Anda di halaman 1dari 124

PROCEEDING BOOK

SIMPOSIUM DAN WORKSHOP

PERHIMPUNAN GASTROENTERO-HEPATOLOGI
DAN NUTRISI ANAK INDONESIA (PGHNAI)

TEMA :
UPDATE IN DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF
GASTROENTERO-HEPATOLOGY AND
NUTRITION PROBLEMS IN CHILDREN

BANDA ACEH, 19-20 JANUARI 2018

Speaker:
Agus Firmansyah, Prof. Dr. dr. Sp.A(K)
M. Juffrie, Prof. dr. PhD, Sp.A(K)
Badriul Hegar. Prof. dr. PhD, Sp.A(K)
Reza Ranuh, Dr. dr. Sp.A(K)
Bakhtiar, Dr. dr. M.Kes, Sp.A
Pramita G. Dwipoerwantoro, Dr.dr.Sp.A(K)
Sulaiman Yusuf, Dr. dr. Sp.A(K)
I Putu Gede Karyana, dr. Sp.A(K)
Mulya Safri, Dr. dr. M.Kes, Sp.A(K)

Penerbit:
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
PROCEEDING BOOK

SIMPOSIUM DAN WORKSHOP


PERHIMPUNAN GASTROENTERO-HEPATOLOGI DAN NUTRISI ANAK
INDONESIA (PGHNAI)

TEMA :
UPDATE IN DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF GASTROENTERO-
HEPATOLOGY AND NUTRITION PROBLEMS IN CHILDREN

Pengarah
Prof. Dr.dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K)
Prof.dr. Badriul Hegar Syarif, Sp.A.(K) PhD
Prof. dr. Rusdi Ismail, Sp.A(K)
Prof. dr.Yati Sunarto, Sp.A(K), PhD
Prof.dr.M.Juffrie,SpA(K), PhD
Prof.Dr.dr. Subiyanto Martosudarmo,Sp.A(K)
dr. Hadjat S. Digdowirogo, Sp.A(K), MBA

Reviewer:
Agus Firmansyah, Prof. Dr. dr. Sp.A(K)
M. Juffrie, Prof. dr. PhD, Sp.A(K)
Badriul Hegar. Prof. dr. PhD, Sp.A(K)

Editor
Sulaiman Yusuf
Bakhtiar
Mulya Safri
Mars Nasrah
Jufitriani Ismy

Penerbit:
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

ISBN: 978-602-73790-2-2
Sambutan Ketua Panitia Pelaksana

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Bayi, anak dan remaja merupakan tunas bangsa yang menentukan masa
depan bangsa Indonesia. Di era globalisasi saat ini, perlu evidence based sebagai
dasar dalam penanganan berbagai masalah kesehatan, khususnya dibidang
Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi anak. Masalah kesehatan ini perlu
ditangani sedini mungkin dan mendapat prioritas utama agar terjaminnya
kualitas kesehatan yang baik di masa mendatang. Saat ini masih banyak masalah
dalam bidang Gastroenterologi, Hepatologi dan Nutrisi yang sangat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan serta menyebabkan angka
mortalitas yang masih tinggi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala bekerja sama dengan Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi
Anak Indonesia (PGHNAI) ikut bertanggung jawab dalam peningkatan
pertumbuhan dan perkembangan bayi, anak dan remaja sehingga memandang
perlu melakukan kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
teman sejawat Dokter Umum dan Dokter Spesialis Anak yang berhubungan
dengan Gastroenterologi, Hepatologi dan Nutrisi anak serta masalah-masalah
yang mempengaruhinya. Untuk itu perlu dilaksanakan Simposium dan
Workshop dengan tema: Update in Diagnosis and Management of Gastoentero-
Hepatology and Nutrition Problems in Children”, diharapkan dengan mengikuti
kegiatan ini dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para peserta
dalam menangani masalah-masalah dalam bidang Gastroenterologi, Hepatologi
dan Nutrisi anak.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|i
Akhirul kalam, semoga buku kumpulan naskah lengkap ini dapat
bermanfaat dan mempermudah para peserta.

Wassalam,

Dr. dr. Sulaiman Yusuf, Sp.A(K)


Ketua Panitia Pelaksana

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| ii
Sambutan Pengurus Pusat Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan
Nutrisi Anak Indonesia (PGHNAI)

Assalamu’alaikum Wr Wb,
Generasi penerus bangsa sebagai sumber daya manusia yang sehat dan
berkualitas hanya mampu diwujudkan apabila Indonesia memiliki tenaga
kesehatan yang berkompeten dalam bidang keilmuan kedokteran. Oleh karena
itu, tenaga kesehatan Indonesia harus senantiasa aktif dalam mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam usaha meningkatkan derajat
kesehatan anak Indonesia yang selaras dengan program pemerintah pusat,
kami selaku bagian dari Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi
Anak Indonesia (PGHNAI) berupaya untuk terus meng-update ilmu
pengetahuan bagi rekan-rekan sejawat.
Dalam kesempatan rapat kerja (Raker) PGHNAI ini, kami bekerja
sama dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah mengadakan
Simposium dan Workshop yang bertemakan : Update in Diagnosis and
Management of Gastoentero-Hepatology and Nutrition Problems in
Children” yang berlangsung 18-20 Januari 2018 di Hotel Hermes Palace
Banda Aceh ini merupakan suatu meomentum yang tepat dalam menjawab
permasalahan yang ada. Kami berharap materi dalam simposium dan
workshop ini dapat menjadi suatu hal yang mendasari tenaga kesehatan di
Indonesia dalam melakukan praktek klinis sehari-hari.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| iii
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unsyiah Banda Aceh yang telah bersedia bekerja sama
untuk menyelenggarakan Raker, Simposium dan Workshop ini. Semoga acara
ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalam,

dr. Ade Pasaribu, Sp.A


Ketua PP PGHNAI

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| iv
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga kami
sudah dapat menyusun Buku Kumpulan Naskah Lengkap Simposium dan
Workshop Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) dengan tema : “Update in Diagnosis and Management of
Gastoentero-Hepatology and Nutrition Problems in Children”. Penulis
makalah dalam buku ini berasal dari sejawat Spesialis Anak Konsultan
Gastroentero-Hepatologi yang kompeten serta berpengalaman di bidangnya
masing-masing.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para penulis yang telah
menyediakan waktu di antara kegiatan sehari-hari mereka yang padat dan
waktu yang sempit. Syukurlah pada akhirnya buku ini dapat diselesaikan dan
disajikan tepat pada waktunya.
Penyunting juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim yang
telah membantu menyempurnakan makalah yang akan disampaikan sehingga
seragam dalam format penulisan dan menjadikan buku ini satu kumpulan yang
baik untuk dimiliki para dokter anak dan dokter umum dan dapat digunakan
sebagai referensi dalam praktek sehari-hari. Kami mohon maaf sekiranya
dalam menyunting makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Selamat
membaca!

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|v
Wassalam,
Editor :

Sulaiman Yusuf
Bakhtiar
Mulya Safri
Mars Nasrah
Jufitriani Ismy

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| vi
Susunan Panitia

Pembina
- Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
- Direktur RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh

Penasehat
- Ketua PP PGHNAI
- Ketua IDAI Cabang Aceh
- Ketua IDI Wilayah Aceh
- Ketua IDI Kotamadya Banda Aceh

Panitia Penyelenggara
Ketua : Dr.dr.Sulaiman Yusuf, Sp.A(K)
Wakil Ketua : Dr.dr.Mulya Safri, M.Kes,Sp.A(K)
Sekretaris I : Dr.dr.Bakhtiar, M.Kes,Sp.A
Sekretaris II : dr.Mars Nasrah A,M.Ked(Ped),Sp.A
Bendahara I : dr.Jufitriani Ismy,M.Kes,M.Ked(Ped),Sp.A
Bendahara II : Eliya Sofia, SE

Seksi Ilmiah
Koordinator : dr. TM Thaib, M.Kes, Sp.A(K)
Anggota : dr.Isra Firmansyah, Sp.A
dr.Raihan, Sp.A(K)
dr.Nora Sovira, M.Ked(Ped), Sp.A
dr.T.Ade Prasetia
dr.Fahrul Riza
dr.Nurul Huda Kowita

Seksi Usaha Dana


Koordinator : Prof. Dr. dr. Agus Firmansyah,Sp.A(K
Anggota : Prof.dr. Badriul Hegar,Sp.A(K),PhD

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| vii
dr.Ade Pasaribu, Sp.A
dr.Nurjannah,Sp.A(K)
Dr.dr.Herlina Dimiati, Sp.A(K)

Seksi Sekretariat
Koordinator : dr.Rusdi Andid,Sp.A
Anggota : dr.Anidar,Sp.A(K)
dr.Octavina Susanti
dr.Hirsa Agriani
dr. Cut Elfira
Yulida Qadarsih, SE

Seksi Sidang dan Protokol


Koordinator : Dr.dr. Mulya Safri, M.Kes, Sp.A(K)
Anggota : dr.Darnifayanti, M.Ked(Ped), Sp.A
dr.Tita Menawati Liansyah, M.Kes
dr.Deska Andina Rezki
dr. Yeni Maryati
dr. Sulasmi

Seksi Konsumsi
Koordinator : dr.Nurjannah, Sp.A(K)
Anggota : Dr.dr.Dora Darussalam, Sp.A(K)
dr.Eka Destianti E, M.Ked(Ped), Sp.A
dr.Cut Zahara Phonna
dr. Diana Inti Nusantari
dr. Sannita Mayusda
Nur Ainol, Amd

Sie Perlengkapan, Dokumentasi dan Publikasi


Koordinator : dr.Heru Noviat Herdata,Sp.A
Anggota : dr.Inayah Zhiaul Muttaqin
dr.Cut Nanda Feby Ayulinda
dr.Muslim
dr.Iwan Sabardi
Husni, NT, S,Hum

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| viii
Seksi Transportasi dan Akomodasi
Koordinator : dr.Syafruddin Haris, Sp.A(K)
Anggota : dr.Tommy
dr.Riny Fasli
dr.Pretyca Yudra Perdana
dr.Sulaiman A
dr.Budi Permana

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| ix
Daftar Isi

Sambutan ketua pelaksana ............................................................................ i


Sambutan ketua PP PGHNAI ....................................................................... iii
Kata pengantar ............................................................................................... v
Susunan panitia ............................................................................................ vii
Daftar isi......................................................................................................... x
Daftar penulis ............................................................................................... xii

The Importance of Gut in Growth, Development, and Health


of Child .......................................................................................................... 1
Agus Firmansyah

Tatalaksana Diare Terkini Pada Anak ......................................................... 11


M. Juffrie

Gastroesophageal Reflux : Etiology, Diagnosis and


Management ................................................................................................. 16
Badriul Hegar

Peran Mikrobiota pada Anak Sehat dan Sakit ............................................. 24


Reza Ranuh

Komplikasi Respiratorik Pada Anak Dengan Penyakit Refluks


Gastroesofagus ............................................................................................. 46
Bakhtiar

Mengenal Gejala Obstruksi Saluran Cerna pada Anak................................ 56


Pramita Gayatri Dwipoerwantoro

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|x
Diare Persisten pada Anak Hiv/Aids ........................................................... 64
Sulaiman Yusuf

The Evidence of Zinc in Reducing The Prevalence


of Diarrhea ................................................................................................... 77
I Putu Gede Karyana

Tatalaksana Terkini Alergi Susu Sapi pada Saluran Cerna ......................... 93


Mulya Safri

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| xi
Daftar Penulis

Agus Firmansyah, Prof. Dr. dr. Pramita G. Dwipoerwantoro,


Sp.A(K) Dr.dr.Sp.A(K)
Divisi Gastroentero-Hepatologi Divisi Gastroentero-Hepatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RS.Cipto Mangunkusumo, Indonesi/ RS.Cipto Mangunkusumo,
Jakarta Jakarta

M. Juffrie, Prof. dr. PhD, Sp.A(K) Sulaiman Yusuf, Dr. dr. Sp.A(K)
Divisi Gastroentero-Hepatologi Divisi Gastroentero-Hepatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada/RS Sartjito Jogjakarta Syiah Kuala/RS. dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh

Badriul Hegar. Prof. dr. PhD,


Sp.A(K)
Divisi Gastroentero-Hepatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesi/ RS.Cipto Mangunkusumo,
Jakarta

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| xii
Reza Ranuh, Dr. dr. Sp.A(K) I Putu Gede Karyana, dr. Sp.A(K)
Divisi Gastroentero-Hepatologi Divisi Gastroentero-Hepatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Surabaya Udayana/RSUP Sanglah

Bakhtiar, Dr. dr. M.Kes, Sp.A Mulya Safri, Dr. dr. M.Kes,
Divisi Respirologi Sp.A(K)
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Divisi Alergi-Imunologi
Fakultas Kedokteran Universitas Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Syiah Kuala/RS. dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Universitas
Banda Aceh Syiah Kuala/RS. dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| xiii
Peran Usus Dalam Tumbuh-Kembang
dan Kesehatan Anak

Prof. Dr. dr. Agus Firmansyah Sp.A(K)


Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ RS.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Pendahuluan
Proses tumbuh kembang anak memerlukan fungsi usus yang baik. Tumbuh
kembang anak yang baik tentu akan menjamin terpeliharanya kesehatan anak.
Usus tidak bekerja sendiri, tetapi berkaitan dengan organ lain yang tergabung
dalam sistem pencernaan. Mulut dengan geliginya, pankreas dengan jaringan
eksokrinnya dan hati sebagai produsen empedu. Yang disebut usus terbatas
pada usus halus dan kolon.
Fungsi usus tidak hanya mencerna (digesti) dan menyerap (absorpsi)
nutrien, tetapi juga fungsi hormonal, imunitas dan barier. Beberapa hormon,
yang berperan dalam proses digesti maupun tidak, dihasilkan oleh usus. Usus
lahir steril dan beberapa hari kemudian dikolonisasi oleh kuman dari ibunya,
terutama Bifidobacteria dan Lactobacillus. Kolonisasi mikrobiota pada awal
kehidupan penting dalam mengembangkan sistem imun.1 Seperti halnya
saluran nafas, usus merupakan barier terdepan yang berhadapan dengan
berbagai antigen dan kuman yang masuk per oral. Barier usus yang baik akan
mencegah berbagai penyakit saluran cerna dan alergi.2

Usus besar dihuni oleh sekitar 1012-1014 bakteri; sebagian besar bakteri
anaerob tetapi seperseribu diantaranya merupakan bakteri Gram (-) berpotensi
patogen (oportunis). Bila integritas mukosa usus baik (barier baik) maka

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|1
bakteri dan endotoksin yang berada dalam usus tetap berada di dalam lumen
usus, tidak menembus epitel usus masuk ke sirkulasi darah (translokasi bakteri)
menyebabkan bakteriemia dan selanjutnya.3

Struktur usus
Dinding usus merupakan barier anatomis dan imunologis, terbentuk dari
selapis epitel yang berasal dari sel punca di kripta usus. Mukosa usus terdiri
dari lapisan epitel (enterosit) dan lamina propria. Sel punca asal kripta akan
bermigrasi ke arah apex dan berkembang menjadi enterosit absorptif, sel
goblet, sel enteroendokrin dan sel panet. Di bawah mukosa usus terdapat
jaringan submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan pertama yang mencegah
translokasi bakteri adalah lapisan mukus yang terbentang melapisi permukaan
enterosit.4

Kecukupan asupan makanan


Fungsi usus yang baik siap berfungsi mencerna dan menyerap makanan.
Asupan makanan sangat penting pada awal kehidupan sejak 0 sampai 24 bulan
untuk mencegah gangguan gizi. Pada enam bulan pertama berilah ASI
eksklusif. Bila karena suatu alasan tidak bisa diberikan ASI eksklusif, dapat
diberikan formula bayi. Tahap ini disebut sebagai fase makan cair; tidak
diperlukan makanan tambahan lain. Tahap 6-12 bulan disebut sebagai fase
transisi; mulai diperkenalkan makanan tambahan selain ASI/formula yang
konsistensinya disesuaikan secara bertahap. Fase transisi ini sering menjadi
penyebab masalah makan pada anak di kemudian hari bila tidak berlangsung
mulus, Menjelang usia satu tahun diharapkan bayi telah makan makanan lumat
atau bubur kasar. Setelah anak berusia 1 tahun atau lebih, anak telah bisa

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|2
menikmati makanan keluarga sesuai dengan penerimaannya. Rekomendasi
WHO, bayi berusia 6-23 bulan harus menerima minimum dietary diversity
(MDD) dan minimal meal frequency (MMF).5 ASI merupakan makan yang
penting bagi bayi dalam hubungannya dengan interitas mukosa usus, karena
bayi mengandung baik prebiotik maupun probiotik (sinbiotik).6

Digesti dan absorpsi nutrien


Pencernaan merupakan proses yang kompleks, beberapa enzim terlibat dalam
proses pencernaan makanan (Tabel 1 dan 2).7

Gangguan integritas mukosa usus


Beberapa penyakit yang langsung mengenai usus (diare, malnutrisi) atau
sistemik (alergi, renjatan) dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus (atrofi).
Atrofi usus dapat menyebabkan defisiensi laktase, insufisiensi enzim pankreas,
protein losing enteropati, translokasi bakteri dan berkurangnya absorpsi
nutrien.
Laktase terdapat dalam brushborder vilus usus dan kadarnya tinggi pada
sepertiga puncak vilus. Bila terjadi atrofi vilus maka akan terjadi defisiensi
laktase; pada bayi dan anak yang mengkonsumsi susu akan terjadi gejala
intoleransi laktosa, berupa kembung, sering flatus, sakit perut dan diare.8

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|3
Tabel 1. Digesti enzimatik terhadap beberapa jenis makanan7
Lokasi Lipid Karbohidrat Protein
Kelenjar ludah - Amilase saliva -
Lambung Lipase gastrik - Pepsin
Pankreas Lipase Amilase Tripsin
Kolipase Kimotripsin
Fosfolipase Elastase
Kolesterol- Karboksipeptidase
esterase
Hati (asam empedu) - -
Usus halus - Sukrase Enterokinase
Laktase Endopeptidase
Maltase Oligopeptidase
Dipeptidilpeptidase

Usus halus memproduksi hormon yang penting dalam proses digesti, yaitu
sekretin dan kolesistokinin. Atrofi usus akan menyebabkan defisiensi hormon
tersebut dengan akibat ekskresi enzim pankreas dan empedu berkurang;
selanjutnya akan menyebabkan maldigesti makanan.9

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|4
Tabel 2. Enzim pankreas yang terkait digesti7
Enzim Fungsi
Enterokinase Mengubah tripsinogen menjadi tripsin di
duodenum
Enzim proteolitik: Tripsin dan kimotripsin memecah protein
Tripsinogen (tripsin) menjadi polipeptida dan peptida;
Kimotripsinogen karboksipeptidase memecah peptida menjadi
(kimotripsin) asam amino
Karboksipeptidase,
Elastase
Enzim amilolitik: Hidrolisis pati, glikogen dan karbohidrat lain
Amilase (selain selulosa) menjadi disakarida dan
trisakarida
Enzim lipolitik: Lipase menghidrolisis lemak menjadi asam
Lipase, fosfolipase A1, A2 lemak dan monogliserida; fosfolipase memecah
dan esterase asam lemak dari fosfolipid, esterase
menghidrolisis ester kolesterol.

Kerusakan mukosa usus menyebabkan kerusakan tight junction yang


merupakan perekat antar epitel usus yang penting dalam transpor molekul
antar sel. Kerusakan tight junction akan memudahkan terjadinya translokasi
bakteri dengan akibat bakteremia dan sepsis.10

Fungsi hormonal
Banyak hormon disekresi oleh sel endokrin yang terdapat di jaringan mukosa
usus dan pankreas. Gastrin, sekretin dan kolesistokinin merupakan hormon-

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|5
hormon saluran cerna yang pertama ditemukan. Sekarang telah ditemukan
lebih dari 50 gen hormon dan berbagai peptida bioaktif; yang membuat usus
merupakan organ endokrin terbesar dalam tubuh. Beberapa hormon lain adalah
somatostatin, ghrelin, bombesin, GLP (glucagon like peptides), VIP
(vasoactive intestinal peptide), neurotensin, GIP (gastric-inhibitory
polypeptidde), dan lain-lain.11

Fungsi barier
Integritas mukosa usus penting dijaga dalam rangka fungsi usus sebagai barier.
Kuman yang masuk peroral tidak menyebabkan penyakit dan mikrobiota usus
dan endotoksinnya tidak menembus mukosa usus. Untuk mempertahankan
integritas mukosa usus, beberapa mikronutrien mempunyai peran penting
regenerasi mukosa usus, antara lain Zn, glutamin, serat pangan dan probiotik.

Zn merupakan komponen dari lebih 300 enzim; berperan dalam proliferasi sel
dan regenerasi enterosit. Interaksi antara Zn, diare dan mnalnutrisi telah
terbukti. Diare akan menyebabkan kehilangan Zn melalui tinja; defisiensi Zn
akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan imunitas seluler; kedua faktor
tersebut menimbulkan diare berulang; dan berlanjutnya siklus diare-
malnutrisi.12 Suplementasi Zn dapat memperbaiki pertumbuhan anak
malnutrisi.13 Sayangnya Zn banyak terdapat pada makanan asal hewan yang
biasanya mahal seperti daging, ikan, dan udang.

Suplementasi probiotik berguna dalam mempertahankan keseimbangan


mikrobiota usus. Probiotik dan prebiotik dapat meningkatkan produksi musin,
memperkuat tight junction sehingga dapat merestorasi permeabilitas dan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|6
mencegah perlekatan bakteri patogen pada enterosit. Peran tersebut dapat
memberikan proteksi terhadap epitel usus.14,15

Serat pangan sangat penting perannya dalam mempertahankan barier usus.


Serat tidak akan dicerna usus dan dikirim ke kolon. Mikrobiota usus akan
mengurainya menjadi beberapa komponen, antara lain short chain fatty acid
(asetat, propionat, butirat). Zat-zat tersebut merupakan nutrien kolon dalam
mempertahankan integritasnya.16

Epitel saluran cerna sangat membutuhkan nutrien dari lumen usus untuk
mempertahankan integritasnya. Glutamin dari lumen merupakan nutrien
penting untuk kehidupan enterosit. Glutamin terdapat dalam ASI. Peran
glutamin penting dalam regenerasi epitel usus pasca mengalami kerusakan.17-19

Barier usus bisa pula dirusak oleh iskemia usus. Iskemia usus akan
menimbulkan kerusakan mukosa usus dan disbiosis; kedua perubahan tersebut
akan menyebabkan translokasxi bakteri dengan akibat sepsis.20

Fungsi imun
Kuman yang masuk per oral akan dikontrol oleh mekanisme pertahanan tubuh
non-imunolgis, seperti peristaltik usus, asam lambung, sekret usus (empedu,
enzim dan imunoglobulin), dan mukus. Probiotik mempunyai efek anti-infeksi
seperti memproduksi bahan antimikroba, kompetisi dengan patogen terhadap
adhesi pada epitel, memperkuat tight junction, memperbaiki permeabilitas dan
motilitas usus. Probiotik melindungi usus terhadap patogen melalui mekanisme
stimulasi produksi sitokin, meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag,

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|7
meningkatkan aktivitas sel NK (natural killer) dan meningkatkan respons
antibodi spesifik terhadap patogen.21

Gut health
Gut health merupakan obyektif baru dalam ilmu kedokteran. Banyak penyakit
di masa dewasa disebabkan oleh usus yang tidak sehat pada masa awal
kehidupan. Kesehatan usus tidak hanya bebas dari penyakit usus, tetapi juga
meliputi digesti dan absorpsi nutrien yang efektif, mikrobiota usus yang
seimbang, status imun yang efektif dan terjaminnya rasa nyaman (ganguan
fungsional usus sering menimbulkan dispepsia.22

Penutup
Sebagai rangkuman, kesehatan usus penting untuk mempertahankan fungsi
digesti-absorpsi nutrien, hormonal, barier dan perkembangan sistem imun.
Usus yang sehat menjamin tumbuh-kembang dan kesehatan anak. Bila terjadi
kerusakan pada struktur dan fungsi usus akibat penyakit, upaya perbaikan
harus segera dilakukan. Kesehatan usus yang baik di masa awal kehidupan
akan menghindari penyakit di masa dewasa.

Daftar Pustaka
1. Isolauri E, Sutas Y, Kankaanpaa P, Arvilommi H, Salminen S. Probiotics:
efects on immunity. Am J Clin Nutr. 2001;73:444-50.
2. Rao RK, Polk DB, Seth A, Yan F. Probiotics the good neighbor: guarding
the gut mucosal barrier. Am J Infec Dis. 2009;5:182-92.
3. Mizock BA. Probiotics. Disease-a-month 2015;21:259-90.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|8
4. Sherman MP. New concept of microbial translocation in the neonatal
intestine: mechanisms and prevention. Clin Perinatol. 2010;37:565-79.
5. WHO. Indicators for assesing infant and young child feeding practice.
Conclusions of a consensus meeting held on 6-8 November 2007 in
Washington DC, USA.
6. Lara-Villoslada F, Olivares M, Sierra S, Rodriguez JM, Boza J. Beneficial
effects of probiotic bacteria isolated from breastmilk. Brit J Nutr.
2007;98:96-100.
7. Roxas M. The role of enzyme supplementation in degestive disorders.
Altern Med Rev. 2008;13:307-14.
8. Heyman MB. Lactose intolerance in infants, children and adolescent.
Pediatrics 2006;118:1279-86.
9. Sikkens ECM, Cahen DL, Kulpers EJ, Bruno MJ., Pancreatic enzyme
replacemant therapy in chronic pancreatitis. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2010;24:337-47.
10. Grootjans J, Thuils G, Verdam F, derikx JP, lenaerts K, Buurman WA.
Non-invasive assessment of barrier integrity and function of the human gut.
World J Gastroenterol Surg. 2010;2:61-9.
11. Rao JN, Wang JY. Peptide growth factor in GI mucosal growth. San
Rafaei, Morgan & Claypool Life Science, 2010.
12. de Quieroz CAA, Fonseca SGC, Frota FB, Figueiredo IL, Aragazo KS,
Magalhaes CEC, et al. Zinc treatment ameliroates diarrhea and intestinal
inflammation. BMC Gastroenterol. 2014;136:1-14.
13. Umeta M, rst CE, Haidar J, Deurenberg, Hautvast JG. Zinc
supplementation and stunted infants in Ethiopia: a randomized controlled
trial. Lancet 2000;355:2021-6.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

|9
14. Ohland CL, Macnaughton WK. Probiotic bacteria and intestinal epitel
barrier function. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2010;298:807-
10.
15. Murguia-Peniche T, Mihatsch WA, Zegarra J, Supapannachart S, Ding ZY,
Neu J. Intestinal mucosal defence system.Part 2. Probiotics and prebiotics.
J Pediatr. 2013;162:65-71.
16. Anderson JW, Baird P, Davis RH, Ferreri S, Knudtson M, Korarym A, et
al. Health benefits of dietary fiber. Nutr Rev. 2009;67:188-205.
17. Roediger WEW. Metabolic basis of starvation diarrhea: implication for
treatment. Lancet 1986;i:1082-4.
18. Firmasyah A, Penn D, Lebenyhal E. Isolated colonocyte metabolism of
glucose, glutamine, n-butyrate, and ß-hydroxybutyrate in malnutrition.
Gastroenterology 1989;97:622-9.
19. Higashiguchi T, Hasselgren PO, Wagner K, Fischer JE. Effect of glutamine
on protein synthesis in isolated intestinal epithelial cells. J Parenter Enteral
Nutr. 1993;17:307-14.
20. Deitch EA. Gut-origin sepsis: evolution of a concept., Surgeon
2012;10;350-6.
21. Gilolo HS, Probiotics to enhance anti-infective defences in the gastrointinal
tract. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2003;17:755-73.
22. Bischoff SC. Gut health: a new objective in medicine? BMC Medicine
2011;9:1-14.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 10
Diare Akut
Prof. dr. Mohammad Juffrie, Ph.D, Sp.A(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada/ Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta

Penyakit diare adalah penyebab utama kematian kedua pada anak di bawah
lima tahun, dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 525.000 anak
setiap tahunnya. Diare bisa berlangsung beberapa hari, dan bisa menyebabkan
tubuh tanpa air dan garam yang diperlukan untuk bertahan hidup.

Di masa lalu, bagi kebanyakan orang, dehidrasi berat dan kehilangan cairan
adalah penyebab utama kematian diare. Sekarang, penyebab lain seperti infeksi
bakteri septik akan menyebabkan peningkatan proporsi kematian terkait diare.
Anak-anak yang kekurangan gizi atau memiliki kekebalan yang terganggu
serta orang yang hidup dengan HIV paling berisiko mengalami diare yang
mengancam jiwa.

Diare didefinisikan sebagai keluarnya tiga atau lebih tinja cair per hari (atau
lebih sering daripada yang normal untuk bayi dengan ASI). Seringnya buang
kotoran yang berbentuk bukanlah diare, demikian jugajuga tidak adanya
kotoran yang embek dan "pasty" pada bayi yang disusui.

Diare biasanya merupakan gejala infeksi di saluran pencernaan, yang dapat


disebabkan oleh berbagai organisme bakteri, virus dan parasit. Infeksi
menyebar melalui makanan atau air minum yang terkontaminasi, atau dari
orang ke orang sebagai akibat kebersihan yang buruk.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 11
Intervensi untuk mencegah diare, termasuk air minum yang aman, penggunaan
sanitasi yang lebih baik dan cuci tangan pakai sabun dapat mengurangi risiko
penyakit. Diare harus diobati dengan larutan rehidrasi oral (ORS), larutan air
bersih, gula dan garam. Selain itu, pengobatan tambahan 10-14 hari pemberian
tablet seng fermentasi 20 mg memperpendek durasi diare dan meningkatkan
hasil penyembuhan.
Ada tiga tipe klinis diare:
Diare berair akut - berlangsung beberapa jam atau hari, termasuk kolera;
Diare berdarah akut - juga disebut disentri; dan
Diare persisten - berlangsung 14 hari atau lebih.

Lingkup penyakit diare


Penyakit diare merupakan penyebab utama kematian anak dan morbiditas di
dunia, dan sebagian besar disebabkan oleh makanan dan sumber air yang
terkontaminasi. Di seluruh dunia, 780 juta orang kekurangan akses terhadap air
minum yang baik dan 2,5 miliar kekurangan sanitasi yang baik. Diare akibat
infeksi tersebar luas di seluruh negara berkembang.

Di negara berpenghasilan rendah, anak di bawah tiga tahun mengalami rata-


rata tiga episode diare setiap tahunnya. Setiap episode menghilangkan nutrisi
anak yang diperlukan untuk pertumbuhan. Akibatnya, diare merupakan
penyebab utama malnutrisi, dan anak-anak kurang gizi lebih cenderung jatuh
sakit karena diare.
Dehidrasi
Ancaman paling parah yang ditimbulkan oleh diare adalah dehidrasi. Selama
episode diare, air dan elektrolit (natrium, klorida, kalium dan bikarbonat)

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 12
hilang melalui cairan, muntah, keringat, air kencing dan pernapasan. Dehidrasi
terjadi saat kehilangan cairan dan elektrolit ini tidak diganti.

Tingkat dehidrasi dinilai pada skala tiga.


1. Dehidrasi berat (setidaknya dua dari tanda berikut ini):
kelesuan / ketidaksadaran
mata cekung
tidak bisa minum atau minum dengan buruk
cubitan kulit kembali sangat lambat (≥2 detik)
2. Dehidrasi tidak berat (dua atau lebih dari tanda-tanda berikut):
gelisah, rewel
mata cekung
minum dengan cepat, haus
3. Tanpa dehidrasi (tidak ditemukan tanda untuk diklasifikasikan sebagai
dehidrasi tak berat atau dehidrasi berat).

Penyebab
Infeksi: Diare adalah gejala infeksi yang disebabkan oleh sejumlah organisme
bakteri, virus dan parasit, yang sebagian besar disebarkan oleh air yang
terkontaminasi tinja. Infeksi lebih sering terjadi bila ada sanitasi jelek dan
kebersihan kurang dan air bersih untuk minum tidak, dimasak . Rotavirus dan
Escherichia coli, adalah dua agen etiologi paling umum dari diare sedang
sampai parah di negara-negara berpenghasilan rendah. Patogen lain seperti
spesies kriptosporidium dan shigella mungkin juga penting. Pola etiologi
spesifik lokasi juga perlu dipertimbangkan.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 13
Malnutrisi: Anak-anak yang meninggal karena diare sering menderita
kekurangan gizi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap diare. Setiap
episode diare, pada gilirannya, membuat malnutrisi mereka semakin parah.
Diare adalah penyebab utama malnutrisi pada anak balita.

Sumber: Air yang terkontaminasi kotoran manusia, misalnya dari kotoran,


septic tank dan jamban, sangat memprihatinkan. Kotoran hewan juga
mengandung mikroorganisme yang bisa menyebabkan diare.

Penyebab lainnya: Penyakit diare juga bisa menyebar dari orang ke orang,
diperparah oleh kebersihan diri yang buruk. Makanan merupakan penyebab
utama diare jika disiapkan atau disimpan dalam kondisi tidak higienis.
Penyimpanan dan penanganan air bersih yang tidak aman juga merupakan
faktor risiko yang penting. Ikan dan makanan laut dari air yang tercemar juga
dapat menyebabkan penyakit ini.

Pencegahan dan pengobatan


Langkah-langkah kunci untuk mencegah diare meliputi:
akses ke air minum yang aman;
penggunaan sanitasi yang lebih baik;
mencuci tangan dengan sabun;
ASI eksklusif untuk enam bulan pertama kehidupan;
kebersihan pribadi dan makanan yang baik;
pendidikan kesehatan tentang bagaimana infeksi menyebar; dan
vaksinasi rotavirus

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 14
Langkah-langkah kunci untuk mengobati diare adalah sebagai berikut:
Rehidrasi: dengan larutan garam rehidrasi oral (ORS). ORS adalah campuran
air bersih, garam dan gula. Biayanya beberapa rupiah per perawatan. ORS
diserap di usus halus dan menggantikan air dan elektrolit yang hilang dalam
kotoran.

Suplemen seng: Suplemen seng mengurangi durasi episode diare hingga 25%
dan dikaitkan dengan pengurangan 30% volume tinja.

Rehidrasi: dengan cairan intravena jika terjadi dehidrasi berat atau syok.

Makanan kaya gizi: lingkaran setan malnutrisi dan diare dapat dipatahkan
dengan terus memberi makanan kaya nutrisi - termasuk air susu ibu - selama
sebuah episode, dan dengan memberikan makanan bergizi - termasuk
pemberian ASI eksklusif untuk enam bulan pertama kehidupan - untuk anak-
anak saat mereka sehat.

Konsultasikan dengan profesional kesehatan, khususnya untuk penanganan


diare persisten atau bila ada darah dalam tinja atau jika ada penyakit.

Referensi
WHO up date Mei 2017

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 15
Penyakit Refluks Gastroesofagus :
Diagnosis dan Terapi

Prof. dr. Badriul Hegar Syarif, Ph.D, Sp.A(K)

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia/ RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Pendahuluan
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan Refluks gastroesofagus (RGE)
adalah dua hal berbeda. Refluks gastroesofagus adalah aliran balik isi lambung
ke dalam esofagus. Aliran balik tersebut dapat hanya sampai esofagus atau
berlanjut masuk ke dalam rongga mulut dan dikeluarkan dari mulut sebagai
regurgitasi.1
Dokter yang melayani bayi harus memahami kedua hal tersebut,
sehingga dapat mendiagnosis dan memberikan terapi yang tepat dan rasional.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengeluarkan Pedoman atau
Rekomendasi mengenai Diagnosis dan Tata laksana Penyakit Refluks
Gastroesofagus.

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis. Refluks gastroeosfagus adalah keadaan
normal (fisiologi) pada bayi, yang dapat berlangsung beberapa kali sehari dan
berkurang sesuai pertambahan usia.1,2 pada bayi, gejala klinis PRGE tidak
spesifik sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menegakkan
diagnosis atau mengevaluasi hasil terapi. Pada anak berusia di atas 8 tahun,
keluhan yang disampaikan dapat dipercaya sehingga anamnesis dan
pemeriksaan fisis dapat dipakai untuk mendiagnosis dan menilai hasil terapi

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 16
PRGE. Keluhan yang mungkin terlihat sangat bervariasi, mulai dari muntah
berulang, iritabel, menolak makan/minum hingga berat badan tidak naik secara
optimal dan hematemesis.3
Pemeriksaan Penunjang. Diagnosis PRGE perlu didukung oleh
pemeriksaan penunjang akurat. Pemantauan pH esofagus (pH-metri) selama 24
jam untuk menilai jumlah dan lama paparan asam pada dinding esofagus.
Pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendeteksi RGE patologis atau
kecurigaan terhadap esofagitis. Nilai indeks refluks (IR) di atas 5% dianggap
sebagai refluks patologi dan IR di atas 10% perlu dipikirkan telah terjadi
esofagitis atau PRGE. Pemeriksaan pH-metri yang dikombinasikan dengan
impedans meningkatkan keakuratan nilai diagnosis PRGE. Sangat disayangkan
penggunaan kedua alat tersebut masih sangat terbatas, karena belum semua
pusat pelayanan kesehatan di Indonesia memilikinya, termasuk di Aceh.3,4
Pemeriksaan endoskopi. Kerusakan mukosa esofagus akibat iritasi
asam lambung ditandai oleh hiperemis, erosi, bahkan sampai ulkus. Keadaan
tersebut dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi yang dilengkapi
dengan pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan biopsi. Kerusakan mukosa
esofagus yang berat dapat menyebabkan esofagus Barrett atau metaplasia sel
esofagus yang merupakan petanda awal dari keganasan mukosa esofagus. T
Akan tetapi tidak ditemukannya perubahan gambaran patologi anatomi mukosa
esofagus bukan berarti tidak ada RGE.3
Pemeriksaan barium meal. Pemeriksaan barium meal dilakaukan
pada bayi dengan RGE untuk melihat adanya kelainan anatomi yang mungkin
sebagai penyebab RGE, tetapi tidak untuk mendiagnosis RGE. Mikroaspirasi
yang dapat terjadi akibat RGE dapat dibuktikan dengan pemeriksaan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 17
Skintigrafi nuklir. Mikroaspirasi seringkali memperlihatkan gejala respirasi
kronis yang sulit diatasi.4
Terapi empiris sebagai diagnostik. Pemberian obat supresi asam
lambung secara empiris sebagai metode diagnostik belum terbukti secara
ilmiah pada bayi. Bayi rewel atau iritabel bukan petanda spesifik PRGE
sehingga tidak boleh sebagai dasar pemberian terapi Proton Pump Inhibitor
atau H2 antagonis. Pemberian terapi supresi asam lambung jangka pendek (2
minggu) sebagai terapi empiris mungkin bermanfaat pada anak lebih besar dan
remaja dengan keluhan nyeri ulu hati dan nyeri dada.3
Sistem skor gejala klinis. Sistem skor Oreinstein telah lama dikenal dan
digunakan secara luas untuk menapis PRGE. Ikatan Dokter Anak Indonesia
menyesuaikan penerapan skor tersebut agar dapat diterapkan dengan mudah
secara luas. Nilai Skor kuesioner <9 berarti gejal klinis yang diperlihatkan bayi
bukan petanda PRGE, sedangkan nilai skor >9 berarti gejela klinis yang
diperlihatkan sangat mungkin disebabkan oleh PRGE sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang lanjutan (pemantauan pH esofagus 24 jam dan atau
endoskopi) untuk membuktikan PRGE.5

Terapi
Regurgitasi berlebihan pada bayi yang telah mendapat susu formula disertai
gejala klinis alergi seperti dermatitis atopi atau riwayat atopi dalam keluarga,
dapat dipertimbangkan alergi protein susu sebagai penyebab keluhan tersebut.
Susu formula yang mengandung protein hidrolisat penuh diberikan selama 2-4
minggu. Bila tidak ada gejala klinsi alergi atau riwayat atopi dalam keluarga,
maka sangat mungkin keluhan tersebut adalah regurgitasi atau RGE primer.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 18
‘Thickening formula’ komersil atau modifikasi yaitu dengan menambahkan 5
gram tepung beras ke dalam 100 ml susu formula dapat diberikan pada bayi
dan terbukti menurunkan kejadian regurgitasi.3
Bayi yang mengalami regurgitasi berlebihan dianjurkan untuk
ditidurkan dalam posisi terlentang dengan sudut 60 derajat antara pinggang dan
alas tempat tidur serta miring ke kanan selama 1 jam, dilanjutkan miring ke
kiri selama 1 jam berikutnya. Posisi tengkurap dikaitkan dengan sudden infant
death syndrome/SIDS. Tidur tengkurap memberikan risiko SIDS lebih besar
dibanding manfaatnya, sehingga posisi tersebut tidak dianjurkan pada bayi
yang mengalami regurgitasi.3,4
Obat antagonis reseptor histamin (H2RA) dan inhibitor pompa proton
(PPI) dapat mengurangi gejala klinis dan memperbaiki kerusakkan mukosa.
Oleh karena telah tersedia alternatif obat yang lebih efektif (H2RA dan PPI),
maka antasid dan sukralfat tidak disarankan untuk PRGE.3
Obat prokinetik mempunyai potensi efek samping yang melebihi
potensi manfaatnya. Cisaprid terbukti efektif mengurangi gejala RGE, tetapi
adanya laporan efek samping pada irama jantung menyebabkan ketersediaan
obat tersebut dibatasi. Metoklopramid terbukti tidak efektif untuk RGE,
sedangkan eritromisin dan domperidon belum mempunyai cukup bukti ilmiah
untuk digunakan secara rutin pada bayi dengan regurgitasi atau RGE.3,4
Fundoplikasi atau operasi antirefluks perlu dipertimbangkan apabila
terapi medikamentosa yang telah diberikan optimal tidak memberikan respon,
ketergantungan obat berkelanjutan, keteraturan minum obat menjadi masalah,
pasien menolak minum obat secara terus menerus, atau terdapat komplikasi
yang mengancam nyawa.3

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 19
Terapi empiris PPI dengan dosis 1mg/kg BB, sekali sehari selama 2
minggu dapat dipertimbangkan pada anak besar atau remaja dengan gejala
klinis nyeri dada kronis. Apabila terapi empiris tidak memperlihatkan
perubahan gejala klinis, maka terapi harus dihentikan dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan penunjang untuk membuktikannya atau mencari penyebab
lainnya.5

Pendekatan tata laksana


Tata laksana diawali dengan penyesuaian pola hidup yang mencakup
penjelasan kepada orangtua tentang keadaan bayinya, posisi bayi, dan
‘thickening milk’ bagi bayi yang sudah mendapat susu formula. Diagnosis
RGE tanpa komplikasi dapat ditegakkan pada bayi dengan regurgitasi berulang
cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti dengan
memperhatikan ‘tanda bahaya’. Orangtua harus diyakinkan bahwa regurgitasi
adalah keadaan normal. Secara umum, RGE tidak perlu diintervensi. Bila
gejala makin berat atau tidak membaik pada usia 12-18 bulan, atau terdapat
"tanda bahaya" perlu dievaluasi lebih lanjut.3,7
‘Thickening formula’ dapat mengurangi volume regurgitasi.
Regurgitasi yang disertai kenaikan berat badan tidak optimal perlu dievaluasi
kearah infeksi, gangguan elektrolit, dan gangguan organik. Terapi nutrisi yang
gagal dan pemeriksaan penunjang tidak memperlihatkan kelainan, bayi perlu
dirujuk ke ahli gastrohepatologi anak.6
Pemberian obat PPI atau H2 antagonis kepada bayi yang menangis
berkepanjangan atau iritabilitas, selain tidak rasional juga tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kedua gejala tersebutpun
terdapat pada bayi ‘sehat’. PPI hanya diberikan kepada bayi yang telah

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 20
terbukti mengalami refluks esofagitis atau PRGE. Terapi PPI harus dipantau
efektivitasnya dengan melihat perbaikan gejala klinis.
Pada remaja dengan nyeri ulu hati kronis dianjurkan untuk melakukan
perubahan gaya hidup dan dapat uji coba pemberian PPI selama 2 minggu. Bila
nyeri ulu hati terus berlanjut atau kembali muncul setelah terapi dihentikan,
pasien perlu dievaluasi lebih lanjut oleh ahli gastrohepatologi anak.3,4,7
Bayi menolak minum tidak direkomendasikan pemberian supresi asam
lambung tanpa evaluasi diagnostik terlebih dahulu. Anak dengan disfagia atau
odinofagia disarankan pemeriksaan barium meal yang dilanjutkan endoskopi
saluran cerna atas. Tidak disarankan supresi asam lambung tanpa evaluasi
diagnostik terlebih dahulu.3,4
Pada sebagian besar bayi, RGE tidak berkaitan dengan kejadian apnea
berulang (patologis) maupun keadaan yang mengancam nyawa. Pemeriksaan
pemantauan pH esofagus 24 jam diperlukan untuk membuktikannya. Anak
dengan gejala asma nokturnal atau asma dependen steroid sulit dikontrol, dapat
dipertimbangkan keterlibatan RGE sebagai pencetus gejala tersebut.
Pemantauan pH esofagus 24 jam diperlukan untuk membuktikannya dan
kemungkinan memerlukan obat antirefluks jangka panjang.3
Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Gastrohepatologi) telah
memodifikasi skor PRGE Oreinstein sehingga dapat digunakan oleh para
dokter di praktek klinis sehar-hari untuk menapis PRGE. Gejala klinis yang
dinilai mencakup frekuensi regurgitasi, jumlah cairan yang keluar saat
regurgitasi, kenyamanan saat regurgitasi, menolak makan, dan kenaikan berat
badan. Penilaian respon terapi yang ketat harus menyertai terapi empiris yang
diberikan.5

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 21
Kepustakaan

1. Sherman PM, Hassall E, Fagundes-Neto U, Gold BD, Kato S, Koletzko S,


Orenstein S, Rudolph C, Vakil N, Vandenplas Y. A Global, Evidence-
Based Consensus on the Definition of Gastroesophageal Reflux Disease in
the Pediatric Population. Am J Gastroenterol 2009;104:1278-95
2. Badriul Hegar, Yvan Vandenplas. Natural evolution of regurgitation in
healthy infants. Acta Pædiatrica/Acta Pædiatrica 2009 98: 1189–93
3. Vandenplas Y, Rudolph CD, Di Lorenzo C, Hassall E, Liptak G, Mazur L,
Sondheimer J, Staiano A, Thomson M, Veereman-Wauters G, Wenzl TG,
North American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and
Nutrition, European Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and
Nutrition. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines:
joint recommendations of the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition (ESPGHAN). J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2009;49:498-547
4. Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C, Palacios J, Jaen
D, Ribeiro H, Shek PCL, Lee BW, Alarcon P. Practical algorithms for
managing common gastrointestinal symptoms in infants. jou, 2012 :1-11
5. Reza Ranuh, Badriul Hegar, Alpha Fardah. Rekomendasi Diagnosis dan
Tata laksana Penyakit Refluks Gastroesofagus. UKK Gastrohepatologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2014.
6. Badriul Hegar, Rastra Rantos, Yvan Vandenplas. Natural Evolution of
Infantile Regurgitation Versus the Efficacy of Thickened Formula. JPGN
2008, 47: 26–30

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 22
7. Vandenplas Y, Abkari A, Bellaiche M, Benninga M, Chouraqui JP,
Çokura F, Harb T, Hegar B, Lifschitz C, Ludwig T, Miqdady M, de
Morais MB, Osatakul S, Salvatore S, Shamir R, Staiano A Szajewska H,
Thapar N. Prevalence and Health Outcomes of Functional Gastrointestinal
Symptoms in Infants From Birth to 12 Months of Age. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2015 Nov; 61(5): 531–537.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 23
Mikrobiota Saluran Cerna : Peran Penting Sebagai
Modulator Pertumbuhan Otak dan Fungsi Kognitif
serta Masalah Kesehatan Saluran Cerna Pada Anak

Dr. dr. Reza Ranuh, Sp.A(K)

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas


Airlangga/ RSUD Dr.Soetomo, Surabaya

Abstract
Early childhood generally refers to the period from birth throughout the age of
five. Cognitive development during early childhood that includes building
skills such as pre-reading, language, vocabulary and numeracy start from the
moment a child was born. Gut microbiota show numerous health benefits
beyond providing basic nutritional value. Accumulating data now indicate that
the gut microbiota also communicates with the CNS, possibly through neural,
endocrine and immune pathway that would influences the brain function,
behaviour and cognitive in particular. They cooperatively maintain a delicate
balance between the gastrointestinal tract and immune system. When this
balance is disrupted, diseases and inflammation will apear. Inflammation and
adequate mucus production and appropriate bacterial colonization, modulates
disease processes and prevents overgrowth of pathogenic bacteria. The
understanding of the function of microbial in the maintenance of health and
the importance in preventing diseases will enhance the overall health of the
children. By increasing the knowledge and understanding on the benefit of

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 24
microbes in health maintenance and disease prevention, microbiota may be
commonly used as a therapeutic tool by health care practitioners in the future.
A better understanding and appreciation of several potentially modifiable
factors that influence the newborn and infant gut microbiota is essential. This
article presents a review of microbiota in health maintenance and disease
prevention in healthy and sick children.

Pendahuluan
Mikrobiota saluran cerna mempunyai peran yang penting untuk kesehatan anak
secara keseluruhan. Fungsi kognitif seorang anak merupakan fungsi terpenting
sebagai penentu kesehatan secara keseluruhan dan sangat menentukan kualitas
tumbuh kembang anak di masa mendatang. Banyak penelitian yang membahas
mengenai hubungan antara mikrobiota saluran cerna dan sistem saraf pusat
yang selanjutnya disebut sebagai microbiota-gut-brain axis. Melalui hubungan
antara mikrobiota saluran cerna dengan sistem saraf pusat, telah banyak
diketahui mikrobiota saluran cerna mempunyai efek terhadap pertumbuhan dan
perkembangan sistem saraf pusat yang pada akhirnya berperan juga untuk
kesehatan anak sercara fisik maupun fungsi kognitifnya 1–4. Mikrobiota saluran
cerna adalah bakteria hidup atau bakteria campuran yang memiliki efek
menguntungkan pada saluran cerna host melalui kemampuannya menjaga
keseimbangan mikrobiota usus dan mempunyai manfaat mempertahankan
kesehatan host 5. Terdapat lebih dari 100 spesies dan lebih dari 10 milyar
bakteri dalam usus manusia. Bakteri dalam usus manusia dapat dibagi menjadi
2 kelompok yaitu kelompok bakteri yang berguna (useful) dan kelompok yang
berbahaya (harmful) 6.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 25
Pada keadaan infeksi saluran yang disebabkan oleh kuman patogen akan
menimbulkan proses inflamasi dan stimulasi sistem imunitas yang berlebihan.
Salah satu fungsi penting mikrobiota saluran cerna adalah mengatur adan
menghambat proses inflamasi dan stimulasi imunitas yang timbul, untuk
mencapai keseimbangan baru yang optimal. Pemahaman fungsi mikrobiota
untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit bertujun meningkatkan
status kesehatan secara menyeluruh sangat penting untuk diketahui. 7–10.

Mekanisme Mikrobiota Saluran Cerna Pada Fungsi Kognitif


Fungsi konitif adalah kemampuan potensi intelektual yang terdiri dari
kemampuan dalam hal pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis),
evaluasi (evaluation). Fungsi kognitif merupakan syarat mutlak kehidupan
anak dalam merespons kehidupan yang lebih baik. Banyak bukti menjelaskan
pengaruh mikrobiota saluran cerna pada fungsi kognitif, perilaku dan
kesehatan. Hubungan antara mikrobiota saluran cerna dan sistem saraf pusat,
merupakan sitem komunikasi timbal balik yang komplek, yaitu memberikan
multi efek seperti menjaga afek, motivasi dan kognitif tingkat tinggi bagi
11
manusia secara keseluruhan . Beberapa penelitian membuktikan bahwa
mikrobiota saluran cerna mempunyai kontribusi penting untuk menjaga gut-
3,4,12–14
brain axis berjalan normal . Sehingga adanya gangguan fungsi saluran
cerna sering dipengaruhi oleh sistem saraf pusat, demikian juga sebaliknya
perubahan kolonisasi mikrobiota saluran cerna akan mempengaruhi fungsi
15
sistem saraf pusat . Pada penelitian hewan coba didapatkan bahwa keadaan
stress pada awal kehidupan akan meningkatkan kadar kortikosteron sitokin
inflamasi, dan keadaan ini dipengaruhi oleh status kolonisasi mikrobiota

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 26
usus16. Namun mekanismenya hingga saat ini belum sepenuhnya diketahui
dengan jelas. Salah satu aspek penting untuk menjelaskan hal diatas adalah
peran dari saraf vagus. Jalur saraf vagus telah terbukti terlibat dalam
komunikasi antara mikrobiota saluran cerna dan sistem saraf pusat. Peneltian
dengan hewan coba yang dilakukan vagotomi, membuktikan adanya perubahan
komposisi mikrobiota saluran cerna tidak menunjukkan perubahan perilaku
yang nyata. Dalam studi yang sama, dilaporkan bahwa pengobatan dengan
probiotik gagal memperbaiki perilaku tikus yang dilakukan vagotomi. Namun
telah banyak diketahui adanya pengaruh mikrobiota saluran cerna terhadap
homeostasis intestinal maupun ektraintestinal. Banyak bukti penelitian yang
menjelaskan pengaruh mikrobiota saluran cerna terhadap fungsi sistem saraf
17
pusat . Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan pada
komposisi dan fungsi beberapa anggota mikrobiota saluran cerna dikaitkan
dengan gangguan neurofisiologis, keadaan ini memperkuat bukti
hubunganantara mikrobiota-usus-otak dan peran mikrobiota sebagai "penjaga
perdamaian" dalam kesehatan otak secara paripurna melalui jalur imun,
endokrin dan saraf18.
Sebagai contoh mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh mikrobiota
saluran cerna terhadap fungsi system saraf pusat (gut-brain axis ) antara lain
secara tidak langsung. Beberapa bahan aktif seperti misalnya serotonin yang
dihasilkan mikrobiota saluran cerna akan mempengaruhi fungsi sistem saraf
pusat 3,4.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 27
Gambar 1 : A summary of the various possible mechanisms by which
microbiota can affect CNS function together with possible treatment strategies
to prevent changes in behavior and cognitive function in ageing. SCFA: short
chain fatty acids; CNS: central nervous system ( dikutip dari Katherine Leung
and Sandrine Thuret, Healthcare 2015) 4

Hormon serotonin merupakan komponen penting untuk mengendalikan fungsi


gut-brain axis. Serotonin diproduksi di saluran pencernaan di kelenjar pineal,
sistem saraf pusat, dan platelet darah. Serotonin dengan nama lainya 5-HT atau
5-hydroxytryptamines adalah neurotransmitter monoamine dapat
mempengaruhi berbagai fungsi otak antara lain berfungsi mengontrol mood
19
atau suasana hati, nafsu makan dan tidur . Keseimbangan kadar serotonin
sangat diperlukan untuk fungsi fisiologi manusia. Kelebihan hormon serotonin

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 28
bisa menyebabkan kegelisahan, kebingungan, peningkatan denyut jantung,
pupil melebar, kehilangan koordinasi otot, berkeringat, diare, sakit kepala,
menggigil, mual, muntah, kejang, demam tinggi, detak jantung tak teratur,
gerakan tidak terkendali dan hilangnya kesadaran. Sebaliknya pada keadaan
hormon serotonin yang kurang dapat menyebabkan rasa cemas, tertekan, fobia,
pesimistis, gelisah, tidak percaya diri, mudah marah, gangguan tidur 20,21.
Mikrobiota saluran cerna juga dapat memberi efek langsung pada sistem
imunitas tubuh. Aktivasi imunitas yang muncul juga dapat memberikan
pengaruh pada sistem saraf pusat, dan secara timbal balik juga
memainkan peran penting untuk menjaga homeostasis saluran pencernaan
yang selanjutnya akan menjaga kesehatan secara keseluruhan 1,3.
Pada penelitian hewan coba lainnya membuktikan bahwa suplementasi bakteri
probiotik mempengaruhi metabolisme nutrisi dan proses fermentasi yang akan
menghasilkan bahan tertentu yang dapat menghambat atau merangsang
pertumbuhan kuman komensal saluran cerna yang dapat memberikan efek
negatip atau efek stimulasi respons imunologi innate dengan cara meningkatan
kadar proinflammatory and anti-inflammatory cytokines. Respon ini dapat
22,23
mempengaruhi fungsi system saraf pusat . Secara langsung mikrobiota
saluran cerna juga dapat memberikan signal melalui nervus vagus sebagai
salah satu komponen penting sitem autonomic saraf parasimpatik 23.
Bacterial metabolites seperti Short Chain fatty acid (SCFAs), merupakan hasil
metabolisme dari mikrobiota saluran cerna telah diketahaui mempunyai
pengaruh stimulasi sistem saraf simpatik. SCFAs akan masuk sistem sirkulasi
dan akan mempengaruhi regulasi imunitas saluran cerna dan sistemik hingga
mencapai sistem saraf pusat 20,23.
Mikrobiota saluran cerna ternyata juga mempunyai pengaruh terhadap tekanan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 29
darah. Pada hewan coba kelompok tikus normotensi (Wistar Kyoto)
dibandingkan kelompok tikus hipertensi (SHRs) menunjukkan adanya
perbedaan komposisi mikrobiota saluran cernanya. Kelompok tikus hipertensi
mempunyai koloni Firmicutes lima kali lebih banyak banding koloni
Bacteriodes 24.
Demikian juga pada manusia. Perbedaan komposisi mikrobiota saluran cerna
berhubungan dengan tinggi rendahnya tekanan darah sirkulasi. Pada kelompok
yang mempunyai strain mikrobiota lebih sedikit variasinya (disbiosis),
cenderung mempunyai tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan
kolopok yang memiliki variasi mikrobiota saluran cerna lebih banyak. Salah
satu mekanisme mikrobiota saluran cerna pada tekanan darah ditentukan oleh
produk SCFAs, Butirat dan Propionat. Pengaruh bahan-bahan aktif ini akan
menimbulkan vasorelaksan pembuluh darah kolon dan terbukti mengakibatkan
timbulnya vasodilatasi pembuluh darah ekor hewan coba tikus 24.

Peran Mikrobiota Saluran Cerna Pada ADHD


Gangguan psikiatri secara umum sudah memasuki peringkat di antara
penyebab kecacatan di negara-negara industri. Dengan peningkatan kasus
secara progresif, dapat diperkirakan keadaan ini akan terus bertambah dan
akhirnya mencapai peringkat tertinggi dalam beberapa tahun ke depan. WHO
menyebutkan, satu diantara lima anak dan remaja usia di bawah 18 tahun
memiliki masalah kesehatan jiwa. Attention-deficit hyperactivity disorder
(ADHD), yang ditandai dengan kurangnya perhatian, impulsif, dan
hiperaktivitas, diderita oleh 3-7 persen anak-anak di seluruh dunia. Selain itu,
gejala kurangnya perhatian dan hiperaktif sering juga dijumpai pada anak-anak
yang dikenal dengan sindrom Asperger (AS), ditandai dengan perilaku

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 30
stereotip dan gangguan interaksi dan komunikasi sosial serta keterampilan
yang kurang 1. Di Jakarta, ditemukan 26,2% dari anak yang berumur 6-13
tahun yang mengalami ADHD.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari keadaan patologi yang
mendasari terjadinya ADHD dan AS, namun masih banyak yang belum
diketahui. Data yang ada hanya menunjukkan adanya multifaktorial seperti
risiko genetik (mendominasi terjadinya ADHD dan AS), diperkuat oleh
berbagai faktor lingkungan dan biologis seperti stres janin, prematuritas,
intoksikasi dan diet. Penelitian terbaru dilakukan lebih intensive di dalam
sistem saraf pusat hingga mencari kemungkinan pengaruh mikrobiota usus
serta penggunaan probiotik terhadap ADHD dan AS. Data empiris terbaru
menunjukkan bahwa probiotik dapat memanipulasi aktivitas otak hewan coba
bahkan sangat mungkin pada manusia. Dalam sebuah studi klinis sebelumnya,
membuktikan bahwa formula probiotik yang terdiri dari Lactobacillus
helveticus R0052 dan Bifidobacterium longum R0175 berhasil menurunkan
tingkat stres yang disebabkan ketidaknyamanan saluran pencernaan. Bukti
awal ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai peran
mikrobiota usus pada fungsi sistem saraf pusat 1.

Kolonisasi Mikrobiota Saluran Cerna


Pada saat lahir, saluran cerna bayi yang pada awalnya steril, selanjutnya
terkontaminasi (terkolonisasi) oleh bakteri yang diawali dengan
berkembangnya kuman Bifidobacteria, Clostridia, dan Cocci gram positive
berada di jalan lahir (vagina) dan saluran cerna ibu. Mikroba prokariotik dan
eukariotik dapat ditemukan, pada saluran cerna bayi dengan dominasi oleh

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 31
spesies bakteri, sebagian besar spesies bakteri anaerob (97%), 3% adalah
aerobik (fakultatif anaerob).
Genera anaerobik yang paling umum dalam konsentrasi dalam saluran
pencernaan adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium, Fusobacterium,
Clostridium dan Lactobacillus. Koloni mikrobiota aerob adalah bakteri Gram-
negatif enterik (Escherichia coli dan Salmonella spp.) dan bakteri gram-positif
cocci (Enterococcus, Staphylococcus dan Streptococcus). Selain bakteri aerob,
spesies jamur aerobik, seperti Candida albicans, yang juga termasuk anggota
25
mikrobiota normal . Bayi yang mendapatkan ASI sejak awal kehidupan,
Bifidobacteria merupakan flora normal yang paling dominant, dibandingkan
dengan kelompok bayi yang mendapatkan susu formula 26,27.

Gambar 1. Gut microbiota colonization. Modified from Mitsuoka, 1984.


(dikutip dari Pärtty A)28

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 32
Setelah itu, terjadi perubahan yang pesat dari flora normal usus, dan
dalam perjalanan perkembangan kolonisasi ini juga dipengaruhi oleh nutrisi
pada kehidupan seorang bayi. Pola mikrobiota usus akan mengalami
modifikasi yang besar pada tahap awal kehidupan dan keadaan in mempunyai
peran penting dalam perkembangan fungsi fisiologi sistem imun innate dan
adaptif saluran cerna yang penting untuk pertahanan mukosa saluran cerna
maupun sistemik. Faktor lingkungan seperti antibiotik, diet dan inokulasi
mikroba, dapat menyebabkan perubahan dalam stabilitas mikrobiota baik yang
6,29,30
bersifat sementara dan permanen . Beberapa faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna antara lain metode
persalinan dan riwayat kelahiran prematur 31.
Penjelasan di atas mempertegas kembali bahwa kolonisasi dan perkembangan
mikrobiota normal yang seimbang pada masa neonatal khususnya pada saluran
pencernaan mempunyai peranan yang penting karena adanya gangguan
keseimbangan mikroflora pada masa ini akan mempengaruhi perkembangan
system imunitas neonatal. Gangguan perkembangan system imunitas ini
merupakan faktor predisposisi terjadingan infeksi.

Fungsi Mikrobiota Saluran Cerna


Interaksi antara mikrobiota saluran cerna dan host, merupakan interaksi yang
saling menguntungkan. Host akan menyediakan nutrisi sebagai sumber yang
menguntungkan, demikian pula sebaliknya bahwa mikrobiota akan merubah
nutrisi menjadi komponen yang memberikan manfaat baik untuk kesehatan
penjamu. Namun bebera mikrobiota dalam jumlah dominan (berlebihan),
eseperti misalnya Clostridium difficile dapat memproduksi toksin yang
merugikan. Beberapa mikrobiota tertentu akan berubah menjadi patogen pada

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 33
keadaan kerusakan mukosa usus seperti misalnya kuman gram negatip
Enterobacteriaceae. Namun demikian, pengetahuan mengenai manfaat
mikrobiota saluran cerna secara keseluruhan belum sepenuhnya dipahami.
Beberapa bukti ilmiah menyebutkan bahwa, hewan coba tanpa mikrobiota
saluran cerna (free germ animal model) menunjukan adanya perbedaan nyata
dalam hal struktur anatomi dan fungsi organ, bila dibandingkan dengan hewan
coba dengan kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang normal. Perbedaan
dalam hal berat organ saluran cerna, fungsi fisiologi dan kerentanan saluran
cerna terhadap infeksi, merupakan parameter perbedaan yang nyata terjadi.
Demikian juga organ lainnya seperti misalnya jantung, hati, cardiac output,
kelenjar getah bening akan berkurang pada kelompok free germ animal model.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bhwa keseimbangan mikrobiota saluran
cerna mutlak diperlukan untuk keseimbangan fisiologi individu6

Peran Mikrobiota Saluran Cerna Untuk Pertahanan Tubuh


Mikrobiota normal saluran cerna, sangat penting dalam memberikan
pertahanan saluran cerna, dengan cara mengahambat kolonisasi kuman
patogen. Peningkatan jumlah mikrobiota seperti misalnya kuman
bifidobakteria pada bayi yang mendapatkan ASI yang mengandung bifido
faktor, merupakan salah satu faktor penting untuk menghambat kolonisasi
kuman pathogen. Beberapa cara eliminasi kuman patogen oleh bifidobakteria
antara lain dengan meningkatnya status imun mukosa usus, proses inhibisi,
mengeluarkan hasil akhir metabolik seperti misalnya asam yang akan
menurunkan pH lingkungan saluran cerna. Pada keadaan suasana asam
bakteri probotik dapat hidup dengan subur sedangkan bakteri pathogen tak
dapat hidup. Banyak spesies kuman laktobaksilus, dan bifidobakteri, mampu

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 34
untuk memproduksi antibiotika alamiah, yang mempunyai kemapuan
spektrum luas (seperti misalnya lactocins, helveticins, lactacins, curvacins,
nisin atau bifidocin). Kuman bifidobakteria mempunyai kemampuan
mensekresi antimikrobial yang dapat mengeliminasi berbagai macam kuman
pathogen gram negatif saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan
Escherichia coli. Mikrobiota saluran cerna juga mampu menurunkan
konsentrasi endotoksin bakteri secara signifikan, hal ini dimungkinkan oleh
karena kemampuan mikrobiota ini akan meningkatkan pertahanan mukosa
untuk mencegah translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti
misalnya Bifidobacterium infantis dan B. longum mempunyai efek yang kuat
untuk eliminasi kuman E. coli 0157. Dengan bukti diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa dengan meningkatnya jumlah bifidobacteria dengan
spesies tertentu bersamaan dengan meningkatnya sistem imun mukosa, akan
memberikan proteksi terhadap infeksi saluran cerna 29,32,33.

Peran Mikrobiota sebagai Pertahanan Mukosa Saluran Cerna


Fungsi proteksi dan pertahanan imunitas saluran cerna seperti misalnya lapisan
epitel, lapisan mukus, peristalsis dan deskuamasi epitel, serta sekresi IgA,
sangat berpengaruh terhadap perlekatan dari kuman patogen. Mikrobiota
mempunyai kemampuan mensintesa short-chain fatty acids (SCFAs),
polyamines, vitamins, antioxidan dan asam amino. SCFA, butyric acids yang
disintesa dari fermentasi karbohidrat, merupakan bahan penting untuk
34
colonocytes di usus besar . Selain fungsi di atas, spesies mikrobiota tertentu
seperti Lactobacillus memproduksi antioxidant dan beberapa macam vitamin,
serta menghilangan efek tosik makanan, dan mencegah efek
Enterobacteriaceae, S. aureus, dan Enterococci yang sering dijumpai pada

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 35
makanan fermentasi. Lactobacilli juga berfungsi untuk meningkatkan fungsi
seluler dan humoral imunitas. Kuman ini mampu menstimulasi sistem immun
antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag, natural killer cell ,
monosit dan netrofil. Latobacillus GG mampu merangsang sekresi IgM setelah
vaksinasi rotavirus dan meningkatkan produksi IgA dengan hasil akhir
meningkatkan produksi imunoglobulin 35.

Peran Mikrobiota sebagai Modulator Sistem Immun Lokal dan Sistemik


Dua fungsi immunitas di saluran cerna yang penting adalah sebagai peran
proteksi/supresi, mencegah respon immune terhadap protein dan menghindari
reaksi hipersensitivitas, khususnya pada alergi dan Inflammatory Bowel
Disease (IBD); indukdusi respons immun spesifik dengan sekresi IgA antibodi
di dalam lumen saluran cerna yang bertujuan untuk mencegah kolonisasi
kuman patogen. Kedua peran ini terutama penting mencegah reaksi
hipersensitivitas terhadap makanan pada usia 2 tahun pertama. Walaupun
tidak diketemukan agen penyebab secara spesifik, adanya gangguan
mikrobiota intestinal kemungkinan menjadi penyebab adanya gejala klinik,
menurut hygene hypotesis. Keadaan patologi lain , seperti misalnya diare
karena rotavirus dan alergi. Beberapa penelitian melaporkan adanya peran
penting dari mikrobiota terhadap kejadian ini. Berapa spesies mikrobiota,
ternyata meningkatakan sekresi IgA yang spesifik pada keadaan infeksi virus
rota pada bayi. Telah diketahui bahwa mikrobiota akan menginduksi produksi
beberapa sitokin antara lain IL-12, IL-18 dan IFN- pada sel-sel mononuklir
darah perifer manusia dan dan sitokin IL-12, TNF- dan IFN- pada sel-sel
limpa tikus. Semua sitokin yang diproduksi tersebut adalah sitokin dari TH1.
Selain menginduksi produksi sitokin TH1 mikrobiota saluran cerna ini juga

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 36
diketahui mampu menginduksi populasi Limfosit T untuk memproduksi
sitokin IL-10 dan TGF- Keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran cerna
ini juga telah terbukti dapat mencegah reaksi alergi susu sapi pada mencit
dengan menginduki toleransi oral terhadap -lactoglobulin 35,36.

Peran Mikrobiota Pada Diare


Virus rota merupakan penyebab terbanyak diare pada anak. Infeksi virus rota
akan mengakibatkan kerusakan brush border. Brush border merupakan
komponen terpenting dari usus untuk menjalankan fungsi sekresi elektrolit,
enzim pencernaan, reabsorpsi cairan, dan beberapa komponen nutrient penting.
Brush border juga berfungsi sebagai pertahanan tubuh dari kuman patogen /
imunogen yang masuk melalui saluran cerna. Invasi virus/kuman patogen akan
menyebabkan perubahan/kerusakan protein penyusun brush border.
Perubahan/kerusakan protein penyusun brush border ini akan menyebabkan
gangguan fungsi brush border. Keseimbangan kolonisasi mikrofora sangat
penting untuk mencegah terjadinya diare sebagai manifestasi klinis kerusakan
37,38
brush border yang disebabkan karena infeksi . Selain manfaat lokal.
Manfaat sistemik seperti penjelasan di atas, sangat mempengaruhi timbulnya
diare pada anak. Selain fungsi immunitas, mikrobiota dapat mengatasi infeksi
saluran cerna, karena kemampuannya untuk mengekspresikan musin intestinal
MUC2 dan MUC3. Adanya peningkatan produksi musin ini , akan
menghambat perlekatan kuman patogen pada mukosa saluran cerna 39–41.

Peran Mikrobiota Pada Gangguan Saluran Cerna Fungsional


Gangguan saluran cerna fungsional (Functional Gastrointestinal
Disoredr’S/FGIDs) adalah gangguan fungsi saluran cerna tanpa diketahui ada

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 37
kelainan organik saluran cerna. Beberapa hal yang mempengaruhi prevalensi
FGIDs pada anak antara lain pola infeksi dan pelayanan kesehatan berbeda,
penggunaan antibiotik terutama dalam 2 tahun pertama kehidupan, infeksi
saluran cerna dan infeksi ekstraintestinal. Riwayat alergi, diet, proses kelahiran
(spontan maupun sectio secaria) dan lama menyusui juga merupakan faktor
penting terjadinya masalah gangguan fungsional saluran cerna 42,43,43
Patogenesis FGIDs belum diketahui dengan jelas. Namun diyakini bahwa
unsur-unsur hormonal, neuronal dan psikogenik berperan dalam timbulnya
gejala FGIDs. Beberapa faktor penting yang diperkirakan mempunyai
pengaruh pada FGIDs antara lain sistem saraf enterik (ENS), motilitas, sekresi
enzim dan mikrosirkulasi, respon imun dan proses inflamasi saluran cerna.
Kemampuan respon adaptif dari ENS sebagai pemicu fisiologis dan stres
psikologi mempengaruhi terjadinya FGIDs 43,44.
Gangguan kolonisasi mikrobiota dan atau kolonisasi mikrobiota saluran cerna
yang belum optimal pada usia awal kehidupan hingga usia 2 tahun pertama
merupakan faktor penting terjadinya gangguan fungsional saluran cerna pada
6,10,36,45–47
anak . Gangguan saluran cerna fungsional yang sering dijumpai
antara lain refluk, konstipasi dan kolik. Saluran cerna pada bayi baru lahir
steril. Namun, beberapa faktor internal dan ekternal akan mempengaruhi fungsi
fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi mikrobiota pada saat bayi
lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti misalnya penggunaan antibiotika pada
ibu hamil mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap kolonisasi
48
mikrobiota saluran cerna bayi . Segera setelah lahir, mikrobiota secara aktif
melakukan kolonisasi diseluruh permukan tubuh bayi, termasuk saluran cerna.
Kolonisasi ini berlangsung secara bertahap sesuai usia kehamilan dan usia
bayi. Sebagai contoh bayi prematur mempunyai gambaran kolonisasi

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 38
26,27
mikrobiota yang berbeda , sehingga pada kelompok bayi prematur .
Demikian juga pada bayi yang sering mengalami kolik, mempunyai gambaran
kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan
kelompok bayi tanpa kolik 28,49
Kolonisasi mikrobiota pada kelompok usia bayi ini sangat mempunyai peran
terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota diketahui
memproduksi bahan-bahan penting untuk menstimulasi system saraf saluran
cerna yang berperan untuk fungsi motilitas saluran cerna yang terjadi pada
32
kondisi sehat maupun sakit .

Peran Mikrobiota pada Alaergi Makanan dengan manifestasi gejala


saluran cerna
Pengaruh mikrobiota dalam menurunkan reaksi alergi belum jelas. Bukti-bukti
mengenai pengaruh spesifik dari mikrobiota saluran cerna ke sistim imun
innate sangat penting untuk kelangsungan toleransi imun mukosa. Pada uji
klinik probiotik telah dibuktikan dapat menurunkan gejala alergi yang
berhubungan dengan dermatitis atopik dan alergi makanan. Suplementasi
probiotik ini akan merubah komposisi mikrobiota saluran cerna yang
selanjutnya akan mencegah penyakit atopik dini pada anak dengan resiko
tinggi alergi, mencegah dermatitis atopik pada 2 tahun pertama kehidupan
anak. Modifikasi mikrobiata saluran cerna anak atopi selanjutnya akan
menimbulkan efek untuk mencegah reaksi alergi dan menurunkan reaksi alergi
susu sapi pada bayi 29,50.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 39
Kesimpulan
Kolonisasi dan perkembangan mikrobiota normal didalam saluran cerna
mutlak diperlukan untuk mempertahankan fungsi fisiologi kognitif dan saluran
cerna pada anak. Beberapa hal penting manfaat keseimbangan mikrobiota
saluran cerna antar lain untuk menjaga keseimbangan produksi hormon, sistem
imunitas saluran cerna dan fungsi normal gut-brain axis. Keseimbangan
kolonisasi mikrobiota saluran cerna secara langsung maupun tidak langsung
sangat diperlukan pada keadaan anak sehat maupun sakit. Gangguan
keseimbangan mikrobiota pada masa anak secara keseluruhan dapat
mempengaruhi fungsi kognitif dan tumbuh kembang anak secara optimal.

Daftar Pustaka
1. Pärtty A, Kalliomäki M, Wacklin P, Salminen S, Isolauri E. A possible
link between early probiotic intervention and the risk of
neuropsychiatric disorders later in childhood: A randomized trial.
Pediatr Res. 2015;77(6):823–8.
2. Vuong HE, Hsiao EY. Emerging Roles for the Gut Microbiome in
Autism Spectrum Disorder. Biol Psychiatry. 2017;81(5):411–23.
3. Cryan JF, Dinan TG. Mind-altering microorganisms: The impact of the
gut microbiota on brain and behaviour. Nat Rev Neurosci.
2012;13(10):701–12.
4. Leung K, Thuret S. Gut Microbiota: A Modulator of Brain Plasticity
and Cognitive Function in Ageing. Healthcare. 2015;3(4):898–916.
5. Bested AC, Logan AC SE. Intestinal microbiota, probiotics and mental
health: from Metchnikoff to modern advances: part III – convergence

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 40
toward clinical trials Alison C. Gut Pathog. 2013;5(4):2–13.
6. Guarner F, Malagelada J-R. Gut flora in health and disease. Lancet
(London, England). 2003 Feb;361(9356):512–9.
7. Guarner F, Foxx-Orenstein A, De Paula JA, Quigley E, Fedorak R, Wu
J, et al. WGO Handbook on Gut Microbes. World Gastroenterol Organ
Glob. 2014;1(414).
8. Guarner F, Bourdet-Sicard R, Brandtzaeg P, Gill HS, McGuirk P, van
Eden W, et al. Mechanisms of disease: the hygiene hypothesis revisited.
Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol. 2006;3(5):275–84.
9. Collins SM. MICROBIOTA IN DISORDERS OF MOTILITY AND
THE GUT BRAIN AXIS . 2016;
10. Kim J, Lin H. Contribution of gut microbes to gastrointestinal motility
disorders. Pract Gastroenterol. 2007;(April).
11. Carabotti M, Scirocco A, Maselli MA, Severi C. The gut-brain axis:
Interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous
systems. Ann Gastroenterol. 2015;28(2):203–9.
12. Dinan TG, Stilling RM, Stanton C, Cryan JF. Collective unconscious:
How gut microbes shape human behavior. J Psychiatr Res. 2015;63:1–9.
13. Sandhu K V., Sherwin E, Schellekens H, Stanton C, Dinan TG, Cryan
JF. Feeding the microbiota-gut-brain axis: diet, microbiome, and
neuropsychiatry. Transl Res. 2017;179:223–44.
14. Sarkar A, Lehto SM, Harty S, Dinan TG, Cryan JF, Burnet PWJ.
Psychobiotics and the Manipulation of Bacteria–Gut–Brain Signals.
Trends Neurosci. 2016;39(11):763–81.
15. Collins SM, Bercik P. The Relationship Between Intestinal Microbiota
and the Central Nervous System in Normal Gastrointestinal Function

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 41
and Disease. Gastroenterology. 2009;136(6):2003–14.
16. O’Mahony SM, Marchesi JR SP. Early life stress alters behavior,
immunity, and microbiota in rats: implications for irritable bowel
syndrome and psychiatric illnesses. Biol Psychiatry. 2009;65:263–267.
17. Heijtz RD, Wang S, Anuar F, Qian Y, Bjorkholm B, Samuelsson A, et
al. Normal gut microbiota modulates brain development and behavior.
Proc Natl Acad Sci. 2011;108(7):3047–52.
18. Borre YE, O’Keeffe GW, Clarke G, Stanton C, Dinan TG, Cryan JF.
Microbiota and neurodevelopmental windows: Implications for brain
disorders. Trends Mol Med. 2014;1–10.
19. Elmenhorst D, Kroll T, Matusch A, Bauer A. Sleep Deprivation
Increases Cerebral Serotonin 2A Receptor Binding in Humans. Sleep.
2012;35(12):1615–23.
20. Mu C, Yang Y, Zhu W. Gut microbiota: The brain peacekeeper. Front
Microbiol. 2016;7(MAR):1–11.
21. Smith PA. Brain, Meet Gut. Nature. 2015;526(7573):312.
22. Wang X, Wang B, Zhang X, Xu Z, Ding Y, Ju G. Evidences for vagus
nerve in maintenance of immune balance and transmission of immune
information from gut to brain in STM-infected rats. 2002;8(3):540–5.
23. Forsythe P, Bienenstock J and KW. Vagal Pathways for Microbiome-
Brain-Gut Axis Communication. In: Lyte M CJ, editor. Microbial
Endocrinology: The Microbiota-Gut-Brain Axis in Health and Disease,
Advances in Experimental Medicine and Biology. New York: Springer
New York; 2014. p. 115–26.
24. Richards EM, Pepine CJ, Raizada MK, Kim S. The Gut, Its
Microbiome, and Hypertension. Curr Hypertens Rep. 2017;19(4).

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 42
25. Noverr MC HG. Does the microbiota regulate immune responses
outside the gut? Trends Microbiol USA. 2004;
26. Duttaa Sourabh, Ganesh Meenakshi, Anesh RP and NA. Week of Life.
INDIAN Pediatr. 2014;1082(261):8–10.
27. Rotimi VO, Olowe SA, Ahmed I. The development of bacterial flora of
premature neonates. J Hyg (Lond). 1985;94(3):309–18.
28. Pärtty A, Yliopisto T. INFANT COLIC CRYING AND Causes ,
Consequences and Cure by. TURUN YLIOPISTO UNIVERSITY OF
TURKU; 2013.
29. Purchiaroni F, Tortora A, Gabrielli M, Bertucci F, Gigante G, Ianiro G,
et al. The role of intestinal microbiota and the immune system. Eur Rev
Med Pharmacol Sci. 2013;17(3):323–33.
30. Groer MW, Luciano AA, Dishaw LJ, Ashmeade TL, Miller E, Gilbert
JA. Development of the preterm infant gut microbiome: a research
priority. Microbiome . 2014;2(1):38.
31. Yang, Irene. Hodgson, Neil. Corwin, EJ. Brennan, PA. Jordan S,
Dunlop A. The Infant Microbiome: Implications for Infant Health and
Neurocognitive Development. 2017;65(1):76–88.
32. Pier M, Guarino L. “ Microbiota and gut motility .”

33. Korpela K. Intestinal Microbiota Development in Childhood:


Implications for Health and Disease. 2016.
34. Kasubuchi M, Hasegawa S, Hiramatsu T, Ichimura A, Kimura I. Dietary
gut microbial metabolites, short-chain fatty acids, and host metabolic
regulation. Nutrients. 2015;7(4):2839–49.
35. Moal VL-L, Servin AL. The Front Line of Eneteric Host Defense

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 43
against Unwelcome Intrusion of Harmful Microorgansims: Mucins,
Antimicrobial Peptides and Microbiota. Clin Microbiol Rev.
2006;19(2):315–37.
36. Allan Walker W. Initial intestinal colonization in the human infant and
immune homeostasis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):8–15.
37. Kozáková H, Štěpánková R, Řeháková Z, Kolínská J. Differences in
enterocyte brush border enzyme activities in ageing rats reared in germ-
free and conventional conditions. Vol. 47, Physiological Research.
1998. p. 253–8.
38. Davila AM, Blachier F, Gotteland M, Andriamihaja M, Benetti PH,
Sanz Y, et al. Re-print of “intestinal luminal nitrogen metabolism: Role
of the gut microbiota and consequences for the host.” Pharmacol Res.
2013;69(1):114–26.
39. de La Cochetière M-F, Montassier E, Hardouin J-B, Carton T, Le Vacon
F, Durand T, et al. Human intestinal microbiota gene risk factors for
antibiotic-associated diarrhea: perspectives for prevention. Risk factors
for antibiotic-associated diarrhea. Microb Ecol. 2010;59:830–7.
40. Gilchrist CA, Petri SE, Schneider BN, Reichman DJ, Jiang N, Begum S,
et al. Role of the Gut Microbiota of Children in Diarrhea Due to the
Protozoan Parasite Entamoeba histolytica. J Infect Dis.
2016;213(10):1579–85.
41. Sommer F, Bäckhed F. The gut microbiota--masters of host
development and physiology. Nat Rev Microbiol. 2013;11(4):227–38.
42. Chogle A, Velasco-Benitez CA, Koppen IJ, Moreno JE, Ramírez
Hernández CR, Saps M. A Population-Based Study on the
Epidemiology of Functional Gastrointestinal Disorders in Young

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 44
Children. J Pediatr. 2016 Dec [cited 2017 Jan 3];179:139–143.e1.
43. Rana Fayez Ammoury, Marian Del Rosario Pfefferkorn JMC.
Functional gastrointestinal disorders: past and present. World J Pediatr.
2009;5(2):103–12.
44. Eric Chiou, SN. No Title. Therapy. 2011;8(3):315–331.
45. Bachner HA. A Healthy Gut and a Healthy Brain: Implications for
Counseling and Lifestyle. VISTAS Online. 2015;Article 47.
46. Quigley EMM. Intestinal Microbiota in Health and Disease.
Gastroenterology. 2015;535(7610):7610.
47. Versalovic J. The human microbiome and probiotics: Implications for
pediatrics. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):42–52.
48. Bailey MT, Lubach GR, Coe CL. Prenatal stress alters bacterial
colonization of the gut in infant monkeys. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2004;38(4):414–21.
49. Pärtty A, Isolauri E. Gut microbiota and infant distress – the association
between compositional development of the gut microbiota and fussing
and crying in early infancy. Microb Ecol Heal Dis. 2012;23(0):26–7.
50. Chan YK, Estaki M, Gibson DL. Clinical consequences of diet-induced
dysbiosis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):28–40.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 45
Komplikasi Respiratorik pada Anak dengan Penyakit
Refluks Gastroesofagus

Dr. dr. Bakhtiar, Sp.A, M.es


Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ Rumah Sakit Zainoel Abidin,
Banda Aceh

PENDAHULUAN
Keluarnya isi lambung ke dalam saluran cerna pada bayi dan anak ke dalam
esophagus dapat bersifat fisiologis dan dapat juga sebagai manifestasi
patologis. Refluks gastroesofagus (RGE) merupakan kembalinya isi lambung
(makanan, minuman, asam, pepsin, asam empedu, dsb) ke dalam esophagus.
tanpa terlihat upaya bayi untuk mengeluarkannya. Sebagian besar isi refluks
tersebut masuk ke dalam rongga mulut sebagai regurgitasi. Sebaliknya,
penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) terjadi karena isi refluks asam yang
terlalu lama dan sering berada di dalam esophagus dapat menyebabkan
kerusakan mukosa esophagus. Lebih lanjut, kondisi patologis ini kadang
berdampak pada gangguan organ di luar saluran cerna, terutama system
respiratorik.1,2
Terdapat beberapa kelainan sistem respiratorik sebagai dampak dari
RGE maupun PRGE, yang terjadi sebagai akibat dari aspirasi maupun
pengaruh reflex esofagopulmonaris atau esofagolaringea. Beberapa penyakit
yang sering terjadi pada system respiratorik dapat disebutkan misalnya asma,
bronkhitis, bronkhiolitis, dan pneumonia aspirasi.2 Sebagai pemicu dasar dari

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 46
aspirasi ini karena adanya refluksesofagus dan regurgitasi yang dikaitkan
dengan belum sepenuhnya fungsi motalitas saluran cerna bayi berkembang.
Asam lambung atau bahan kimia lainnya dari makanan dapat merusak saluran
pernafasan dan reaksi hiperaktivitas bronkhus. Tatalaksana gangguan saluran
pernafasan yang ditimbulkan oleh PRGE dilakukan melalui tiga pendekatan,
yaitu menhambat supata tidak terjadi refluks, mencegah aspirasi ke dalam
saluran cerna, dan mengatasi kelainan yang terjadi pada saluran cerna.2,3,4

PENYAKIT RESPIRATORIK AKIBAT PRGE


Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dapat menyebabakan gangguan pada
saluran pernafasan pada anak. Beberapa kelainan sebagai dampak dari PRGE
tersebut adalah: asma, bronchitis, pneumonia, bronkhiolitis. PRGE dapat
menyebabkan gejala ekstra esofagus yang sering luput dari perhatian.
Mekanisme gangguan atau kerusakan yang terjadi pada saluran cerna dapat
berupa adanya rangsangan pada esophagus dengan reflex esofagopulmonaris
atau esofagolaringeal. Pada sisi lain, aspirasi bahan refluks dapat merusak
mukosa saluran pernafasan, dengan akibat munculnya berbagai kelainan
respiratorik.1,2,5

Asma
Serangan asma pada anak dapat dipicu oleh refluks asam lambung
dalam esophagus atau aspirasi yang mengenai bronchus. Serangan asma
sendiri didefinisikan sebagai episode peningkatan yang progresif (perburukan)
dari gejala batuk, sesak nafas, wheezing, dan berbagai kombinasi dari gejala-
gejala tersebut. Tingkat derajad serangan asma tergantung pada beratnya
paparan dan respon bronkhus. Kejadian utama pada serangan asma akut adalah

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 47
obstruksi saluran respiratori secara luas yang disebabkan oleh kombinasi dari
spasme otot polos bronchus, edema mukosa karena inflamasi dan sumbatan
mucus (GINA).3,5
PRGE terdapat pada sekitar 60% anak penderita asma. Pada PRGE,
aliran balik asam lambung dan isi lambung lainnya ke dalam esophagus akibat
lemahnya tonus sfingter esophagus bagian bawah. Paparan asam lambung
pada esophagus dapat memicu terjadinya serangan asma pada anak.1,3 Pada
dasarnya, asma merupakan penyakit respiratorik dengan dasar inflamasi kronik
yang mengakibatkan obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan
derajad bervariasi. Pada anak dengan asma, manifestasi klinis yang dapat
dijumpai dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dana tau berulang.2,3,6
Pemahaman imunopatologi, genetika dalam patogenesis asma telah
banyak mengalami kemajuan. Terjadinya asma dipengaruhi oleh factor genetik
dan lingkungan. Akan tetapi, faktor mana yang lebih berperan tidak dapat
dipastikan karena kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut. Pada keadaan
normal terdapat mekanisme anti refluks dari sfingter esophagus bagian bawah.
Sebaliknya, pada kondisi patologis atau PRGE, tonus sfingter esophagus
bagian bawah lemah sehingga memudahkan terjadinya aliran balik dari
lambung ke dalam esophagus. Refluks dan sekaligus aspirasi dapat terjadi pada
kondisi dimana perbedaan tekanan atara sfinfter esophagus bagian bawah dan
laring tidak ada lagi (hilang). Hal ini karena menurunnya kekuatan sfingter
yang kadang-kadang tidak diketahui sebabnya.4,5,6
Gangguan traktus respiratorius pada PRGE terjadi melalui beberapa
mekanisme utama, yaitu:

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 48
1. Bahan refluks pada PRGE dapat menyebabkan terjadinya inflamasi, baik
disertai atau tanpa aspirasi (teori Crausz refluks). Inflamasi ini seterusnya
akan merangsang terjadinya bronkhokonstriksi yang merupakan dasar
patomekanisme dari asma.2,3,7
2. Pada serangan asma dapat distimulasi oleh refleks
esofagopulmonaris/esofagolaringeal. Refleks dari esofagus bagian distal
menstimulasi refluks vagal yang menyebabkan bronkhokonstriksi (reflux
theory). Mekanisme lain adalah refluks esofagobronkhial, yaitu asam dari
esofagus dapat menstimulasi reseptor asam yang sensitif di saluran napas
bagian atas, menimbulkan bronkhospasme.2,5,7
3. Asam di esofagus bagian bawah akan merangsang reseptor asam yang
sensitif, menimbulkan reaksi saraf bagian atas. Saat ini banyak hal belum
diketahui apakah serabut aferen pada manusia dapat menyebabkan nyeri
dada, batuk dan asma. Teori ini didukung oleh studi pemberian sedikit
asam ke dalam traktus respiratorius akan menyebabkan spasme
bronkhus.1,2

Bronkhitis dan Bronkhiolitis


Rasa asam di mulut dan nyeri ulu hati akibat kontak refluks dengan mukosa
yang sensitif, menyebabkan inflamasi dan disfagi. Zat refluks tersebut dapat
mengenai faring dan mulut, menyebabkan laryngitis. Bahan aspirasi yang
sampai ke bronchus akam menimbulkan inflamasi pada bronchus dengan
penyakit yang ditimbulkan adalah bronchitis.2,6
Pada bronkhus, karakteristik lesi tergantung pada ukuran dan sifat
aspirat. Biasanya, asam lambung dengan pH kurang dari 2.5 dapat
menyebabkan reaksi patologis yang bermacam-macam mulai dari bronchiolitis
ringan hingga berat. Jika pasien dalam posisi berbaring, maka bagian yang

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 49
paling sering mengalami gangguan adalah segmen posterior dari lobus superior
dan segmen superior dari lobus inferior.2,6
Cairan asam dengan cepat masuk kedalam percabangan bronkhus dan
parenkim paru-paru, menyebabkan pneumonitis kimia dalam beberapa menit.
Derajat kerusakan jaringan secara langsung dihubungkan dengan pH dan
volume dari aspirat. Tingkat kematian yang terjadi pada pasien dengan
aspirasi asam lambung adalah kira-kira 30% dan lebih dari 50% diantaranya
mengalami syok atau apnea, radang paru paru sekunder, dan distress
pernapasan akut.2,6,7

Pneumonia
Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama, terutama di negara
berkembang. Pada dasarnya, pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai
parenkin paru. Sebagian besar, etiologi penyakit ini adalah mikroorganisme
dan sebagian kecil penyebabnya adalah aspirasi. Salah satu bahan yang
berdampak buruk untuk terjadinya aspirasi adalah aspirasi cairan lambung.
Pada PRGE, cairan lambung dapat mengalami aspirasi hingga masuk sampai
alveoli. Cairan lambung yang dengan cepat masuk ke dalam parenkhim paru
akan menyebabkan inflamasi pada alveoli dan jaringan sekitarnya.1,2,6
Pada PRGE, bahan refluks berisi bahan-bahan material yang berasal
dari lambung yang masuk kembali ke dalam esophagus, kadang-kadang
dengan mudah diikuti dengan aspirasi. Bahan-bahan kimia ini selanjutnya
memicu proses peradangan di daerah alveoli, dengan berbagai kemungkinan
bentuk lesi yang terjadi.6

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 50
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis RGE dan regurgitasi cukup diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala klinis pada RGE sangat
tidak spesifik, sehingga tidak direkomendasikan menegakkan diagnosis PRGE
hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisisk, tetapi diperlukan
dukungan pemeriksaan penunjang yang akurat. Diagnosis PRGE dan terapi
protom Pum inhibitor atau H2 antagonis hanya berdasarkan bayi menengis
berkepanjangan dan rewel adalah tidak rasional, karena kedua keadaan tersebut
merupakan kondisi fisiologi pada bayi sehat.1,2,7
Pemeriksaan penunjang akurat yang diperlukan untuk mendiagnosis
PRGE adalah endoskopi disertai pemeriksaan patologi anatomi jaringan biopsy
esophagus atau penurunan pH esophagus. Kedua pemeriksaan penunjang
tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit besar di wilayah provinsi, sehingga
dokter yang bekerja di wilayah lain seingkali mendapat kendala dalam
menegakkan diagnosis dan memberikan terapi rasional PRGE. Untuk
mengatasi keadaan ini, keberadaan kuesioner untuk menepis PRGE di ptaktik
klinis sangat diperlukan. Meskipun nilai sensitivitas dan spesifisitas hanya
sekitar 50%, Kuaesioner Infant Gastroesofageal Quesionaire (I-GERQ) telah
digunakan di berbagai pusat pelayanan kesehatan anak untuk meningkatkan
probable reflux, sehingga bayi memerlukan pemeriksan akurat lanjutan untuk
membuktikan adanya RGE, sedangkan bayi dengan nilai skor <9 tidak
memerlukan terapi khusus, merupakan variasi gejala klinis pada bayi
normal.1,2,6,7
Penentuan kelainan respiratorik yang disebabkan oleh GERD tidak
mudah dilakukan. Namun, prinsip dasar dalam penegakan diagnosis untuk
pembuktian tersebut dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 51
pemeriksaan penunjang. Perlu diketahui apakah gejala yang berkaitan dengan
kelainan saluran pernafasan muncul didahului oleh muntah. 1,6
Pemeriksaan penunjang dalam keterkaitan antara refluks dengan
gangguan saluran pernafasan dapat dilakukan beberapa pemeriksaan. Secara
ringkas, pemeriksaan itu dibagi menjadi: pemeriksaan untuk menentukan
adanya refluks, mengetahui penyebab refluks, menentukan adanya aspirasi,
dan menentukan adanya kelainan akibat refluks. Pengamatan pH esophagus
jangka panjang, dianggap sebagai pemeriksaan yang paling sensitive karena
dapat membedakan refluks abnormal dengan normal sampai 95%. Sebaliknya,
cara ini mempunyai kekurangan yaitu memerlukan waktu yang lebih panjang
sehingga anak perlu dirawat di rumah sakit. Keunggulan cara ini, selain dapat
menunjukkan refluks yang abnormal, juga dapat mencatat frekuensi dan lama
refluks pada berbagai posisi anak, baik ketika banagun maupun saat tidur. 1,6,7
Pemeriksaan lain untuk menilai adanya aprirasi akibat GERD adalah
dengan pemeriksaan langsung. Pada pemeriksaan aspirasi langsung, yang
dilakukan adalah pemeriksaan dalam pipa endotrakhea. Jika terdapat aspirasi
akibat GERD, maka akan ditemukan isi dari lambung yang masuk ke dalam
saluran pernafasan, misalnya susu atau bahan makanan lainnya. Apabila terjadi
aspirasi susu dalam jumlah yang sangat kecil, maka dapat dilakukan
pemeriksaan cairan endotrakhea. Bila ditemukan adanya laktulosa yang berasal
dari susu, berarti telah terjadi aspirasi susu ke dalam trakhea.2,6,7
Untuk menentukan adanya dampak dari PRGE terhadap saluran
pernafasan dapat dilakukan uji fungsi paru. Disisi lain, juga dapat dilakukan
pemeriksaan pulse oximetry dan pengukuran konsentrasi karbondioksida
sepanjang siklus respirasi. Pemeriksaan lainnya untuk menulai gangguan paru
dapat dilakukan, misalnya: rongent thoraks dan bronkuskopi.1,2,6

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 52
PENDEKATAN TATALAKSANA
Tatalaksana yang tepat diperlukan untuk mengatasi kelainan respiratorik akibat
PRGE. Pada prinsipnya, tatalaksana gangguan saluran pernafasan yang
ditimbulkan oleh PRGE dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu menghambat
supaya tidak terjadi refluks, mencegah aspirasi ke dalam saluran cerna, dan
mengatasi kelainan yang terjadi pada saluran respiratorik.1,2,6,7

Pencegahan Terjadinya Refluks


Pencegahan refluks dapat dilakukan dengan pengaturan posisi tidur pengaturan
kekentalan makanan (susu) atau pemberian makanan yang tidak alergi.
Pencegahan terhadap refluks, akan berdampak baik terhadap perbaikan
kelainan respiratorik, karena kesempatan untuk penyembuhan. Menghambat
regurgitasi yang berulang juga mencehag kelainan respiratorik yang berulang
pada bayi dan anak.1,2,7
Dalam pencegahan refluks, perlu diperjelas apakah refluk merupakan
kondisi fisiologi atau patologis. Regurgitasi tanpa tanda bahaya merupakan
keadaan fisiologis. Pada PRGE dengan regurgitasi berlebihan, tatalaksana
perlu dilengkapi dengan mengatur posisi bayi. Meletakkan bayi pada posisi
telentang dengan sudut 60 derajad terhadap dasar tempat tidur pada bayi yang
mendapat ASI eksklusif dapat mencegah refluks. Selain itu, untuk bayi yang
mendapat susu formula, dianjurkan pemberian “thickening milk”. Diharapkan,
dengan pemberian thickening formula, maka viskositas makanan akan
meningkat. Dengan demikian, akan mengurangi gejala regurgitasi, frekuensi
menangis dan meningkatkan waktu tidur.1,6,7

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 53
Gejala klinis yang mirip tanda bahaya RGE atau PRGE terjadi pada bayi
yang alergi terhadap susu sapi. Dengan mempertimbangkan bahwa prevales
alergi protein susu sapi sangat tinggi (3-5%), maka tanda bahaya pada bayi
yang mengalami regurgitasi perlu dipikirkan sebagai gejala alergi protein susu
sapi. Penyakit RGE perlu dibuktikan bila bayi tidak mempunyai riwayat
atopi/alergi. Penapisan PRGE dilakukan dengan kuesioner PRGE, sedangkan
pembuktian PRGE dengan pemeriksaan endoskopi atau pementauan pH
esophagus 24 jam. Pemilihan Susu formula dengan kandungan protein
terhidrolisis ekstensif diberikan kepada bayi dengan alergi protein susu
sapi.1,2,5

Perbaikan Kelainan pada Esofagus


Refluks patologis seperti PRGE yang berdampak pada kerusakan mukosa
esophagus diperlukan terapi tambahan untuk menetralisasi asam lambung
dengan antacid atau H2 blokker. Obat antagonis reseptor histamine dan
inhibitor pompa proton dapat mengurangi gejala klinis dan memperbaiki
kerusakan mukosa.7

Mengatasi Aspirasi dan Kelainan Sistem Respiratorik


Pengobatan yang intensif diperlukan untuk mengatasi kelainan paru dan
saluran pernafasan. Tatalaksana didasarkan pada kelaianan yang terjadi dari
dampak refluks pada PRGE. Pada serangan asma, maka tatalaksana adalah
mengatasi bronkhospasme dan inflamasi bronchus. Pada bronchitis,
bronchiolitis dan pneumonia, disamping mengatasi inflamasi juga diberikan
antibiotika untuk mengatasi sekunder infeksi. Tatalaksana suppportif dengan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 54
pemberian oksigen dimaksudkan untuk mencegah sesak yang berlebihan dan
mengatasi hipoksemia.2,6

Daftar Pustaka
1. Ranuh IGMRG, Athiyyah AF, Syarif BH, penyunting. Rekomendasi
Gangguan saluran cerna fungsional. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
2016.
2. Benedictis FM, Andrew Bush A. Respiratory manifestations of gastro-
oesophageal
reflux in children. Arch Dis Child 2017;9:1–5
3. Rahajoe N, Kartasasmita CB, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting.
Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2015.
4. Global Initiative for Asma. Global strategy for asthma management and
prevention. 2014.
5. Papadopaulus NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J.
Lemanske R, et.al. International consensus on (ICON) pediatric asma.
Allergy. 2012;67:976-97.
6. Boesch RP, Daines C, Willging JP, Kaul A, Cohen1 AP, Wood RE.
Advances in the diagnosis and management of chronic pulmonary
aspiration in children. Eur Respir J 2006; 28: 847–861.
7. Vanderplas Y, Abkari A, Bellaiche M, Benninga M, Chouraqui JP, Cokura
F, et.al. Prevalence and heatlh outcome of fuctional gastrointestinal
simptoms in infant from birth to 12 month of age. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2015;61(5):531-7.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 55
Mengenal Gejala Obstruksi Saluran Cerna
pada Anak

Dr. dr. Pramita G Dwipoerwantoro, Sp.A(K)


Divisi Gastrohepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RS.Cipto Mangunkusum, Jakarta

Obstruksi saluran cerna pada anak dapat terjadi pada sepanjang esofagus
sampai anus, dan hal ini dapat merupakan kelainan bawaan ataupun didapat.1,2
Obstruksi usus merupakan kelainan terbanyak yang memerlukan tindakan
pembedahan akut pada masa neonatus. Insidens obstruksi usus pada 1 di antara
1500 kelahiran hidup.3 Angka mortalitas di negara yang sedang berkembang
masih cukup tinggi karena biasanya bayi dalam keadaan kurang gizi dan
terlambat untuk dirujuk dibandingkan dengan negara maju.4

Patofisiologi

Obstruksi usus terjadi bila aliran kandungan usus halus terhambat. Pada
kondisi obstruksi tersebut akan terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh, sehingga menigkatkan tekanan perfusi usus. Proksimal terhadap bagian
obstruksi akan terjadi dilatasi usus karena terisi sekresi usus dan udara yang
tertelan. Kegagalan kandungan usus untuk melewati saluran cerna akan
menyebabkan kesulitan flatus dan berhentinya pergerakan usus. Pada 80%
kasus obstruksi usus terjadi di usus halus dan sisanya terjadi di usus besar.5

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 56
Kehilangan cairan melalui emesis, edema usus, dan kehilangan kapasitas
absorpsi akan menyebabkan dehidrasi. Emesis akan menyebabkan kehilangan
kalium, hidrogen dan klorida dari lambung; dan dehidrasi yang signifikan akan
menstimulasi tubulus ginjal proksimal mereabsorpsi bikarbonat dan kehilangan
klorida, sehingga memperburuk alkalosis metabolik.6 Selain itu stasis usus
akan menyebabkan pertumbuhan mikroflora usus yang berlebihan, yang dapat
menyebabkan emesis yang berbau menyengat ataupun terjadinya translokasi
bakteri.7 Dilatasi usus halus yang berlanjut akan meningkatkan tekanan intra
lumen usus, menyebabkan kehilangan drainase vena dan berakibat peningkatan
edema dan hiperemia usus. Hal ini akan menyebabkan iskemia, nekrosis dan
perforasi.

Manifestasi Klinis

Ada 4 keluhan utama obstruksi intestinal yaitu nyeri perut hebat (kolik),
distensi abdomen, muntah, dan konstipasi. Timbulnya gejala-gejala tersebut
dipengaruhi oleh lokasi dan tipe obstruksi.8,9 Muntah salah satu gejala awal
yang perlu dicermati terutama bila terjadi obstruksi proksimal, karena pada
obstruksi yang lebih distal keluhan muntah terjadi kemudian.10 Muntah yang
terjadi pada masa neonatus sering disertai gejala intoleransi asupan makanan,
distensi abdomen, kegagalan ekskresi mekonium dan tanda peritonitis (nyeri
tekan, nyeri lepas).11

Muntah hijau merupakan karakteristik obstruksi saluran cerna distal


dari ampula Vater. Muntah yang tidak hijau dapat akibat obstruksi saluran
cerna daerah duodenum proksimal ataupun pilorik. Pada kondisi muntah yang
tidak hijau harus dieksklusi akibat non-bedah; antara lain akibat penyakit
gastroesofageal refluks, kesulitan makan (nutrisi kurang maupun berlebihan),

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 57
infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, peningkatan tekanan intra kranial,
alergi makanan, maupun sindrom adrenogenital.12

Pada obstruksi proksimal, contohnya atresia duodenum, muntah terjadi


segera pada introduksi asupan makan, sedangkan obstruksi yang lebih distal
(ileum dan kolon) terjadi pada 24-48 jam kehidupan dengan manifestasi
distensi abdomen yang lebih mengemuka.11 Kondisi midgut volvulus
mamberikan keluhan yang bervariasi, 50% terjadi pada minggu pertama
kehidupan dan 60% terjadi pada akhir bulan; sering disertai muntah hijau yang
terjadi tiba-tiba yang awalnya toleransi terhadap asupan makan.

Informasi mengenai pasase mekonium akan menambah nilai


diagnostik. Neonatus normal akan mengeluarkan mekonium pada 24 jam
pertama kehidupan. Mekonium yang tidak ke luar menunjukkan obstruksi
total. Neonatus dengan penyakit Hirchprung ataupun obstruksi fungsional akan
mengeluarkan mekonium dalam jumlah sedikit.11

Pada anak yang lebih besar, nyeri perut akut yang disertai muntah hijau
perlu dipertimbangkan etiologi obstruksi saluran cerna setelah dieksklusi ke
arah etiologi non-bedah.13 Riwayat nyeri perut sebelumnya perlu dievaluasi
termasuk intensitas sakit saat diperiksa. Bila disertai tinja berdarah
kemungkinan telah terjadi iskemia usus. Demam yang terjadi setelah muntah
atau nyeri perut (bukan yang terjadi saat awal keluhan) menunjukkan
kemungkinan sudah terjadi peritonitis.13

Pada saat evaluasi klinis perlu diperhatikan evaluasi appearance saat


primary survey yang meliputi apakah bayi/anak tampak letargi, apakah ada
kontak mata, apakah mudah ditenangkan oleh ibu/pengasuhnya, serta apakah
masih bisa berinteraksi). Asupan cairan dan makan perlu dievaluasi (luaran

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 58
urin dan asupan makanan apakah berkurang). Derajat aktivitas perlu dievaluasi
apakah bayi/anak menunjukkan keaktifan yang normal, tidur terbaring atau
menunjukkan gerakan yang menahan sakit. Rasa nyeri yang tajam, terlokalisir,
dan bertambah sakit saat bergerak kemungkinan besar berasal dari reseptor
somatoparietal di peritoneum, otot, maupun kulit. Nyeri pada penekanan dan
nyeri lepas menunjukkan keadaan peritonitis. Pada auskultasi bila tidak
terdengar bising usus menunjukkan kondisi ileus ataupun peritonitis;
sedangkan bising usus yang meningkat menunjukkan obstruksi saluran cerna.13

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap termasuk


hitung jenis lekosit, laju endap darah, C-reactive protein, urinalisis, termasuk
uji kehamilan. Uji fungsi hati, kadar amilase dan lipase; serta uji darah samar.14

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan pilihan pertama diagnostik pada


nyeri perut akut yang cukup murah dan tidak menyebabkan radiasi.15
Kecurigaan akan intususepsi dengan ditemukannya tanda "donut".
Pemeriksaan USG merupakan pilihan utama pada kecurigaan akan pyloric
stenosis, apendisitis, kolesistitis, pankreatitis, batu ginjal, kita ovarium, torsi
ovarium.

Radiografi abdominal bermanfaat untuk mendeteksi kelainan akibat


distensi abdomen, riwayat operasi sebelumnya, bising usus abnormal, atau
adanya petanda peritonitis. Pemeriksaan radiografi juga dapat mendeteksi batu
ureter maupun ginjal, massa intra abdomen, tertelan benda asing termasuk
bezoar, perforasi usus dengan udara bebas, dan konstipasi.16 Pemeriksaan CT
abdomen digunakan pada kecurigaan komplikasi contohnya nekrosis pankreas,

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 59
terbentuknya abses pada apendisitis, maupun torsi omentum dan limfadenitis
mesenterium.16

Tabel 1. Gejala dan tanda nyeri perut akut yang mungkin memerlukan
tindakan bedah

Bising usus menghilang


Muntah hijau
Diare berdarah atau tinja berdarah
Suhu meningkat > 38,0oC
Nyeri lepas
Rigiditas (akibat defense muscular)
Defense muscular

Tata Laksana

Evaluasi cepat setelah dilakukan pemeriksaan fisik (primary survey) terutama


derajat kesakitan dan status hidrasinya. Atasi dehidrasi dan kelainan elektrolit
yang terjadi akibat muntah maupun asupan cairan dan makanan yang
berkurang. Bila terdapat nyeri hebat maka dapat diberikan golongan opiat yang
tidak akan memengaruhi akurasi diagnosis.17 Konsultasi pada bedah anak
sebaiknya segera dilakukan sambil menegakkan diagnosis.

Apendisitis dapat terjadi pada usia berapa saja tetapi puncaknya pada
masa remaja akibat hiperplasia limfoid folikular.18 Pemeriksaan klinis tidak
dapat membedakan antara apendisitis dengan limfadenitis mesenterium.19
Beberapa sistem skor digunakan untuk mendiagnosis apendisitis di antaranya
adalah the Pediatric Appendicitis Score dan the Alvarado Score.20

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 60
Pada bayi dan usia di bawah tiga tahun, keluhan nyeri perut akut dapat
disebabkan oleh intususepsi, divertikel Meckel, malrotasi midgut, dan hernia
inguinalis. Intususepsi biasanya terjadi di bawah usia 2 tahun, dengan gejala
nyeri tekan pada daerah kuadran kanan bawah, teraba massa berbentuk pisang
di daerah abdomen, tinja seperti agar berwarna merah (red currant jellystool)
akibat kongesti vena usus yang mengalami intususepsi. Penyebabnya pada
90% kasus adalah idiopatik, dan sekitar 10% akibat lead point atau sticky pot
di kolon. Enema gunakan kontras ataupun udara dapat sebagai tindakan
diagnostik sekaligus terapeutik bagi intususepsi.21

Divertikel Meckel dapat menimbulkan gejala perdarahan saluran cerna,


divetikulitis, obstruksi usus, peritonitis, intususepsi, atau volvulus. Separuh
kasus tersebut terjadi pada anak kurang dari 4 tahun. Malrotasi midgut
menyebabkan volvulus berakibat muntah hijau, nyeri perut, diare dan tinja
berdarah pada kasus yang lanjut.21

Daftar Pustaka

1. Ross III AJ. Intestinal obstruction in the newborn. Pediatr Rev.


1994;15:338-47.
2. Verma A, Rattan KN, Yadav R. Neonatal intestinal obstruction: A 15-year
experience in a tertiary care hospital. J Clin Diagnostic Res.
2016;10(2):SC10-3.
3. Seth A, Chanchlani R, Rakhonde AK. Neonatal gastrointestinal
emergencies in a tertiary care centre in Bhopal, India: A prospective Study.
IJSS J Surg. 2015;1(2):1-4.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 61
4. Nasir GA, Rahma S, Kadim AH. Neonatal intestinal obstruction. East
Mediterr Health J. 2000;6:187-93.
5. Ullah S, Khan M. Intestinal obstruction: A Spectrum of causes, Department
of Surgery, Postgraduate Medical Institute Lady Reading Hospital,
Peshawar Pakistan. JPMI. 2008;8(1):210–3.
6. Wangensteen OH. Understanding the bowel obstruction problem. Am J
Surg. 1978;135(2):131-49.
7. Rana SV, Bhardwaj SB. Small intestinal bacterial overgrowth. Scand J
Gastroenterol. 2008;43(9): 1030-7.
8. Cirocchi R, Abraha I, Farinella E, Montedori A, Sciannameo F.
Laparoscopic versus open surgery in small bowel obstruction. Cochrane
Database Syst Rev. 2010;17(2):751.
9. Khanzada TW, Samad A. Etiological spectrum of dynamic intestinal
obstruction, Department of Surgery, Isra University Hospital, Hyderabad,
Pakistan. Gomal J Med Sci. 2006;12(1):35–6.
10. Bailey PV, Tracy TF Jr, Connors RH, Mooney DP, Lewis JE, Weber TR.
Congenital duodenal obstruction: a 32-year review. J Pediatr
Surg. 1993 Jan;28(1):92-5.
11. Grob M. Intestinal obstruction in the newborn infant. Arch Dis Child.
1960;35:40.
12. Llyod DA, Kenny SE. Congenital anomalies. In: Walker WA, Goulet O,
Kleinman RE, Sherman IM, Shneider BC, Sanderson IA. Walker's
Pediatric Gastrointestinal Disease. 4th ed. Ontario: BC Decker; 2004.
p.561-8.
13. Reust CE, Williams A. Acute abdominal pain in children. Am Fam
Physician. 2016;93(10):830-6.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 62
14. Kwan KY, Nager AL. Diagnosing pediatric appendicitis: usefulness of
laboratory markers. Am J Emerg Med. 2010;28(9):1009-15.
15. Shah S. An update of common gastrointestinal emergencies. Emerg Med
Clin North Am. 2013;31 (3):775-93.
16. Carty HM. Paediatric emergencies: non-traumatic abdominal emergencies.
Eur Radiol. 2002;12 (12):2835-48.
17. Sharwood LN, Babl FE. The efficacy and effect of opioid analgesia in
undifferentiated abdominal painin children: a review of four
studies.Paediatr Anaesth. 2009;19(5):445-51).
18. Bundy DG, Byerley JS, Liles EA, Perrin EM, Katznelson J, Rice HE. Does
this child have appendicitis? JAMA. 2007;298(24):2895-904.
19. Toorenvliet B, Vellekoop A, Bakker R, Wiersma F, Mertens B, Merkus
J, et al. Clinical differentiation between acute appendicitis and acute
mesenteric lymphadenitis in children. Eur J Pediatr Surg. 2011;21(2):120-
3.
20. Ebell MH, Shinholser J. What are the most clinically useful cutoffs for the
Alvarado and Pediatric Appendicitis Score? A systematic review. Ann
Emerg Med. 2014;64(4(:365-72.e2.
21. Pepper VK, Stanfill AB, Pearl LH. Diagnosis and management of pediatric
appendicitis, intussusceptions, and Meckel diverticulum. Surg Clin North
Am. 2012;92(3):505-26.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 63
Diare Persisten Pada Anak HIV/AIDS

Dr. dr. Sulaiman Yusuf, Sp.A(K)


Divisi Gastroentero-Hepatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unsyiah/Rumah Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh

Pendahuluan
Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di banyak negara
berkembang termasuk Indonesia. Walaupun telah banyak kemajuan diperoleh
di bidang pemberantasan penyakit diare di Indonesia namun hingga kini angka
kesakitan diare tetap masih tinggi. Angka kesakitan diare diperkirakan antara
120-130 kejadian per 1000 penduduk, 60% kejadian diare tersebut terjadi pada
balita. Telah banyak kemajuan yang diperoleh sehingga angka kematian dari
diare akut sudah dapat ditekan, tetapi angka kematian diare persisten pada anak
balita masih tinggi yaitu berkisar antara 23-62% dengan rata-rata 45%. Di
samping itu penderita diare persisten juga akan mengalami gangguan
pertumbuhan di kemudian hari.1
Diare persisten pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
terjadi akibat berbagai penyebab, termasuk infeksi bakteri (Salmonella,
Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang
umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus
(CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang
digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV, terutama
selama infeksi HIV utama.2

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 64
Bagi penderita infeksi HIV, diare persisten merupakan komplikasi yang
biasa terjadi di mana 60-90% di negara berkembang. Suatu studi di India
menyatakan bahwa diare merupakan manifestasi klinikal ketiga paling banyak
pada pasien Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Walaupun begitu,
sampai 50% pasien tidak dapat diidentifikasi patogen pada ususnya. Hal ini
kerana infeksi intestinal pada HIV berkait dengan enteropati pada AIDS dan
organismenya masih tidak dapat dideteksi seperti prevalensi infeksi
mikrosporidia pada pasien HIV diperkirakan 15%.3
Diare merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering dijumpai
pada anak dengan HIV/AIDS. HIV tidak hanya menyerang orang dewasa saja
melainkan juga pada anak. Penularan ini dapat terjadi karena adanya transmisi
virus pada kehamilan, pada saat melahirkan, maupun pada saat menyusui. Saat
virus HIV menjangkiti tubuh, virus akan menyerang dan merusak sel-sel
limfosit T CD4+ sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap
berbagai penyakit infeksi.2
Adanya virus HIV di dalam tubuh tidak hanya mempengaruhi sistem
imun melainkan juga dapat mempengaruhi sistem saraf bahkan gastrointestinal
(GI). Gangguan GI terlihat pada 50% pasien AIDS di Amerika Utara atau
Eropa dan sebesar '90% pada negara berkembang. Salah satu manifestasi
umum gangguan GI pada pasien dengan HIV/AIDS adalah diare.1
Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau
tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare dapat dikelompokkan
berdasarkan durasi dan gejalanya menjadi diare akut, persisten, dan kronik.
Pada HIV/AIDS, diare yang terjadi umumnya berupa diare persisten dan kronis
atau diare yang terjadi berulang. Penyebab diare pada pasien dengan
HIV/AIDS adalah karena infeksi protozoa, bakteri, virus, helmintik, fungi,

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 65
maupun karena efek samping pengobatan dan malnutrisi. Diare dapat
mengakibatkan kematian atau kehilangan kemampuan anak apabila tidak
didiagnosis dan ditangani dengan baik.2

Definisi
Diare persisten adalah episode diare lebih dari dua minggu yang
sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi.1
Berdasarkan The American Gastroenterological Association diare persisten
adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 2 minggu, oleh etiologi
infeksi serta memerlukan pemeriksaan labih lanjut.1
Diare persisten atau kronis merupakan suatu kondisi episode diare lebih
dari dua minggu yang disertai dengan kondisi penurunan berat badan atau
sukar naik. Diare yang berlangsung lebih dari 14 hari di definisikan sebagai
diare persisten apabila etiologinya adalah infeksi, dan didefinisikan sebagai
diare kronis apabila etiologinya non-infeksi.1

Epidemiologi
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare
pada balita, insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar
antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari
keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukan bahwa diare persisten
dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat
kematian anak di dunia.3
Di Indonesia diare persisten/kronik sebesar 0,1% dengan angka
kejadian tertinggi anak-anak berusia 6-11 bulan. Penyebab diare persisten

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 66
dan penyakit penyerta adalah terbanyak adalah gizi buruk 36,6%, alergi
susu sapi 31,7%, infeksi saluran kemih 24,4%, HIV 19,5%.4
Infeksi HIV/AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika pada 1981 pada
orang dewasa homoseksual dan pada anak ditemukan 1983. Sedangkan di
Indonesia kasus HIV pertama kali ditemukan pada 1987 yaitu pada pasien
dewasa di Bali. Infeksi HIV adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus HIV. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit
yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun sebagai akibat dari infeksi
HIV.5
Data terbaru dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI secara kumulatif dari 1
April 1987 sampai 31 Maret 2016, total pasien dengan infeksi HIV adalah
191.073 kasus dan penderita AIDS adalah 77.940 kasus. Untuk Aceh
didapatkan 303 kasus HIV dan 276 kasus AIDS (prevalensi 6.14 per 100.000
penduduk). Sejak epidemi HIV, AIDS telah merenggut nyawa lebih dari 25
juta orang di dunia. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena
AIDS dan 500.000 di antaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun.5
Berdasarkan Data Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia 2011-
2016 oleh Kementerian Kesehatan RI (2013) bahwa total penderita AIDS pada
anak 16.884 kasus (sekitar 2,77%) dari keseluruhan kasus AIDS. Jumlah
penderita infeksi HIV baru pada anak yaitu 5,7% (4.361 kasus) dari total kasus
baru dan jumlah kematian anak akibat AIDS 1.839 orang (6,7%) dari total
jumlah penderita yang meninggal. Tampak terjadi peningkatan setiap
tahunnya.5
Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada subpopulasi yang
berperilaku risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya
bahkan anaknya. Pada akhir 2015 terjadi penularan secara kumulatif pada lebih

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 67
38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Para ibu ini
sebagian besar tertular dari suaminya.5
Kasus HIV/AIDS di Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh diyakini
bagaikan fenomena gunung es, laporan resmi jumlah kasus tidak
mencerminkan masalah yang sebenarnya. Artinya, banyak kasus tidak
terdeteksi. Jadi, itu ada rasionya 1 : 200, dimana ada satu kasus yang
terdeteksi, berarti ada 200 kasus lainnya yang positif. Kalau angka sekarang
hampir mencapai 300 orang positif HIV di Provinsi Aceh. Berarti tinggal
dikalikan, 300 x 200 berapa? Ada sekitar 60 ribu kasus. Kalau dilihat dari rasio
maka di Aceh ada sekitar 60 ribu orang yang positif HIV. Untuk itu
pemerintah wajib memberikan perhatian khusus, jangan sampai di Aceh yang
merupakan daerah yang menerapkan Syariat Islam menjadi nomor satu kasus
HIV/AIDS di Indonesia.6

Etiologi
Pada umumnya para ahli sependapat bahwa penyebab diare
persisten/kronik sangat kompleks dan merupakan gabungan banyak faktor
yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Faktor etiologi diare
persisten/kronik menurut PRITECH/WHO adalah :1
1. Kuman penyebab yang khusus
a. Kuman yang sering ditemukan pada diare persisten dari pada diare
akut
- Enteroadherent E. Coli
- Cryptosporidium
- Enteropathogenic E. Coli

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 68
b. Kuman yang dijumpai dengan frekuensi sama antara diare persisten
dan diare akut
- Shigella
- Non-typhoid Salmonella
- Campylobacter jejuni
- Enterotoxigenic E. Coli
- Giardia lamblia
- Entamoba histolytica
- Clostridium lamblia
2. Faktor host
- Gizi buruk : atrofi mukosa usus, regenerasi epitel usus berkurang,
pembentukan enzim serta penyerapannya terganggu
- Defisiensi zat imunologis
- Defisiensi enzim laktase
- Alergi makanan
3. Faktor-faktor lainnya
- Penanganan diare yang tidak efektif
- Penghentian ASI dan makanan
- Penggunaan obat-obatan antimotilitas

Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat


menyebabkan diare persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa
parasit yang terbanyak dijumpai pada penderita HIV dengan diare persisten
adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi infeksi oportunistik ini
meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah.7 Schmidt (1997)
mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare
persisten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 69
luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-
pasien HIV tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase
lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis.8 Grohmann et al
(1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan
Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.9

Patogenesis
Cryptosporidium, Microsporidium, dan Isospora belli merupakan
protozoa yang paling sering menginfeksi saluran cerna dan menimbulkan diare
pada pasien HIV. Infeksi menular melalui rute feses-oral, kontak seksual,
makanan, minuman, atau hewan.10 Infeksi dapat menimbulkan gejala beragam,
dari diare ringan atau intermitten pada tahap-tahap awal infeksi HIV sampai
diare berat yang mengancam nyawa pada pasien dengan gangguan kekebalan
yang parah.10,11
Yang berperan pada pathogenesis diare terutama karena infeksi yaitu
faktor kausal (agent) dan faktor pejamu (host). Faktor pejamu adalah
kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat
menimbulkan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare, Terdiri
dari faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna antara
lain keasaman lambung, motilitas usus, imunitas dan juga lingkungan
mikroflora usus. Pada pasien penderita HIV, terjadi penurunan sistem imunitas
yang bermakna, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme. Faktro
kausal yaitu daya penetrasi yang dapat masuk sel mukosa, kemampuan
memproduksi toksin yang memperngaruhi sekresi cairan usus halus serta daya
lekat kuman.10-12

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 70
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-
anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus
HIV terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi
penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria.
Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.1
Kerusakan mukosa usus, pada tahap awal kerusakan mukosa usus
disebabkan oleh penyebab diare akut yang tidak mendapatkan penanganan
yang baik. Berbagai faktor melalui interaksi timbal balik yang tidak hanya
menyebabkan perbaikan kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga
menimbulkan kerusakan mukosa yang lebih berat dengan berbagai
komplikasi.13

Defisiensi zat imun Infeksi & overgrowth bakteri

Kerusakan epitel usus

Laktase↓ Protase ↓
KEP

Hepar Atrofi mukosa lambung & vili Pankreas


Dekonjugasi & usus Pankreozimin & ↓ polipeptida
dehidroksilasi asam gastrin, HCL, pepsin, sekretin↓ pankreas
empedu

ATP-ase↓ Maldigesti/malabsorp Sekresi & Motilitas↓ Absorpsi protein


si nutrien asing↑

Tekanan koloid osmotik↑


Alergi sensitisasi
DIARE
PERSISTEN/KRONIS

Gambar. Konsep patogenesis diare persisten dan kronis1,13

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 71
Diagnosis
Evaluasi pada pasien dengan diare persisten/kronis meliputi :1,3
1. Anamnesis
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare,
antara lain berapa lama diare sudah berlangsung dan frekwensi berak.
Selain itu anamnesis juga bertujuan untuk mengetahui factor-faktor risiko
penyebab diare, antara lain riwayat pemberian makanan atau susu, ada
tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat dan adanya
penyakit sistemik.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada diare persisten/kronis harus mencakup perhatian
khusus pada penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status
perkembangan anak.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah
lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12,
asam folat, kalsium, ferritin, laju endap darah, dan protein C reaktif.
Pemeriksaan serum Ig deteksi adanya defisiensi imun, HIV testing
untuk pemeriksaan kadar CD4 pada kasus sangkaan infeksi
HIV/AIDS.
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas
jika curiga ada pankreas, pH tinja <5 menandakan adanya
intoleransi laktosa. Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 72
kemungkinan infeksi protozoa seperti giardiasis, dan amebiasis yang
banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten.

Tatalaksana
Penatalaksanaan diare persisten meliputi rehidrasi enteral/parenteral,
nutrisi dan medikamentosa.1,3
1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi
secepatnya. Diare persisten seringkalai disertai gangguan elektrolit
sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi
hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotika spektrum luas harus
dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi
kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
2. Terapi Nutrisi
a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten
Kebutuhan energy dan protein pada diare persisten berturut-turut
sebesar 100 kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan
asupan yang mengandung energi 1 kcal/g. Pilihan terapi nutrisi
dapat meliputi : diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet
berbahan dasar ayam.
b. Pemberian mikronutrien zinc, vitamin A dan zat besi.
3. Medikamentosa
Antibiotik diberikan jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi
intestinal maupun ekstra-intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah,
segera diberikan antibiotic yang sensitive untuk shigellosis.
Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) untuk penyebab
Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia. Jika dicurigai penyebab

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 73
adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja
dan sensitivitas. Infeksi bakteri Mycobacterium Avium Kompleks
menyebabkan demam berlanjutan, keringat pada malam hari, berat badan
menurun, anemia, nyeri badan, pusing, diare, dan kelemahan. Bakteria
yang menyebabkan infeksi ini biasanya ditemui dalam air, habuk, tanah,
dan tinja burung. Infeksi ini biasanya terjadi apabila jumlah sel CD4+
kurang dari 50 mm3 darah. Azithromycin biasanya diberikan sebagai
pengobatan pencegahan.14 Tatalaksana paling efektif untuk diare ini
adalah penggunaan Antiretroviral (ARV) yang mengontrol
kriptospiridosis yang persisten. Nitazoxanid disetujui untuk terapi (usia
1-3 tahun: 100 mg, 2x/ hari ; usia 4-6 tahun: 200 mg, 2x/hari).15

Kesimpulan
Diare merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering dijumpai
pada anak dengan HIV/AIDS. HIV tidak hanya menyerang orang dewasa saja
melainkan juga pada anak. Penularan ini dapat terjadi karena adanya transmisi
virus pada kehamilan, pada saat melahirkan, maupun pada saat menyusui. Saat
virus HIV menjangkiti tubuh, virus akan menyerang dan merusak sel-sel
limfosit T CD4+ sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap
berbagai penyakit infeksi.
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca
infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus,
sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten.
Talaksanaan diare persisten meliputi rehidrasi enteral/parenteral, nutrisi
dan medikamentosa. Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi
dan rehidrasi secepatnya. Diare persisten seringkalai disertai gangguan
elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 74
hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotika spektrum luas harus
dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi
kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.

Kepustakaan
1. Soenarto Y. 2015. Diare Kronis dan Diare Persisten, Buku ajar
gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
2. Matondang SC, Kurniati N. 2010. Infeksi HIV pada Bayi dan Anak, Buku
ajar Alergi-imunologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
3. Hegar B, Yuliarti K, Gandaputra E. Buku Pedoman Pelayanan Medis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Penerbit IDAI. Jilid 2. 2011. hal 56-63.
4. International Child Health. 2007. Diare persisten. International
Child Health.
5. Aslinar. HIV/AIDS pada Anak. Koran Serambi Indonesia. Sabtu, 3
Desember 2016.
6. Jamil KF. Jumlah pasien HIV/AIDS berobat terus meningkat. Tabloid
RSUDZA Lam Haba. Edisi 17/Tahun II/2017.
7. Attili SVS, Gulati AK, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4
counts and enteric infections in a hospital-based cohort of HIV-infected
patients around Varanasi, India. BMC Infectious Diseases. 2006: 6: 39.
8. Schimdt W, Schneider T, Heize W, Schultz D, Weinke T, Ignatius R,
Owen EY, Zeitz, Reichen T, Ulrich R. Mucosal Absorbtion In
Microsporisiasis. AIDS. 1997; 11: 1589-1594.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 75
9. Grohmann GS, Roger GW, Perreira HG, Monroe SS, Hightower AW,
Weber R, Brian RT. Enteric Viruses And Diarrhea In HIV Infected
Patient. 1993; 329: 14-20.
10. McPhee,dkk.Current Medical Diagnosis & Treatment 2011 Fiftieth
Edition.. Mc Graw Hill.2011. USA
http://emedicine.medscape.com/article/211316-clinical#showall.
11. Brian A. Boyle, MD posted: 07/01/2001; AIDS Read. 2001;
11(7) © 2001 Cliggott Publishing, Division of CMP Healthcare Media
http://emedicine.medscape.com/article/ 211316-overview#showall Ana
Luiza Werneck-Silva; Ivete Bedin Prado Posted: 02/18/2009; J
Gastroenterol Hepatol. 2009;24(1):135-139. © 2009 Blackwell Publishing.
12. Price,Sylvia.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6.EGC.2003.Jakarta
13. Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-prose
Penyakit, ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
14. Maartens, G., Celum,C., dan Lewin, SR. (2014). HIV infection:
epidemiology, pathogenesis, treatment, danprevention. Lancer. 384,
pp.258-327.
15. Purnaningtyas Dewi A. Faktor Resiko Kejadian HIV Pada Anak Dari Ibu
Hamil Yang Terinfeksi HIV. RSUP Dr. Kariadi Semarang, Indonesia :
Universitas Diponegoro, 2011

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 76
The Evidence of Zinc in Reducing
the Prevalence of Diarrhea

I Putu Gede Karyana, I Gusti Ngurah Sanjaya Putra,


Ni Nyoman Metriani Nesa
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Suplemen zink merupakan intervensi penting untuk mengobati episode diare
pada anak-anak. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemberian zink
bersama rehidrasi dengan oralit baru (cairan rehidrasi oral osmolaritas rendah),
dapat mengurangi durasi dan tingkat keparahan episode diare. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan suplemen zink
harian 20 mg zink untuk 10-14 hari untuk anak-anak di atas usia 6 bulan dan
10 mg per hari untuk bayi di bawah usia enam bulan dengan diare.
Suplemetasi zink ini mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan episode
diare serta mencegah kejadian diare sampai dua-tiga bulan berikutnya.
Suplementasi zink pada anak di Negara berkembang juga dikaitkan dengan
pengurangan angka diare yang merupakan penyebab kematian yang paling
sering.
Katakunci: diare, cairan rehidrasi oral, zink, prevalensdiare

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 77
Pendahuluan
Diare akut masih menjadi penyebab utama kematian anak meskipun upaya
rehidrasi oral (URO) tak terbantahkan telah menunjukkan keberhasilan. Diare
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di seluruh
dunia. Episode diare diperkirakan terjadi 1,5miliar episode tiap tahunnya, serta
mengakibatkan 1,5-2,5 juta kematian setiap tahunnya pada anak-anak di bawah
usia lima tahun.1,2 Catatan lebih buruk ditemukan di negara-negara
berkembang, karena dipengaruhi oleh factor infeksi, kekurangan gizi, dan buta
huruf. Insiden diare di Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 2000
insiden penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000
penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010
menjadi 411/1000 penduduk. Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari
tahun ke tahun,diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di
Indonesia. Peningkatan kematian akibat diare adalah terutama terkait dengan
tatalaksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tatalaksana yang cepat dan tepat.3
Penggunaan larutan rehidrasi oral (oralit) menyelamatkan nyawa anak-anak,
tetapi tampaknya tidak memiliki efek pada pengurangan lama diare pada anak.

Saat ini telah direkomendasikan tatalaksana diare oleh Organisasi


Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, bekerja sama dengan United States
Agency for International Development (USAID) dan ahli lainnya.
Rekomendasipenggunaan zink bersama dengan oralit osmolaritas
rendah(dengan pengurangan kadar glukosa dan garam) selama diare akut,
mampumengurangi durasi dan keparahan episode diare. Suplemen zink
diberikan selama 10-14 hari menurunkan kejadian diare untuk dua sampai tiga
bulan berikutnya.4

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 78
Meskipun terbukti bemanfaat, ada sedikit hambatan pada pengenalan
luasoralit osmolaritas rendah dan zink untuk pengobatan diare. Banyak negara
telah mengubah kebijakan tatalaksana diare untuk menyertakanoralit
osmolaritas rendah dan zink, tetapi masihada kesenjangan antara perubahan
kebijakan dan pelaksanaan program yang efektif, dengan sangat sedikit anak-
anak yang saat ini sedang diobati dengan tepat.5

Mekanisme Kerja Zink pada Diare


Efek fisiologis zink pada transport ion di usus belum jelas secara
menyeluruh. Dalam penelitianin-vitro dengan ileum tikus yang telah
dipublikasi didapatkan bahwa zink menghambat induksi cAMP dan sekresi
cairan tergantung klorida dengan menghambat saluran kalium (K) basolateral.
Penelitian ini juga menunjukkan spesifisitas dari Zn terhadap saluran saluran
K diaktivasi cAMP. Zink tidak menghambat saluran K dimediasi kalsium (Ca).
Penelitian ini tidak dilakukan pada hewan dengan defisiensi Zn, ini
membuktikan bahwa Zn mungkin efektif tanpa adanya defisiensi Zn.6,7 Zink
juga meningkatkan penyerapan air dan elektrolit, regenerasi epitel usus, kadar
enzim brush border, dan respon imun, yang memungkinkan clearance yang
lebih baik terhadap patogen.8 Laporan lain memberikan bukti bahwa zink
menghambat toksin kolera, tetapi tidak toksin heat-stable dari Escherichia
coli.Sekresi ion diinduksi olehenterotoksin dalam kultur sel Caco-2.9 Dengan
demikian, zink berperan penting dalam modulasi pertahanan inang terhadap
agen infeksi dan mengurangi risiko, tingkat keparahan, dan durasi diare. Zink
juga memainkan peran penting dalam metallo-enzim, polyribosome, dan fungsi
membran sel dan selsendiri, sehingga memberikan keyakinan bahwa zink

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 79
memainkan peran sentral dalam pertumbuhan sel dan fungsi sistem kekebalan
tubuh.10

Farmakokinetik Zink pada Diare11


Penyerapan
Berat molekul zink elemental adalah 65,37 dan zinc sulfat adalah
287,5. Setiap gram zink sulfat merupakan 3,5 milimol Zn. Kelarutannya adalah
1 dalam 0,6 ml air dan tidak larut dalam alkohol. Zink dan garamnya kurang
diserap (hanya 20 sampai 30%) di duodenum dan ileum. Zink endogen diserap
kembali di ileum dan kolon, menciptakan sirkulasi enterohepatik.
Distribusi
Setelah penyerapan zink terikat oleh protein metallothionein dalam
usus. Zink didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, kemudian disimpan
dalam sel darah merah, leukosit, otot, tulang, kulit, ginjal, hati, pankreas,
retina, dan prostat. Luasnya pengikatan adalah 60-70% pada albumin plasma,
30-40% pada alpha 2 macroglobulins, dan 1% pada asam amino seperti
histidin dan sistein. Konsentrasi zinkplasma tertinggi adalahdalam dua
jamsetelahdikonsumsi.
Eliminasi
Zink diekskresi terutama dalam feses (90%) dan hanya sebagian kecil
ditemukan dalam urin. Sepertinya ginjal memainkan peran kecil dalam
mengatur zink tubuh.

Suplemen Zink Mengurangi Keparahan dan Durasi Diare


Sebuah penelitian menguji hipotesis bahwa suplementasi harian zink
memiliki efek pada perjalanan klinis diare akut pada 117 anak-anak, usia 6-59

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 80
bulan. Paramameter yang dinilai adalah frekuensi tinja, jumlah tinja, dan durasi
diare. Pengurangan frekuensi tinja per hari didapatkan 62% pada kelompok
dengan suplementasi zinc dan pengurangan 26% didapatkan pada kelompok
plasebo. Perbedaan yang jelas 36% antara dua kelompok dari hari pertama
sampai hari ke-3 dan hari ke-5 menjadi signifikan secara statistik. Demikian
pula, perbedaan yang signifikan didapatkan dalam pengurangan jumlah tinja
per hari dari hari pertama sampai hari ke-3 dan hari ke-5 dengan perbedaan
45% antara kedua kelompok.12
Sebuah meta-analisis dari 12 penelitian mengamati dampak suplemen
zink pada tatalaksana diare akut, 11 di antaranya menunjukkan pengurangan
durasi episode diare. Delapan dari penilitian tersebut, didapatkan pengurangan
signifikan secara statistik. Lima dari penelitian ini juga mengumpulkan data
volume tinja dan frekuensi defekasi, dan menemukan bahwa suplemen zink
mengurangi volume tinja dan frekuensi defekasi. Data menunjukkan bahwa
suplementasi zink memiliki dampak yang signifikan dan menguntungkan pada
perjalanan klinis diare akut, mengurangi baik durasi dan tingkat keparahan.3
Meta-analisis lain dari 18 penelitian oleh Lazzerinidkk., dengan
melibatkan 6165 partisipan menunjukkan bahwa pada diare akut, zink
mengurangi durasi diare, baik mengurangi diare kurang dari tiga hari, diare
kurang dari lima hari, maupun diare kurang dari tujuh hari. Zink juga
mengurangi durasi diare persisten. Beberapa penelitian melaporkan tingkat
keparahan diare, tetapi hasilnya tidak konsisten.13
Hasil sebuah kajian sistematik oleh Patel dkk. menunjukkan bahwa
suplemen zink mengurangi durasi rata-rata diare akut sekitar 20%, dan diare
persisten sebesar 15-30%, tetapi tidak memiliki efek yang signifikan pada
frekuensi atau volume tinja. Ada tingkat heterogenitas yang tinggi signifikan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 81
secara statistik di seluruh penelitian untuk efek suplementasi zink pada rerata
durasi diare dan risiko muntah setelah pemberian zink.14

Suplementasi Zink dalam Pencegahan dari Diare Akut dan Persisten


Beberapa penelitian yang mengevaluasi efek dari suplementasi zink pada
penyakit diare menemukan bahwa zink mempunyai efek pencegahan yang
cukup bertahan lama. Satu penelitian komunitas di Bangladesh yang
melibatkan 8070 anak 3-59 bulan mengamati efek preventif suplementasi zink.
Padapenelitiandengan cluster randomized comparison tersebut dilakukan
pengamatan selama2 tahun. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan zink
mampu mengurangi lama diare (hazard ratio 0,76, IK 95%, 0,65-0,90),
insiden diare (rate ratio 0,85, IK 95%, 0,76-0,96), kejadian masuk rumah sakit
(rate ratio 0,76, IK 95%, 0,59-0,89), angka kematian (rate ratio 0,49, IK 95%,
0,25-0,49) dan mencegah diare untuk 2-3 bulan berikutnya.15Badan Kesehatan
Sedunia (WHO) dan UNICEF kemudian merekomendasikan suplementasi
zink 20 mg per hari, selama 10-14 hari, untuk anak dengan diare, dan 10 mg
per hari pada bayi dibawah usia enam bulan, untuk mengurangi tinggat
keparahan diare dan mencegah kejadian diare 2-3 bulan setelah kejadian diare.

Suplementasi Zink pada Pengobatan Diare Persisten


Sebuah penelitian randomized controlled trial (RCT) mengevaluasi efek dari
pemberian suplementasi zink oral pada 40 bayi (usia 6-18 bulan) dengan diare
persisten (durasi lebih dari dua minggu). Penelitian ini menyimpulkan bahwa
pada diare persisten terjadi deplesi dari zink seiring dengan berjalannya
penyakit, dan pemberian suplementasi zink oral memperbaiki status zink dari
bayi.16

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 82
Sebuah analisis gabungan dari empat RCT melaporkan tentang efek
dari suplementasi zink oral pada anak dibawah usia lima tahun dengan diare
persisten. Analisa Cox survival regression digunakan untuk mengevaluasi efek
zink pada diare berkelanjutan. Suplementasi zink pada anak dengan diare
persisten mempunyai kemungkinan lebih rendah 24% untuk terjadi diare
berkelanjutan dan rerata gagal terapi atau kematian lebih rendah 42% dari pada
grup kontrol.17

Suplementasi Zink pada Pengobatan dan Pencegahan terhadap Diare


Berdarah
Penelitian yang dilakukan pada shigelosis akut menunjukan bahwa terapi zink
berhubungan dengan peningkatan respon antibodi terhadap antigen spesifik.
Kadar titer antibodi baktericidal terhadap Shigella meningkatkan proporsi dari
sel limfosit B dan sel plasma, dan juga terjadi respon proliferasi limfosit yan
glebih tinggi pada sirkulasi perifer, selama fase konvalesen awal dari
shigelosis. Semua ini menjadikan alasan yang jelas untuk pemberian
suplemetnasi zink sebagai terapi tambahan selain terapi antibiotik pada diare
berdarah.18

Suplementasi Zink pada Pencegahan Diare


Penelitian yang dilakukanuntuk menilai efek suplementasi zink dalam
pencegahan diare dan pneumonia dengan menggunakan analisis
gabungan terhadap randomized controlled trials pada anak-anak di negara-
negara berkembang.Suplemen oral yang mengandung setidaknya satu setengah
dari United States Recommended Daily Allowance (RDA) zinkdiberikan pada
anak-anak <5 tahun, 5 sampai 7 kali per minggu selama 2 minggu, kemudian

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 83
diikuti 2 sampai 3 bulan untuksurveilans morbiditas. Suplementasi zink pada
anak-anak di negara berkembang ternyatadikaitkan dengan pengurangan
tingkat diare yang substansial sebagai penyebab utama kematian.19

Suplemetasi Zink dan Cost-effectiveness


Sebuah penelitian menganalisa biaya tambahan, efek, dan cost-
effectiveness biaya ketika zink diberikan sebagai terapi tambahan dari terapi
standar pada anak dengan diare, termasuk disentri, dan menaksir cost-
effectiveness kembali manajemen standar diare dengan menggunakan oralit.
Analisis kemungkinan cost-effectiveness dilakukan dengan menggunakan
tehnik simulasi Monte-Carlo dan hal yang mempengaruhi parameter tunggal
dieksplorasi dengan menggunakan One-way sensitivity analyses. Pada
penelitian ini, cairan oralit memiliki cost-effectiveness yang lebih rendah.
Penggunaan zink sebagai terapi tambahan, secara signifikan meningkatkan
cost-effectiveness daritatalaksana standar dari diare baik untuk disentri maupun
penyakit selain disentri.20

Suplemetasi Zink dan Penggunaan Antibiotik yang Irasional


Penggunaan antibiotik pada diare adalah salah satu faktor penyumbang
terbesar terjadinya resistensi antibiotik pada negara berkembang. Pada sebuah
penelitian pada daerah rural di Bangladesh menemukan bahwa 26% dari obat-
obatan yang paling sering dibeli adalah antibiotik, dimana pembelian obat
tersering untuk anak pada usia 0-4 tahun adalah untuk mengobati diare. Sebuah
penelitian berbasis komunitas (Community-based controlled trial) yang
dilakukan di Bangladesh di 30 daerah di sekitar Matlab Treatment Center,
dengan jumlah anak pada setiap daerah sekitar 200 anak berusia antara 3

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 84
hingga 59 bulan, setiap area secara acak dilakukan intervensi dan kontrol.
Setiap anak dengan usia 3 hingga 59 bulan dimasukan dalam penelitian.
Penurunan penggunaan antibiotik secara signifikan tampak pada grup
intervensi yang menunjukkan bahwa keuntungan suplementasi zink dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada anak. Suplementasi zink untuk
diare dengan program edukasi selain dengan terapi rehidrasi oral, dapat
menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan yang dapat
menyebabkan resistensi.21

Dosis dan Lama Pemberian Zink pada Diare


Zink elemental digunakan secara oral sebagai tambahan terapi rehidrasi oral
pada diare akut. Untuk bayi usia kurang dari 6 bulan: 10 mg per hari selama
10-14 hari; dan pada anak-anak (6 bulan-5 tahun): 20 mg per hari selama 10-14
hari.22
Sebuah penelitian mengamati apakah terapi zink selama 5-hari atau
10-hari sama ampuh mencegah diare pada 3 bulan berikutnya di antara anak-
anak Bangladesh. Penelitian tersebut merupakan suatu randomized, double-
blind placebo controlled trial di daerah rural pada anak-anak usia 4-59 bulan.
Luaran yang diamati setelah pemberian 5-hari atau 10-hari terapi zink pada
diare akut adalah kejadian dan durasi diare selama 90 hari berikutnya. Anak-
anak (n=1.622) dengan diare akut secara acak dialokasikan baik untuk 5-hari
atau 10-hari pengobatan zink. Hasilnya, kejadian diare selama 90 hari
berikutnya tidak berbeda antara grup5-hari (1.0861.38) dan 10-hari (1.0261.35)
(p=0,35). Anak-anak pada kedua grup mengalami durasi episode diare
sebanding (3.165.6 hari vs 2.965.6 hari, 5-hari vs 10-hari, secara berurutan;
p=0,64) dengan perbedaan rerata antara grup dalam rentang ekuivalen yang

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 85
ditetapkan. Waktu untuk timbulnya episode pertama dan proporsi anak
mengalami diare selama 90-hari berikutnya juga tidak berbeda antara grup.
Temuan ini menunjukkan bahwa di antara anak-anak Bangladesh, 5-hari
pengobatan zink untuk diare akut sama ampuhnya dengan 10-hari dalam
mencegah diare pada 3 bulan berikutnya.23

Cara Memberikan Garam Zink


Zink sulfat, asetat, dan glukonat semuanya merupakan formulasi garam zink
yang telah digunakan secara luas. Zink sulfat bersifat aman, murah, dan sangat
efektif sehingga optimal untuk digunakan dalam program nasional. Tablet zink
sulfat dapat terdistribusi melalui air susu ibu, cairan rehidrasi oral, atau pada
air. Anak yang lebih tua dapat mengunyah tablet atau menelan langsung
dengan menggunakan air. Tablet zink sulfat terdispersidansirupjuga telah
tersedia, mengandung 10 atau20 mg zink elemental.22

Interaksi Obat
Bila zink diberikan bersamaan dengan beberapa obat tertentu, maka interaksi
obat dapat terjadi. Phytate yang terdapat pada makanan pokok seperti sereal,
jagung, dan nasi, dapat menurunkan penyerapan zink. Penelitian in vitro
menunjukkan bahwa zink dapat dipresipitasi oleh fosfat dan phytate pada pH
yang mendekati pH lumen usus. Produk susu dan roti menurunkan absorpsi
zink. Kopi juga menghambat penyerapan zink. Suplemen besi menghambat
absorpsi zink sehingga suplementasi zink sebaiknya diberikan 2 jam sebelum
zat besi. Penicillamine dan chelator lainnya mengurangi absorpsi zink. Garam
kalsium mengurangi absorpsi zink. Tetrasiklin oral mengurangi absorpsi zink,
sehingga suplementasi zink diberikan 2 jam sebelum tetrasiklin. Asam amino,

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 86
seperti histidin dan metionin, dan ion lain dengan berat molekul rendah seperti
EDTA dan asam organik (misal sitrat), meningkatkan absorpsi zink. Zink
menghambat absorpsi copper dari intestin. Diuretik thiazid meningkatkan
ekskresi zink melalui urin. Zink mengurangi absorpsi siprofloksasin,
levofloksasin, dan ofloksasin. Absorpsi dari garam zink dan garam besi akan
menurun bila dikonsumsi secara bersamaan.22,24,25

Efek Samping dari Suplementasi Zink


Sampai saat ini belum ada laporan mengenai reaksi simpang yang berat dari
segala bentuk suplementasi zink yang digunakan untuk terapi diare. Dosis zink
40 mg dapat digunakan secara aman dan diterima oleh Food and Drug
Administration (FDA). Dosis zink yang melebihi dosis tesebut dapat
menimbulkan risiko. Terlalu banyak zink yang diberikan dapat mengganggu
metabolismedan absorpsi mineral esensial yang lain, terutama besi,
magnesium, dan copper, dapat menurunkan fungsi imunitas, serta menurunkan
kadar HDL. Suplementasi oral zink sulfat dapat menimbulkan efek samping
seperti gejala gastrointestinal, heartburn, dan nausea. Efek samping yang
jarang meliputi demam, nyeri tenggorokan, sariawan, kelemahan dan
kelelahan. Beberapa penelitian efektivitas zink pada lebih dari 8.500 anak yang
berpartisipasi sebagai grupplasebo dan zink, dengan hampir 12.000 anak yang
diobservasi per tahun, menunjukkan bahwatidak ada perbedaan reaksi simpang
pada pemberian garam zink yang berbeda (sulfat, asetat, dan glukonat). Satu
penelitian menunjukkan efek samping berupa muntah lebih besar pada
kelompok zink dibandingkan kontrol, ketika zink diberikan bersamaan dengan
beberapa mikronutrien lain. Kadar copper telah dievaluasi pada 4 penelitian,
dan pada 3 penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan kadar copper

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 87
setelah suplementasi zink. Namun, satu penelitian menunjukkan penurunan
kadar copper yang signifikan pada kelompok anak malnutrisi dengan diare
persisten yang diberikan suplementasi zink. Tetapi dapat disimpulkan bahwa
tidak ada efek samping substansial pada pemberian suplementasi zink untuk
terapi diare yang dapat mempengaruhi kadar copper.26

Rekomendasi
World Health Organization (WHO) dan UNICEF telah merekomendasikan
penggunaan zink sebagai suplemen disamping terapi rehidrasi oral untuk
penatalaksanaan diare. Dosis zink elemental 20 mg per hari bersifat efektif dan
aman pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Pemberian zink direkomendasikan
untuk digunakan sejak pada layanan kesehatan primer.
Untuk efek yang maksimal, zink dan terapi rehidrasi oral sebaiknya
tersedia di masyarakat. Program berbasis komunitas dapat meningkatkan
penggunaan zink serta meningkatkan terapi rehidrasi oral pada komunitas yang
sama.
Revitalisasi tenaga kesehatan dengan menggapai masyarakat ekonomi
rendah sangat penting dalam mencapai tingkat cakupan sasaran. Selain itu,
kerjasama dengan sektor swasta, sektor medis dan non medis, serta formal dan
informal, dapat membantu mencapai perluasan program di populasi.4

Kesimpulan
Pemberian zink oral memberikan manfaat tambahan dalam menurunkan
jumlah, frekuensi, dan durasi diare, dengan sifat aman, sertaefektif untuk terapi
diare. Selain itu, pemberian zink selama 10-14 hari mencegah terjadinya diare
sampai 2-3 bulan berikutnya. Suplementasi zink pada anak-anak di negara

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 88
berkembang juga dikaitkan dengan pengurangan angka diare yang substansial
sebagai penyebab utama kematian, Dapat disimpulkan bahwa suplementasi
zink oral merupakan intervensi terapi yang sederhana dan efektif dalam
tatalaksana diare serta dapat mengurangi prevalens diare.

Daftar Pustaka
1. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrheal
diseases as estimated from studies published between 1992 and 2000.
Bull World Health Organ 2003;81:197-204.
2. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children
dying every year ? Lancet 2003;361:2226-33.
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan 2011; triwulan II:1-18.
4. WHO/UNICEFJoint Statement-Clinicalmanagement of acute diarrhea.
WHO/FCH/CAH 04.7 May 2004.
5. Fischer Walker CL, Fontaine O, Young MW, Black RE. Zinc and low
osmolarity oral rehydration salts for diarrhea: A renewed call to action.
Bull World Health Organ 2009;87:780-6.
6. Hoque KM, Rajendran VM, Binder HJ. Zinc inhibits cAMP-stimulated
Cl secretionvia basolateral K-channel blockade in rat ileum. Am J
Physiol 2005;288:G956-63.
7. Hoque KM, Binder HJ. Zinc in the Treatment of Acute Diarrhea:
Current Statusand Assessment. Gastroenterology 2006;130:2201-05.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 89
8. Zinc supplementation helps diarrhea symptoms. Available from:
http://www. newsmedical.net / news / 2008 / 02 / 04 / 34888.aspx. [last
cited on 2010 Feb 6].
9. Berni CR, Cirillo P, Buccigrossi V, Ruotolo S, Annalisa P, De Luca P,
dkk. Zinc inhibits cholera toxin induced, but not Escherichia coli heat
stable enterotoxininduced, ion secretion in human enterocytes. J Infect
Dis 2005;191:1072-7.
10. Implementing the new recommendations on the clinical management of
diarrhea-Guidelines for policy makers and programme managers.
WHO, Geneva. 2006.
11. Ramanujam TR. Role of zinc in health and disease. Available from:
http: / www.medindia.net / articles / roleofzinc.asp. [last cited on 2010
Nov 15].
12. Trivedia SS, Chudasamab RK, Patel N. Effect of zinc supplementation
in children with acute diarrhea: Randomized double blind controlled
trial. Gastroenterol Res 2009;2:168-74.
13. Lazzerini M, Ronfani L. Oral zinc for treating diarrhea in children.
Cochrane Database Syst Rev 2008:CD005436.
14. Patel A, Mamtani M, Dibley MJ, Badhoniya N, Kulkarni H.
Therapeutic value of zinc supplementation in acute and persistent
diarrhea: a systematic review. PLoS ONE 2010;5:e10386.
15. Baqui AH,Black RE, Arifeen SE, Yunus M, Chakraborty J, Ahmed S,
Vaughan JP. Effect of zinc supplementation started during diarrhoea on
morbidity and mortality in Bangladeshi children: community
randomised trial. BMJ 2002; 325:1-7.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 90
16. Sachdev HP, Mittal NK, Yadav HS. Oral zinc supplementation in
persistent diarrhea in infants. Ann Trop Paediatr 1990;10:63-9.
17. Bhutta ZA, Bird SM, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A,
dkk. Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in
children in developing countries: Pooled analysis of randomized
controlled trials. Am J Clin Nutr 2000;72:1516-22.
18. Roy SK, Raqib R, Khatun W, Azim T, Chowdhury R, Fuchs GJ, dkk.
Zinc supplementation in the management of shigellosis in
malnourished children in Bangladesh. Eur J Clin Nutr 2008;62:849-55.
19. Bhutta ZA, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Gore S, Hidayat
A, Khatun F, Martorell R, Ninh NX, Penny ME, Rosado JL, Roy
SK, Ruel M, Sazawal S, Shankar A.Prevention of diarrhea and
pneumonia by zinc supplementation in children in developing
countries: pooled analysis of randomized controlled trials. Zinc
Investigators' Collaborative Group.J Pediatr1999 Dec;135(6):689-97.
20. Robberstad B, Strand T, Black RE, Sommerfelt H. Cost effectiveness
of zinc as adjunct therapy for acute childhood diarrhea in developing
countries. Bull World Health Organ 2004;82:523-31.
21. Baqui AH, Black RE, El Arifeen S, Yunus M, Zaman K, Begum N,
dkk. Zinc therapy for diarrhea increased the use of oral rehydration
therapy and reduced the use of antibiotics in Bangladeshi children. J
Health Popul Nutr 2004;22:440-2.
22. Medicines for diarrhea in children. Dalam: Stuart MC, Kouimtzi M,
Hill SR, penyunting. WHO Model Formulary; 2008. h. 351.
23. Alam DS,Yunus M, El Arifeen S,Chowdury HR,Larson CP, Sack
DA,Baqui AH, Black RE. Zinc treatment for 5 or 10 days is equally

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 91
efficacious in preventing diarrhea in the subsequent 3 months among
Bangladeshi children.J Nutr2011;141(2):312-5.
24. Lönnerdal B. Dietary factors infl uencing zinc absorption. J Nutr
2000;130:1378S-83.
25. Pécoud A, Donzel P, Schelling JL. Effect of foodstuffs on the
absorption of zinc sulfate. Clin Pharmacol Ther 1975;17:469-74.
26. Fischer C, Harvey P. Low risk of adverse effects from zinc
supplementation. MOST, The USAID Micronutrient Program.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 92
Diagnostik dan Tata Laksana Terkini
Alergi Saluran cerna Pada Anak

Dr. dr. Mulya Safri, M.Kes, Sp.A(K)


Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/Rumah Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh

Pendahuluan
Penyakit alergi merupakan masalah yang penting diperhatikan karena terjadi
pada semua lapisan masyarakat dan angka kejadian penyakit ini terus
meningkat pada tiga dekade terakhir (Bellanti et al., 2005; Mohammadzadeh et
al., 2008; Patel et al., 2008). Perkembangan dan peningkatan penyakit alergi
ditentukan antara lain oleh latar belakang genetik, pajanan terhadap alergen
serta diperkuat oleh faktor yang berasal dari lingkungan. Faktor genetik dapat
dibuktikan dengan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Faktor prediksi
yang paling baik dalam menentukan apakah anak akan mengalami penyakit
alergi dikemudian hari adalah riwayat atopi dalam keluarga terutama pihak ibu
(Yadav dan Yadav, 2005).
Tingkat risiko terkena alergi terhadap janin atau bayi baru lahir dapat
dibedakan dalam tiga kategori: risiko kecil (5-15%), dimana ibu bapak dan
atau salah satu keluarga sekandung dan janin atau bayi tanpa riwayat alergi
apapun. Risiko sedang (20-40%), dimana ibu bapak dan atau salah satu saudara
kandung janin atau bayi diduga terkena alergi. Sedangkan risiko tinggi (40-
60%), dimana ibu bapak dan atau salah saudara sekandung janin atau bayi
yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi. Nilai keluarga
yang diprediksi digunakan untuk menentukan kemungkinan bayi terkena

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 93
alergi. Penilaian awal pada usia dini sangat penting untuk mengurangi risiko
alergi pada bayi agar tidak terjadi gangguan regulasi sitokinsehingga memiliki
efek perlindungan jangka panjang terhadap keseimbangan sel Th(Yadav dan
Yadav, 2005).
Terdapat lebih dari 170 jenis makanan yang dapat menyebabkan reaksi
alergi namun sejumlah studi prevalensi hanya memfokuskan pada makanan
yang paling banyak menyebabkan alergi, yaitu susu sapi, kacang tanah,
seafood, dan telur (Sampson dan Burks, 2009). Makanan utama yang diperoleh
seorang bayi pada usia 0-6 bulan adalah air susu ibu (ASI), susu sapi atau
keduanya. Susu sapi dan makanan pendamping lain seperti bubur susu
diberikan pada bayi dari ibu yang tidak mempunyai ASI dapat menyebabkan
penyakit alergi susu sapi (ASS) (Smith dan Ownby, 2009). Sekitar 35-45%
penyakit dermatitis atopi dan gejala alergi saluran cerna dan pernapasan yang
terjadi pada bayi usia 0 bulan sampai dengan 2 tahun disebabkan ASS.
(Skripak et al., 2007). Faktor lingkungan termasuk alergen makanan, tungau,
debu rumah, polutan terutama asap rokok, dan infeksi pada bayi merupakan
faktor penting yang menyebabkan gejala alergi pada awal kehidupan (Bellanti
et al., 2005). Bila seorang mempunyai bakat atopi, maka ia akan rentan dan
mudah tersensitisasi serta dapat berkembang menjadi penyakit alergi yang juga
dapat diakibatkan oleh makanan hiperalergenik seperti protein susu sapi dan
beberapa alergen inhalan (Host dan Halken, 2003a; Smith dan Ownby, 2009;
Abraham dan Ownby, 2005).
Diare disamping dermatitis atopi, asma atau mengi, rinitis alergi dan alergi
makanan merupakan suatu perjalanan alamiah penyakit alergi yang dikenal
dengan istilah “Allergic March”, dimulai saat bulan pertama setelah lahir
sampai usia 1-2 tahun (Sangsupawanich et al., 2007). Diare yg merupakan

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 94
salah satu dari alergi pada anak sangat berhubungan dengan imunitas mucosa
serta makanan hiperalergenik yg dikonsumsinya dan bahkan makakan ibunya
yg memberi ASI.

Patogenesis Penyakit alergi

Alergi merupakan reaksi imun tubuh yang menyimpang, terjadi berulang,


akibat paparan Bahan/zat yang semestinya aman pada orang non atopi.
Pengenalan antigen spesifik menyebabkan agregasi molekul dan reseptor IgE
terhadap permukaan antigen tersebut. Hal ini menyebabkan sel mast atau
basofil akan melepaskan mediator inflamasi dan vasoaktif seperti histamin
yang membuat peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi pembuluh
darah, kontraksi otot viseral dan inflamasi lokal. Mekanisme tersebut
merupakan immediate hypersensitivity (Abbas et al., 2007).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4
Tipe, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I anafilaktik, reaksi hipersensitivitas

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 95
tipe II sitotoksik yang bergantung antibodi, reaksi hipersensitivitas tipe III
yang dipengaruhi kompleks imun, dan reaksi hipersensitivitas tipe IVcell-
mediated (hipersensitiv tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang
disebut reaksi hipersensitivitas tipe V atau stimulatory hypersensitivity(Hǿst
dan Halken, 2003a; Abraham dan Ownby, 2005).Hipersensitivitas yang sangat
berhubungan dengan alergi makanan adalah tipe I dan IV (Borish dan
Rosenwasser, 2009).
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi
reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk suatu reaksi
selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE
spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan
alergen yang bersangkutan (Bellanti et al., 2005).Proses aktivitas sel mast
terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat
anafilatoksin, antigen yang lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein.
Proses aktivitas ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi pada penderita, seperti reaksi anafilaktik terhadap
penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga (Hǿst dan
Halken, 2003a; Abraham dan Ownby, 2005).Reaksi anafilaktoid terjadi
melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh
reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang
dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (Smith dan Ownby, 2009).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitvitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A=eosinophil
chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari
preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 96
selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF=neutrophil chemotactic
factor). Mediator yang terbentuk kemudian meupakan metabolit asam
arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe
I.Menurut jarak waktu, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase
lambat (Hǿst dan Halken, 2003a; Smith dan Ownby, 2009; Rothenberg dan
Hogan, 2006).
Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat)
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat tak dapat melalui antibodi tetapi
diperlukan sel limfosit lebih khusus limposit T. Setelah reaksi pertama sel T
memori mengenal antigen bersama molekul MHC kelas II pada APC dan sel
limfosit berubah menjadi sel blast dan berproliferasi. Sel T yang terstimulasi
melepaskan mediator yang menimbulkan respon hipersensitivitas (Smith dan
Ownby, 2009).Pelepasan limfokin terus menerus dari sel T yang tersensitasi
menyebabkan akumulasi makrofag, banyak yang kemudian menjadi sel
epiteloid, sedangkan yang tersisa berfungsi membentuk sel raksasa (giant
cells) (Hǿst dan Halken, 2003a).
Imunitas mukosa
Sistim imunitas mukosa saluran cerna
Pertahanan yang paling kuat pada jaringan limfoid mukosa saluran cerna
adalah enzim yang terdapat mulai dari mulut sampai ke kolon. Enzim
proteolitik di dalam lambung (pepsin, papain) dan usus halus (tripsin,
kimotripsin, protease pankreatik) berfungsi untuk digesti. Pemecahan
polipeptida dan tripeptida bertujuan agar dapat terjadi proses digesti dan
absorpsi bahan makanan, dan membentuk protein imunogenik yang bersifat
nonimun (peptida dengan panjang asam amino <8-10 bersifat imunegonik
yang buruk). Efek protease berlipat ganda dengan adanya garam empedu yang

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 97
memecah karbohidrat dan akan didapatkan suatu sistim yang poten untuk
meningkatkan paparan antigen (Ag). Kadar pH yang sangat rendah di dalam
lambung dan usus halus dan produk bakteri di dalam kolon berfungsi sebagai
respon imun terhadap antigen oral. Patogen invasif (yang merusak pertahanan)
memicu respons agresif, sedangkan untuk kolonisasi luminal dibutuhkan yang
lebih bersifat respons toleran.
Komponen utama pertahanan tubuh adalah produk gen musin.
Glikoprotein musin melapisi permukaan epitel dari rongga hidung/orofaring
sampai ke rektum. Sel goblet yang menghasilkan mukus secara kontinu
melindungi persambungan epitel. Partikel asing, bakteri virus menjadi
terperangkap dalam lapisan mukus dan akan dikeluarkan dengan proses
peristaltik. Pertahanan ini mencegah patogen dan antigen masuk ke bagian
bawah epitel, dan disebut proses ekslusi nonimun. Musin juga berfungsi
sebagai cadangan IgA. Antibodi ini berasal dari epitel dan dikeluarkan ke
dalam lumen.
Antibodi sIgA terdapat dalam lapisan mukus berikatan dengan
bakteri/virus dan mencegah menempel pada epitel. Hubungan faktor-faktor,
disebut sebagai faktor trefoil, membantu memperkuat pertahanan dan memicu
pemulihannya biar terdapat defek. Tidak adanya produk gen musin atau faktor
trefoil, manusia menjadi lebih rentan terhadap inflamasi dan kurang mampu
memperbaiki kerusakan bariel. Apakah defek tersebut berperan pada pasien
dengan alergi makanan masih dalam penelitian.

Sel regulator imunitas mukosa pada saluran cerna


Lapisan barier berikutnya adalah sel epitel. Bersama-sama dengan
persambungan bagian apeks dan basal yang kuat, membran dan ruang antara

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 98
sel membatasi masuknya makro molekul yang besar. Namun demikian,
persambungan yang kuat ini masih mungkin dilalui oleh di dan tripeptida serta
oleh ion-ion tertentu. Pada keadaan inplamasi persambungan ini menjadi
kurang kuat sehingga makro molekul dapat masuk kedalam lamina propria,
contohnya respon terhadap antigen makanan atau masuknya mikro organisme
lumen. Pada keadaan ini, antigen makanan akan menjadi antigen asi, dimana
pada individu yang memiliki bakat alergi akan menginduksi proses alergi
menjadi berlanjut.
Sel epitel usus dapat memproses sebagian antigen lumen dan
mempresentasikannya ke sel T dalam lamina propria. Dalam keadaan normal,
interaksi ini menyebabkan aktifasi selektif sel T CD 8+ regulator. Pada
penyakit tertentu (contohnya inflamatory bowel disease), aktifasi sel regulator
rusak sehingga inflamasi menetap. Pada alergi makanan alergen yang
menembus epitel akan menempel pada sel mast mukosa.
Sel T yang teraktifasi dalam Peyer’s Patch setelah paparan dengan
antigen disebut sebagai Th3. Sel ini berfungsi mengeluarkan transforming
growth faktor β, memicu sel B untuk menghasilkan BgA dan berperan pada
terjadinya toleransi oral (aktifasi antigen spesifik non respon terhadap antigen
yang masuk per oral).
Sel T regulator yang paling baru dikenal adalah fenotip
CD4+CD25+CD45RA+ sel ini awalnya dikenal pada gas tritis auto imun dan
berfungsi menghambat kontak antar sel dan dapat menyebabkan kelainan auto
imun pada neonatus yang mengalami timektomi.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 99
Imonuglobulin A Sekretori Pada Saluran Cerna
Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen
(yang dapat memicu respon inflamasi) dan berfungsi utama sebagai inhibitor
penempelan bakteri atau virus ke epitel. Anti bodi IgA dapat menggumpalkan
antigen, menjebaknya dalam lapisan mokus dan membantu mengeluarkannya
dari tubuh. Anti bodi IgA Sekretorik dilindungi dari proteolisis dan protease
lumen dengan perlindungan glikoprotein yang diproduksi sel epitel. Molekul
ini menutupi bagian fc antibodi dimer melindunginya dari proses proteolitik.
Sistim IgA tidak akan matur sebelum usia 4 tahun sehingga pada umur
tersebut dapat terjadi peningkatan respon imun terhadap antigen makanan. IgA
sekretorik dari ASI dapat memberikan imuniasi pasif dalam menghadapi
patogen dan berperan menjadi barier bagi neonatus. IgA tidak ditemukan
dalam saluran cerna karena mudah dipecah oleh protease lambung dan usus
halus. Pada alergi makanan harus terdapat IgE dalam saluran cerna. Hal ini
dapat terjadi karena adanya antigen yang melewati barier mukosa dan
mempresentasikannya ke sel mast.
Reaksi simpang makanan
Reaksi
Reaksi Simpang Makanan
Reaksi Simpang
Simpang Makanan
Makanan
(Adverse
(Adverse Reactions to Foods)
(Adverse Reactions to
Reactions to Foods)
Foods)
Reaksi simpang
Reaksi simpang
makanan
Reaksi simpang
makanan
makanan

Imunologis Non imunologis


Imunologis Non imunologis
Imunologis Non imunologis

- Intoleransi
- Intoleransi
(laktosa)
IgE-mediated Non IgE-mediated - Intoleransi
(laktosa)
IgE-mediated Non IgE-mediated - Intoksikasi/
(laktosa)
IgE-mediated Non IgE-mediated -kontaminan
Intoksikasi/
-kontaminan
Intoksikasi/
kontaminanMed Clin N Am 2006;90:97-127.
Immunol Allergy
Med Clin
Clin N
N Am
Am 2005;25:369-88.
2006;90:97-127.
Med Clin N Am 2005;25:369-88.
Immunol Allergy 2006;90:97-127.
Immunol Allergy Clin N Am 2005;25:369-88.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 100
Pemeriksaan alergi
Pada anamnesis, dapat diketahui jangka waktu timbul gejala setelah
mengkonsumsi makanan hiperalergenik atau makanan yang mengandung susu
sapi. Kebanyakan gejala akibat alergen makanan timbul sekitar seminggu
setelah bayi mengkonsumsi makanan tersebut (Dias et al., 2010).Gejala klinis
pada kulit (urtikaria, dermatitis atopi), saluran pernapasan (asma/diawali suara
mengi, rinitis alergi) serta saluran cerna (muntah, diare, berak berdarah, kolik,
obstipasi) (Scurlock et al., 2005).Pemeriksaan fisik didapatkan kulit kering,
urtikaria, dermatitis atopi, Alergi Schiner’s, nasal crease, geographic tongue,
mukosa pucat, mengi (Hǿst dan Halken, 2003b; Scurlock et al., 2005).
Pemeriksaan penunjang untuk melihat telah terjadi sensitisasi alergi
makanan pada anak yang lazim dilakukan saat ini adalah pemeriksaan IgE
spesifik secarain vivo (uji tusuk kulit) dimana konsentrasi IgE spesifik dinilai
dengan uji tusuk kulit untuk melihat reaksi alergi tipe cepat (hipersensitivitas
tipe I) dan pemeriksaan kadar eosinofil total untuk melihat reaksi alergi tipe
lambat (hipersensitivitas tipe IV) (Bellanti et al., 2005; Hǿst dan Halken,
2003a; Vandenplas et al., 2007; Sicherer, 2008. Borish dan Rosenwasser,
2009). Namun terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang merupakan suatu
parameter yang secara langsung menunjukkan respon imun terhadap pajanan
alergen, yaitu sekresi sitokin dari limfosit T. Ketidak seimbangan produksi
sitokin yang berasal dari Th-1 dan Th-2 menjadi faktor risiko dermatitis atopi
dan penyakit alergi lain (Bellanti et al., 2005; Hǿst dan Halken, 2003a).
Pemeriksaan yang lazim untuk mengukur kadar IgE secara invitro dengan
metode RAST atau ELISA dan pemeriksaan IgE secara invivo (uji tusuk kulit)
(Sicherer dan Wood, 2012; Sicherer, 2008). Pharmacia CAP System, yaitu

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 101
suatu pemeriksaan immunoassay untuk menilai antibodi IgE spesifik, yang
sama dengan ELISA dan dinyatakan positif bila hasil >32kUa/L serta
berkorelasi baik dengan double blind placebo controlled food
challenge(DBPCFC) (Hǿst dan Halken, 2003b; Scurlock et al., 2005).
Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan darah tepi: hitung jenis
eosinofil >3%, eosinofil total >300/ml, kadar IgE total (menurut umur)
meningkat.
Uji tusuk kulit merupakan metode diagnostik konvensional untuk menilai
kehadiran IgE spesifik alergen dan mendeteksi IgE yang terikat pada sel mast
di kulit. Ketika kulit ditusuk, maka alergen akan memicu aktivasi sel dan
melepaskan mediator inflamasi termasuk histamin. Mediator yang terlepas
akan menghasilkan reaksi wheal dan flare, yaitu suatu reaksi hipersensitivitas
cepat yang diperantarai oleh IgE yang spesifik terhadap alergen yang diuji. Tes
akan memberikan hasil berupa ukuran wheal yang maksimal setelah 15 sampai
20 menit. Ukuran wheal dengan diameter 3 mm atau lebih dari kontrol akan
memberikan hasil positif. Banyaknya kehadiran IgE spesifik dapat diprediksi
dari besarnya ukuran wheal yang terbentuk. Uji tusuk kulit sangat mudah
dilakukan, cepat dan sangat sensitif dalam mendeteksi IgE spesifik (O’Brien,
2002; Lasley dan Shapiro, 2000). Pemeriksaan dengan menggunakan uji tusuk
kulit yang merupakan metode utama untuk menilai sensitisasi alergi yang
dimediasi IgE. Pemeriksaan ini berguna untuk mendapatkan informasi
mengenai IgE spesifik terhadap protein atau alergen. Tes alergi ini berfungsi
untuk memperkuat akurasi diagnosis setelah pemeriksaan fisik dan riwayat
keluarga diperoleh. Uji tusuk kulitsangat direkomendasikan untuk mendukung
efektivitas terapi yang akan dilakukan. Tidak ada batasan umur yang

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 102
ditetapkan untuk dilakukan pemeriksaan ini namun reaksi pada kulit
kebanyakan muncul pada bayi dan anak-anak yang berusia muda.

Penilaian untuk menentukan hasil pemeriksaan positif adalah bila lesi yang
ditemukan >3mm dari kontrol. beberapa studi menyatakan bahwa lesi yang
berukuran >3mm memiliki hubungan klinis yang lebih erat terhadap reaksi
allergen meskipun ukuran lesi 3mm dan 6mm sama-sama menunjukkan hasil
positif (Sumadiono dan Setiabudiawan, 2012; Sicherer, 2008).
Penanganan
-Penghindaran protein susu sapi dan produknya
-Asi
-Ibu pantang protein susu sapi dan produknya

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 103
Provokasi susu sapi, merupakan suatu cara pemeriksaan lanjutan yang sangat
penting bila seorang bayi telah dilakukan eliminasi susu sapi setelah diketahui
IgE spesifik susu sapi menunjukkan hasil yang positif (Hǿst dan Halken,
2003b; Scurlock et al., 2005). Tes provokasi dibutuhkan sebagai pemeriksaan
baku emasuntuk mengkonfirmasi reaksi makanan yang memediasi IgE
(Eckman et al., 2009). Diantara pemeriksaan tersebutyang paling penting
adalah pemeriksaan kadar IFN-γ dan IL-5 darah perifer saat terjadi alergi yang
dapat menggambarkan aktifitas Th-1 dan Th-2 (Abraham dan Ownby, 2005).

Prognosis
Angka remisi:
-Tahun pertama : 45-55%
-Tahun kedua : 60-75%
-Tahun ketiga : 90%
Alergi dengan alergen lain

Daftar Pustaka
1. Abbas, A.K., Licthman, A.H., Pober, J.S., 2007, Celluler and
molecular immunology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders. h.31-204.
2. Abraham, C.M., Ownby, D.R., 2005. Ontogeny of the Allergic
Inflammatory Response. Dalam: Moss, M.H., Editor. Immunology and
Allergy Clinics of North America. Philadelphia: Saunders Elsevier.
h.215-229.
3. Ahlstedt, S., Soderstrom, L., Kober, A., 2008. In vitro diagnostic
method in the evaluation of food hypersensitivity. Dalam: Metcalfe,
D.D., Sampson, H.A., Simon, R.A. penyunting. Food allergy: adverse

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 104
reactions to foods and food additive. Edisi ke-4. Blackwell
Publishing.h.233-263.
4. Bellanti, J., Zeligh, B., Pung, Y.H., 2005. Immunology of the fetus and
new born. Dalam: MacDonald, M.G., Seisha, M.M., Mullet, M.D.
Avery Neonatology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
5. Borish, L., Rosenwasser, L.J., 2009. Cytokines in Allergic
Inflammation. Dalam: Adkinson, N.F., Bochner, B.S., Busse, W.W.,
Holgate, S.T., Lemanske, R.F., Simons, F.E. Middleton’s Allergy:
Principles and practice. Edisi ke-7. Missouri: Mosby. h.165-179.
6. Eckman, J., Saini, S.S., Hamilton, R.G., 2009. Diagnostic evaluation of
food-related allergic diseases. Allergy Asthma Clin Immunol, 5(2): h.1-
7.
7. Hǿst, A., Halken, S., 2003b. Approach to feeding problems in the infant
and young child. Dalam: Leung, D.Y.M., Sampson, H.A., Geha, R.S.,
Szefler, S.J., penyunting. Pediatric Allergy principles and practice.
Edisi ke-7. Missouri: Mosby.h.488-494.
8. Munasir, Z., 2010. Peran risiko alergi dan polimorfisme genetic gen
Interleukin 4, serta faktor lingkungan terhadap terjadinya Dermatitis
Atopi pada bayi sampai usia 6 bulan. Desertasi. Jakarta: FKUI.
9. Munasir, Z., Siregar, S.P., 2007. Alergi protein susu sapi. Dalam: Buku
Ajar Alergi Imunologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
h. 285-94.
10. O’Brien, R.M., 2002. Skin prick testing and in vitro assays for allergic
sensitivity. Austr Pres, 25(4): h.91-3.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 105
11. Safri, M., Munasir, Z., Kurniati, N., 2008. Elimination and provocation
test in cows milk hypersensitive children. Paediatr Indones, 48(4):
h.253-256.
12. Sampson, H.A., Burks, A.W., 2009. Adverse reactions to foods. Dalam:
Dalam: Adkinson, N.F., Bochner, B.S., Busse, W.W., Holgate, S.T.,
Lemanske, R.F., Simons, F.E., Middleton’s Allergy: principal and
practice. 7th Ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. h.1139-67.
13. Sangsupawanich, P., Chongsuvivatwong, V., Mo-Suwan, L.,
Choprapawon, C., 2007. Relationship between atopic dermatitis and
wheeze in the first year of life: analysis of the prospective cohort of the
thai children. J Investig Allergol Clin Immunol, 17: h.292-296.
14. Scurlock, A.M., Lee, L.A., Burk, A.W., 2005. Food Allergy in
Children. J Immunol Allergy Clin N Am, 25: h.369-388.
15. Sicherer, S.H., Wood, R.A., 2012. Allergy testing in Childhood: using
allergen-specific IgE tests. Pediatrics, 192: h.193-197.
16. Sicherer, S.H., 2008. In Vivo Diagnosis: Uji tusuk kuliting and
Challenge Procedures. Dalam: Metcalfe, D.D., Sampson, H.A., Simon,
R.A., penyunting.Food Allergy Adverse Reactions to Foods and Food
Additives. Edisi ke-4. Massachusetts. Blackwell Publishing. h. 267-277.
17. Skripak,J.M., Matsui, E.C., Mudd, K., Wood, R.A., 2007. The natural
history of IgE-mediated cow’s milk allergy. J Allergy Clin
Immunol,120: h.1172-1177.
18. Smith, H.P., Ownby, D.R., 2009. Clinical significance of
Immunoglobin E. Dalam: Adkinson, N.F., Bochner, B.S., Busse, W.W.,
Holgate, S.T., Lemanske, R.F., Simons, F.E. Middleton’s Allergy:
Principles and practice. Edisi ke-7. Missouri: Mosby. h.845-57.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 106
19. Sumadiono, Setiabudiawan, B., 2012. Metode Pemeriksaan skin prick
test. Dalam: Petunjuk Penanganan Alergi protein susu sapi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta.
20. Yadav, M., Yadav, A., 2005. Causes and Prevention: Allergy and
Asthma. Edisi ke-1. h.223-231.

Proceeding Book Simposium dan Workshop


Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia
(PGHNAI) 2018 Banda Aceh

| 107

Anda mungkin juga menyukai