Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Pertanian sebagai Pakan Ternak

Limbah pertanian merupakan bahan buangan dari proses perlakuan atau

pengolahan untuk memperoleh hasil utama dan hasil sampingan (Winarno, 1985).

Mastika (1991) menyatakan bahwa limbah pertanian adalah hasil sampingan yang

dihasilkan dari pertanian dan belum termanfaatkan secara maksimal. Limbah

pertanian dan agroindustri pertanian memiliki potensi yang cukup besar sebagai

sumber pakan ternak ruminansia (Mariyono dan Romjali, 2007). Jenis limbah

pertanian yang sering digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami padi, jerami

jagung, jerami kacang tanah, jerami kedelai, dan pucuk ubi kayu (Djajanegara,

1999). Jerami tanaman pertanian baik jerami padi, jerami jagung, jerami kedele

maupun jerami tanaman pertanian lainnya merupakan bahan pakan kaya serat

dengan kualitas nutrien yang relatif rendah (Tabel 2.1) (Marlina dan Askar, 2004).

Tabel 2.1 Kandungan nutrien beberapa limbah pertanian


Kandungan Nutrien (%)1)
Jenis Bahan
BK PK LK SK TDN
Jerami padi 31,87 5,21 1,16 32,412) 51,50
Jerami jagung 21,69 9,66 2,21 39,68 60,24
Jerami kacang kedelai 30,39 14,10 3,54 20,97 61,59
Jerami kacang tanah 29,08 11,31 3,32 16,62 64,50
Jerami kacang hijau 21,93 15,32 3,59 26,90 55,52
Klobot jagung 42,56 3,40 2,55 23,32 66,41
Tongkol jagung 76,61 5,62 1,58 25,55 53,08
Batang ubi kayu 43,78 6,17 - 37,94 64,76
Kulit kacang tanah 87,37 5,77 2,51 73,37 31,70
Pucuk tebu 21,42 5,57 2,42 29,04 55,30
Kulit kopi 91,77 11,18 2,50 21,74 57,20
Kulit coklat 89,37 14,99 6,25 23,24 55,52
Sumber: 1)Wahyono dan Hardianto (2004), 2)Marlina dan Askar (2004)
Keterangan: BK=Bahan Kering, PK=Protein Kasar, LK=Lemak Kasar, SK=Serat kasar,
TDN=Total Digestible Nutrien

6
Jerami padi merupakan hijauan dari tanaman padi setelah biji dan bulirnya

dipetik untuk kepentingan manusia dan telah dipisahkan dari akarnya (Komar,

1984). Kandungan nutrien jerami padi per 100% berat kering adalah abu 21,2%;

protein kasar 3,7%; lemak kasar 1,7%; serat kasar 35,9%; BETN 37,4% dan TDN

39% (Hartadi et al., 1980). Komponen seratnya sangat tinggi yaitu mengandung

hemiselulosa 21-29%; selulosa 35-49% dengan nilai koefisien cerna bahan

organik berkisar 31-59%; sedangkan kandungan lignin berkisar antara 4-8%

(Sukria dan Krisnan, 2009). Selain itu, Siregar (1996) menyebutkan bahwa jerami

padi juga mengandung serat kasar 35%; lemak kasar 1,55%; kalsium 0,19%;

fosfor 0,1%; energy TDN (Total Digestible Nutrient) 43%; energi DE (Digestible

Energy) 1,9 kkal/kg dan lignin yang tinggi. Jerami jagung juga berpotensi sebagai

bahan pakan, namun memiliki kualitas yang rendah dan tidak akan mencukupi

untuk kebutuhan ternak kecuali jika diberi tambahan suplemen pada pakannya

(Djajanegara, 1999). Menurut Sukria dan Krisnan (2009) bahwa kandungan bahan

kering jerami jagung 28%, protein 8,2% dan TDN 48%.

Penelitian tentang pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami padi dan

jerami jagung maupun limbah pertanian lainnya sebagai pakan sudah banyak

dilakukan. Hasil penelitian Ali dan Noerjanto (1983) bahwa penggantian rumput

dengan 10% jerami padi dan pemberian konsentrat 27% pada sapi aceh,

menghasilkan rataan konsumsi bahan kering (BK) dan PBBH paling tinggi yaitu

4,22 kg/ekor/hari dan 0,37 kg/ekor/hari. Martawidjaja dan Budiarsana (2004)

melaporkan bahwa jerami padi yang difermentasi dengan probion dapat

menggantikan rumput raja sebagai pakan dasar untuk ternak kambing PE betina

fase pertumbuhan. Lebih lanjut diungkapkan bahwa pemberian jerami padi

7
fermentasi secara terpisah dari konsentrat menghasilkan respon pertumbuhan dan

konversi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk ransum komplit.

Bestari et al. (1999) juga melaporkan bahwa pemberian pakan hijauan silase

jerami padi yang ditambahkan mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole

jantan yang sedang tumbuh dapat memberikan nilai gizi dan nilai manfaat ransum

yang lebih baik daripada jerami padi tanpa pengolahan, dan setara dengan pakan

hijauan rumput gajah. Matondang dan Fadwiwati (2000) menyatakan bahwa

pemberian pakan konsentrat serta jerami jagung yang difermentasi sebagai pakan

sapi pengganti rumput dapat meningkatkan pertambahan berat badan dan

mempercepat perkawinan sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

Walaupun memiliki potensi yang cukup besar, namun pemanfaatan limbah

pertanian sebagai pakan memiliki beberapa kendala. Menurut Djajanegara (1999)

beberapa kendala pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan adalah kualitas

yang rendah dengan kandungan serat yang tinggi serta protein dan kecernaan

yang rendah. Pemanfaatan bahan pakan asal limbah pertanian sebagai bahan

penyusun pakan komplit disinyalir belum dapat memenuhi kebutuhan optimal

bagi ternak, mengingat bahan pakan asal limbah pertanian umumnya mempunyai

kualitas yang rendah, kandungan serat tinggi, adanya senyawa anti nutrisi (lignin,

silika, tannin dan asam sianida) serta kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu,

Zn, Co, Mn, Fe dan S) dan vitamin (vitamin A dan E) rendah (Partama, 2006ab;

Kaunang, 2004). Pemberian pakan berbasis limbah pertanian (tanpa pengolahan)

membawa konsekuensi rendahnya produktivitas ternak akibat pakan sulit

dimanfaatkan ternak (kecernaan rendah) sehingga tidak mampu memenuhi

kebutuhan optimal bagi ternak. Meskipun hampir semua limbah pertanian itu

8
mengandung serat kasar tinggi, tetapi dengan sentuhan teknologi sederhana

limbah itu dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energi bagi ternak

(Sarwono dan Arianto, 2006).

2.2 Lignoselulosa sebagai Pembatas Utama Pemanfaatan Limbah

Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman (komponen dinding

sel) yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang terdiri tiga polimer

yaitu lignin, selulosa dan hemiselulosa (Perez et al., 2002; Howard et al., 2003).

Lebih lanjut diungkapkan bahwa tingginya kandungan serat kasar terutama

senyawa lignoselulosa merupakan faktor pembatas utama dalam pemanfaatan

limbah pertanian sebagai produk yang bermanfaat. Lignin merupakan polimer

dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan yang

berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda (Perez et

al., 2002).

Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen

yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman.

Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin juga

membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang berfungsi melindungi

polisakarida dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa (Perez

et al., 2002; Howard et al., 2003). Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril

selulosa, juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa.

Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan

dinding sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke

dinding sekunder. Faktor lignin dalam membatasi fermeabilitas dinding sel

tanaman dapat dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek kimia, yaitu

9
hubungan lignin-karbohidrat dan asetilisasi hemiselulosa. Lignin secara fisik

membungkus mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara

kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan antara lignin dengan karbohidrat

tersebut berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Rahikainen et al.,

2013). Lignin secara fisik dan kimia merupakan penyebab utama

ketidakmampuan ternak mendegradasi bahan pakan. Secara kimia, lignin

berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa membentuk ikatan kovalen yang

kompak dan kuat, sedangkan secara fisik, lignin bertindak sebagai penghalang

proses perombakan dinding sel oleh mikroba rumen (Perez et al., 2002).

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan

di alam hampir tidak pernah dijumpai dalam keadaan murni, tetapi berikatan

dengan senyawa/komponen lain yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk

senyawa lignoselulosa (Lynd et al., 2002). Lebih lanjut diungkapkan bahwa

kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari

berat kering tanaman. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer

dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan

hidrogen dan gaya van der waals (Perez et al., 2002). Selulosa mengandung

sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf (Aziz et al., 2002).

Ikatan ß-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer

glukosa dengan hidrolisis asam atau enzimatis.

Selulosa tidak dapat dicerna oleh hewan non-ruminansia kecuali non-

ruminansia herbivora yang mempunyai mikroba pencerna selulosa dalam

sekumnya. Hewan ruminansia rnempunyai mikroba pencerna selulosa didalam

rumen-retikulumnya sehingga selulosa dapat dimanfaatkan dengan baik

10
(Anggorodi, 1994). Kesempurnaan pemecahan selulosa pada saluran pencernaan

ternak tergantung pada ketersediaan kompleks enzim selulase. Saluran pencernaan

manusia dan ternak non ruminansia tidak mempunyai enzim yang mampu

memecah ikatan ß-1,4 glukosida sehingga tidak dapat memanfaatkan selulosa

(Perez et al., 2002). Ternak ruminansia dengan bantuan enzim yang dihasilkan

mikroba rumen dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi. Pencernaan

selulosa dalam sel merupakan proses yang komplek yang meliputi penempelan sel

mikroba pada selulosa, hidrolisis selulosa dan fermentasi yang menghasilkan

asam lemak terbang/Vollatile Fatty Acids/VFA (Arora, 1995). Efisiensi

pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ruminansia sangat tergantung

pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa dari

serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat

dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada

bahan pakan limbah tersebut dilarutkan, dihilangkan atau dikembangkan terlebih

dahulu (Perez et al., 2002; Murni et al., 2008).

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat

molekul rendah (Saha, 2003). Komposisi hemiselulosa 15-30% dari berat kering

bahan lignoselulosa (Perez et al., 2002). Lebih lanjut diungkapkan bahwa

hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang

mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinose. Hemiselulosa

mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan

stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin

membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat (Suparjo,

2010). Hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut

11
dalam alkali dan menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit D-

glukosa, D-galaktosa, D-manosa, D-xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk

bersamaan dalam kombinasi dan ikatan glikosilik yang bermacam-macam

(McDonald et al., 2002).

2.3 Bakteri Pendegradasi Lignoselulosa

Bakteri pendegradasi lignoselulosa adalah sekelompok bakteri yang

mampu memecah/mendegradasi senyawa lignoselulosa melalui kerja enzim yang

dihasilkan yaitu komplek enzim lignase, selulase dan hemiselulase (Howard et

al., 2003). Bakteri memiliki dua tipe sistem kerja enzim ekstraseluler yaitu : (1)

Sistem hidrolitik, yaitu dengan cara menghasilkan enzim hidrolase yang bekerja

merombak selulosa dan hemiselulosa, dan (2) Sistem oksidatif dan sekresi lignase

ekstraseluler dengan cara depolimerisasi lignin (Perez et al., 2002). Lebih lanjut

diungkapkan bahwa lignoselulosa hanya bisa dicerna/didegradasi oleh mikroba

tertentu, yaitu mikroba/bakteri lignoselulolitik. Bakteri lignoselulolitik terdapat di

dalam saluran pencernaan ternak ruminansia, baik di dalam rumen, sekum

maupun kolon (Anonymous, 1991).

2.3.1 Bakteri pendegradasi lignin

Bakteri pendegradasi lignin adalah sekelompok bakteri yang mampu

mendegradasi senyawa lignin (Perez et al., 2002; Howard et al., 2003). Beberapa

mikrobia prokariotik seperti bakteri mempunyai kemampuan mendegradasi lignin.

Bakteri yang mampu mendegradasi lignin adalah bakteri lignolitik. Bakteri dari

genus Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas maupun Streptomyces

memiliki kemampuan enzimatis dalam menggunakan senyawa aromatik cincin

(aromatic ring) dan rantai samping yang ada pada lignin (Hernandes et al., 1994).

12
Hasil penelitian Ruttimann et al. (1991) bahwa bakteri memiliki

kemampuan enzimatik dalam penggunaan senyawa aromatik bercincin (aromatic

ring) dan rantai samping yang ada pada lignin. Dua kelompok bakteri perombak

lignin adalah Pseudomonas dan Flavobacterium (Subba Rao, 2001). Genus

bakteri perombak lignin lainnya adalah Micrococcus dan Bacillus yang diisolasi

dari sampah domestik (Martani et al., 2003), kedua isolat ini dilaporkan mampu

mendegradasi lignin masing-masing 75% dan 78%. Enzim perombak lignin

dihasilkan oleh aktinobakteria dari genus Streptomyces. Walaupun biodegradasi

lignin umumnya terjadi secara aerob, namun beberapa peneliti telah melaporkan

bahwa bakteri anaerob dalam rumen dipercaya dapat merombak lignin (Perez et

al., 2002), dan protein enzim serupa lakase dari bakteri telah diisolasi dan

digunakan dalam proses pembuatan kompos.

2.3.2 Bakteri pendegradasi selulosa

Bakteri pendegradasi selulosa adalah kelompok bakteri yang mampu

mendegradasi atau memecah senyawa selulosa (Howard et al., 2003). Jenis

bakteri yang mampu mendegradasi/memecah senyawa selulosa adalah bakteri

selulolitik (Perez et al., 2002). Lebih lanjut diungkapkan bahwa kemampuan

degradasi selulosa berbagai bakteri bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis/spesies,

substrat maupun lingkungan. Bakteri selulolitik banyak ditemukan pada tanah

pertanian, hutan, jaringan hewan, saluran pencernaan herbivora baik rumen,

sekum maupun kolon, rayap (air liur, sel tubuh, saluran pencernaan maupun

sarangnya) serta pada tumbuhan yang membusuk/mati (Weimer et al., 1999;

Purwadaria et al., 2003ab). Bakteri selulolitik dalam rumen ada yang bersifat

anaerob maupun aerob. Bakteri selulolitik anaerob yang terdapat dalam rumen

13
antara lain: Fibrobacter succinogenes, Butirivibrio fibrisolven, Ruminococcus

albus dan Ruminococcus flavifaciens (Madigan et al., 1997; Weimer et al.,1999).

Pada kondisi tertentu beberapa spesies lain seperti Eubacterium cellulosolvens

maupun Clostridium lochheadii terdapat pula di dalam rumen (Weimer et al.,

1999), sedangkan bakteri aerob (jumlah kecil) antara lain: Acidothermus

cellulolyticus, Bacillus sphaericus, Cellulomonas cellulens, Cellvibrio mixtus,

Cytophaga hutchinsonii dan Lactobacillus acidophilus.

Pada umumnya kelompok bakteri selulolitik dominan pada rumen bila

ternak mengkonsumsi hijauan/pakan berserat. Spesies-spesies bakteri selulolitik

rumen bekerja berkompetisi dalam mendegradasi selulosa. Dalam kondisi jumlah

substrat terbatas populasi Ruminococcus flavifaciens akan lebih tinggi

dibandingkan dengan Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus albus (Chen

dan Weimer, 2001). Hasil penelitian Berra-Maillet et al. (2004) menunjukkan

bahwa populasi Fibrobacter succinogenes adalah paling besar di dalam rumen

sapi dan domba.

Pada rayap telah berhasil diisolasi beberapa jenis bakteri selulolitik seperti;

Bacillus larvae, B. coagulans, B. pumilus dan Pediococcus (Purwadaria et al.,

2003ab). Pada saluran pencernaan rayap Coptotermen curnignathus berhasil

diisolasi bakteri Bacillus cereus, Enterobacter aerogenes, Enterobacter cloaceae,

Chryseobacterium kwangyangense, Acinetobacter (Ramin et al., 2009). Tokuda et

al. (1997) menyebutkan hampir semua rayap (termasuk rayap yang mengandung

protozoa selulolitik dalam ususnya) memiliki endo-β-1,4 glukanase dan β-

glukosidase pada bagian kelenjar ludah dan usus tengah. Pada rayap Coptotermes

formosanus 75% aktivitas ekso- β-glukanase ditemukan di usus tengah.

14
Bakteri lain di alam yang memproduksi enzim selulase antara lain:

Clostridium (C. acetobutylicum, C. thermomellum), Bacillus sp., Acidothermus,

Pseudomonas (P. cellulosa), Rhodothermus (Anindyawati, 2010), Erwinia,

Acetovibrio, Mikrobispora, Cellulomonas, Cellovibrio, Streptomyces, Sclerotium

rolfisii dan P. Chrysosporium (Duff dan Murray, 1996; Indrawati Gandjar, 2006).

2.3.3 Bakteri pendegradasi hemiselulosa

Bakteri pendegradasi hemiselulosa adalah kelompok bakteri yang

mampu mendegradasi/memecah senyawa hemiselulosa (Howard et al., 2003).

Bakteri hemiselulolitik adalah bakteri yang mampu mendegradasi/memecah

senyawa hemiselulosa. Beberapa jenis bakteri rumen diketahui menghasilkan

enzim silanase. Enzim silanase termofilik dapat dihasilkan oleh kelompok bakteri

Actinomycetes dan Thermonospora. Menurut Perez et al. (2002) silanase bakteri

pada umumnya lebih stabil pada pengaruh temperatur dibandingkan silanase

jamur. Lebih lanjut diungkapkan bahwa enzim silanase Actinobacteria bekerja

aktif pada kisaran pH 6,0 – 7,0 sedangkan silanase jamur bekerja optimal pada pH

4,5 – 5,5. Beberapa jenis bakteri rumen, kolon dan caecum ruminansia (F.

succinogenes, B. fibrisolvens, R. Albus) dan fungi rumen mampu menghasilkan

enzim silanase (Madigan et al., 1997). Hemiselulase juga dihasilkan oleh

berbagai mikrobia seperti Trichoderma, Aspergillus, Bacillus sp,

Aeromonascaviae, Neurospora sitophila, Cryptococcus, Penicillium,

Aureobasidium, Fusarium, Chaetomium, Phanerochaete, Rhizomucor, Humicola,

Talaromyces, Clostridium sp, dll (Chandel et al., 2007; Ohara et al., 1998) yang

dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti sel tubuh hewan (seperti rayap, keong,

siput), rumen, maupun sampah/limbah organik.

15
2.4 Kolon Sapi Bali dan Sampah Organik sebagai Sumber Inokulan

Inokulasi merupakan suatu proses penanaman mikroorganisme pada media

yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang ditanam (Dwidjoseputro,

1998). Inokulan merupakan senyawa yang mempunyai kemampuan mempercepat

proses terjadinya fermentasi/degradasi substrat/material organik (baik secara

langsung maupun tidak langsung). Dewasa ini, jenis inokulan yang dipergunakan

dalam membantu proses fermentasi untuk memproduksi biosuplemen sudah

banyak jenisnya. Inokulan isi rumen sapi, inokulan isi rumen kerbau dan inokulan

rayap merupakan beberapa contoh inokulan yang sudah pernah diteliti dan

menunjukkan hasil yang baik jika dipergunakan dalam upaya peningkatan

kandungan nutrisi bahan pakan asal limbah pertanian melalui proses fermentasi

(Wibawa et al., 2011; Mudita et al., 2012).

Inokulan umumnya berupa mikroorganisme, baik bakteri, jamur/fungi,

protozoa, maupun mikroorganisme lainnya. Pemanfaatan mikrobia (khususnya

bakteri) sebagai inokulan dalam proses biofermentasi limbah organik akan

mengurangi resiko negatif yang dapat ditimbulkan oleh limbah dan bahkan akan

mampu memberikan/menghasilkan produk bernilai ekonomis. Berbagai sumber

bakteri pendegradasi limbah organik bersumber dari alam, baik berasal dari

sampah/limbah organik, binatang pengerusak maupun limbah tidak berguna

sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber inokulan ataupun sebagai sumber

isolat (Purwadaria et al., 2003ab; 2004; Mudita et al., 2009). Limbah kolon sapi

bali dan sampah organik merupakan sumber inokulan bakteri lignoselulolitik yang

sangat potensial dalam mendegradasi senyawa lignoselulosa yang terkandung

dalam limbah pertanian (Mudita et al., 2014).

16
Limbah kolon sapi merupakan limbah rumah potong hewan yang

mengandung berbagai mikrobia (bakteri, protozoa dan fungi) dan berbagai enzim

pendegradasi serat yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber inokulan ataupun

sebagai sumber isolat serta mengandung berbagai nutrien available dan ready

fermentable yang dapat dimanfaatkan sebagai medium inokulan (media

pertumbuhan bakteri) (Arora, 1995; Hungate, 1966; Vanadianingrum, 2008).

Kolon sapi kaya bakteri pendegradasi serat pakan baik bakteri lignolitik,

selulolitik, hemiselulolitik, amilolitik, proteolitik maupun probiotik (Chiquette,

2009; Rigobelo dan Avila, 2012). Wahyudi (2009) menyatakan bahwa bakteri

lignoselulolitik kolon dan sekum kerbau mempunyai kemampuan degradasi serat

lebih tinggi dari bakteri rumen karena mampu berasosiasi dengan serat pakan

yang tidak terdegradasi dalam rumen dan mempunyai aktivitas lignoselulase lebih

tinggi. Wahyudi et al. (2010) berhasil mengisolasi 3 bakteri lignolitik, 111 bakteri

xilanolitik, dan 262 bakteri selulolitik dari kolon kerbau.

Hasil penelitian Mudita et al. (2014) telah berhasil mengisolasi 10 isolat

bakteri lignoselulolitik asal kolon sapi bali dan 2 diantaranya yaitu isolat dengan

kode BCC 4 LC dan BCC 12.1 LC mempunyai kemampuan degradasi substrat

yang tinggi yaitu dengan luas zone bening masing-masing sebesar 3,357 cm2;

0,045 cm2; 4,206 cm2; 5,864 cm2 dan 3,130 cm2; 0,044cm2; 3,901 cm2; 5,759 cm2

untuk substrat lignoselulosa, asam tanat, CMC dan xylan. Pada hasil penelitian

tersebut juga tampak bahwa isolat bakteri dengan kode BCC 4 LC dan BCC 12.1

LC mempunyai aktivitas enzim lignase, cellulase dan xilanase yang tinggi

masing-masing sebesar 0,0563 U dan 0,0563 U; 0,0682 U dan 0,0716 U; 6,4018

U dan 21,3392 U. Populasi bakteri pada usus besar dan feses ternak

17
ruminansia termasuk golongan spesies bakteri yang juga terdapat di dalam rumen,

yaitu termasuk dalam famili Bacteriodes, Fusobacterium, Streptococcus,

Eubacterium, Ruminococcus dan Lactobacillus (Omed et al., 2000). Chiquette

(2009) mengungkapkan bahwa dalam saluran pencernaan ruminansia terdapat

berbagai bakteri probiotik (bakteri asam laktat) dari golongan Lactobacillus sp.

(L. acidophillus, L. casei, L. crispatus, L. gallinarum, dll) dan Bifidobacterium sp.

(B. adolescentis, B. breve, B. lactis, dll), bakteri asam laktat lain (Enterococcus

faecalis, Lactococcus lactis, Leuconostoc mesenteroides) dan bakteri non laktat

(Basillus cereus, Propionibacterium freudenreichii).

Sampah organik mengandung berbagai bakteri lignoselulolitik (Permana,

2008; Sarkar et al., 2011). Pathma dan Sakthivel (2012) mengungkapkan bahwa

bakteri kompos sampah organik selain mampu mendegradasi lignoselulosa juga

mampu mendegradasi antinutrisi, memproduksi antibiotika dan sebagai growth

promotor. Ditambahkannya berbagai bakteri menguntungkan dapat diisolasi dari

sampah organik seperti Bacillus spp, Bacillus megaterium, B. subtilis, B. pumilis,

Rhizobium trifolli, R. japonicum, dll. Hasil penelitian Mudita et al. (2014)

menunjukkan dari sampah organik telah berhasil diisolasi 7 isolat bakteri

pendegradasi lignoselulosa dan 2 diantaranya yaitu isolat bakteri dengan kode BW

1 LC dan BW 4 LC mempunyai kemampuan degradasi substrat yang tinggi yaitu

dengan luas zone bening masing-masing sebesar 2,314 cm2; 0,051 cm2; 1,548

cm2; 0,435 cm2 dan 3,603 cm2; 0,047 cm2; 1,565 cm2; 0,419 cm2 untuk substrat

lignoselulosa, asam tanat, CMC dan xylan. Pada hasil penelitian tersebut juga

tampak bahwa isolat bakteri dengan kode BW 1 LC dan BW 4 LC mempunyai

18
aktivitas enzim lignase, cellulase dan xilanase yang tinggi masing-masing sebesar

0,0597 U dan 0,0563 U; 0,0780 U dan 0,0759 U; 29,5806 U dan 32,3767 U.

Penelitian pemanfaatan konsorsium bakteri dari sumber yang berbeda

sebagai sumber inokulan telah banyak dilakukan dalam optimalisasi pemanfaatan

limbah sebagai pakan ternak (Mudita et al., 2012; Wibawa et al., 2011). Hasil

penelitian Dewi (2015) bahwa penggunaan kombinasi cairan rumen sapi bali 20%

dan penggunaan rayap 0,2% atau 0,3% pada inokulan mampu meningkatkan

populasi bakteri anaerob, bakteri selulolitik, dan fungi selulolitik. Mudita et al.

(2012) menyatakan bahwa pemanfaatan konsorsium mikroba isi rumen sapi bali

dan rayap dapat menghasilkan inokulan dengan kandungan makro dan mikro

nutrien, daya degradasi substrat serta aktivitas enzim lignoselulosa yang sangat

tinggi.

19

Anda mungkin juga menyukai