Anda di halaman 1dari 5

PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA

LEMBAGA BAHTSUL MASAIL


Gedung PBNU, Lt. 4, Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430 Telp: (021) 31935040 email: lbmpbnu@nu.or.id

LBM-PBNU

HASIL BAHTSUL MASAIL


LEMBAGA BAHTSUL MASAIL PBNU
Nomor: 01 Tahun 2021
TENTANG
Pandangan Fikih Mengenai Penggunaan Vaksin AstraZeneca

DASAR PEMIKIRAN
Sebagai makhluk yang mengemban amanat membangun peradaban di bumi,
selain diwajibkan beribadah kepada Allah Swt., manusia juga dinyatakan sebagai
makhluk terhormat (‫)وﻟﻘﺪ ﻛﺮﻣﻨﺎ ﺑﻨﻲ آدم‬. Kehormatan manusia (‫ )اﻟﻜﺮاﻣﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧﯿﺔ‬meniscayakan
manusia untuk menaati semua aturan dan ketentuan yang diatur dalam syari'at Islam.
Syari'at Islam yang diyakini sangat kamil (sempurna) dan syamil (menyeluruh)
mengatur seluruh perilaku dan tingkah laku manusia mukallaf. Salah satu hal yang tidak
luput dari aturan syari'at Islam adalah soal makanan, minuman dan obat obatan yang
boleh dan tidak boleh dikonsumsi. Al-Qur'an telah menetapkan ketentuan secara garis
besar (‫ )ﻗﺎﻋﺪة ﻛﻠﯿﺔ‬tentang apa yang halal dan yang haram dikonsumsi, seperti dalam firman
Allah Swt. berikut:
َ ِ‫ت َوﯾُ َﺤﺮﱢ ُم َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ُﻢ ْاﻟ َﺨﺒَﺎﺋ‬
‫ﺚ‬ ِ ‫َوﯾ ُِﺤﻞﱡ ﻟَﮭُ ُﻢ اﻟﻄﱠﯿﱢﺒَﺎ‬
"...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk..." (QS. Al-A'raf: 157).
Pada ayat lain juga disebutkan:

َ ِ‫ح ُﻣ َﻜﻠﱢﺒ‬
‫ﯿﻦ‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫ﺎت َو َﻣﺎ َﻋﻠﱠ ْﻤﺘُ ْﻢ ِﻣ َﻦ ْاﻟ َﺠ َﻮ‬ ُ َ‫ﻚ َﻣﺎ َذا أُ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَﮭُ ْﻢ ﻗُﻞْ أُ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟﻄﱠﯿﱢﺒ‬ َ َ‫ﯾَﺴْﺄَﻟُﻮﻧ‬
‫ﷲِ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َواﺗﱠﻘُﻮا‬ ‫ﷲُ ﻓَ ُﻜﻠُﻮا ِﻣ ﱠﻤﺎ أَ ْﻣ َﺴ ْﻜ َﻦ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ َو ْاذ ُﻛﺮُوا ا ْﺳ َﻢ ﱠ‬
‫ﺗُ َﻌﻠﱢ ُﻤﻮﻧَﮭ ﱠُﻦ ِﻣ ﱠﻤﺎ َﻋﻠﱠ َﻤ ُﻜ ُﻢ ﱠ‬
ِ ‫ﷲَ َﺳ ِﺮﯾ ُﻊ ْاﻟ ِﺤ َﺴﺎ‬
‫ب‬ ‫ﷲَ إِ ﱠن ﱠ‬ ‫ﱠ‬
"Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”.
Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah
dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas
itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat cepat hisab-Nya" (QS. Al-Maidah: 4).
Rasulullah Muhammad Saw. juga mewajibkan umatnya mencari rezeki yang halal.
Beliau bersabda:
ِ ‫طَﻠَﺐُ ْاﻟ َﺤﻼَ ِل َو‬
‫اﺟﺐٌ َﻋﻠَﻰ ُﻛﻞﱢ ُﻣ ْﺴﻠِ ٍﻢ‬
"Mencari (harta) yang halal adalah wajib bagi setiap Muslim" (HR. ath-Thabarani).
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
Gedung PBNU, Lt. 4, Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430 Telp: (021) 31935040 email: lbmpbnu@nu.or.id

LBM-PBNU

Makanan halal menjadi sumber energi positif bagi lahirnya perilaku yang baik dan
akhlak yang mulia. Sebaliknya, makanan yang haram menjadi sumber energi negatif bagi
lahirnya perilaku yang buruk dan akhlak tercela. Daging dan darah manusia yang
bersumber dari makanan dan minuman memiliki efek yang kuat terhadap pembentukan
kejiwaan dan karakter manusia yang pada gilirannya berpengaruh pada nasib manusia
di akhirat. Nabi Muhammad Saw. bersabda :

‫ﺖ ِﻣ ْﻦ َﺣ َﺮ ٍام ﻓَﺎﻟﻨﱠﺎ ُر أَ ْوﻟﻰ ﺑِ ِﮫ‬
َ َ‫ُﻛﻞﱡ ﻟَﺤْ ٍﻢ ﻧَﺒ‬
“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka itu lebih utama
dengannya. (HR.Turmudzi)
Salah satu faktor penyebab makanan atau obat-obatan haram dikonsumsi atau
dimasukkan ke dalam tubuh manusia adalah karena status kenajisannya. Setiap makanan
atau obat-obatan yang diyakini najis atau mutanajjis (terkena najis) sebelum disucikan,
hukumnya haram untuk dikonsumsi atau dimasukkan ke dalam tubuh dalam kondisi
normal (ikhtiyar). Tak hanya harus suci, sesuatu yang boleh dikonsumsi juga harus tak
membahayakan manusia baik akal maupun badannya ( ‫اﻟﻄﮭﺎرة وﻋﺪم اﻹﺿﺮار ﺑﺎﻟﻌﻘﻞ أو اﻟﺒﺪن ﺷﺮطﺎن‬
‫)ﻟﺠﻮاز اﻟﺘﻨﺎول واﻟﺘﻄﻌﯿﻢ‬.
Itulah yang menjadi dasar pemikiran para ulama fikih untuk selalu awas bukan
hanya terhadap produk makanan dan minuman melainkan juga terhadap obat atau
vaksin yang akan dinjeksikan pada tubuh manusia. Para ulama fikih bukan hanya
memperhatikan produk akhir sebuah vaksin melainkan juga bagaimana proses
produksinya. Apakah ia diproduksi melalui proses yang dibenarkan syariat Islam
sehingga mubah dikonsumsi atau disuntikkan ke dalam tubuh umat Islam? Dengan
perkataan lain, apakah sebuah vaksin diproduksi dari barang najis? Ataukah dalam
proses produksinya, unsur-unsurnya sempat bersentuhan dengan barang najis sehingga
perlu disucikan? Dalam kasus vaksin, yang banyak ditanyakan umat Islam belakangan
adalah soal kemubahan penggunaan vaksin AstraZeneca. Apakah ia mubah sehingga
boleh disuntikkan ke dalam tubuh manusia (umat Islam)?

GAMBARAN PROSES PRODUKSI
Dunia farmasi modern mengenalkan teknologi rekayasa genom/DNA Adenovirus
sebagai salah satu pilihan metode pembuatan vaksin covid 19. Dan lahirnya vaksin
AstraZeneca merupakan hasil nyata dari kecanggihan tekhnologi tersebut.
Dalam forum Bahtsul Masail LBM PBNU, pihak AstraZeneca secara transparan
telah memberikan pernyataan dan pemaparan bahwa seluruh proses pembuatan vaksin
yang dilakukan pihak AstraZeneca tidak memanfaatkan bahan yang berasal dari unsur
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
Gedung PBNU, Lt. 4, Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430 Telp: (021) 31935040 email: lbmpbnu@nu.or.id

LBM-PBNU

babi. Namun, sempat terjadi pemanfaatan tripsin babi untuk melepas sel inang dari
wadah yang dilakukan pihak supplier (Thermo Fisher) sebelum dibeli oleh Oxford-
AstraZeneca.
Jika dijelaskan secara ringkas, maka proses produksi vaksin AstraZeneca dapat
dirangkum sebagai berikut:
a. Sel HEX 293 yang dibeli sebagai bahan dasar diperbanyak sesuai kebutuhan dengan
cara dilepaskan dari pelat menggunakan enzyme TrypLE TM Select, yang merupakan
protease dari jamur yang dibuat secara rekombian, tidak menggunakan tripsin babi.
Kemudian dilakukan proses sentrifugasi dan penambahan medium DMEM dan
diinkubasi. Dan proses ini dilakukan berulang kali sampai memperoleh jumlah sel
yang diinginkan.
b. Sel yang sudah dihasilkan yang disebut Bank Sel Master kemudian diproses menjadi
Bank Sel Kerja untuk produksi bahan aktif vaksin dengan cara dikultur dan diadaptasi
menjadi sel suspensi kemudian dibekukan.
c. Selanjutnya pembuatan bahan aktif vaksin skala besar dilakukan dengan cara
menginfeksikan sel inang dengan bibit adenovirus dalam media berbasis air. Proses
pembuatan bahan aktif dari Bank Sel Kerja tidak memanfaatkan bahan hewani. Lalu
adenovirus dipanen dengan cara memecahkan sel inang dan kemudian dimurnikan,
sehingga dihasilkan adenovirus murni sebagai bahan aktif vaksin. Bahan aktif vaksin
ini kemudian dicampur bahan-bahan lain yang seluruhnya tidak ada yang bersumber
dari hewani.
d. Terakhir kali dilakukan filtrasi dan pengemasan dalam botol-botol kecil.

PEMBAHASAN
Dalam forum bahtsul masail diketahui bahwa proses pengembangan sel HEX 293
oleh Thermo Fisher memanfaatkan tripsin dari unsur babi yang berfungsi memisahkan
sel inang dari pelat atau media pembiakan sel, bukan sebagai campuran bahan atau bibit
sel. Pelepasan sel inang dari pelat atau media pembiakan sel yang dilakukan dalam proses
produksi oleh Astrazenneca tidak lagi menggunakan tripsin dari babi, melainkan dengan
menggunakan enzyme TrypLE TM Select yang dibuat dari bahan yang berupa jamur.
Kemudian dilakukan proses sentrifugasi untuk mengendapkan sel dan memisahkan dari
medianya. Media yang sudah terpisah itu dibuang dan sel yang sudah diendapkan tadi
kemudian ditambahkan media pertumbuhan baru untuk ditumbuhkan pada tempat
pertumbuhan yang baru yang tidak lagi menggunakan tripsin babi.
Dengan penjelasan itu, maka dapat dikatakan bahawa pemanfaatan tripsin dari
unsur babi yang dilakukan Thermo Fisher diperbolehkan karena di-ilhaq-kan pada
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
Gedung PBNU, Lt. 4, Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430 Telp: (021) 31935040 email: lbmpbnu@nu.or.id

LBM-PBNU

rennet yang najis yang digunakan dalam proses pembuatan keju (al-infahah al-mushlihah
lil jubn). Karena dua-duanya sama-sama bertujuan untuk ishlah. Atas dasar ini maka
pemanfaatan semacam ini tergolong ma’fu (ditoleransi) sehingga sel yang dihasilkan
tetap dihukum suci.
‫ﻄ ِﺮﯾﱠ ِﺔ ِ ِﻹﺻْ َﻼ ِﺣﮭَﺎ‬ ْ ‫ﺎف إِﻟَﻰ اﻻَ ْد ِوﯾَ ِﺔ َواﻟ ﱠﺮ َواﺋﺢ اﻟ ِﻌ‬
ُ ‫ﻀ‬ َ ُ‫ﺎت اﻟﻨﱠ ِﺠ َﺴﺔُ اﻟﱠﺘِﻰ ﺗ‬ ُ ‫َو ِﻣ ْﻨﮭَﺎ اﻟ َﻤﺎﺋِ َﻌ‬
ِ
‫اﻻ ْﻧﻔَ َﺤ ِﺔ ْاﻟ ُﻤﺼْ ﻠِ َﺤ ِﺔ ﻟِ ْﻠ ُﺠ ْﺒ ِﻦ‬
ِ ‫اﻻﺻْ َﻼ ُح ﻗِﯿَﺎ ًﺳﺎ َﻋﻠَﻰ‬ِ ‫ﻓَﺎِﻧﱠﮫُ ﯾُ ْﻌﻔَﻰ َﻋ ِﻦ اﻟﻘَ ْﺪ ِر اﻟﱠ ِﺬى ﺑِ ِﮫ‬
“(Termasuk najis ma’fu) adalah benda cair najis yang ditambahkan pada obat-obatan atau
wewangian agar menjadi lebih baik (ishlah), maka dapat ditolerir (ma’fu) sekadar
kebutuhan ishlah tersebut dengan dianalogikan dengan rennet (cairan najis hewan) yang
membantu proses pembuatan keju”. [Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Madzahib al-
Arba’ah, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H], juz I h. 19]

Pada tahap selanjutnya pembuatan bahan aktif vaksin skala besar dilakukan
dengan cara menginfeksikan sel inang dengan bibit adenovirus dalam media berbasis air.
Tahapan ini berguna untuk memastikan bahwa telah terjadi penyucian (tathhir) secara
sempurna jika dalam proses sebelumnya dianggap ada unsur yang bersentuhan dengan
najis, yaitu tripsin babi.
Dan tentang najis babi, forum bahtsul masail mengikuti pendapat rajih menurut
al-Imam al-Nawawi yang menyatakan bahwa penyucian barang yang terkena najis babi
cukup dibasuh dengan satu kali basuhan tanpa menggunakan campuran debu atau tanah.

‫ب َوﺑِ ِﮫ ﻗَﺎ َل أَ ْﻛﺜَ ُﺮ‬ ِ ‫ْﺚ اﻟ ﱠﺪﻟِﯿ ُﻞ أَﻧﱠﮫُ ﯾَ ْﻜﻔِﻲ َﻏ ْﺴﻠَﺔٌ َو‬
ٍ ‫اﺣ َﺪةٌ ﺑِ َﻼ ﺗُ َﺮا‬ ُ ‫ﱠاﺟ َﺢ ِﻣ ْﻦ َﺣﯿ‬ ِ ‫َوا ْﻋﻠَ ْﻢ أَ ﱠن اﻟﺮ‬
ِ ‫ﯾﺮ َوھَ َﺬا ھُ َﻮ ْاﻟ ُﻤ ْﺨﺘَﺎ ُر ِﻷَ ﱠن ْاﻷَﺻْ َﻞ َﻋ َﺪ ُم اﻟ ُﻮ ُﺟﻮ‬
‫ب‬ ِ ‫ﯾﻦ ﻗَﺎﻟُﻮا ﺑِﻨَ َﺠﺎ َﺳ ِﺔ ْاﻟ ِﺨ ْﻨ ِﺰ‬
َ ‫ْاﻟ ُﻌﻠَ َﻤﺎ ِء اﻟﱠ ِﺬ‬
‫ع َﻻ ِﺳﯿَ َﻤﺎ ﻓِﻲ ھَ ِﺬ ِه ْاﻟ َﻤﺴْﺄَﻟَ ِﺔ ْاﻟ َﻤ ْﺒﻨِﯿﱠ ِﺔ َﻋﻠَﻰ اﻟﺘﱠ َﻌﺒﱡ ِﺪ‬ ُ ْ‫َﺣﺘﱠﻰ ﯾَ ِﺮ َد اﻟ ﱠﺸﺮ‬
“Ketahuilah bahwa pendapat yang unggul secara dalil bahwa najis babi cukup
dibasuh satu kali tanpa campuran debu. Pendapat ini disampaikan mayoritas ulama
yang berpendapat bahwa babi adalah najis. Pendapat ini adalah qaul mukhtar
karena pada mulanya menyucikan najis babi tak wajib dilakukan lebih dari satu kali
basuhan hingga ada dalil syara’ yang menyatakan. Apalagi, masalah ini masuk ke
dalam bidang ta’abbudi (dogmatif-suprarasional). [Syaraf ad-Din An-Nawawi, Al-
Majmu’ Syarh al-Muhadzab, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H], juz II h. 286]
KESIMPULAN
Mempertimbangkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa vaksin
AstraZeneca adalah mubah (boleh) digunakan bukan hanya karena tidak
membahayakan melainkan juga karena suci. Dengan demikian, vaksin
AstraZeneca boleh disuntikkan ke dalam tubuh manusia meskipun dalam kondisi
normal, apalagi dalam kondisi darurat.
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
Gedung PBNU, Lt. 4, Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430 Telp: (021) 31935040 email: lbmpbnu@nu.or.id

LBM-PBNU

Akhirnya, masyarakat tak perlu meragukan kemubahan vaksin AstraZeneca ini.


Bahkan, masyarakat perlu membantu pemerintah memberikan informasi yang benar
tentang vaksin ini.
Demikian hasil bahtsul masail tentang "Pandangan Fikih Mengenai Penggunaan
Vaksin AstraZeneca" ini disampaikan untuk menjadi pegangan warga NU khususnya dan
umat Islam Indonesia umumnya. Seraya berdoa, meminta pertolongan Allah SWT,
semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) segera bebas dari pandemi virus
covid-19 ini.

Jakarta, 29 Maret 2021
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA

KH. M. Nadjib Hassan H. Sarmidi Husna, MA


Ketua Sekretaris



Tim Perumus:
1. Dr. KH. Afifuddin Muhajir
2. KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag
3. Prof. Dr. KH. Maksum Mahfud
4. KH. Azizi Hasbullah
5. Dr. KH. Abdul Moqsith Ghazali
6. KH. Asrori S. Karni, MH
7. KH. Darul Azka
8. KH. Mahbub Ma'afi
9. H. Sarmidi Husna, MA
10. KH. Munawir
11. Dr. Wawan Juandi, M.Ag

Anda mungkin juga menyukai