebagai Indikasi Kejadian ENSO.Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, Hlm. 369-377.

[18] Seitzinger, S. P. 1988. Denitrification in freshwater and marine coastal ecosystems :


Ecological and geochemical significance. Limnol.Oceanogr. 33(4, Part 2): 702-724.

[19] Siahaan, R., A. Indawan, D. Soedharma, dan L.B. Prasetyo. 2011. Kualitas Air Sungai
Cisadane, Jawa Barat – Banten. Jurnal Ilmiah Sains, 11. 268-273.

[20] Suriadarma, Ade. 2011. Dampak Beberapa Parameter Faktor Fisik Kimia Terhadap
Kualitas Lingkungan Perairan Pesisir Karawang, Jawa Barat. Riset Geologi dan
Pertambangan Vol. 21 No. 1 (2011), hal : 19-33.

[21] Udi Putra, Nana. S. S. 2008. Manajemen Kualitas Air Dalam Kegiatan Perikanan
Budidaya.Disampaikan dalam Apresiasi Pengembangan Kapasitas Laboratorium (16 - 18
Maret 2011 di Hotel Ammans Ambon Manise).
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017  1140

[22] Wells,R.M.G., Baldwin,J., Seymour,R.S., Christian,K.A., and Farrell,A.P. 2007. Air


breathing minimizes post-exercise lactate load in the tropical Pacific tarpon, Megalops
cyprinoides Broussonet 1782 but oxygen debt is repaid by aquatic breathing. J. Fish Biol.
71: 1649-1661.

[23] Wijaya, R., F. Setiawan., dan S.D. Fitriani. 2011. Fenomena Arlindo di Laut Seram dan
kaitannya dengan perubahan iklim global. Presentasi Seminar Internasional Kelautan,
Balai Riset Observasi Kelautan, Bali, 9-10 Juni 2011.

[24] Yeanny, Mayang Sari. 2007. Keanekaragaman Makrozoobentos Di Muara Suangai


Belawan. Jurnal Biologi Sumatera, hlm. 37 – 41. Vol. 2, No. 2.ISSN 1907-5537.

[25] Yudo, S. 2010. Kondisi Kualitas Air Sungai Ciliwung Di Wilayah DKI Jakarta Ditinjau
dari Parameter Organik, Amoniak, Fosfat, Deterjen dan Bakteri Coli. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 6. 34-36.

[26] Yuliastuti, E. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam Upaya
Pengendalian Pencemaran Air.Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai