Anda di halaman 1dari 14

I.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Pengomposan

Kompos merupakan jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh alam atas

bahan-bahan organik, terutama daun, tumbuh-tumbuhan seperti jerami, kacang-kacangan, sampah

dan lain-lain(Sarief, 1989 dalam Agustina 2007). Pengomposan atau dekomposisi merupakan

peruraian dan pemantapan bahan-bahan organik secara biologi dalam temperatur yang tinggi

dengan hasil akhir bahan yang bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan

lingkungan(Prihandarini,2004dalam Agustina 2007). Dengan kata lain terjadi perubahan fisik

semula menjadi fisik yang baru. Perubahan itu terjadi karena adanya kegiatan jasad renik untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bahan organik yang dapat digunakan sebagai kompos dapat berasal dari limbah hasil

pertanian dan non pertanian (limbah kota dan limbah industri) (Kurnia dkk.,2001 dalam Harizena

2012). Limbah hasil dari pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan),sisa

hasil pertanian (sekam, dedak padi, kulit kacang tanah, ampas tebu,dan belotong). Limbah kota

atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar atau sampah rumah tangga dari daerah

pemukiman serta taman-taman kota (Setyorini dkk.,2003dalam Harizena 2012).

Kompos dapat diperkaya dengan kotoran sapi yang merupakan sumber unsur hara makro

dan mikro yang lengkap. Kadar rata-rata komposisi pupuk kandang sapi adalah C-organik 8,58%;

N-total 0,73%; P-total 0,93%; K-total 0,73%; bahan organik14,48%;dan rasio C/N sebesar 12,0

(Sutanto,2002 ). Proses pengomposan atau membuat kompos adalah proses biologis karena selama

proses tersebut berlangsung, sejumlah jasad hidup yang disebut mikroba, seperti bakteri dan jamur,

berperan aktif (Unus, 2002 dalamSulistyorini,2005). Dijelaskan lebih lanjut agar peranan mikroba

8
di dalam pengolahan bahan baku menjadi kompos berjalan secara baik, persyaratan-persyaratan

berikut harus dipenuhi:

1. Kadar air bahan baku: daun-daun yang masih segar atau tidak kering, kadar airnya memenuhi

syarat sebagai bahan baku. Dengan begitu, daun yang sudah kering, yang kadar airnya juga akan

berkurang, tidak memenuhi syarat. Hal tersebut harus diperhatikan karena banyak pengaruhnya

terhadap kegiatan mikroba dalam mengolah bahan baku menjadi kompos. Seandainya sudah

kering, bahan baku tersebut harus diberi air secukupnya agar menjadi lembab.

2. Bandingan sumber C (Karbon) dengan N (zat lemas) bahan : bandingan ini umumnya disebut

rasio/bandingan C/N. dengan bandingan tersebut proses pengomposan berjalan baik dengan

menghasilkan kompos bernilai baik pula, paling tinggi 30, yang artinya kandungan sumber C

berbanding dengan kandungan sumber = 30 : 1. Sebagai contoh, kalau menggunakan jerami

sebagai bahan baku kompos, nilai rasio C/N-nya berkisar 15 – 25, jadi terlalu rendah. Karena itu,

bahan baku tersebut harus dicampur dengan benar agar nilai rasio C/N-nya berkisar 30. Misalnya,

lima bagian sampah yang terdiri atas daun-daunan dari pekarangan dicampur dengan dua bagian

kotoran kandang, akan mencapai nilai rasio C/N mendekati 30, atau lima bagian sampah tersebut

dicampur dengan lumpur selokan (lebih kotor akan lebih baik) sebanyak tiga bagian, juga akan

mencapai rasio C/N sekitar 30. Sementara itu, untuk jerami, lima bagian jerami harus ditambah

dengan tiga bagian kotoran kandang, atau kalau tidak ada dengan empat bagian Lumpur selokan

sehingga nilai rasio C/N-nya akan mendekati 30.

Pengomposan bahan organik secara aerobik merupakan suatu proses humifikasi bahan

organik tidak-stabil (rasio C/N >25) menjadi bahan organik stabil yang dicirikan oleh pelepasan

panas dan gas dari substrat yang dikomposkan (Diaz et al., 1993 dalamSulistyorini,2005).

Lamanya waktu pengomposan bervariasi dari dua sampai tujuh minggu, bergantung pada teknik
pengomposan dan jenis mikroba dekomposer yang digunakan (FAO, 2003 dalam

Sulistyorini,2005).Tingkat kematangan (derajat humifikasi) dan kestabilan kompos (terkait

dengan aktivitas mikroba) menentukan mutu kompos yang ditunjukkan oleh berbagai perubahan

sifat fisik, kimia, dan biologi substrat kompos.Pada kompos yang belum matang, proses

dekomposisi bahan organik masih terus berlangsung yang dapat menciptakan suasana anaerobik

di lingkungan perakaran (penggunaan oksigen oleh mikroba) dan kahat N (imobilisasi N oleh

mikroba), sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.Pengomposan yang tidak sempurna juga

kerap menghasilkan senyawa fitotoksin seperti fenolat yang dalam banyak kasus menghambat

pertumbuhan bibit tanaman (Zucconi et al. 1981 dalamSulistyorini,2005) atau menjadi tempat

transien bagi mikroba patogen.Untuk menghindari hal ini, sosialisasi tentang teknik pembuatan

kompos yang tepat dan penggunaan mikroba dekomposer yang sesuai perlu terus diupayakan

sebagai langkah strategis dalam meningkatkan mutu kompos.Selain itu, tingkat kemudahan

pembuatan kompos dan aplikasi mikroba dekomposer dengan biaya yang relatif murah tidak bisa

diabaikan sebagai faktor penentu bagi petani menggunakan mikroba dekomposer.

Menurut Unus (2002, dalam Sulistyorini, 2005) banyak faktor yang mempengaruhi proses

pembuatan kompos, baik biotik maupun abiotik. Faktor -faktor tersebut antara lain:

a. Pemisahan bahan: bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk didegradasi/diurai,

harus dipisahkan/diduakan, baik yang berbentuk logam, batu, maupun plastik. Bahkan, bahan-

bahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba, harus benar-

benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan, misalnya residu pestisida.

b. Bentuk bahan : semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan baik pula proses

pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan homagen, lebih luas permukaan
bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba.Selain itu, bentuk bahan berpengaruh

pula terhadap kelancaran difusi oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO2 yang dihasilkan.

c. Nutrien : untuk aktivitas mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrien

Karbohidrat, misalnya antara 20% – 40% yang digunakan akan diasimilasikan menjadi komponen

sel dan CO2, kalau bandingan sumber nitrogen dan sumber Karbohidrat yang terdapat di dalamnya

(C/N-rasio) = 10 : 1. Untuk proses pengomposan nilai optimum adalah 25 : 1, sedangkan

maksimum 10 : 1

d. Kadar air bahan tergantung kepada bentuk dan jen is bahan, misalnya, kadar air optimum di

dalam pengomposan bernilai antara 50 – 70, terutama selama proses fasa pertama. Kadang-kadang

dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85%, misalnya pada jerami.

Disamping persyaratan di atas, masih diperlukan pula persyaratan lain yang pada pokoknya

bertujuan untuk mempercepat proses serta menghasilkan kompos dengan nilai yang baik, antara

lain, homogenitas (pengerjaan yang dilakukan agar bahan yang dikomposkan selalu dalam

keadaan homogen), aerasi (suplai oksigen yang baik agar proses dekomposisi untuk bahan-bahan

yang memerlukan), dan penambahan starter (preparat mikroba) kompos dapat pula dilakukan,

misalnya untuk jerami. Agar proses pengomposan bisa berjalan secara optimum, maka kondisi

saat proses harus diperhatikan. Kondisi optimum proses pengomposan bisa dilihat padaTabel

1(Unus 2002 dalam Sulistyorini 2005).

Tabel 1. Kondisi Optimum Proses Pengomposan


Parameter Nilai
C/N -rasio bahan 30-35:1
C/P- rasio bahan 75-150:1
Bentuk / ukuran materi 1,3-3,3 cm untuk proses pabrik
3,3-7,6 cm untuk proses biasa sederhana
Kadar air bahan 50-60%
Aerasi 0,6-1,8m3udara/hari/Kg bahan selalu proses
termofilik,
Tempratur maksimum 550C
Secara teknis, transformasi bahan organik tidak-stabil menjadi bahan organik stabil

(kompos matang) ditandai oleh pembentukan panas dan produksi CO2. Selama proses

pengomposan, komposisi populasi mikroba berubah dari tahap mesofilik (suhu 20-40oC) ke tahap

termofilik (suhu bisa mencapai 80oC), dan terakhir tahap stabilisasi atau pendinginan. Mikroba

mesofilik memulai dekomposisi substrat mudah hancur seperti protein, gula, dan pati yang

selanjutnya digantikan oleh mikroba termofilik yang secara cepat merombak substrat organik.Pada

tahap akhir stabilisasi, jumlah populasi mikroba meningkat. Panas yang timbul selama fase

termofilik mampu membunuh mikroba patogen (>55oC) dan benih gulma (>62oC) (FAO 2003

dalam Husen dan Irawan 2008 ), sehingga kompos matang sering dipakai sebagai media

pembibitan tanam. Penggunaan kompos matang mampu menstimulasi perkembangan mikroba dan

menghindari bibit dari serangan patogen tular tanah (Husen dan Irawan,2008).

Kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan yaitu Padatahap pertama yaitu tahap

penghangatan (tahap mesofilik), mikroorganisme hadir dalam bahan kompos secara cepat dan

temperatur meningkat. Mikroorganisme mesofilik hidup pada temperatur 10-45oC dan bertugas

memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan

mempercepat proses pengomposan. Pada tahap kedua yaitu tahap termofilik, mikroorganisme

termofilik hadir dalam tumpukan bahan kompos.Mikroorganisme termofilik hidup pada tempratur

45-60oC dan bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat

terdegradasi dengan cepat.Mikroorganisme ini berupa Actinomycetes dan jamur

termofilik.Sebagian dari Actinomycetes mampu merombak selulosa dan hemiselulosa. Kemudian

proses dekomposisi mulai melambat dan temperatur puncak dicapai. Setelah temperatur puncak

terlewati, tumpukan mencapai kestabilan, dimana bahan lebih mudah terdekomposisikan.Tahap

ketiga yaitu tahap pendinginan dan pematangan.Pada tahap ini, jumlah mikroorganisme termofilik
berkurang karena bahan makanan bagi mikroorganisme ini juga berkurang, hal ini mengakibatkan

organisme mesofilik mulai beraktivitas kembali. Organisme mesofilik tersebut akanmerombak

selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya menjadi gula yang lebih sederhana,

tetapi kemampuanya tidak sebaik organism termofilik. Bahan yang telah didekomposisi menurun

jumlahnya dan panas yang dilepaskan relatif kecil (Djuarnani dkk.,2005).

Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang memerlukan

sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel baru, bersama dengan pasokan

nitrogen untuk protein sel. Nitrogen merupakan unsur hara paling penting. Perbandingan karbon

dan nitrogen (C/N) berkisar antara 25-35 : 1. Jika perbandingan jauh lebih tinggi, proses

metabolisme membutuhkan waktu lama sebelum karbon dioksidasi menjadi karbon dioksida,

sedangkan jika perbandingan lebih kecil, maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada

kompos akan dibebaskan sebagai amonia (Outerbridge,1991 dalam Anon., 2011).

Ukuran partikel berperan dalam pergerakan oksigen ke dalam tumpukan kompos (melalui

pengaruh porositas), akses mikroorganisme dan enzim untuk substrat. Partikel ukuran besar

mendifusikan oksigen akibat rata-rata pori besar. Namun, partikel yang lebih besar juga

meminimalkan permukaan spesifik dari substrat, yang merupakan rasio luas permukaan dengan

volume, sehingga sebagian besar substrat tidak terakses pada mikroorganisme atau enzim mereka.

Pengomposan yang efisien membutuhkan akses terhadap oksigen dan nutrien di partikel (Sylvia

et al,2005 dalam Anon., 2011).

Sistem pengomposan bertujuan untuk mempertahankan kondisi aerob selama proses.

Pengomposan pada kondisi aerob meningkatkan laju dekomposisi, sehingga terjadi peningkatan

temperatur. Apabila aerasi tidak terhambat, maka tidak dihasilkan bau tidak sedap (Holmes, 1983

dalam Anon,2011). Menurut Outerbridge (1991)dalam Anon., 2001, tidak adanya udara (kondisi
anaerobik) akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam mikroorganisme yang

menyebabkan pengawetan keasaman dan pembusukan tumpukan yang menimbulkan bau busuk.

Aerasi diperoleh melalui gerakan alami dari udara ke dalam tumpukan kompos, dengan

membolak-balik.

Kelembaban merupakan faktor utama dalam pengomposan aerob. Kelembaban dibawah

20 % menyebabkan pengomposan terhenti. Jika kelembaban diatas 55 %, air akan mulai mengisi

ruang antara bahan, menyebabkan pengurangan jumlah oksigen dan terbentuk kondisi anaerob,

sehingga temperatur menurun dan menimbulkan bau tidak sedap (Holmes, 1981 dalam Anon.,

2011).

pH digunakan untuk mengevaluasi hasil metabolisme mikroorganisme di lingkungan. pH

kompos bervariasi dengan waktu selama proses pengomposan dan digunakan sebagai indikator

dekomposisi dalam massa kompos. pH awal bahan pengomposan sekitar 5,0 sampai 7,0. Setelah

tiga hari pengomposan, pH menurun menjadi 5,0 atau kurang karena hasil penguraiannya adalah

asam organik sederhana dan kemudian meningkat sekitar 8,5 sebagai akibat sisa dari proses aerob

(protein diuraikan dan amonia dilepaskan).

2.2 Kualitas Kompos

Pengomposan timbul dari kegiatan mikroorganisme, sehingga diharapkan bahwa proses

pengomposan akan lebih baik dengan penambahan inokulan dari kultur mikroorganisme.

Mikroorganisme berkembangbiak dengan sangat cepat, dan dalam beberapa hari jumlahnya dapat

mencapai titik maksimum yang dimungkinkan oleh kondisi lingkungan dalam tumpukan

kompos.Kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami pelapukan yang cukup dengan
dicirikan warna sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya, berbau seperti tanah, kadar air

rendah, dan mempunyai suhu ruang.

Standar Nasional Indonesia (SNI) memiliki syarat mutu produk kompos untuk melindungi

konsumen dan mencegah pencemaran lingkungan.Standar ini dapat dipergunakan sebagai acuan

bagi produsen kompos dalam memproduksi kompos.Adapun standar kualitas kompos dari sampah

organik domestik yang merujuk pada SNI 19-7030-2004 (Tabel 2).

Tabel.2 SNI Produk Kompos


No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar air % - 50
0
2 Tempratur C Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 -
7 pH % 6,80 7,49
8 Bahan asing % * 1,5
Unsur makro
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40 -
11 Karbon % 9,80 32
12 Phospor (P2O5) % 0,10 -
13 C/N-Rasio 10 20
14 Kalium K2O % 0,20 *
Unsur mikro
15 Arsen mg kg-1 * 13
16 Kadmium (Cd) mg kg-1 * 3
17 Kobal (Co) mg kg-1 * 34
-
18 Kromium (Cr) mg kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg kg-1 * 100
20 Merkuri (Hg) mg kg-1 * 0,8
-1
21 Nikel (Ni) mg kg * 62
22 Timbal (Pb) mg kg-1 * 150
23 Selenium ( Se) mg kg-1 * 2
24 Seng (Sn) mg kg-1 * 500
Unsur lain
25 Kalsium (Ca) % * 25,50
26 Magnesium (Mg) % * 0,6
27 Besi (Fe) % * 2,00
28 Aluminium (Al) % * 2,20
29 Mangan ( Mn) % * 0,1
Bakteri
30 Fecal coli MPN/g 1000
31 Salmonella sp. MPN/4g 3
Keterangan : * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum

2.3 Pengaruh Mikroba dalam Pengomposan

Mikroorganisme merupakan faktor terpenting dalam proses pengomposan,karena

mikroorganisme merombak bahan organik menjadi kompos.Selama proses pengomposan bahan

organik diubah menjadi karbondioksida dan air,disertai dengan pembebasan energi oleh mikroba.

Sebagian energi tersebut dipergunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan selnya dan

sebagian lain menyebabkan peningkatan suhu (Atmaja, 2006). Mikroba mengambil energi untuk
kegiatannya, dari kalori yang dihasilkan dalam reaksi biokimia perubahan bahan limbah hayati

terutama bahan zat karbohidrat, terus menerus sehingga kandungan zat karbon sampah organik

turun makin rendah, karena ujung reaksi pernapasannya mengeluarkan gas CO2 dan H2O yang

menguap ( Subali dan Ellianawati,2010).

Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif

dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang

mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos

akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu

akan meningkat hingga di atas 500- 700C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba

yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu

tinggi.Pada saat ini terjadi dekmposisi/penguraian bahanorganik yang sangat aktif. Mikroba-

mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik

menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan

berangsur-angsur mengalami penurunan (Subali dan Eliniawati,2010). Mikroorganisme mesofilik

berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan

bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Mikroorganisme termofilik berfungsi untuk

mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat

(Djuarnani dkk.,2005).

Proses pengomposan pada tahap awal,beberapa spesies flora aktif dan berkembang dalam

waktu yang relatif singkat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan untuk jenis lain

berkembang. Minggu kedua dan ketiga, kelompok fisiologi yang berperan aktif dalam proses

pengomposan dapat diidentifikasi: bakteri 106-107, bakteri amonifikasi 104,proteolitik 104,

pektinolitik 103, dan bakteri penambat nitrogen 103. Kelompok mikroorganisme meningkat mulai
hari ketujuh dan setelah hari ke empat belas terjadi penurunan jumlah kelompok, kemudian terjadi

kenaikan populasi kembali pada minggu keempat.Mikroorganisme yang berperan adalah

mikroorganisme selulopatik, lignolitik, dan jamur (Sutanto, 2002).

Bakteri dan jamur akan memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi yang

menyebabkan terjadinya proses mineralisasi. Selama proses mineralisasi dalam suasana aerob,

nitogen akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk nitrat (NO3-). Oleh karena itu,

semakin banyak bahan organik yang dapat dirombak maka proses perkembangbiakan

mikroorganisme meningkat sehingga kandungan N-total yang terbentuk juga mengalami

peningkatan (Adianto,1993 dalam Harizena,2012).

Mikroorganisme yang berperan dalam pelarut fosfat pada proses pengomposan secara garis

besar ialah bakteri,jamur,danActinomycetes, yang memiliki kemampuan melarutkan senyawa

berbeda. Perubahan senyawa P anorganik tak larut menjadi senyawa P yang larut oleh

mikroorganisme, umumnya disebabkan karena mikroorganisme menghasilkan beberapa asam

organik antara lain asam asetat, malat,glukonat,oksalat,butitar,dan malonat yang dapat langsung

melarutkan fosfat (Thomas dkk.,1985 dalam Atmaja, 2006). Beberapa contoh bakteri yang dapat

melarutkan P, yaitu Bacillus sp., B. pulvifaciens, B. circulans,pseudomonas sp., dan Xanthomonas

sp.(Atmaja,2006).

Respirasi mikroorganisme merupakan petunjuk aktivitas mikroorganisme dalam

pengomposan,yaitu dengan mengukur CO2 yang dihasilkan.Penetapan respirasi merupakan salah

satu metode yang paling sederhana untuk mengukur aktivitas mikroorganisme. Karbondioksida

sebagai produk akhir respirasi dilepaskan secara kimiawi melalui aktivitas mikroorganisme yang

memproduksi asam-asam organik maupun anorganik (Anas,1989dalam Pratiwi,2013).


2.3 Effektif Mikroorganisme-4 (EM4)

Effective Microorganisme(EM4) merupakan bahan yang mengandung beberapa

mikroorganisme yang bermanfaat dalam proses pengomposan. Mikroorganisme yang terdapat

dalam EM4 terdiri dari Lumbricus (bakteri asam laktat) serta sedikit bakteri foto sintetik,

Actinomycetes, Streptomyces sp.,dan ragi.Effective Microorganisme(EM4) dapat meningkatkan

fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman,

serta menekan aktivitas serangga, hama, dan mikroorganisme patogen. PerananEffective

Microorganisme(EM4) dalam pembuatan kompos adalah untuk menghilangkan bau dan

mempercepat proses pengolahan limbah (Djuarnani dkk., 2005). Teknologi EM4 dikembangkan

untuk menunjang pembangunan pertanian ramah lingkungan, menekan penggunaan pupuk kimia

dan pestisida dengan sistem alami yang akhirnya dapat meningkatkan produktivitas tanah,

mengurangi biaya produksi dan menghasilkan bahan pangan yang bebas bahan kimia sehingga

bersih dan sehat untuk di konsumsi.EM4 mengandung beberapa mikroorganisme utama yaitu

bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, Ragi (yeast), Actinomycetes dan jamur fermentasi.

1. Bakteri Fotosintetik (Rhodopseudomonas spp.)

Bakteri ini adalah mikroorganisme mandiri dan swasembada.Bakteri ini membentuk

senyawa-senyawa bermanfaat dari sekresi akar tumbuhan, bahan organik dan gas-gas berbahaya

dengan sinar matahari dan panas bumi sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat yang terbentuk

anatara lain, asam amino asam nukleik, zat bioaktif dan gula yang semuanya berfungsi

mempercepat pertumbuhan. Hasil metabolisme ini dapat langsung diserap tanaman dan berfungsi

sebagai substrat bagi mikroorganisme lain sehingga jumlahnya terusbertambah.

2. Bakteri asam laktat (Lactobacillus spp.)


Bakteri asam laktat (Lactobacillus spp.) dapat mengakibatkan kemandulan (sterilizer) oleh

karena itu bakteri ini dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan,

meningkatkan percepatan perombakan bahan organik, menghancurkan bahan organik seperti

lignin dan selulosa serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa beracun yang

ditimbulkan dari pembusukan bahan organik Bakteri ini dapat menekan pertumbuhan fusarium,

yaitu mikroorganime merugikan yang menimbukan penyakit pada lahan/ tanaman yang terus

menerus ditanami.

3. Ragi/Yeast (Saccharomyces spp.)

Melalui proses fermentasi, ragi menghasilkan senyawa-senyawa bermanfaat bagi

pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau

bahan organik dan akar-akar tanaman. Ragi juga menghasilkan zat-zat bioaktif seperti hormon dan

enzim untuk meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi Ragi adalah substrat

yang baik bakteri asam laktat dan Actinomycetes

4. Actinomycetes

Actinomycetes menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dihasilkan bakteri

fotosintetik.Zat-zat anti mikroba ini menekan pertumbuhan jamur dan bakteri. Actinomycetes

hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik bersama-sama meningkatkan mutu lingkungan

tanah dengan cara meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah.

5. Jamur Fermentasi

Jamur fermentasi (Aspergillus dan Penicilium) menguraikan bahan secara cepat untuk

menghasilkan alkohol, ester dan zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan jamur ini membantu

menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga dan ulat-ulat merugikan dengan cara

menghilangkan penyediaan makanannya. Tiap species mikroorganisme mempunyai fungsi


masing-masing tetapi yang terpenting adalah bakteri fotosintetik yang menjadi pelaksana kegiatan

EM4 terpenting. Bakteri ini disamping mendukung kegiatan mikroorganisme lainnya dan juga

memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan mikroorganisme lain (Djuarnani dkk., 2005).

Dari hasil penelitian Siburian,2008 menyatakan bahwa kadar N,P dan K yang diperoleh

akibat penambahan activator mempunyai range yang masuk pada kisaran standar untuk kadar N,

P dan K yakni > 1,2%; 0,5%; dan 0,3%, dengan konsentrasi EM4 2,5% paling efektif terhadap

kadar N yaitu 1,25 %. Pada penelitian Verawaty dan Tania,(2004) didapat waktu pengomposan

sampah perkebunan tercepat setelah diberi EM4 dengan dosis 5mL/3kg sampah,namun pada akhir

penelitian,disarankan untuk menggunakan dosis 3mL/3kg sampah agar lebih ekonomis.

Anda mungkin juga menyukai