Anda di halaman 1dari 18

LATAR BELAKANG DAN TINJAUAN PUSTAKA

GABRELLA VALENSIA

(P101 18 082)

PEMINATAN BIOSTATISTIK, KB DAN KEPENDUDUKAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKO

TAHUN 2020
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PELAYANAN KB
DENGAN KEIKUTSERTAAN PRIA DALAM PROGRAM KB
DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MABELOPURA KECAMATAN
PALU SELATAN TAHUN 2020

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat


di dunia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar
268.074.565 jiwa. Penurunan jumlah pertumbuhan penduduk terbesar terjadi
pada tahun 2015 - 2016 dari 3,34 juta per tahun menjadi 3,24 juta per tahun.
Rata-rata kepadatan penduduk di Indonesia tahun 2019 berdasarkan hasil
estimasi sebesar 139,85 jiwa per km2, keadaan ini meningkat dari tahun
sebelumnya yang sebesar 138,49 jiwa per km2 (Kemenkes RI, 2019)
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak diatur serta dibatasi,
akan berdampak negatif terhadap bidang kehidupan sosial, ekonomi, maupun
politik yang pada akhirnya akan menghambat kegiatan pembangunan
nasional. Permasalahan kependudukan yang dihadapi Indonesia melahirkan
sebuah konsep pembangunan berwawasan kependudukan. Upaya pemerintah
untuk mengatasi ledakan penduduk ini, yaitu dengan suatu program yang
dikenal dengan istilah Gerakan Keluarga Berencana. Untuk menjalankan
tugas ini pemerintah membentuk suatu lembaga suatu lembaga yaitu Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN).
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai
penduduk tumbuh seimbang (PTS) melalui upaya penurunan laju
pertumbuhan penduduk (LPP) dan perwujudan keluarga berkualitas. Indikator
sasaran Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (KB) yang
tertera pada RPJMN 2015-2019 antara lain adalah menurunnya angka
kelahiran total (total fertility rate/TFR), meningkatnya angka prevalensi
kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR) modern, menurunnya
kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need), meningkatnya peserta
KB aktif yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) dan
menurunnya tingkat putus pakai kontrasepsi (BkkbN, 2017)
Sasaran gerakan KB adalah (1) Pasangan usia subur (PUS) yaitu
pasangan suami istri yang hidup bersama dimana istrinya berusia 15-49 tahun
yang harus dimotivasi terus-menerus, (2) Non PUS yaitu anak sekolah, orang
yang belum menikah, pasangan di atas 45 tahun, tokoh masyarakat, (3)
Institusional yaitu berbagai organisasi, lembaga masyarakat, pemerintah dan
swasta (Barus et al., 2018)
Berdasarkan data BKKBN, KB aktif di antara PUS tahun 2019
sebesar 62,5%, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar
63,27%. Sementara target RPJMN yang ingin dicapai tahun 2019 sebesar
66%. Hasil SDKI tahun 2017 juga menunjukan angka yang lebih tinggi pada
KB aktif yaitu sebesar 63,6%. Cakupan peserta KB aktif menurut metode
kontrasepsi modern di Indonesia yaitu suntik (64,7%), pil (17,0%),
IUD/AKDR (7,4%), Implan (7,4%), MOW (2,7%), kondom (1,2%) dan MOP
(0,5). Selain itu, dalam profil data kesehatan Indonesia tahun 2019 persentase
peserta KB aktif di Sulawesi Tengah, yaitu sekitar 62,5% peserta KB aktif
pada urutan ke-16 dari 34 provinsi dan belum mencapai target RPJMN
sebesar 66% (Kemenkes RI, 2019)
Angka partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia
masih sangat rendah yaitu hanya 2,1% peserta KB pria dan mereka umumnya
memakai kondom. Persentase tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan
negara lain, seperti Iran (12%), Tunisia (16%), Malaysia (9-11%), bahkan di
Amerika Serikat mencapai 32%. Sangat sedikit pria yang mau menggunakan
alat kontrasepsi, baik kondom maupun vasektomi. Dari total jumlah aseptor
KB di Indonesia, sekitar 97% adalah perempuan. Oleh sebab itu, sosialisasi
program KB di kalangan pria harus ditingkatkan (Afnita Ayu Rizkitama,
2015)
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah Tahun
2019, menunjukan bahwa kontrasepsi suntik dan pil merupakan alat
kontrasepsi yang paling banyak diminati, sedangkan jenis kontrasepsi yang
paling sedikit digunakan adalah Metode Operasi Pria (MOP) (0,30%),
Penggunaan kondom (1,90%), dan Metode Operasi Wanita (MOW) (2,90%)
yang merupakan kontrasepsi jangka panjang yang diharapkan. (Dinkes
SULTENG, 2019). Sedangkan pada kecamatan Palu Selatan tahun 2016
tercatat ada 812 jiwa peserta pria yang menggunakan kondom dan ada 32
jiwa peserta pria yang melakukan vasektomi atau MOP.
Jika ditinjau kembali, keberhasilan program Keluarga Berencana
bukan hanya sepenuhnya tanggungjawab wanita, namun pria juga memiliki
andil besar untuk program ini, sehingga seharusnya pria juga aktif sebagai
akseptor KB itu sendiri. Rendahnya partisipasi pria/suami dalam KB dan
kesehatan reproduksi disebabkan oleh banyak faktor yang dilihat dari
berbagai aspek, yaitu dari sisi klien pria itu sendiri (pengetahuan, sikap dan
praktek serta kebutuhan yang ia inginkan), faktor lingkungan yaitu sosial,
budaya, masyarakat dan keluarga/istri, keterbatasan informasi dan aksesbilitas
terhadap pelayanan KB pria, keterbatasan jenis kontrasepsi pria. Sementara
persepsi yang ada di masyarakat masih kurang menguntungkan.
Dari segi pengetahuan, kurang berperannya suami dalam program
Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi disebabkan oleh pengetahuan
suami mengenai KB secara umum relatif rendah, sebagaimana terungkap
pada penelitian (Barus et al., 2018) bahwa pria yang secara lengkap tentang
alat kontrasepsi wanita dan pria hanya 32,5%. Terbatasnya akses pelayanan
KB pria dan kualitas pelayanan KB pria belum memadai juga merupakan
aspek yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pria dalam Keluarga
Berencana.
Akses pria terhadap informasi mengenai KB rendah karena masih
terbatasnya informasi tentang peranan pria dalam KB dan akses pria terhadap
sarana pelayanan kontrasepsi rendah. Dimana Puskesmas terdapat pelayanan
KIA yang umumnya melayani Ibu dan Anak saja sehingga pria merasa
enggan untuk konsultasi dan mendapat pelayanan, demikian pula terbatasnya
jumlah sarana pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pria serta waktu
buka sarana pelayanan tersebut. (Surinati et al., 2015)
Rendahnya penggunaan kontrasepsi di kalangan pria diperparah oleh
persepsi selama ini bahwa program KB hanya diperuntukan bagi wanita,
sehingga pria lebih cenderung bersifat pasif. Hal ini juga nampak dari
kecenderungan pengguna tenaga perempuan sebagai petugas dan promotor
untuk kesuksesan program KB, padahal praktek KB merupakan permasalahan
keluarga, dimana permasalahan keluarga adalah permasalahan sosial yang
berarti juga merupakan permasalahan pria dan wanita.
Namun demikian belum ada penelitian yang melakukan kajian
terhadap pengetahuan, sikap dan pelayanan KB pada pria terhadap
keikutsertaan pria ber- KB di Kecamatan Palu Selatan. Hasil studi
pendahuluan terdapat masalah yaitu terbatasnya sosialisasi dan promosi KB
pria, suami tidak mengetahui bahwa pria juga dapat menggunakan
kontrasepsi untuk menjarangkan atau mengakhiri kehamilan karena belum
pernah mendengar tentang kontrasepsi pria, adanya persepsibahwa wanita
yang menjadi target program KB, terbatasnya akses pelayanan KB pria,
ketidaknyamanan dalam pengunaan KB pria (kondom), serta terbatasnya
metode kontrasepsi pria.

Berdasarkan kondisi diatas penulis tertarik untuk mengetahui


hubungan pengetahuan, sikap dan pelayanan KB dengan rendahnya
keikutsertaan pria dalam program KB (Keluarga Berencana) di wilayah kerja
Puskesmas Mabelopura Kecamatan Palu Selatan Tahun 2020.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keluarga Berencana


2.1.1 Pengertian

Menurut WHO (1970), Keluarga Berencana adalah program yang bertujuan


membantu pasangan suami isteri untuk, (1), Menghindari kelahiran yang tidak
diinginkan, (2) Mendapatkan kelahiran yang diingikan, (3) Mengatur interval
diantara kehamilan, (4) Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan
umur suami dan isteri, (5) Menentukan jumlah anak dalam keluarga (Huda, 2016)

Menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan


Kependudukan dan Pembangunan Keluarga disebutkan bahwa keluarga berencana
adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur
kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak
reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.

2.1.2 Tujuan Keluarga Berencana

Tujuan Keluarga Berencana adalah meningkatkan kesejahteraan ibu dan


anak serta mewujudkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang menjadi
dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran
dan pengendalian pertumbuhan penduduk Indonesia. Tujuan KB terbagi menjadi
dua bagian, di antaranya:

1. Tujuan umum
Meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dalam rangka mewujudkan NKKBS
(Normal Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya
masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin
terkendalinya pertambahan penduduk.

2. Tujuan khusus

a. Meningkatkan jumlah penduduk untuk menggunakan alat kontrasepsi.


b. Menurunnya jumlah angka kelahiran bayi.
c. Meningkatnya kesehatan keluarga berencana dengan cara penjarangan
kelahiran.

2.1.3 Sasaran dan Target Program Keluarga Berencana

Sasaran dan target yang ingin dicapai dengan program Keluarga Berencana
adalah bagaimana supaya segera tercapai dan melembaganya Norma Keluarga
Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) pada masyarakat Indonesia. Sasaran
yang mesti dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah:

1. Pasangan usia subur (PUS) yaitu pasangan suami istri yang hidup bersama
dimana istrinya berusia 15-49 tahun yang harus dimotivasi terus-menerus,
2. Non PUS yaitu anak sekolah, orang yang belum menikah, pasangan di atas
45 tahun, tokoh masyarakat,
3. Institusional yaitu berbagai organisasi, lembaga masyarakat, pemerintah
dan swasta (Barus et al., 2018)

2.1.4 Ruang Lingkup Program Keluarga Berencana

Ruang lingkup program KB mencakup sebagai berikut :

a. Ibu
Dengan jalan mengatur jumlah dan jarak kelahiran. Adapun manfaat yang
diperoleh oleh ibu adalah sebagai berikut :
1) Tercegahnya kehamilan yang berulang kali dalam jangka waktu yang
terlalu pendek, sehingga kesehatan ibu dapat terpelihara terutama
kesehatan organ reproduksinya.
2) Meningkatnya kesehatan mental dan sosial yang dimungkinkan oleh
adanya waktu yang cukup untuk mengasuh anak-anak dan beristirahat
yang cukup karena kehadiran akan anak tersebut memang diinginkan.
b. Suami
Dengan memberikan kesempatan suami agar dapat melakukan hal berikut.
1) Memperbaiki kesehatan fisik
2) Mengurangi beban ekonomi keluarga yang ditanggungnya
c. Seluruh Keluarga
Dilaksanakannya program KB dapat meningkatkan kesehatan fisik,
mental, dan sosial setiap anggota keluarga, dan bagi anak dapat
memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam hal pendidikan serta
kasih saying orang tuanya.

Menurut Handayani (2010:29), ruang lingkup program KB,meliputi:

1. Komunikasi informasi dan edukasi


2. Konseling
3. Pelayanan infertilitas
4. Pendidikan seks
5. Konsultasi pra perkawinan dan konsultasi perkawinan
6. Konsultasi genetik (Ida Prijatn, 2016)

2.2 Aseptor KB

Menurut Barbara R. Stright (2004), Akseptor KB adalah proses yang disadari


oleh pasangan untuk memutuskan jumlah dan jarak anak serta waktu kelahiran.
Adapun jenis - jenis akseptor KB, yaitu:

a. Akseptor Aktif
Akseptor aktif adalah kseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah
satu cara/alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri
kesuburan.
b. Akseptor aktif kembali

Akseptor aktif kembali adalah pasangan usia subur yang telah


menggunakan kontrasepsi selama 3 (tiga) bulan atau lebih yang tidak
diselingi suatu kehamilan, dan kembali menggunakan cara alat kontrasepsi
baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah berhenti /
istirahat kurang lebih 3 (tiga) bulan berturut–turut dan bukan karena hamil.

c. Akseptor KB Baru

Akseptor KB baru adalah akseptor yang baru pertama kali menggunakan


alat / obat kontrasepsi atau pasangan usia subur yang kembali
menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan atau abortus.

d. Akseptor KB dini

Akseptor KB dini merupakan para ibu yang menerima salah satu cara
kontrasepsi dalam waktu 2 minggu setelah melahirkan atau abortus.

e. Akseptor KB langsung

Akseptor KB langsung merupakan para istri yang memakai salah satu cara
kontrasepsi dalam waktu 40 hari setelah melahirkan atau abortus.

f. Akseptor KB dropout

Akseptor KB dropout adalah akseptor yang menghentikan pemakaian


kontrasepsi lebih dari 3 bulan. (Ida Prijatn, 2016)

2.3 Kontrasepsi

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti
“melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel
telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari
konsepsi adalah menghindari / mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Menurut Prawirohardjo
(2008), kontrasepsi adalah usaha - usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan,
usaha itu dapat bersifat sementara dapat bersifat permanen. (Ida Prijatn, 2016)

2.4 Sejarah Alat Kontrasepsi

Kontrasepsi dapat diartikan sebagai menghindarkan konsepsi atau kehamilan,


sedangkan alat kontrasepsi adalah segala macam alat atau cara yang digunakan
satu pihak atau kedua belah pihak pasangan suami isteri untuk menghindarkan
konsepsi. Malahan dewasa ini falsafah kontrasepsi mempunyai pengertian yang
lebih luas lagi yang tujuan utamanya untuk kesehatan reproduksi, kebahagiaan
dan kesejahteraan keluarga yang lebih dikenal dengan istilah Norma Keluarga
Kecil Bahagia Sejahtera.

Dahulu pada abad sebelum masehi, Hipocrates pernah menganjurkan wanita-


wanita yang telambat haid dan kebanyakan anak untuk bekerja lebih keras atau
berolah raga lebih berat lagi agar mereka mendapatkan haid lagi.

Menurut Koesnadi (1992), alat kontrasepsi yang sudah tua usianya ialah
operasi tubektomi pada wanita dan vasektomi pada pria yang pada saat ini lebih
dikenal dengan alat kontrasepsi mantap. Kontrasepsi ini telah dilaksanakan sekitar
tahun 1880-an, yaitu dipakai untuk mereka yang dikhawatirkan akan menurunkan
penyakit-penyakit keturunan pada anaknya dan juga alasan ”eugenik” pada orang-
orang gila, demi mencegah keturunan selanjutnya. Kondom juga sudah dikenal
orang sejak tahun1800-an, yang pada mulanya terbuat dari usus domba

2.5 Jenis Alat Kontrasepsi Pada Pria


2.5.1 Kondom
1. Pengertian
Menurut Wulansari (2007), Kondom adalah suatu selubung yang
terbuat dari lateks yang dikenakan pada penis dalam keadaan ereksi atau
vagina yang berperan sebagai pelindung untuk mencegah semen atau cairan
pre ejakulasi pada saat penis di dalam vagina. (Ulpawati, 2018)

2. Cara Kerja

Kondom menghalangi terjadinya pertemuan sperma dan sel telur dengan


cara mengemas sperma diujung selubung karet yang dipasang pada penis
sehingga sperma tersebut tidak tercurah ke dalam saluran reproduksi
perempuan. Mencegah penularan Mikroorganisme (IMS termasuk HBV dan
HIV/AIDS) dari satu pasangan kepada pasangan yang lain (khususnya
kondom yang terbuat dari lateks dan Vinil)

3. Efektivitas

Kondom cukup efektif bila dipakai secara benar pada setiap kali
berhubungan seksual. Pada beberapa pasangan, pemakaian kondom tidak
efektif karena tidak dipakai secara konsisten. Secara ilmiah didapatkan hanya
sedikit angka kegagalan kondom yaitu 2-12 kehamilan per 100 perempuan per
tahun.

4. Keuntungan
a. Dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit sexual
b. Murah dan mudah didapat
c. Kemasan yang ringan dan hanya untuk satu kali pemakaian
d. Tidak membutuhkan resep untuk membelinya (dijual bebas)
e. Dapat memperpanjang ereksi ada laki-laki
f. Dapat mengurangi ejakulasi dini
g. Tidak mengganggu produksi asi (Lubis, 2009)
5. Kerugian
a. Kondom rusak atau diperkirakan bocor (sebelum berhubungan)
b. Selalu harus memakai kondom yang baru
c. Kadang-kadang ada yang tidak tahan (alergi) terhadap karetnya
d. Mengurangi kenikmatan hubungan seksual e. Tingkat kegagalannya
cukup tinggi
2.5.2 Metode Operasi Pria (MOP)
1. Pengertian

MOP ( Medis Operatif Pria ) / vasektomi atau juga dapat disebut


dengan sterilisasi. MOP adalah alat kontrasepsi jenis sterilisasi melalui
pembedahan dengan cara memotong saluran sperma yang menghubungkan
testikel (buah zakar) dengan kantung sperma sehingga tidak ada lagi
kandungan sperma di dalam ejakulasi air mani pria.

2. Cara Kerja

Menurut Hartono (2002), oklusi vasdeferen hingga menghambat


perjalanan spermatozoa sehingga tidak didapatkan spermatozoa dari testis ke
penis.

3. Efektivitas
a. Angka kegagalan 0-2,2 % ,umumnya < 1 %
b. Kegagalan kontap , umumnya disebabkan oleh:
- Senggamaa yang tidak terlindung sebelum semen/ejakulat bebas
sama sekali dari spermatozoa.
- Rekanalisasi spontan dari vas deferens, umumnya terjadi setelah
pembentukan granulomaspermatozoa
- Pemotongan dan oklusi struktur jaringan lain selama operasi
- Jarang : duplikasi congenital dari vas deferens.4.
3. Keuntungan
- Efektif
- Aman, morbiditas rendah dan hampir tidak ada mortalitas
- Sederhana
- Cepat, hanya memerlukan waktu 5-10 menit
- Hanya memerlukan anestesi lokal saja
- Biaya rendah
- Secara kultural, sangat dianjrkan di negara-negara dimana wanita
merasa malu untuk ditangani oleh dokter pria atau kurang tersedia
dokter wanita dan paramedis wanita. (Hartanto 2002)
4. Kekurangan
- Diperlukan suatu tindakan operatif
- Kadang-kadang menyebabkan komplikasi seperti perdarahan atau
infeksi
- Belum memberi perlindungan total sampai semua spermatozoa yang
sudah ada didalam sistem reproduksi distal dari tempat oklusi vas
deferens dikeluarkan.
- Problem psikologis yang berhubungan dengan perilaku seksual
mungkin bertambah parah setelah tindakan operatif yang menyangkut
sistem reproduksi pria.

2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemakaian Alat Kontrasepsi


2.6.1 Pendidikan

Menurut Brahm (2007), pendidikan mempengaruhi kerelaan


menggunakan KB dan pemilihan suatu metode kontrasepsi. Pendidikan
seseorang dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat pengetahuan, dan taraf
pendidikan yang rendah selalu bergandengan dengan informasi dan
pengetahuan yang terbatas. Wanita yang berpendidikan rendah akan sulit
menerima informasi dan tidak tahu bagaimana cara dalam menentukan dan
memilih kontrasepsi yang sesuai baginya. (Syukaisih, 2015)

2.6.2 Pengetahuan

Notoatmodjo (2014) menjelaskan bahwa, pengetahuan adalah hal yang


diketahui oleh orang atau responden terkait dengan sehat dan sakit atau
kesehatan, misal: tentang penyakit (penyebab, cara penularan, cara
pencegahan), gizi, sanitasi, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan,
keluarga berencana, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2014)
Menurut Astuti (2008), pengetahuan dapat mempengaruhi tindakan
seseorang dan perilaku seseorang. Seseorang yang memiliki pengetahuan baik
akan cenderung memilih alat kontrasepsi yang sesuai dan cocok digunakannya,
karena dengan pengetahuan yang baik seseorang akan lebih mudah menerima
informasi terutama tentang alat kontrasepsi.(Syukaisih, 2015)

Tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap proses menerima


atau menolak inovasi. Menurut Roger (1983), prilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Roger dalam hanafi (1987) mengungkapkan bahwa sebelum
seseorang mengadopsi perilaku baru (berprilaku baru) dalam diri orang
tersebut terjadi proses berurutan yaitu :

1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti


mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut, disini
sikap subjek mulai timbul
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.
4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan
dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui pengalaman
orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik
secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan
kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan prilaku individu, keluarga
dan masyarakat dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

2.6.3 Sikap

Notoatmodjo (2014) menjelaskan bahwa, sikap adalah bagaimana


pendapat atau penilaian orang atau responden terhadap hal yang terkait dengan
kesehatan, sehat sakit dan faktor yang terkait dengan faktor risiko kesehatan.
Sikap menurut Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2014) mendefinisikan
sangat sederhana yakni: “An individual’s attitude is syndrome of respons
consistency with regard to object”. Jadi jelas dikatakan bahwa sikap itu suatu
sindrom atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek sehingga
sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang
lain.

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2014) menjelaskan, sikap terdiri dari
3 komponen pokok, yaitu:

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek, yang artinya
bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya
bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut
terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap merupakan
komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah
ancang – ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka

Ketiga komponen tersebut bersama – sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi sangat berperan penting
dalam menentukan sikap.

2.6.4 Sosio Ekonomi

Menurut Notoadmojo (1997) yang mengutip pendapat andersen,


menyatakan bahwa penghasilan memiliki pengaruh terhadap keikutsertaan
seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan

Penghasilan sesorang tidak dapat diukur sepenuhnya dari pekerjaannya.


Bila dihubungkan dengan tingkat keikutsertaan pada program KB, orang pada
tingkat penghasilan tinggi akan lebih mudah menerima dan mengikuti program
ini. Sebaliknya orang dengan penghasilan rendah akan sangat sulit ikut dalam
program KB. Hal ini dikarenakan pada program KB, akseptor menanggung
sendiri biaya yang dikenakan bila dia menggunakan salah satu alat kontrasepsi

2.6.5 Pemberian Informasi oleh Tenaga Kesehatan

Widaningsih (2007) informasi yang diberikan pada calon atau akseptor


KB tersebut harus disampaikan secara lengkap, jujur dan benar tentang metode
kontrasepsi yang akan digunakan, kemungkinan efek samping, komplikasi,
kegagalan dan kontra indikasi dari metode atau alat kontrasepsi tersebut.

Agar calon akseptor KB dapat menggunakan kontrasepsi lebih lama


dan lebih efektif harus di awali dengan pemberian informasi yang lengkap.
Informasi mengenai berbagai metode atau alat kontrasepsi yang memadai,
menjadikan seseorang memiliki pengetahuan baik karena lebih tahu apa yang
sebaiknya dilakukan untuk menjarangkan kelahiran anak dan juga membantu
seseorang untuk menentukan pilihan dalam menentukan metode atau alat
kontrasepsi secara tepat.(Syukaisih, 2015)

Daftar pustaka:

Afnita Ayu Rizkitama, F. I. (2015). Hubungan Pengetahuan, Persepsi, Sosial


Budaya Dengan Peran Aktif Pria Dalam Vasektomi Di Kecamatan
Paguyangan Kabupaten Brebes Tahun 2011-2012. Unnes Journal of Public
Health, 4(1), 48–54. https://doi.org/10.15294/ujph.v4i1.4709

Barus, E., Lumbantoruan, M., Erna, A., & Purba, T. (2018). Hubungan
pengetahuan , sikap dan pelayanan KB dengan keikutsertaan pria mengikuti
KB. Jurnal Health of Studies, 3(2), 36–46.

BkkbN. (2017). RENCANA STRATEGIS PERWAKILAN BKKBN PROVINSI


SULAWESI TENGAH TAHUN 2015 - 2019 Revisi. 2019.

Dinkes SULTENG. (2019). Profil Dinkes Sulteng 2019. Dinas Kesehatan


Sulawesi Tengah, 1–222.

Huda, A. (2016). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN UNMET NEED KELUARGA BERENCANA DI
PUSKESMAS BANDARHARJO KECAMATAN SEMARANG UTARA.
Kesehatan, 1(4), 11–20.

Ida Prijatn, S. R. (2016). KESEHATAN REPRODUKSI DAN KELUARGA


BERENCANA. In MODUL BAHAN AJAR CETAK KEBIDANAN
KEMENKES RI (pp. 114–122).

Kemenkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. In Kementrian


Kesehatan Repoblik Indonesia (Vol. 42, Issue 4).

Lubis, R. D. (2009). PENGGUNAAN KONDOM. 1–12.

Surinati, D. A. K., Mayuni, G. A. O., & Putra, K. S. (2015). Faktor Penyebab


Rendahnya Jumlah Pria Menjadi Akseptor Keluarga Berencana. Metrologia,
53(5), 1–116.
http://publicacoes.cardiol.br/portal/ijcs/portugues/2018/v3103/pdf/3103009.p
df%0Ahttp://www.scielo.org.co/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0121-
75772018000200067&lng=en&tlng=en&SID=5BQIj3a2MLaWUV4OizE
%0Ahttp://scielo.iec.pa.gov.br/scielo.php?script=sci_

Syukaisih. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan


Kontrasepsi di Puskesmas Rambah Samo Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal
Kesehatan Komunitas, 3(1), 34–40.

Titik Siti Nindyakaryawati, J. S. & H. (2018). HUBUNGAN PENGETAHUAN


DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PEMILIHAN NON METODE
KONTRASEPSI JANGKA PANJANG (N-MKJP) DI KELURAHAN
TANAMODINDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAWATUNA. Ilmu
Kesehatan Masyarakat, 28, 145–158. http://www.riss.kr/link?id=A99932365

Ulpawati. (2018). HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERSEPSI


PRIADENGANPEMAKAIAN KONDOM DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS RIMBO DATA TAHUN 2018. ZONA PSIKOLOGI, 1(1),
16–24.

Anda mungkin juga menyukai