Anda di halaman 1dari 2

Aku Yang Salah, Bukan Alam

Cerpen Karangan: Khairul

Mentari menyapa dengan cahayanya, aktivitas berjalan seperti biasa; anak-anak SD berangkat ke
sekolah dengan tas besar di punggungnya, petani berangkat ke sawah dengan cangkulnya, ada juga
yang berangkat ke kebun dengan alat penebangan pohonnya.

Itulah rutinitas masyarakat pedesaan.

Anak-anak tadi berjalan ke sekolah dengan riang, karena uang jajannya yang banyak. Mereka pergi
ke sekolah dengan teman akrabnya masing-masing.

Wahid, ia adalah anak yang pintar di sekolahnya. Sebutkan Pak boss, adalah julukannya.

“Hi Yanto, berangkat sama sama yuk!”. Ajak Wahid. “Ayo”, jawab Yanto. “Uang jajanmu berapa?”,
tanya Yanto kepada Wahid. “10 ribu”, jawab Wahid.

“Sama, bagaimana kalau kita beli Snack, supaya dapat banyak!”.

“Oke”, jawab Wahid.

Jam istirahat tiba, mereka pergi ke kantin dan membeli Snack sebanyak-banyaknya, 10 ribu.

Bel masuk berbunyi, teng teng tenggg… “Ahh, masuk lagi, bosan”, kata Irham, sahabat Yanto dan
Wahid. “Iya Yan, padahal kita kan belum puas bermain, Snack kita juga belum habis. Dasar bel
sialan”, kata Yanto sambil mengunyah.

“Masuk saja dulu, snacknya nanti kita makan di jalan”, sahut Wahid sambil berkemas. “Siap pak
boss, haha”. Jawab Yanto dan Irham sambil bercanda.

Bel pulang berbunyi, teng teng tenggg…

“Akhirnya”, ucap Yanto legah. Mereka bergegas dan pulang bersama.

Ditengah perjalanan pulang, mereka singgah di pos kamling dan menyantap Snacknya. Snack yang
mereka makan di pos kamling lebih banyak daripada yang mereka makan di kantin sekolah.

“Alhamdulillah sudah kenyang”, kata Wahid setelah bersendawa. “Cepat, Yan, Ham, habiskan Snack
kalian!”, perintah Wahid. “Siap pak boss”, kata Irham sambil mengunyah.

“Bungkus snacknya dibuang dimana pak boss, disini saja?”, kata Yanto sambil meletakkan bungkusan
Snack di sudut pos kamling.

“Jangan disitu, disitu saja!”, kata Irham sambil menunjuk ke selokan. Ceplok… Yanto membuangnya
ke selokan.

Mereka sampai di pada pukul 13:15.

Jam menunjukkan pukul 16:00, Yanto ikut dengan pamannya untuk melanjutkan hasil tebangannya
tadi pagi. Yanto digendong oleh pamannya, karena Yanto sudah tidak sanggup mendaki.

Setelah sampai di tempat tujuan, Yanto terkejut melihat 5 batang pohon besar yang sudah ditebang
pamannya.

“Paman, kenapa pohon itu ditebang?”, tanya Yanto. “Tidak apa-apa, kan digunakan untuk keperluan
kita juga”, jawab Sahrul, paman Yanto.
Sahrul lanjut memotong batang pohon yang sudah ia tebang, sedangkan Yanto asik bermain di
bawah pondok pamannya.

Jam menunjukkan pukul 17:45. Sahrul menyimpan peralatannya di pondok dan mengajak Yanto
pulang, “Yan, yantoo, mari kita pulang, sudah mau Maghrib”. “Oke paman”, sahut Yanto.

5 menit dalam perjalanan…

Sahrul mengantar ponakannya sampai ke depan rumah, kemudian pulang ke rumahnya.

Kebiasaan buruk itu berlanjut hingga bertahun-tahun; Yanto, Wahid, dan Irham yang membuang
sampah sembarang, dan Sahrul yang menebang pohon sembarangan.

Sekarang Wahid, Yanto, dan Irham sudah duduk di bangku SMA. Usia mereka sudah 16 tahun. Sudah
cukup akal untuk berfikir tentang baik buruk. Namun, kebiasaan buruk itu masih saja mereka
lakukan ‘meskipun sesekali’.

Pada saat usia mereka sudah 17 tahun, desa mereka dilanda banjir dan tanah longsor. Rumah Yanto
yang dekat dari gunung, tertimbun oleh tanah longsor. Sedangkan Orangtua Wahid dan Irham
mengalami gagal panen karena padinya terendam banjir.

Instruction: Buatlah teks ulasan dari cerpen di atas!

Anda mungkin juga menyukai