Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

MENGINTEGRASIKAN IMAN, ISLAM DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK


INSAN KAMIL

A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Islam, Iman dan Ihsan dalam Membentuk
Insan Kamil (manusia seutuhnya)
Secara bahasa, iman berarti membenarkan dengan hati atau percaya. Adapun menurut
syara’, iman ialah “pengenalan (pengakuan) dengan hati, pengucapan dengan lidah dan
pengamalan dengan anggota badan“ (H.R. Muslim). Hadist ini menyatakan bahwa iman itu
bermula dengan pengakuan hati, sesudah itu harus diiringi dengan pengucapan lidah dan
pengamalan anggota badan. Manusia dalam menghadapi sesuatu itu mengenai panca
inderanya, lalu oleh syarafnya dilaporkan ke otak, otak mempertimbangkan dan meminta
keputusan kepada hati mau diapakan sesudah itu. Apabila hati sudah mengambil keputusan
lalu otak diperintahkan untuk menyuruh pancaindera atau anggota badan melakukan tindakan
terhadap sesuatu itu. Jadi tindakan (pengucapan dan pengamalan) baru akan ada apabila
sesudah hati mengambil keputusan. Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah pula bahwa
antara pengakuan hati dengan ucapan lidah dan pengamalan anggota merupakan kesatuan
yang bulat dan utuh dan tidak bisa dipisahkan karena akan membahayakan iman itu sendiri.
Kalau iman seseorang hanya dengan pengucapan lidah saja sedang hatinya tidak mengakui
dan anggota tidak beramal, oleh Islam dinamakan munafik. Bertambah atau berkurangnya
iman itu tergantung bertambah atau berkurangnya amal. Dalam hal ini nabi bersabda :
“Barang siapa yang meminum-minuman keras, maka keluarlah nur iman dari rongga
hatinya” (H.R.Thabrani). Menurut hadist ini iman itu merupakan nur ilahi. Al-qur’an juga
menyatakan :

‫ور ِمن َر ِب ِۚۦه فَ َو ۡيل ِل ۡل َٰقَ ِس َي ِة قهلهوبه ههم‬ َ ‫ۡل ۡس َٰلَ ِم فَ هه َو‬
ٖ ‫علَ َٰى نه‬ ِ ۡ ‫ص ۡد َر ۥهه ِل‬َ ‫ٱّلله‬ َ ‫أَفَ َمن ش ََر َح‬
َ َٰ ‫ض‬ ََٰٓ َٰ ‫ۡ َ ۚ ه‬
‫ين‬ ‫ب‬ ‫م‬
ُّ
ٍ ِ ٖ َ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ ‫ك‬ َ ‫ئ‬
ِ ‫ٱّلل أ ْول‬
ِ ‫ِمن ذِك ِر‬

Artinya ; “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima)
agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu
hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk
mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. Az-zumar : 22)

Islam sendiri secara khusus memiliki pengertian, diantaranya berserah diri (aslama),
tunduk/patuh (istislam). bersih/suci (saliim), selamat/sejahtera (salama) dan perdamaian
(silmu) yang masing-masing sudah dijelaskan dalam Al-qur’an. Islam yang dimaksud dalam
hal ini adalah rukun Islam yakni lima tindakan dasar dalam Islam yang dianggap sebagai
pondasi wajib bagi orang-orang yang beriman dan merupakan dasar dari kehidupan modern,
Kedudukan iman lebih tinggi daripada Islam, iman memiliki cakupan yang lebih umum
daripada cakupan Islam. Seorang hamba tidak lah mencapai keimanan kecuali jika ia mampu
mewujudkan ke-Islamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena
pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku ke-Islaman dan tidak semua pelaku ke-
Islaman menjadi pelaku keimanan. Jadi jelaslah bahwa setiap mukmin adalah muslim namun
tidak setiap muslim adalah mukmin. Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas yaitu
dinamis. Mayoritas ulama memandang keimanan beriringan dengan amal sholeh, sehingga
mereka beranggapan keimanan akan bertambah bila bertambah pulalah amal sholeh tersebut.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik
disebut dengan muhsin. Setiap perbuatan baik akan nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang
sesuai atau berlandaskan aqidah serta syariat Islam. Dengan demikian akhlak dan ihsan
adalah dua pranata yang berada dalam suatu sistem yang lebih besar yaitu akhlakul karimah.
Iman merupakan landasan awal dan bila diumpamakan maka iman sebagai pondasi dalam
keberadaan suatu rumah, sedangkan Islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Jadi
iman kita bisa kokoh kalau ajaran Islam tersebut ditegakkan. Keimanan seseorang kadang
tebal kadang juga tipis dikarenakan amal perbuatan yang mempengaruhi hati. Sedangkan hati
sendiri merupakan wadah bagi iman. Adapun ihsan bila diumpamakan sebagai hiasan rumah,
bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah dan terlihat indah serta megah sehingga dapat
menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam beribadah. Bagaimana ibadah bisa
mendapatkan perhatian dari sang khaliq sehingga nantinya dapat diterima-Nya. Tidak hanya
asal menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya saja, melainkan berusaha bagaimana
amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Kedudukan kita hanyalah sebagai
hamba, budak dari tuhan dan sebisa mungkin kita bekerja menjalankan perintah-Nya untuk
mendapatkan perhatian dan ridho-Nya, inilah hakekat dari ihsan.
Menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) adalah cita-cita setiap umat Islam,
karenanya tiap-tiap muslim harus memiliki kualifikasi yang memadai untuk merealisasikan
cita-cita tersebut dengan membuat keterkaitannya dengan Allah dan kekal dalam rahmat-Nya.
Jiwa mereka harus disucikan kualitasnya dengan cara melatih dan membiasakan mengikuti
aturan, ketentuan dan etika yang ditetapkan Allah. Menjadi insan kamil merupakan
perjalanan jiwa, tujuannya adalah Allah, bekalnya adalah akhlak mulia dan amal sholeh,
Dengan bekal ini seorang muslim berharap mendapat petunjuk tuhan yang selalu
membimbingnya.
Menurut ahli tasawuf Ibnu ‘arabi dan ‘Abd karim al-Jilli, insan kamil yang
paling sempurna adalah Nabi Muhammad Saw. Ada dua tingkatan manusia dalam mengimani
tuhan menurut Ibn ‘Arabi :
Pertama, tingkat insan kamil; mereka mengimani tuhan dengan cara penyaksian artinya
mereka menyaksikan tuhan dan menyembah tuhan yang disaksikannya. Kedua, manusia
beragama pada umumnya; mereka meng-imani tuhan dengan cara mendefinisikan, artinya
mereka tidak menyaksikan tuhan tetapi mereka mendefinisikan tuhan berdasarkan sifat-sifat
dan nama-nama tuhan (asma’ul husna). Abdul karim al-Jilli membagi insan kamil atas tiga
tingkatan yaitu
a. Tingkat Pemula (al-bidayah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan
asma dan sifat-sifat ilahi pada dirinya.
b. Tingkat Menengah (at-tawasuth). Pada tingkat insan kamil sebagai orbit kehalusan
sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih tuhan (al-haqaiq ar-ramaniyyah).
Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari
pengetahuan biasa, karena sebagian darinya hal-hal yang gaib yang telah dibukakan tuhan
kepadanya.
c. Tingkat terakhir (al-khitam). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan
citra tuhan secara utuh. Ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

B. Menanyakan Alasan Mengapa Iman, Islam dan Ihsan Menjadi Prasyarat dalam
Membentuk Insan Kamil
Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sebagai kelanjutan dan
penyempurnaan agama (dalam bentuk aslinya) yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya.
Tujuan agama ini adalah untuk mencari keselamatan hidup materi dan keselamatan hidup
spiritual yang dalam istilah agamanya disebut “keselamatan dunia dan akhirat” Jalan
keselamatan dunia dan akhirat ialah menyerahkan diri kepada tuhan pencipta alam semesta
dengan cara mematuhi perintah-Nya (yang diaplikasikan dalam bentuk amal sholeh) dan
menghindari larangan-Nya. Sesuai dalam firmannya :
ٗۖ َ ٗ
‫ط ِي َب ٗة َولَن َۡج ِز َينَهه‬ ‫ص ِل ٗحا ِمن ذَ َك ٍر أَ ۡو أهنثَ َٰى َو هه َو هم ۡؤ ِمن فَلَنه ۡح ِي َينَ ۥهه َح َي َٰوة‬ َ ‫َم ۡن‬
َ َٰ ‫ع ِم َل‬
َ ‫أَ ۡج َر ههم ِبأ َ ۡح‬
َ‫س ِن َما َكانهواْ َيعۡ َملهون‬
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan” ( Q.S. An-Nahl : 97)

Misi yang dibawa oleh para rosul allah adalah memperbaiki dan mengoreksi
keyakinan terhadap tuhan pencipta alam semesta ini, dengan ajaran intinya adalah tauhid.
Disamping ajaran tauhid yang merupakan fundamental hidup, ada pula syari’ah yang
merupakan jalan hidup yang berisi aturan-aturan umum yang harus ditempuh oleh setiap
muslim dalam melakukan berbagai aktivitas hidup agar tercapai tujuan hidup yang
sebenarnya.
Karakter untuk membentuk insan kamil adalah : (1) Allah aebagai kebenaran, (2)
tundak kepada Allah, (3) dosa dalam kehidupan, (4) bertobat, (5) mencintai Allah, (6)
bersabar, (7) syukur serta tawakkal, (8) zikir.
Sedangkan landasan insan kamil itu Islam, Iman dan Ihsan. Agama yang dibawa dan
diajarkan oleh jibril adalah Islam. Agama Islam tidak akan benar maknanya kecuali bila
menyimpan kekuasaan. Penyemangat dan bahar bakar penggeraknya adalah iman yang benar.
Apabila keyakinan (keimanan) pendorong ini sudah dimiliki seseorang, maka ia harus
berusaha untuk menggapai tingkat yang lebih ideal, dimana pada tingkat itu ia dapat
berhubungan dengan allah dan senantiasa merasakan pengawasan-Nya serta menyaksikan
kemuliaan-Nya, derajat inilah disebut dengan ihsan. Jadi dapatlah dipahami bahwa antara
iman, Islam dan ihsan merupakan satu kesatuan yang merupakan syarat mutlak untuk
mencapai insan kamil tersebut

C. Menggali Sumber Teolologis, Historis dan Filosofis tentang Iman, Islam dan Ihsan
Sebagai Pilar Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil
Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab r.a., kaum muslimin
menetapkan adanya tiga unsur pokok yang sangat penting dalam agama Islam yakni Iman,
Islam dan Ihsan sebagai satu kesatuan yang utuh, Namun kaum muslimin Indonesia
sepertinya lebih familier dengan istilah aqidah, syariat dan akhlak sebagai tiga unsur pokok
ajaran Islam. Aqidah merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar iman, syariat
merupakan cabang ilmu agama dalam memahami pilar Islam sedangkan akhlak merupakan
cabang ilmu agama dalam memahami pilar Ihsan. Masalah keimanan adalah masalah
fundamental dalam Islam, jangan sampai manusia tersebut sudah merasa beriman namun
imannya masih keliru karena tidak sejalan dengan kehendak Allah. Terjadinya konvensi
terhadap perbedaan dalam menafsirkan dan memahami isi kandungan al-qur’an sudah dapat
dimaklumi dan di toleransi oleh seluruh kaum muslimin. Adanya perbedaan tersebut dalam
bermazhab mengindikasikan bahwa telah terdapat keberagaman dalam memahami al-Islam
terutama dalam memahami al-qur’an

D. Membangun Argumen tentang Karakteristik Insan Kamil dalam Metode


Pencapaiannya
Untuk mencapai derajat insan kamil kita harus dapat menundukkan nafsu dan syahwat. Hal
dapat dilihat dalam Q.S. Al-Fajr ayat 27-30 :

‫ضي َٗة‬
ِ ‫اضيَ ٗة َم ۡر‬ ‫َٰيََٰٓأَيَت ه َها ٱلنَ ۡف ه‬
ِ ‫س ۡٱل هم ۡط َمئِنَةه ۡٱر ِج ِع َٰٓي ِإلَ َٰى َر ِب ِك َر‬
٠ ‫فَ ۡٱد هخ ِلي ِفي ِع َٰ َبدِي َو ۡٱد هخ ِلي َجنَ ِتي‬
Artinya : “Hai jiwa yang tenang (27), Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya (28), Maka masuklah ke dalam jama´ah hamba-hamba-Ku (29). masuklah
ke dalam surga-Ku”(30)

Ayat diatas menegaskan bahwa nafsu muthmainah merupakan titik berangkat untuk
kembali kepada Allah, akan tetapi dengan modal nafsu muthmainah pun, masih diperintah
lagi oleh Allah untuk memasuki tangga nafsu diatasnya. Imam Ghazali menjelaskan ada tujuh
macam nafsu (sekaligus tujuh tangga) sebagai proses taraqqi manusia menuju tuhannya,
diantaranya :
a. Nafsu Ammarah yaitu jiwa manusia yang ingin memenuhi kehendak hawa nafsu
dalam segala bidang kehidupan, sehingga tidak menghiraukan kaidah-kaidah agama, dengan
ciri-ciri sombong, iri, dengki, dendam, serakah, membenci, tidak mengetahui kewajiban, suka
menyakiti, dan tidak mengenal tuhan.
b. Nafsu Lawwamah yaitu jiwa yang telah menerima hidayah dan petunjuk dari tuhan,
patuh kepada-Nya dan selalu ingin berbuat kebajikan namun sewaktu-waktu tak dapat
menguasai nafsunya sehingga berbuat maksiat, dengan ciri-ciri enggan, cuek, suka memuji
diri, pamer, dusta, mencari aib orang, suka menyakiti, pura-pura tidak mengetahui kewajiban.
c. Nafsu Mulhimah yaitu jiwa yang telah mendapat ketenangan, telah sanggup
menerima cahaya kebenaran sang ilahi, juga telah mampu menolak untuk menikmati
kemewahan dunia dan tidak biasa dipengaruhi oleh hal tersebut, dengan ciri-ciri suka
sedekah, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, tobat, sabar, tahan
menghadapi kesulitan.
d. Nafsu Muthma’innah yaitu jiwa yang bercahaya sebab cahaya hati mampu
membuang sifat-sifat tercela, dengan ciri-ciri tawadhu, ikhlas, tidak terombang ambing,
mensyukuri nikmat.
e. Nafsu Radhiyah yaitu jiwa yang selalu menganggap makruh itu haram dan sunnah
adalah kewajiban. Baginya takdir baik ataupun buruk adalah sama. Mereka tidak peduli pada
urusan dunia. Karena hati mereka hanya pada Allah dan ridho atas segala ketentuan yang
Allah berikan kepadanya, dengan ciri-ciri pribadi yang mulia, zuhud, riyadhah dan menepati
janji.
f. Nafsu Mardiyyah yaitu jiwa yang bukan hanya sangat mencintai Allah namun telah
membuat Allah mencintainya dengan cara melaksanakan apa yang di sunnahkan dan tidak
mengerjakan dosa walaupun sekecil jarum dilautan, dengan ciri-ciri bagusnya budi pekerti,
bersih dari segala dosa.
g. Nafsu Kamilah yaitu tingkatan para nabi dan rosul, sebagai manusia yang suci dan
sempurna yang terpelihara dari perbuatan tercela dan Allah selalu mengawasi dan
membimbingnya.Orang yang sudah mencapai tangga nafsu tertinggi ini, mata akan terang
benderang sehingga bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang
memiliki nafsu dibawahnya, terlebih-lebih bagi orang yang umum.
Adapun metode untuk mencapai insan kamil adalah :
• Memulai sholat jika tuhan yang akan disembah itu sudah dapat dihadirkan dalam hati
sehingga ia menyembah tuhan yang benar-benat tuhan.
• Berniat sholat karena Allah.
• Selalu menjalankan sholat, dan keadaan hatinya hanya mengingat Allah
• Sholat yang telah didirikannya itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar
Proses menjadi insan kamil dapat melalui :
➢ Takhalli (mengosongkan/mengasingkan) yaitu proses membersihkan diri dari sifat-
sifat tercela dan membersihkan dri dari maksiat lahir maupun batin.
➢ Tahalli (memperindah/mempercantik) yaitu menghias jiwa dengan akhlak terpuji dan
berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama,
baik kewajiban yang bersifat luar maupun dalam.
➢ Tajalli yaitu tersambungnya seorang hamba dengan Allah, sehingga akan terjadi
penampakan Allah dalam bentuk kekuasaan-Nya, kemuliaan-Nya, keindahan-Nya,
kasih sayang-Nya dan kebaikan-Nya pada pikiran dan jiwa hamba tersebut.
Seseorang yang berkehendak mencapai martabat insan kamil diharuskan melakukan
riyadhah (berlatih terus menerus) untuk menapaki maqam demi maqam yang biasa ditempuh
oleh kaum sufi dalam perjalanannya menuju tuhan. Maqam-maqam yang dimaksud
merupakan karakter inti yang memliki 6 unsur diantaranya :
1. Taubat, yaitu aktivitas meninjau atau menelaah tindakan-tindakkan yang pernah
diperbuat dan menyesali kesalahan-kesalahan pada masa lampau yang disertai dengan
komitmen untuk menjadi lebih baik.
2. Wara, yaitu meninggalkan perkara-perkara haram dan mubah yang berlebihan dan
juga meninggalkan perkara-perkara yang masih samar-samar hukumnya (syubhat). Sehingga
kita merasa otomatis meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan membahayakan bagi
kehidupan diakhirat.
3. Zuhud. yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
4. Faqir, yaitu selalu merasa butuh kepada Allah Swt.
5. Sabar, yaitu suatu sikap menahan emosi dan keinginan serta bertahan dalam situasi
sulit dengan tidak mengeluh
6. Tawakal, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau
menunggu hasil suatu pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan

E. Mendeskripsikan tentang Esensi dan Urgensi Iman, Islam dan Ihsan dalam
Membentuk Insan Kamil
Insan kamil merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki tuhan, hal ini disebabkan
jika tidak menjadi insan kamil maka manusia itu hanyalah “monster bertubuh manusia”.
Siapa dan bagaimanakah insan kamil itu ? Dalam persfektif Islam, manusia memiliki empat
unsur yaitu jasad, hati, roh dan rasa (sirr) yang berfungsi untuk menjalankan kehendak ilahi.
Hati nurani harus dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat tuhan. Untuk
mengkokohkan keimanan akan menjadi manusia yang insan kamil maka keimanan kita harus
mencapai tingkat yakin, maka kita harus meng-identifikasi yang mengacu kepada rukun
iman, sedangkan untuk dapat beribadah secara bersungguh-sungguh dan ikhlas maka segala
ibadah yang kita lakukan mengacu pada rukum Islam. Jika sudah benar menjalankan ke-
empat unsur diatas, lalu mengkokohkan keimanan, meningkatkan peribadatan dan
membangun perbuatan sekaligus menghilangkan karakter-karakter yang buruk. Dari
penjelasn diatas menjelaskan bahwasanya adanya hubungan antara iman, islam dan ihsan
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapat insan kamil.
Mengkamilkan jiwa dan menyempurnakan diri dapat ditempuh melalui :
➢ Mengalahkan hawa nafsu. Sudah tugasnya kaum yang beriman untuk mengalahkan
hawa nafsu, karena ciri yang paling jelas pada manusia zaman sekarang adalah membiarkan
dirinya mengumbar hawa nafsu. Mengalahkan hawa nafsu untuk mengerjakan kewajiban
sholat dan kewajiban-kewajiban lainnya. Hal itu merupakan pangkal yang paling kuat dalam
kesempurnaan jiwa yang di idamkan.
➢ Menyerah kepada Allah
➢ Mengakui kelemahan diri
➢ Tenang karena Allah
➢ Ibadah yang benar
➢ Jangan menipu diri
➢ Menyadari hak-hak tuhan

F. Rangkuman tentang Bagaimana Menjadi Insan Kamil


Jika sudah benar menjalankan ke-empat unsur diatas, lalu mengkokohkan keimanan,
meningkatkan peribadatan dan membangun perbuatan sekaligus menghilangkan karakter-
karakter yang buruk dengan cara taubat, wara’, zuhud, faqir, sabar dan tawakal serta
berusaha sekeras mungkin untuk mencapai tingkat nafsu tertinggi maka dapat dikatakan bisa
menjadi insan kamil. Selama jiwanya kotor, manusia tidak akan mencapai insan kamil. Ia
harus membersihkan dirinya dengan taubat, dimana tahapan taubat tersebut dapat dilakukan
dengan melakukan penyucian dari dosa kemaksiatan dan penyakit hati. Namun bertaubat
tidaklah mudah. Oleh karenanya mulailah berusaha untuk menjadikan Allah sebagai cinta
tertinggi dan hiasi jiwa dengan kebaikan, jika sudah dilakukan maka kesempatan untuk
menjadi insan kamil akan terbuka lebar

Anda mungkin juga menyukai