Anda di halaman 1dari 8

Politikal Will dalam Beramar Ma’ruf dan Nahi Mungkar

1. Pengertian Politikal Will

Pengertian politicall will adalah basis keyakinan publik terhadap pemerintah. Jika saja publik
yakin bahwa pemerintah mempunyai political will, maka publik akan memberi nilai bagus
kepada pemerintah.
Mengutip di kamuslengkap.com political will adalah adanya kemauan politik dari pemerintah
atau para pengambil kebijakan. Presiden SBY nampaknya memiliki political will yang kuat untuk
segera menuntaskan kasus korupsi di berbagai bidang, hal ini ditandai dengan adanya evaluasi
rutin pada KPK, Timtas Tipikor dan Kejaksaan Agung walaupun hasilnya belum memuaskan. 

2. Pengertian Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar berdasar Pandangan Muhammad Asad

Di dalam al-Qur’an, term amar ma’rūf nahi munkar diungkap secara utuh dan berulang.
Istilah ini diungkap sebanyak 9 kali dalam 5 surat dengan derivasi yang berbeda. Secara runut
dapat disebutkan, yakni Q.s Ali Imran: 104, 110 dan 114, Q.s al-A’raf: 157, Q.s al-Taubah: 67, 71,
dan 112, Q.s al-Hajj: 103 serta Q.s Luqman: 17.
Perintah untuk melaksanakan amar ma’rūf nahi munkar telah termaktub di dalam kitab
Taurat dan Injil yang diturunkan kepada para nabi sebelum nabi Muhammad Saw dan menjadi
sifat bagi setiap orang yang beriman. Sebagaimana dalil ayat berikut ;

[Yaitu] orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah
orang-orang yang beruntung. (Al-A’raf ayat 157)

Menurut Muhammad Abduh, ada tujuh sifat rasul yang terdapat pada ayat ini, yaitu
pertama, beliau adalah nabi yang ummy lagi sempurna; kedua, namanya terdapat pada kitab
Taurat dan Injil; ketiga dan keempat, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang
mungkar; kelima dan keenam, menghalalkan yang baik dan mencegah yang buruk; ketujuh,
membuang semua beban dan belenggu yang ada pada mereka.
Sementara menurut Ali Hasbullah, al-amru sebagai ‘lafzu yuthlabu bihi al-a’lā min man
huwa adnā minhā fi’lan’, yakni tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Seperti perintah untuk menjaga salat wustha [Q.
s 2: 238], perintah untuk masuk Islam secara totalitas [Q.s 2: 208].
Menurut al-Zujaj, ma’rūf adalah apa yang dianjurkan dari perbuatan. Ibnu Manzhur
menambahkan, ma’rūf ialah semua kebaikan yang dikenal oleh jiwa dimana yang membuat hati
manusia menjadi tenteram. Sedangkan munkar adalah lawan dari ma’rūf yaitu kedurhakaan,
perbuatan munkar adalah perbuatan yang menyuruh kepada kedurhakaan. Dengan demikian,
munkar adalah semua keburukan yang dikenal oleh jiwa manusia yang membuat hatinya tidak
tenteram.
Sementara itu, kata al-nahyu menurut bahasa berarti mencegah atau melarang. Di
dalam pengertian lain adalah suatu lafaz yang digunakan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Sedangkan menurut istilah yakni permintaan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dari yang
lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Seperti menahan diri dari
keinginan hawa nafsu ‘wa nahā al-nafs ‘an al-hawā’ [Q.s 79:40], atau Allah tidak melarang untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir dari negeri ‘la yanhakumullāh ‘an ladzīna lam yuqātilukum fī al-dīn wa
lam yukhrijukum min diyārikum’ [Q.s 60:8].
Beberapa riwayat hadis disebutkan bahwa ma’rūf adalah semua hal yang diketahui
berupa ketaatan kepada Allah dan kedekatan dengan-Nya serta berbuat baik kepada manusia.
Sebagaimana riwayat Jabir bin Abdullah, ‘kullu ma’rūf sadaqah’ (HR Bukhari). Di dalam riwayat
lain dikatakan, kullu ma’rūf sadaqah, wa inna min ma’rūf an tulqiya akhāka bi wajh thalq...
Keterangan hadis ini menegaskan bahwasanya sedekah bukan hanya terbatas pada harta, tetapi
semua perbuatan baik juga merupakan sedekah. Demikian pula, kebaikan tidak hanya berkaitan
dengan diri sendiri tetapi berkaitan pula dengan orang lain. Bahkan dinyatakan bahwa setiap
anggota tubuh wajib untuk bersedekah.
Berikut sabda nabi Saw ;
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “telah bersabda Rasulullah Saw bahwa setiap anggota badan
manusia diwajibkan bersedekah setiap hari selama matahari masih terbit. Kamu mendamaikan
antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, kamu menolong seseorang naik ke atas
kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah,
berkata yang baik itu adalah sedekah, setiap langkah berjalan untuk shalat adalah sedekah, dan
menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah”. (HR Bukhari dan Muslim).

Salman al-Audah mengemukakan bahwa amar ma’rūf adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, segala sesuatu yang dicintai oleh
Allah Swt. Sedangkan nahi munkar adalah yang dibenci oleh jiwa, tidak disukai dan dikenalnya
serta sesuatu yang dikenal keburukannya secara syar’i dan akal. Sedangkan Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa amar ma’rūf merupakan tuntunan yang diturunkan Allah di dalam semua
kitab-Nya, disampaikan para rasul serta merupakan bagian dari syariat Islam.58 Lebih lanjut
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Jika amar ma’rūf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunnah yang
sangat agung (mulia), maka sesuatu yang wajib dan sunnah maslahat di dalamnya lebih
kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan
dengan membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang
diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang
yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta mencela
orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar
ma’rūf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahat-nya maka ia bukan sesuatu yang
diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram,
sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-
Nya, karena ia tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna (amar ma’rūf
nahi munkar).”

Berdasarkan keterangan ayat 157 surat al-A’raf, Asad menyebutkan banyak ritual dan
kewajiban yang ditetapkan di dalam ajaran Musa, dan juga kecenderungan terhadap asketisme
yang nyata dalam pengajaran Injil. Dengan demikian, al-Qur’an menyiratkan bahwa ‘beban dan
belenggu’ tersebut, yang dimaksudkan sebagai sarana disiplin spiritual untuk komunitas tertentu
dengan tahap perkembangan manusia tertentu, bukan berarti pesan Tuhan menjadi tidak perlu
kepada manusia ketika telah selesai, dan karakter universal dalam ajaran yang terakhir dibawa
oleh Nabi Saw. Ciri-ciri Muhammad saw sebagai seorang rasul telah ada dalam kitab Taurat dan
Injîl dimana ia selalu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ia pun telah
menghalalkan untuk mereka setiap sesuatu yang dapat diterima oleh naluri manusia, dan
mengharamkan setiap yang ditolak oleh naluri manusia, seperti darah dan bangkai. Dia juga
akan menghilangkan segala beban dan kesulitan yang mereka tanggung sebelumnya.
Pada ayat sebelumnya, berisi tentang permohonan agar ditetapkan dalam kebaikan di
dunia dan di akhirat. Dimana balasan yang Allah Swt timpakan kepada siapa yang Dia kehendaki
dan kasih-sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Bahwa rahmat-Nya diperuntukkan bagi mereka
yang bertakwa, menunaikan zakat dan mengimani ayat-ayat yang diturunkan-Nya. Serta agar
Allah menetapkan di dunia dengan kehidupan yang baik, dan senantiasa diberi petunjuk untuk
menaati-Nya. Sementara di kehidupan akhirat, akan mendapatkan rahmat dan ganjaran
kebaikan.
Karakteristik muslim sebagai komunitas yang senantiasa mengajak kepada semua yang
baik, mengajak kepada perbuatan yang benar serta mencegah dari perbuatan yang salah.
Karena jalan terbaik untuk bersatu dalam kebenaran di bawah naungan al-Qur'an dan rasul-Nya,
yaitu dengan menjadi umat yang menyerukan segala bentuk kebaikan dunia dan akhirat,
menyerukan kewajiban mendorong manusia pada kebenaran bersama dan mencegah
perbuatan yang salah. Semua hal yang terkait dengan kebaikan berupa perbuatan yang
menuntun kepada jalan yang benar dan semua perbuatan yang mengarah kepada kejahatan
merupakan kesalahan. Mereka yang melakukan prinsip itu adalah orang-orang yang
memperoleh keberuntungan yang sempurna.
Dari keterangan di atas, Asad memahami bahwa al-ma’ruf adalah semua perintah Allah
yang mengarah kepada kebenaran sesuai dengan syariat, dan almunkar adalah semua
perbuatan yang dilarang Allah yang membawa kepada jalan yang salah bertentangan dengan
syariat. Berkaitan dengan ini, Rasyid Ridha menerangkan bahwa ayat ini berisi tentang dakwah
kepada yang baik dan perintah serta larangan. Menurutnya, di dalam dakwah terdapat tahapan-
tahapan yang mesti dilakukan, yaitu pertama, ajakan umat ini kepada semua umat kepada
kebaikan dan melibatkan mereka kepada petunjuk dan cahaya kebenaran; kedua, ajakan kepada
semua kaum muslimin kepada sebahagian yang lain kepada kebaikan dan bersama mengajak
mereka kepada kebenaran dan mencegahnya dari kejahatan. Dengan demikian, maka perbuatan
yang ma’rūf menurut Asad adalah perbuatan yang berisi kebenaran sesuai dengan apa yang
terdapat di dalam syariat sedangkan munkar yaitu setiap perbuatan yang salah bertentangan
dengan syariat.
Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan ciri utama
masyarakat beriman, setiap kali al-Qur'an memaparkan ayat yang berisi sifat-sifat orang-orang
beriman yang benar, dan menjelaskan risalahnya dalam kehidupan ini, kecuali ada perintah yang
jelas, atau anjuran dan dorongan bagi orang-orang beriman untuk mengajak kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran, maka tidak heran jika masyarakat muslim menjadi masyarakat
yang mengajak kepada kebaikan dengan cara yang benar dan mencegah kemungkaran dengan
cara yang benar pula.
Perintah untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban
terpenting dalam masyarakat muslim, selain shalat dan zakat, terutama di waktu umat Islam
berkuasa di muka bumi, dan menang atas musuh, bahkan kemenangan tidak datang dari Allah,
kecuali bagi orang-orang yang tahu bahwa mereka termasuk orang-orang yang melakukannya,
sebagaimana yang terungkap dalam surat al-Hajj ayat 40-41, bahwa Allah pasti menolong orang
yang menolong (agama)-Nya. Mereka itu adalah orang-orang yang jika diteguhkan dalam
kedudukan di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar serta menyerahkan
segala urusan kepada Allah semata.
Dalam masyarakat muslim amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan hak dan juga
kewajiban bagi mereka, ia merupakan salah satu prinsip politik dan sosial, al-Qur'an dan hadits
nabi telah menjelaskan hal itu dan memerintahkan orang untuk memberikan nasihat atau kritik
bagi pemangku kekuasaan dalam masyarakat, dan minta penjelasan hal-hal yang menjadi
kemaslahatan rakyat, atau mengingkari hal-hal yang tidak menjadi maslahat bagi rakyat. Karena
yang menjadai tolok ukur kebaikan dan kemungkaran adalah syari'at.

3. Fenomena Degradasi fungsi Ulama dalam Berpolitik Di Era Globalisasi

Kalau kita berbicara tentang kondisi Ulama dalam perpolitikan nasional saat ini, kami
rasa, banyak hal yang perlu menjadi catatan. Pertama: Ulama belum menyadari secara benar
tugas dan misinya dalam konteks politik. Dalam sejarah perjuangan bangsa ini menjelang
kemerdekaan sampai usia kemedekaan bangsa ini, 17 Agustus yang baru saja berlalu, 62 tahun,
kita menyaksikan bagaimana bargaining position* Ulama dalam kancah politik menurun. Jadi,
sungguh sangat memprihatinkan bahwa seharusnya seorang Ulama melihat politik itu (bukan
dalam pandangan subyektif) merupakan partikel, merupakan bagian saja dari gerakan dakwah
yang menyeluruh. Dakwah itu sendiri berintikan amar makruf nahyi mungkar dan kewajiban
untuk selalu menyeru manusia ke jalan Allah, menyerukan al-Quran, dan menyerukan syariah.
Nah, politik itu merupakan salah satu jalur dari gerak dakwah.
Apa yang terjadi di parlemen itu adalah pertarungan politik. Demikian pula yang terjadi
dalam gerakan buruh. Jadi, kita tidak boleh melupakan gesekan-gesekan sosial politik yang
terjadi di Tanah Air di mana saja; kecil atau besar; baik itu dalam bentuk mogok buruh, protes
sosial, demonstrasi-demonstrasi lainnya, dalam bentuk Pemilu atau Pilkada, dsb. Sesungguhnya
di balik semua itu ada pertarungan ideologi. Ribut-ribut soal RUU-APP, itu bagian dari
pertarungan ideologi.
            Dakwah itu harus dilihat sebagai medan pertarungan ideologi. Apalagi secara faktual,
Indonesia ini beragam, terdiri dari berbagai agama dan ideologi. Kita menyaksikan ada Hindu,
Budha, Protestan, dengan aliran-aliran dan sekte-sekte yang begitu banyak. Kita juga
menyaksikan ada kelompok-kelompok yang memperjuangkan Sosialisme, Komunisme,
nasionalisme. Jadi, tidak mungkin kalau kita mau menafikan realitas medan dakwah yang
sedemikian rupa.
Khusus di Indonesia, terdapat kecendrungan meningkatnya intensitas tarik-menarik
antara agama –khususnya Islam- dengan negara/ kekuasaan dapat dilihat jelas sejak jatuhnya
Presiden Soeharto dari kekuasaan pada Mei 1998. Liberalisai politik yang dilakukan oleh
penggantinya, Presiden Habibie, menghasilkan kemunculan sangat banyak parpol, termasuk
parpol-parpol agama, baik di kalangan Islam maupun di kalangan Kristiani. Selanjutnya,
pencabutan asas tunggal Pancasila, membuat banyak parpol dan organisasi massa lainnya,
kembali kepada asas agama, termasuk Islam.
Kompleksitas dan kerumitan hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) dalam
tradisi Sunni –yang secara tradisional dianut umat Islam Indonesia –terletak antara lain pada
kenyataan, bahwa pada dasarnya kerangka doktrinal dan pengalaman historis kaum Muslimin
bersifat ambivalen dalam hal tersebut. Mayoritas Ulama Sunni berpendapat, dalam Islam secara
esensial tidak ada pemisahan antara agama dengan politik  (siyasah) atau
kekuasaaan/negara (daulah). Sesuai dengan kerangka ini, politik dalam pandangan mayoritas
Ulama merupakan bagian integral din dan, karena itu, tidak perlu dijauhi; sebaliknya bahkan
perlu diceburi, karena ia merupakan bagian daripada din itu sendiri. Karena alasan ini dan
ditambah dengan alasan-alasan politik tertentu, atau kepentingan dakwah melalui politik, atau
bahkan karena jaring-jaring politik yang sulit mereka hindari –karena politik dan kekuasaan yang
cenderung manipulatif- Ulama dan umat Islam menceburkan diri atau tercebur, atau bahkan
terkooptasi ke dalam politik.

Lalu kenapa amar makruf nahi mungkar juga termasuk bagian yang wajib diurus oleh
Pemerintah?
Kewajiban amar makruf nahi munkar bagi seorang Pemimpin adalah membuat aturan yang
tegas dan pasti. Sebab jika kita pundakkan amar makruf nahi munkar kepada ulama maka
sifatnya hanya himbaun dan nasehat semata tidak ada sanksi bagi pelanggar. Berbeda jika
seorang otoritas yang membuat aturan. Jelas pelanggar bisa diberikan hukuman.
Bisa juga kita ambil kesimpulan lain tentang kewajiban seorang pemimpin ada dua hal. Pertama,
bertanggung jawab terhadap tegaknya hukum-hukum Allah di Negara yang dipimpinnya. Kedua,
Mengatur ketertiban dan keamanan rakyatnya. Termasuk hukum lalulintas. Seperti di Uni Emirat
Arab, Pemerintah Emirat mengenakan pasal percobaan pembunuhan bagi pengendara mobil
yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).

4. Bercermin Pada Uswatun Hasanah Dalam Berpolitik

Dalam ajaran Islam,  ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: ”Ulama adalah
pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan
mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah). Nabi juga
memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan
dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang
memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya,
melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih,
tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu
Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya
menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi
control dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk
menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang – pertama kali – harus
mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan
Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah wahai Sultan, engkau
adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh
isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Dikutip dari karya al-Ghazali, At-Tibr
al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering
menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik
pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam
Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hokum cambuk 10 kali setiap hari, karena
menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-Quran,
Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah
al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam
keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya
yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan
dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad
akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri
pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para Ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga
kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah
saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’). Kata Nabi saw: ”Seburuk-buruk
manusia adalah ulama yang buruk.”  Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat
adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya
untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, memberikan
penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama
dunia’.
Rasulullah saw bersabda: ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan
para ulama yang jahat.” (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan
sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebagai pewaris Nabi, mereka harus memiliki
kemampuan ilmu dalam masalah risalah kenabian dan sekaligus menjadi panutan dalam
ibadah.
Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan
bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah.
Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas
ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi – atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak
memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling
absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan.  
Nabi Muhammad saw telah memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga
agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan
baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan
fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw:
“Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi
Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan
para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila
pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka
sesat dan menyesatkan”. (HR Muslim).

Kesimpulan

Memahami makna amar ma’ruf nahi munkar merupakan jalan terbaik untuk bersatu
dalam kebenaran di bawah naungan al-Qur'an dan sunnah-Nya, yaitu dengan menjadi umat
yang menyerukan segala bentuk kebaikan dunia dan akhirat dengan benar sesuai dengan pesan
yang terdapat di dalam ayat al-Qur’an, dan menyerukan kewajiban mendorong manusia kepada
perbuatan yang benar dan mencegah dari perbuatan yang salah. Muhammad Asad memahami
bahwa al-ma’ruf adalah semua perintah Allah yang mengarah kepada kebenaran sesuai dengan
syariat, dan al-munkar adalah semua perbuatan yang dilarang Allah yang membawa kepada
jalan yang salah bertentangan dengan syariat. Karena semua hal yang terkait dengan kebaikan
berupa perbuatan yang menuntun kepada jalan yang benar dan semua perbuatan yang
mengarah kepada kejahatan merupakan kesalahan. Mereka yang melakukan prinsip itu adalah
orang-orang yang memperoleh keberuntungan yang sempurna.

Daftar Pustaka:

Kusnadi,. Zulkarnain, Zulhilmi. 2017. MAKNA AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MENURUT MUHAMMAD
ASAD DALAM KITAB THE MESSAGE OF THE QUR’AN. Vol.18. No.2. Diakses 18 Desember 2019 pukul
19.00 WIB

http://alzibillacenter.blogspot.com/2011/02/eksistensi-ulama-di-panggung-politik.html

http://www.darulihsanabuhasan.com/2014/07/kepemimpinan-dalam-perspektif-islam.html

Anda mungkin juga menyukai