PERHIMPUNAN GASTROENTERO-HEPATOLOGI
DAN NUTRISI ANAK INDONESIA (PGHNAI)
TEMA :
UPDATE IN DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF
GASTROENTERO-HEPATOLOGY AND
NUTRITION PROBLEMS IN CHILDREN
Speaker:
Agus Firmansyah, Prof. Dr. dr. Sp.A(K)
M. Juffrie, Prof. dr. PhD, Sp.A(K)
Badriul Hegar. Prof. dr. PhD, Sp.A(K)
Reza Ranuh, Dr. dr. Sp.A(K)
Bakhtiar, Dr. dr. M.Kes, Sp.A
Pramita G. Dwipoerwantoro, Dr.dr.Sp.A(K)
Sulaiman Yusuf, Dr. dr. Sp.A(K)
I Putu Gede Karyana, dr. Sp.A(K)
Mulya Safri, Dr. dr. M.Kes, Sp.A(K)
Penerbit:
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
PROCEEDING BOOK
TEMA :
UPDATE IN DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF GASTROENTERO-
HEPATOLOGY AND NUTRITION PROBLEMS IN CHILDREN
Pengarah
Prof. Dr.dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K)
Prof.dr. Badriul Hegar Syarif, Sp.A.(K) PhD
Prof. dr. Rusdi Ismail, Sp.A(K)
Prof. dr.Yati Sunarto, Sp.A(K), PhD
Prof.dr.M.Juffrie,SpA(K), PhD
Prof.Dr.dr. Subiyanto Martosudarmo,Sp.A(K)
dr. Hadjat S. Digdowirogo, Sp.A(K), MBA
Reviewer:
Agus Firmansyah, Prof. Dr. dr. Sp.A(K)
M. Juffrie, Prof. dr. PhD, Sp.A(K)
Badriul Hegar. Prof. dr. PhD, Sp.A(K)
Editor
Sulaiman Yusuf
Bakhtiar
Mulya Safri
Mars Nasrah
Jufitriani Ismy
Penerbit:
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
ISBN: 978-602-73790-2-2
Sambutan Ketua Panitia Pelaksana
|i
Akhirul kalam, semoga buku kumpulan naskah lengkap ini dapat
bermanfaat dan mempermudah para peserta.
Wassalam,
| ii
Sambutan Pengurus Pusat Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan
Nutrisi Anak Indonesia (PGHNAI)
Assalamu’alaikum Wr Wb,
Generasi penerus bangsa sebagai sumber daya manusia yang sehat dan
berkualitas hanya mampu diwujudkan apabila Indonesia memiliki tenaga
kesehatan yang berkompeten dalam bidang keilmuan kedokteran. Oleh karena
itu, tenaga kesehatan Indonesia harus senantiasa aktif dalam mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam usaha meningkatkan derajat
kesehatan anak Indonesia yang selaras dengan program pemerintah pusat,
kami selaku bagian dari Perhimpunan Gastroentero-Hepatologi dan Nutrisi
Anak Indonesia (PGHNAI) berupaya untuk terus meng-update ilmu
pengetahuan bagi rekan-rekan sejawat.
Dalam kesempatan rapat kerja (Raker) PGHNAI ini, kami bekerja
sama dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah mengadakan
Simposium dan Workshop yang bertemakan : Update in Diagnosis and
Management of Gastoentero-Hepatology and Nutrition Problems in
Children” yang berlangsung 18-20 Januari 2018 di Hotel Hermes Palace
Banda Aceh ini merupakan suatu meomentum yang tepat dalam menjawab
permasalahan yang ada. Kami berharap materi dalam simposium dan
workshop ini dapat menjadi suatu hal yang mendasari tenaga kesehatan di
Indonesia dalam melakukan praktek klinis sehari-hari.
| iii
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unsyiah Banda Aceh yang telah bersedia bekerja sama
untuk menyelenggarakan Raker, Simposium dan Workshop ini. Semoga acara
ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalam,
| iv
Kata Pengantar
|v
Wassalam,
Editor :
Sulaiman Yusuf
Bakhtiar
Mulya Safri
Mars Nasrah
Jufitriani Ismy
| vi
Susunan Panitia
Pembina
- Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
- Direktur RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh
Penasehat
- Ketua PP PGHNAI
- Ketua IDAI Cabang Aceh
- Ketua IDI Wilayah Aceh
- Ketua IDI Kotamadya Banda Aceh
Panitia Penyelenggara
Ketua : Dr.dr.Sulaiman Yusuf, Sp.A(K)
Wakil Ketua : Dr.dr.Mulya Safri, M.Kes,Sp.A(K)
Sekretaris I : Dr.dr.Bakhtiar, M.Kes,Sp.A
Sekretaris II : dr.Mars Nasrah A,M.Ked(Ped),Sp.A
Bendahara I : dr.Jufitriani Ismy,M.Kes,M.Ked(Ped),Sp.A
Bendahara II : Eliya Sofia, SE
Seksi Ilmiah
Koordinator : dr. TM Thaib, M.Kes, Sp.A(K)
Anggota : dr.Isra Firmansyah, Sp.A
dr.Raihan, Sp.A(K)
dr.Nora Sovira, M.Ked(Ped), Sp.A
dr.T.Ade Prasetia
dr.Fahrul Riza
dr.Nurul Huda Kowita
| vii
dr.Ade Pasaribu, Sp.A
dr.Nurjannah,Sp.A(K)
Dr.dr.Herlina Dimiati, Sp.A(K)
Seksi Sekretariat
Koordinator : dr.Rusdi Andid,Sp.A
Anggota : dr.Anidar,Sp.A(K)
dr.Octavina Susanti
dr.Hirsa Agriani
dr. Cut Elfira
Yulida Qadarsih, SE
Seksi Konsumsi
Koordinator : dr.Nurjannah, Sp.A(K)
Anggota : Dr.dr.Dora Darussalam, Sp.A(K)
dr.Eka Destianti E, M.Ked(Ped), Sp.A
dr.Cut Zahara Phonna
dr. Diana Inti Nusantari
dr. Sannita Mayusda
Nur Ainol, Amd
| viii
Seksi Transportasi dan Akomodasi
Koordinator : dr.Syafruddin Haris, Sp.A(K)
Anggota : dr.Tommy
dr.Riny Fasli
dr.Pretyca Yudra Perdana
dr.Sulaiman A
dr.Budi Permana
| ix
Daftar Isi
|x
Diare Persisten pada Anak Hiv/Aids ........................................................... 64
Sulaiman Yusuf
| xi
Daftar Penulis
M. Juffrie, Prof. dr. PhD, Sp.A(K) Sulaiman Yusuf, Dr. dr. Sp.A(K)
Divisi Gastroentero-Hepatologi Divisi Gastroentero-Hepatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada/RS Sartjito Jogjakarta Syiah Kuala/RS. dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
| xii
Reza Ranuh, Dr. dr. Sp.A(K) I Putu Gede Karyana, dr. Sp.A(K)
Divisi Gastroentero-Hepatologi Divisi Gastroentero-Hepatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Surabaya Udayana/RSUP Sanglah
Bakhtiar, Dr. dr. M.Kes, Sp.A Mulya Safri, Dr. dr. M.Kes,
Divisi Respirologi Sp.A(K)
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Divisi Alergi-Imunologi
Fakultas Kedokteran Universitas Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Syiah Kuala/RS. dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Universitas
Banda Aceh Syiah Kuala/RS. dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
| xiii
Peran Usus Dalam Tumbuh-Kembang
dan Kesehatan Anak
Pendahuluan
Proses tumbuh kembang anak memerlukan fungsi usus yang baik. Tumbuh
kembang anak yang baik tentu akan menjamin terpeliharanya kesehatan anak.
Usus tidak bekerja sendiri, tetapi berkaitan dengan organ lain yang tergabung
dalam sistem pencernaan. Mulut dengan geliginya, pankreas dengan jaringan
eksokrinnya dan hati sebagai produsen empedu. Yang disebut usus terbatas
pada usus halus dan kolon.
Fungsi usus tidak hanya mencerna (digesti) dan menyerap (absorpsi)
nutrien, tetapi juga fungsi hormonal, imunitas dan barier. Beberapa hormon,
yang berperan dalam proses digesti maupun tidak, dihasilkan oleh usus. Usus
lahir steril dan beberapa hari kemudian dikolonisasi oleh kuman dari ibunya,
terutama Bifidobacteria dan Lactobacillus. Kolonisasi mikrobiota pada awal
kehidupan penting dalam mengembangkan sistem imun.1 Seperti halnya
saluran nafas, usus merupakan barier terdepan yang berhadapan dengan
berbagai antigen dan kuman yang masuk per oral. Barier usus yang baik akan
mencegah berbagai penyakit saluran cerna dan alergi.2
Usus besar dihuni oleh sekitar 1012-1014 bakteri; sebagian besar bakteri
anaerob tetapi seperseribu diantaranya merupakan bakteri Gram (-) berpotensi
patogen (oportunis). Bila integritas mukosa usus baik (barier baik) maka
|1
bakteri dan endotoksin yang berada dalam usus tetap berada di dalam lumen
usus, tidak menembus epitel usus masuk ke sirkulasi darah (translokasi bakteri)
menyebabkan bakteriemia dan selanjutnya.3
Struktur usus
Dinding usus merupakan barier anatomis dan imunologis, terbentuk dari
selapis epitel yang berasal dari sel punca di kripta usus. Mukosa usus terdiri
dari lapisan epitel (enterosit) dan lamina propria. Sel punca asal kripta akan
bermigrasi ke arah apex dan berkembang menjadi enterosit absorptif, sel
goblet, sel enteroendokrin dan sel panet. Di bawah mukosa usus terdapat
jaringan submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan pertama yang mencegah
translokasi bakteri adalah lapisan mukus yang terbentang melapisi permukaan
enterosit.4
|2
menikmati makanan keluarga sesuai dengan penerimaannya. Rekomendasi
WHO, bayi berusia 6-23 bulan harus menerima minimum dietary diversity
(MDD) dan minimal meal frequency (MMF).5 ASI merupakan makan yang
penting bagi bayi dalam hubungannya dengan interitas mukosa usus, karena
bayi mengandung baik prebiotik maupun probiotik (sinbiotik).6
|3
Tabel 1. Digesti enzimatik terhadap beberapa jenis makanan7
Lokasi Lipid Karbohidrat Protein
Kelenjar ludah - Amilase saliva -
Lambung Lipase gastrik - Pepsin
Pankreas Lipase Amilase Tripsin
Kolipase Kimotripsin
Fosfolipase Elastase
Kolesterol- Karboksipeptidase
esterase
Hati (asam empedu) - -
Usus halus - Sukrase Enterokinase
Laktase Endopeptidase
Maltase Oligopeptidase
Dipeptidilpeptidase
Usus halus memproduksi hormon yang penting dalam proses digesti, yaitu
sekretin dan kolesistokinin. Atrofi usus akan menyebabkan defisiensi hormon
tersebut dengan akibat ekskresi enzim pankreas dan empedu berkurang;
selanjutnya akan menyebabkan maldigesti makanan.9
|4
Tabel 2. Enzim pankreas yang terkait digesti7
Enzim Fungsi
Enterokinase Mengubah tripsinogen menjadi tripsin di
duodenum
Enzim proteolitik: Tripsin dan kimotripsin memecah protein
Tripsinogen (tripsin) menjadi polipeptida dan peptida;
Kimotripsinogen karboksipeptidase memecah peptida menjadi
(kimotripsin) asam amino
Karboksipeptidase,
Elastase
Enzim amilolitik: Hidrolisis pati, glikogen dan karbohidrat lain
Amilase (selain selulosa) menjadi disakarida dan
trisakarida
Enzim lipolitik: Lipase menghidrolisis lemak menjadi asam
Lipase, fosfolipase A1, A2 lemak dan monogliserida; fosfolipase memecah
dan esterase asam lemak dari fosfolipid, esterase
menghidrolisis ester kolesterol.
Fungsi hormonal
Banyak hormon disekresi oleh sel endokrin yang terdapat di jaringan mukosa
usus dan pankreas. Gastrin, sekretin dan kolesistokinin merupakan hormon-
|5
hormon saluran cerna yang pertama ditemukan. Sekarang telah ditemukan
lebih dari 50 gen hormon dan berbagai peptida bioaktif; yang membuat usus
merupakan organ endokrin terbesar dalam tubuh. Beberapa hormon lain adalah
somatostatin, ghrelin, bombesin, GLP (glucagon like peptides), VIP
(vasoactive intestinal peptide), neurotensin, GIP (gastric-inhibitory
polypeptidde), dan lain-lain.11
Fungsi barier
Integritas mukosa usus penting dijaga dalam rangka fungsi usus sebagai barier.
Kuman yang masuk peroral tidak menyebabkan penyakit dan mikrobiota usus
dan endotoksinnya tidak menembus mukosa usus. Untuk mempertahankan
integritas mukosa usus, beberapa mikronutrien mempunyai peran penting
regenerasi mukosa usus, antara lain Zn, glutamin, serat pangan dan probiotik.
Zn merupakan komponen dari lebih 300 enzim; berperan dalam proliferasi sel
dan regenerasi enterosit. Interaksi antara Zn, diare dan mnalnutrisi telah
terbukti. Diare akan menyebabkan kehilangan Zn melalui tinja; defisiensi Zn
akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan imunitas seluler; kedua faktor
tersebut menimbulkan diare berulang; dan berlanjutnya siklus diare-
malnutrisi.12 Suplementasi Zn dapat memperbaiki pertumbuhan anak
malnutrisi.13 Sayangnya Zn banyak terdapat pada makanan asal hewan yang
biasanya mahal seperti daging, ikan, dan udang.
|6
mencegah perlekatan bakteri patogen pada enterosit. Peran tersebut dapat
memberikan proteksi terhadap epitel usus.14,15
Epitel saluran cerna sangat membutuhkan nutrien dari lumen usus untuk
mempertahankan integritasnya. Glutamin dari lumen merupakan nutrien
penting untuk kehidupan enterosit. Glutamin terdapat dalam ASI. Peran
glutamin penting dalam regenerasi epitel usus pasca mengalami kerusakan.17-19
Barier usus bisa pula dirusak oleh iskemia usus. Iskemia usus akan
menimbulkan kerusakan mukosa usus dan disbiosis; kedua perubahan tersebut
akan menyebabkan translokasxi bakteri dengan akibat sepsis.20
Fungsi imun
Kuman yang masuk per oral akan dikontrol oleh mekanisme pertahanan tubuh
non-imunolgis, seperti peristaltik usus, asam lambung, sekret usus (empedu,
enzim dan imunoglobulin), dan mukus. Probiotik mempunyai efek anti-infeksi
seperti memproduksi bahan antimikroba, kompetisi dengan patogen terhadap
adhesi pada epitel, memperkuat tight junction, memperbaiki permeabilitas dan
motilitas usus. Probiotik melindungi usus terhadap patogen melalui mekanisme
stimulasi produksi sitokin, meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag,
|7
meningkatkan aktivitas sel NK (natural killer) dan meningkatkan respons
antibodi spesifik terhadap patogen.21
Gut health
Gut health merupakan obyektif baru dalam ilmu kedokteran. Banyak penyakit
di masa dewasa disebabkan oleh usus yang tidak sehat pada masa awal
kehidupan. Kesehatan usus tidak hanya bebas dari penyakit usus, tetapi juga
meliputi digesti dan absorpsi nutrien yang efektif, mikrobiota usus yang
seimbang, status imun yang efektif dan terjaminnya rasa nyaman (ganguan
fungsional usus sering menimbulkan dispepsia.22
Penutup
Sebagai rangkuman, kesehatan usus penting untuk mempertahankan fungsi
digesti-absorpsi nutrien, hormonal, barier dan perkembangan sistem imun.
Usus yang sehat menjamin tumbuh-kembang dan kesehatan anak. Bila terjadi
kerusakan pada struktur dan fungsi usus akibat penyakit, upaya perbaikan
harus segera dilakukan. Kesehatan usus yang baik di masa awal kehidupan
akan menghindari penyakit di masa dewasa.
Daftar Pustaka
1. Isolauri E, Sutas Y, Kankaanpaa P, Arvilommi H, Salminen S. Probiotics:
efects on immunity. Am J Clin Nutr. 2001;73:444-50.
2. Rao RK, Polk DB, Seth A, Yan F. Probiotics the good neighbor: guarding
the gut mucosal barrier. Am J Infec Dis. 2009;5:182-92.
3. Mizock BA. Probiotics. Disease-a-month 2015;21:259-90.
|8
4. Sherman MP. New concept of microbial translocation in the neonatal
intestine: mechanisms and prevention. Clin Perinatol. 2010;37:565-79.
5. WHO. Indicators for assesing infant and young child feeding practice.
Conclusions of a consensus meeting held on 6-8 November 2007 in
Washington DC, USA.
6. Lara-Villoslada F, Olivares M, Sierra S, Rodriguez JM, Boza J. Beneficial
effects of probiotic bacteria isolated from breastmilk. Brit J Nutr.
2007;98:96-100.
7. Roxas M. The role of enzyme supplementation in degestive disorders.
Altern Med Rev. 2008;13:307-14.
8. Heyman MB. Lactose intolerance in infants, children and adolescent.
Pediatrics 2006;118:1279-86.
9. Sikkens ECM, Cahen DL, Kulpers EJ, Bruno MJ., Pancreatic enzyme
replacemant therapy in chronic pancreatitis. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2010;24:337-47.
10. Grootjans J, Thuils G, Verdam F, derikx JP, lenaerts K, Buurman WA.
Non-invasive assessment of barrier integrity and function of the human gut.
World J Gastroenterol Surg. 2010;2:61-9.
11. Rao JN, Wang JY. Peptide growth factor in GI mucosal growth. San
Rafaei, Morgan & Claypool Life Science, 2010.
12. de Quieroz CAA, Fonseca SGC, Frota FB, Figueiredo IL, Aragazo KS,
Magalhaes CEC, et al. Zinc treatment ameliroates diarrhea and intestinal
inflammation. BMC Gastroenterol. 2014;136:1-14.
13. Umeta M, rst CE, Haidar J, Deurenberg, Hautvast JG. Zinc
supplementation and stunted infants in Ethiopia: a randomized controlled
trial. Lancet 2000;355:2021-6.
|9
14. Ohland CL, Macnaughton WK. Probiotic bacteria and intestinal epitel
barrier function. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2010;298:807-
10.
15. Murguia-Peniche T, Mihatsch WA, Zegarra J, Supapannachart S, Ding ZY,
Neu J. Intestinal mucosal defence system.Part 2. Probiotics and prebiotics.
J Pediatr. 2013;162:65-71.
16. Anderson JW, Baird P, Davis RH, Ferreri S, Knudtson M, Korarym A, et
al. Health benefits of dietary fiber. Nutr Rev. 2009;67:188-205.
17. Roediger WEW. Metabolic basis of starvation diarrhea: implication for
treatment. Lancet 1986;i:1082-4.
18. Firmasyah A, Penn D, Lebenyhal E. Isolated colonocyte metabolism of
glucose, glutamine, n-butyrate, and ß-hydroxybutyrate in malnutrition.
Gastroenterology 1989;97:622-9.
19. Higashiguchi T, Hasselgren PO, Wagner K, Fischer JE. Effect of glutamine
on protein synthesis in isolated intestinal epithelial cells. J Parenter Enteral
Nutr. 1993;17:307-14.
20. Deitch EA. Gut-origin sepsis: evolution of a concept., Surgeon
2012;10;350-6.
21. Gilolo HS, Probiotics to enhance anti-infective defences in the gastrointinal
tract. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2003;17:755-73.
22. Bischoff SC. Gut health: a new objective in medicine? BMC Medicine
2011;9:1-14.
| 10
Diare Akut
Prof. dr. Mohammad Juffrie, Ph.D, Sp.A(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada/ Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta
Penyakit diare adalah penyebab utama kematian kedua pada anak di bawah
lima tahun, dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 525.000 anak
setiap tahunnya. Diare bisa berlangsung beberapa hari, dan bisa menyebabkan
tubuh tanpa air dan garam yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Di masa lalu, bagi kebanyakan orang, dehidrasi berat dan kehilangan cairan
adalah penyebab utama kematian diare. Sekarang, penyebab lain seperti infeksi
bakteri septik akan menyebabkan peningkatan proporsi kematian terkait diare.
Anak-anak yang kekurangan gizi atau memiliki kekebalan yang terganggu
serta orang yang hidup dengan HIV paling berisiko mengalami diare yang
mengancam jiwa.
Diare didefinisikan sebagai keluarnya tiga atau lebih tinja cair per hari (atau
lebih sering daripada yang normal untuk bayi dengan ASI). Seringnya buang
kotoran yang berbentuk bukanlah diare, demikian jugajuga tidak adanya
kotoran yang embek dan "pasty" pada bayi yang disusui.
| 11
Intervensi untuk mencegah diare, termasuk air minum yang aman, penggunaan
sanitasi yang lebih baik dan cuci tangan pakai sabun dapat mengurangi risiko
penyakit. Diare harus diobati dengan larutan rehidrasi oral (ORS), larutan air
bersih, gula dan garam. Selain itu, pengobatan tambahan 10-14 hari pemberian
tablet seng fermentasi 20 mg memperpendek durasi diare dan meningkatkan
hasil penyembuhan.
Ada tiga tipe klinis diare:
Diare berair akut - berlangsung beberapa jam atau hari, termasuk kolera;
Diare berdarah akut - juga disebut disentri; dan
Diare persisten - berlangsung 14 hari atau lebih.
| 12
hilang melalui cairan, muntah, keringat, air kencing dan pernapasan. Dehidrasi
terjadi saat kehilangan cairan dan elektrolit ini tidak diganti.
Penyebab
Infeksi: Diare adalah gejala infeksi yang disebabkan oleh sejumlah organisme
bakteri, virus dan parasit, yang sebagian besar disebarkan oleh air yang
terkontaminasi tinja. Infeksi lebih sering terjadi bila ada sanitasi jelek dan
kebersihan kurang dan air bersih untuk minum tidak, dimasak . Rotavirus dan
Escherichia coli, adalah dua agen etiologi paling umum dari diare sedang
sampai parah di negara-negara berpenghasilan rendah. Patogen lain seperti
spesies kriptosporidium dan shigella mungkin juga penting. Pola etiologi
spesifik lokasi juga perlu dipertimbangkan.
| 13
Malnutrisi: Anak-anak yang meninggal karena diare sering menderita
kekurangan gizi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap diare. Setiap
episode diare, pada gilirannya, membuat malnutrisi mereka semakin parah.
Diare adalah penyebab utama malnutrisi pada anak balita.
Penyebab lainnya: Penyakit diare juga bisa menyebar dari orang ke orang,
diperparah oleh kebersihan diri yang buruk. Makanan merupakan penyebab
utama diare jika disiapkan atau disimpan dalam kondisi tidak higienis.
Penyimpanan dan penanganan air bersih yang tidak aman juga merupakan
faktor risiko yang penting. Ikan dan makanan laut dari air yang tercemar juga
dapat menyebabkan penyakit ini.
| 14
Langkah-langkah kunci untuk mengobati diare adalah sebagai berikut:
Rehidrasi: dengan larutan garam rehidrasi oral (ORS). ORS adalah campuran
air bersih, garam dan gula. Biayanya beberapa rupiah per perawatan. ORS
diserap di usus halus dan menggantikan air dan elektrolit yang hilang dalam
kotoran.
Suplemen seng: Suplemen seng mengurangi durasi episode diare hingga 25%
dan dikaitkan dengan pengurangan 30% volume tinja.
Rehidrasi: dengan cairan intravena jika terjadi dehidrasi berat atau syok.
Makanan kaya gizi: lingkaran setan malnutrisi dan diare dapat dipatahkan
dengan terus memberi makanan kaya nutrisi - termasuk air susu ibu - selama
sebuah episode, dan dengan memberikan makanan bergizi - termasuk
pemberian ASI eksklusif untuk enam bulan pertama kehidupan - untuk anak-
anak saat mereka sehat.
Referensi
WHO up date Mei 2017
| 15
Penyakit Refluks Gastroesofagus :
Diagnosis dan Terapi
Pendahuluan
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan Refluks gastroesofagus (RGE)
adalah dua hal berbeda. Refluks gastroesofagus adalah aliran balik isi lambung
ke dalam esofagus. Aliran balik tersebut dapat hanya sampai esofagus atau
berlanjut masuk ke dalam rongga mulut dan dikeluarkan dari mulut sebagai
regurgitasi.1
Dokter yang melayani bayi harus memahami kedua hal tersebut,
sehingga dapat mendiagnosis dan memberikan terapi yang tepat dan rasional.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengeluarkan Pedoman atau
Rekomendasi mengenai Diagnosis dan Tata laksana Penyakit Refluks
Gastroesofagus.
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis. Refluks gastroeosfagus adalah keadaan
normal (fisiologi) pada bayi, yang dapat berlangsung beberapa kali sehari dan
berkurang sesuai pertambahan usia.1,2 pada bayi, gejala klinis PRGE tidak
spesifik sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menegakkan
diagnosis atau mengevaluasi hasil terapi. Pada anak berusia di atas 8 tahun,
keluhan yang disampaikan dapat dipercaya sehingga anamnesis dan
pemeriksaan fisis dapat dipakai untuk mendiagnosis dan menilai hasil terapi
| 16
PRGE. Keluhan yang mungkin terlihat sangat bervariasi, mulai dari muntah
berulang, iritabel, menolak makan/minum hingga berat badan tidak naik secara
optimal dan hematemesis.3
Pemeriksaan Penunjang. Diagnosis PRGE perlu didukung oleh
pemeriksaan penunjang akurat. Pemantauan pH esofagus (pH-metri) selama 24
jam untuk menilai jumlah dan lama paparan asam pada dinding esofagus.
Pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendeteksi RGE patologis atau
kecurigaan terhadap esofagitis. Nilai indeks refluks (IR) di atas 5% dianggap
sebagai refluks patologi dan IR di atas 10% perlu dipikirkan telah terjadi
esofagitis atau PRGE. Pemeriksaan pH-metri yang dikombinasikan dengan
impedans meningkatkan keakuratan nilai diagnosis PRGE. Sangat disayangkan
penggunaan kedua alat tersebut masih sangat terbatas, karena belum semua
pusat pelayanan kesehatan di Indonesia memilikinya, termasuk di Aceh.3,4
Pemeriksaan endoskopi. Kerusakan mukosa esofagus akibat iritasi
asam lambung ditandai oleh hiperemis, erosi, bahkan sampai ulkus. Keadaan
tersebut dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi yang dilengkapi
dengan pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan biopsi. Kerusakan mukosa
esofagus yang berat dapat menyebabkan esofagus Barrett atau metaplasia sel
esofagus yang merupakan petanda awal dari keganasan mukosa esofagus. T
Akan tetapi tidak ditemukannya perubahan gambaran patologi anatomi mukosa
esofagus bukan berarti tidak ada RGE.3
Pemeriksaan barium meal. Pemeriksaan barium meal dilakaukan
pada bayi dengan RGE untuk melihat adanya kelainan anatomi yang mungkin
sebagai penyebab RGE, tetapi tidak untuk mendiagnosis RGE. Mikroaspirasi
yang dapat terjadi akibat RGE dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
| 17
Skintigrafi nuklir. Mikroaspirasi seringkali memperlihatkan gejala respirasi
kronis yang sulit diatasi.4
Terapi empiris sebagai diagnostik. Pemberian obat supresi asam
lambung secara empiris sebagai metode diagnostik belum terbukti secara
ilmiah pada bayi. Bayi rewel atau iritabel bukan petanda spesifik PRGE
sehingga tidak boleh sebagai dasar pemberian terapi Proton Pump Inhibitor
atau H2 antagonis. Pemberian terapi supresi asam lambung jangka pendek (2
minggu) sebagai terapi empiris mungkin bermanfaat pada anak lebih besar dan
remaja dengan keluhan nyeri ulu hati dan nyeri dada.3
Sistem skor gejala klinis. Sistem skor Oreinstein telah lama dikenal dan
digunakan secara luas untuk menapis PRGE. Ikatan Dokter Anak Indonesia
menyesuaikan penerapan skor tersebut agar dapat diterapkan dengan mudah
secara luas. Nilai Skor kuesioner <9 berarti gejal klinis yang diperlihatkan bayi
bukan petanda PRGE, sedangkan nilai skor >9 berarti gejela klinis yang
diperlihatkan sangat mungkin disebabkan oleh PRGE sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang lanjutan (pemantauan pH esofagus 24 jam dan atau
endoskopi) untuk membuktikan PRGE.5
Terapi
Regurgitasi berlebihan pada bayi yang telah mendapat susu formula disertai
gejala klinis alergi seperti dermatitis atopi atau riwayat atopi dalam keluarga,
dapat dipertimbangkan alergi protein susu sebagai penyebab keluhan tersebut.
Susu formula yang mengandung protein hidrolisat penuh diberikan selama 2-4
minggu. Bila tidak ada gejala klinsi alergi atau riwayat atopi dalam keluarga,
maka sangat mungkin keluhan tersebut adalah regurgitasi atau RGE primer.
| 18
‘Thickening formula’ komersil atau modifikasi yaitu dengan menambahkan 5
gram tepung beras ke dalam 100 ml susu formula dapat diberikan pada bayi
dan terbukti menurunkan kejadian regurgitasi.3
Bayi yang mengalami regurgitasi berlebihan dianjurkan untuk
ditidurkan dalam posisi terlentang dengan sudut 60 derajat antara pinggang dan
alas tempat tidur serta miring ke kanan selama 1 jam, dilanjutkan miring ke
kiri selama 1 jam berikutnya. Posisi tengkurap dikaitkan dengan sudden infant
death syndrome/SIDS. Tidur tengkurap memberikan risiko SIDS lebih besar
dibanding manfaatnya, sehingga posisi tersebut tidak dianjurkan pada bayi
yang mengalami regurgitasi.3,4
Obat antagonis reseptor histamin (H2RA) dan inhibitor pompa proton
(PPI) dapat mengurangi gejala klinis dan memperbaiki kerusakkan mukosa.
Oleh karena telah tersedia alternatif obat yang lebih efektif (H2RA dan PPI),
maka antasid dan sukralfat tidak disarankan untuk PRGE.3
Obat prokinetik mempunyai potensi efek samping yang melebihi
potensi manfaatnya. Cisaprid terbukti efektif mengurangi gejala RGE, tetapi
adanya laporan efek samping pada irama jantung menyebabkan ketersediaan
obat tersebut dibatasi. Metoklopramid terbukti tidak efektif untuk RGE,
sedangkan eritromisin dan domperidon belum mempunyai cukup bukti ilmiah
untuk digunakan secara rutin pada bayi dengan regurgitasi atau RGE.3,4
Fundoplikasi atau operasi antirefluks perlu dipertimbangkan apabila
terapi medikamentosa yang telah diberikan optimal tidak memberikan respon,
ketergantungan obat berkelanjutan, keteraturan minum obat menjadi masalah,
pasien menolak minum obat secara terus menerus, atau terdapat komplikasi
yang mengancam nyawa.3
| 19
Terapi empiris PPI dengan dosis 1mg/kg BB, sekali sehari selama 2
minggu dapat dipertimbangkan pada anak besar atau remaja dengan gejala
klinis nyeri dada kronis. Apabila terapi empiris tidak memperlihatkan
perubahan gejala klinis, maka terapi harus dihentikan dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan penunjang untuk membuktikannya atau mencari penyebab
lainnya.5
| 20
terbukti mengalami refluks esofagitis atau PRGE. Terapi PPI harus dipantau
efektivitasnya dengan melihat perbaikan gejala klinis.
Pada remaja dengan nyeri ulu hati kronis dianjurkan untuk melakukan
perubahan gaya hidup dan dapat uji coba pemberian PPI selama 2 minggu. Bila
nyeri ulu hati terus berlanjut atau kembali muncul setelah terapi dihentikan,
pasien perlu dievaluasi lebih lanjut oleh ahli gastrohepatologi anak.3,4,7
Bayi menolak minum tidak direkomendasikan pemberian supresi asam
lambung tanpa evaluasi diagnostik terlebih dahulu. Anak dengan disfagia atau
odinofagia disarankan pemeriksaan barium meal yang dilanjutkan endoskopi
saluran cerna atas. Tidak disarankan supresi asam lambung tanpa evaluasi
diagnostik terlebih dahulu.3,4
Pada sebagian besar bayi, RGE tidak berkaitan dengan kejadian apnea
berulang (patologis) maupun keadaan yang mengancam nyawa. Pemeriksaan
pemantauan pH esofagus 24 jam diperlukan untuk membuktikannya. Anak
dengan gejala asma nokturnal atau asma dependen steroid sulit dikontrol, dapat
dipertimbangkan keterlibatan RGE sebagai pencetus gejala tersebut.
Pemantauan pH esofagus 24 jam diperlukan untuk membuktikannya dan
kemungkinan memerlukan obat antirefluks jangka panjang.3
Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Gastrohepatologi) telah
memodifikasi skor PRGE Oreinstein sehingga dapat digunakan oleh para
dokter di praktek klinis sehar-hari untuk menapis PRGE. Gejala klinis yang
dinilai mencakup frekuensi regurgitasi, jumlah cairan yang keluar saat
regurgitasi, kenyamanan saat regurgitasi, menolak makan, dan kenaikan berat
badan. Penilaian respon terapi yang ketat harus menyertai terapi empiris yang
diberikan.5
| 21
Kepustakaan
| 22
7. Vandenplas Y, Abkari A, Bellaiche M, Benninga M, Chouraqui JP,
Çokura F, Harb T, Hegar B, Lifschitz C, Ludwig T, Miqdady M, de
Morais MB, Osatakul S, Salvatore S, Shamir R, Staiano A Szajewska H,
Thapar N. Prevalence and Health Outcomes of Functional Gastrointestinal
Symptoms in Infants From Birth to 12 Months of Age. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2015 Nov; 61(5): 531–537.
| 23
Mikrobiota Saluran Cerna : Peran Penting Sebagai
Modulator Pertumbuhan Otak dan Fungsi Kognitif
serta Masalah Kesehatan Saluran Cerna Pada Anak
Abstract
Early childhood generally refers to the period from birth throughout the age of
five. Cognitive development during early childhood that includes building
skills such as pre-reading, language, vocabulary and numeracy start from the
moment a child was born. Gut microbiota show numerous health benefits
beyond providing basic nutritional value. Accumulating data now indicate that
the gut microbiota also communicates with the CNS, possibly through neural,
endocrine and immune pathway that would influences the brain function,
behaviour and cognitive in particular. They cooperatively maintain a delicate
balance between the gastrointestinal tract and immune system. When this
balance is disrupted, diseases and inflammation will apear. Inflammation and
adequate mucus production and appropriate bacterial colonization, modulates
disease processes and prevents overgrowth of pathogenic bacteria. The
understanding of the function of microbial in the maintenance of health and
the importance in preventing diseases will enhance the overall health of the
children. By increasing the knowledge and understanding on the benefit of
| 24
microbes in health maintenance and disease prevention, microbiota may be
commonly used as a therapeutic tool by health care practitioners in the future.
A better understanding and appreciation of several potentially modifiable
factors that influence the newborn and infant gut microbiota is essential. This
article presents a review of microbiota in health maintenance and disease
prevention in healthy and sick children.
Pendahuluan
Mikrobiota saluran cerna mempunyai peran yang penting untuk kesehatan anak
secara keseluruhan. Fungsi kognitif seorang anak merupakan fungsi terpenting
sebagai penentu kesehatan secara keseluruhan dan sangat menentukan kualitas
tumbuh kembang anak di masa mendatang. Banyak penelitian yang membahas
mengenai hubungan antara mikrobiota saluran cerna dan sistem saraf pusat
yang selanjutnya disebut sebagai microbiota-gut-brain axis. Melalui hubungan
antara mikrobiota saluran cerna dengan sistem saraf pusat, telah banyak
diketahui mikrobiota saluran cerna mempunyai efek terhadap pertumbuhan dan
perkembangan sistem saraf pusat yang pada akhirnya berperan juga untuk
kesehatan anak sercara fisik maupun fungsi kognitifnya 1–4. Mikrobiota saluran
cerna adalah bakteria hidup atau bakteria campuran yang memiliki efek
menguntungkan pada saluran cerna host melalui kemampuannya menjaga
keseimbangan mikrobiota usus dan mempunyai manfaat mempertahankan
kesehatan host 5. Terdapat lebih dari 100 spesies dan lebih dari 10 milyar
bakteri dalam usus manusia. Bakteri dalam usus manusia dapat dibagi menjadi
2 kelompok yaitu kelompok bakteri yang berguna (useful) dan kelompok yang
berbahaya (harmful) 6.
| 25
Pada keadaan infeksi saluran yang disebabkan oleh kuman patogen akan
menimbulkan proses inflamasi dan stimulasi sistem imunitas yang berlebihan.
Salah satu fungsi penting mikrobiota saluran cerna adalah mengatur adan
menghambat proses inflamasi dan stimulasi imunitas yang timbul, untuk
mencapai keseimbangan baru yang optimal. Pemahaman fungsi mikrobiota
untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit bertujun meningkatkan
status kesehatan secara menyeluruh sangat penting untuk diketahui. 7–10.
| 26
usus16. Namun mekanismenya hingga saat ini belum sepenuhnya diketahui
dengan jelas. Salah satu aspek penting untuk menjelaskan hal diatas adalah
peran dari saraf vagus. Jalur saraf vagus telah terbukti terlibat dalam
komunikasi antara mikrobiota saluran cerna dan sistem saraf pusat. Peneltian
dengan hewan coba yang dilakukan vagotomi, membuktikan adanya perubahan
komposisi mikrobiota saluran cerna tidak menunjukkan perubahan perilaku
yang nyata. Dalam studi yang sama, dilaporkan bahwa pengobatan dengan
probiotik gagal memperbaiki perilaku tikus yang dilakukan vagotomi. Namun
telah banyak diketahui adanya pengaruh mikrobiota saluran cerna terhadap
homeostasis intestinal maupun ektraintestinal. Banyak bukti penelitian yang
menjelaskan pengaruh mikrobiota saluran cerna terhadap fungsi sistem saraf
17
pusat . Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan pada
komposisi dan fungsi beberapa anggota mikrobiota saluran cerna dikaitkan
dengan gangguan neurofisiologis, keadaan ini memperkuat bukti
hubunganantara mikrobiota-usus-otak dan peran mikrobiota sebagai "penjaga
perdamaian" dalam kesehatan otak secara paripurna melalui jalur imun,
endokrin dan saraf18.
Sebagai contoh mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh mikrobiota
saluran cerna terhadap fungsi system saraf pusat (gut-brain axis ) antara lain
secara tidak langsung. Beberapa bahan aktif seperti misalnya serotonin yang
dihasilkan mikrobiota saluran cerna akan mempengaruhi fungsi sistem saraf
pusat 3,4.
| 27
Gambar 1 : A summary of the various possible mechanisms by which
microbiota can affect CNS function together with possible treatment strategies
to prevent changes in behavior and cognitive function in ageing. SCFA: short
chain fatty acids; CNS: central nervous system ( dikutip dari Katherine Leung
and Sandrine Thuret, Healthcare 2015) 4
| 28
bisa menyebabkan kegelisahan, kebingungan, peningkatan denyut jantung,
pupil melebar, kehilangan koordinasi otot, berkeringat, diare, sakit kepala,
menggigil, mual, muntah, kejang, demam tinggi, detak jantung tak teratur,
gerakan tidak terkendali dan hilangnya kesadaran. Sebaliknya pada keadaan
hormon serotonin yang kurang dapat menyebabkan rasa cemas, tertekan, fobia,
pesimistis, gelisah, tidak percaya diri, mudah marah, gangguan tidur 20,21.
Mikrobiota saluran cerna juga dapat memberi efek langsung pada sistem
imunitas tubuh. Aktivasi imunitas yang muncul juga dapat memberikan
pengaruh pada sistem saraf pusat, dan secara timbal balik juga
memainkan peran penting untuk menjaga homeostasis saluran pencernaan
yang selanjutnya akan menjaga kesehatan secara keseluruhan 1,3.
Pada penelitian hewan coba lainnya membuktikan bahwa suplementasi bakteri
probiotik mempengaruhi metabolisme nutrisi dan proses fermentasi yang akan
menghasilkan bahan tertentu yang dapat menghambat atau merangsang
pertumbuhan kuman komensal saluran cerna yang dapat memberikan efek
negatip atau efek stimulasi respons imunologi innate dengan cara meningkatan
kadar proinflammatory and anti-inflammatory cytokines. Respon ini dapat
22,23
mempengaruhi fungsi system saraf pusat . Secara langsung mikrobiota
saluran cerna juga dapat memberikan signal melalui nervus vagus sebagai
salah satu komponen penting sitem autonomic saraf parasimpatik 23.
Bacterial metabolites seperti Short Chain fatty acid (SCFAs), merupakan hasil
metabolisme dari mikrobiota saluran cerna telah diketahaui mempunyai
pengaruh stimulasi sistem saraf simpatik. SCFAs akan masuk sistem sirkulasi
dan akan mempengaruhi regulasi imunitas saluran cerna dan sistemik hingga
mencapai sistem saraf pusat 20,23.
Mikrobiota saluran cerna ternyata juga mempunyai pengaruh terhadap tekanan
| 29
darah. Pada hewan coba kelompok tikus normotensi (Wistar Kyoto)
dibandingkan kelompok tikus hipertensi (SHRs) menunjukkan adanya
perbedaan komposisi mikrobiota saluran cernanya. Kelompok tikus hipertensi
mempunyai koloni Firmicutes lima kali lebih banyak banding koloni
Bacteriodes 24.
Demikian juga pada manusia. Perbedaan komposisi mikrobiota saluran cerna
berhubungan dengan tinggi rendahnya tekanan darah sirkulasi. Pada kelompok
yang mempunyai strain mikrobiota lebih sedikit variasinya (disbiosis),
cenderung mempunyai tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan
kolopok yang memiliki variasi mikrobiota saluran cerna lebih banyak. Salah
satu mekanisme mikrobiota saluran cerna pada tekanan darah ditentukan oleh
produk SCFAs, Butirat dan Propionat. Pengaruh bahan-bahan aktif ini akan
menimbulkan vasorelaksan pembuluh darah kolon dan terbukti mengakibatkan
timbulnya vasodilatasi pembuluh darah ekor hewan coba tikus 24.
| 30
stereotip dan gangguan interaksi dan komunikasi sosial serta keterampilan
yang kurang 1. Di Jakarta, ditemukan 26,2% dari anak yang berumur 6-13
tahun yang mengalami ADHD.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari keadaan patologi yang
mendasari terjadinya ADHD dan AS, namun masih banyak yang belum
diketahui. Data yang ada hanya menunjukkan adanya multifaktorial seperti
risiko genetik (mendominasi terjadinya ADHD dan AS), diperkuat oleh
berbagai faktor lingkungan dan biologis seperti stres janin, prematuritas,
intoksikasi dan diet. Penelitian terbaru dilakukan lebih intensive di dalam
sistem saraf pusat hingga mencari kemungkinan pengaruh mikrobiota usus
serta penggunaan probiotik terhadap ADHD dan AS. Data empiris terbaru
menunjukkan bahwa probiotik dapat memanipulasi aktivitas otak hewan coba
bahkan sangat mungkin pada manusia. Dalam sebuah studi klinis sebelumnya,
membuktikan bahwa formula probiotik yang terdiri dari Lactobacillus
helveticus R0052 dan Bifidobacterium longum R0175 berhasil menurunkan
tingkat stres yang disebabkan ketidaknyamanan saluran pencernaan. Bukti
awal ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai peran
mikrobiota usus pada fungsi sistem saraf pusat 1.
| 31
spesies bakteri, sebagian besar spesies bakteri anaerob (97%), 3% adalah
aerobik (fakultatif anaerob).
Genera anaerobik yang paling umum dalam konsentrasi dalam saluran
pencernaan adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium, Fusobacterium,
Clostridium dan Lactobacillus. Koloni mikrobiota aerob adalah bakteri Gram-
negatif enterik (Escherichia coli dan Salmonella spp.) dan bakteri gram-positif
cocci (Enterococcus, Staphylococcus dan Streptococcus). Selain bakteri aerob,
spesies jamur aerobik, seperti Candida albicans, yang juga termasuk anggota
25
mikrobiota normal . Bayi yang mendapatkan ASI sejak awal kehidupan,
Bifidobacteria merupakan flora normal yang paling dominant, dibandingkan
dengan kelompok bayi yang mendapatkan susu formula 26,27.
| 32
Setelah itu, terjadi perubahan yang pesat dari flora normal usus, dan
dalam perjalanan perkembangan kolonisasi ini juga dipengaruhi oleh nutrisi
pada kehidupan seorang bayi. Pola mikrobiota usus akan mengalami
modifikasi yang besar pada tahap awal kehidupan dan keadaan in mempunyai
peran penting dalam perkembangan fungsi fisiologi sistem imun innate dan
adaptif saluran cerna yang penting untuk pertahanan mukosa saluran cerna
maupun sistemik. Faktor lingkungan seperti antibiotik, diet dan inokulasi
mikroba, dapat menyebabkan perubahan dalam stabilitas mikrobiota baik yang
6,29,30
bersifat sementara dan permanen . Beberapa faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna antara lain metode
persalinan dan riwayat kelahiran prematur 31.
Penjelasan di atas mempertegas kembali bahwa kolonisasi dan perkembangan
mikrobiota normal yang seimbang pada masa neonatal khususnya pada saluran
pencernaan mempunyai peranan yang penting karena adanya gangguan
keseimbangan mikroflora pada masa ini akan mempengaruhi perkembangan
system imunitas neonatal. Gangguan perkembangan system imunitas ini
merupakan faktor predisposisi terjadingan infeksi.
| 33
keadaan kerusakan mukosa usus seperti misalnya kuman gram negatip
Enterobacteriaceae. Namun demikian, pengetahuan mengenai manfaat
mikrobiota saluran cerna secara keseluruhan belum sepenuhnya dipahami.
Beberapa bukti ilmiah menyebutkan bahwa, hewan coba tanpa mikrobiota
saluran cerna (free germ animal model) menunjukan adanya perbedaan nyata
dalam hal struktur anatomi dan fungsi organ, bila dibandingkan dengan hewan
coba dengan kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang normal. Perbedaan
dalam hal berat organ saluran cerna, fungsi fisiologi dan kerentanan saluran
cerna terhadap infeksi, merupakan parameter perbedaan yang nyata terjadi.
Demikian juga organ lainnya seperti misalnya jantung, hati, cardiac output,
kelenjar getah bening akan berkurang pada kelompok free germ animal model.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bhwa keseimbangan mikrobiota saluran
cerna mutlak diperlukan untuk keseimbangan fisiologi individu6
| 34
untuk memproduksi antibiotika alamiah, yang mempunyai kemapuan
spektrum luas (seperti misalnya lactocins, helveticins, lactacins, curvacins,
nisin atau bifidocin). Kuman bifidobakteria mempunyai kemampuan
mensekresi antimikrobial yang dapat mengeliminasi berbagai macam kuman
pathogen gram negatif saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan
Escherichia coli. Mikrobiota saluran cerna juga mampu menurunkan
konsentrasi endotoksin bakteri secara signifikan, hal ini dimungkinkan oleh
karena kemampuan mikrobiota ini akan meningkatkan pertahanan mukosa
untuk mencegah translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti
misalnya Bifidobacterium infantis dan B. longum mempunyai efek yang kuat
untuk eliminasi kuman E. coli 0157. Dengan bukti diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa dengan meningkatnya jumlah bifidobacteria dengan
spesies tertentu bersamaan dengan meningkatnya sistem imun mukosa, akan
memberikan proteksi terhadap infeksi saluran cerna 29,32,33.
| 35
makanan fermentasi. Lactobacilli juga berfungsi untuk meningkatkan fungsi
seluler dan humoral imunitas. Kuman ini mampu menstimulasi sistem immun
antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag, natural killer cell ,
monosit dan netrofil. Latobacillus GG mampu merangsang sekresi IgM setelah
vaksinasi rotavirus dan meningkatkan produksi IgA dengan hasil akhir
meningkatkan produksi imunoglobulin 35.
| 36
diketahui mampu menginduksi populasi Limfosit T untuk memproduksi
sitokin IL-10 dan TGF- Keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran cerna
ini juga telah terbukti dapat mencegah reaksi alergi susu sapi pada mencit
dengan menginduki toleransi oral terhadap -lactoglobulin 35,36.
| 37
kelainan organik saluran cerna. Beberapa hal yang mempengaruhi prevalensi
FGIDs pada anak antara lain pola infeksi dan pelayanan kesehatan berbeda,
penggunaan antibiotik terutama dalam 2 tahun pertama kehidupan, infeksi
saluran cerna dan infeksi ekstraintestinal. Riwayat alergi, diet, proses kelahiran
(spontan maupun sectio secaria) dan lama menyusui juga merupakan faktor
penting terjadinya masalah gangguan fungsional saluran cerna 42,43,43
Patogenesis FGIDs belum diketahui dengan jelas. Namun diyakini bahwa
unsur-unsur hormonal, neuronal dan psikogenik berperan dalam timbulnya
gejala FGIDs. Beberapa faktor penting yang diperkirakan mempunyai
pengaruh pada FGIDs antara lain sistem saraf enterik (ENS), motilitas, sekresi
enzim dan mikrosirkulasi, respon imun dan proses inflamasi saluran cerna.
Kemampuan respon adaptif dari ENS sebagai pemicu fisiologis dan stres
psikologi mempengaruhi terjadinya FGIDs 43,44.
Gangguan kolonisasi mikrobiota dan atau kolonisasi mikrobiota saluran cerna
yang belum optimal pada usia awal kehidupan hingga usia 2 tahun pertama
merupakan faktor penting terjadinya gangguan fungsional saluran cerna pada
6,10,36,45–47
anak . Gangguan saluran cerna fungsional yang sering dijumpai
antara lain refluk, konstipasi dan kolik. Saluran cerna pada bayi baru lahir
steril. Namun, beberapa faktor internal dan ekternal akan mempengaruhi fungsi
fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi mikrobiota pada saat bayi
lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti misalnya penggunaan antibiotika pada
ibu hamil mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap kolonisasi
48
mikrobiota saluran cerna bayi . Segera setelah lahir, mikrobiota secara aktif
melakukan kolonisasi diseluruh permukan tubuh bayi, termasuk saluran cerna.
Kolonisasi ini berlangsung secara bertahap sesuai usia kehamilan dan usia
bayi. Sebagai contoh bayi prematur mempunyai gambaran kolonisasi
| 38
26,27
mikrobiota yang berbeda , sehingga pada kelompok bayi prematur .
Demikian juga pada bayi yang sering mengalami kolik, mempunyai gambaran
kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan
kelompok bayi tanpa kolik 28,49
Kolonisasi mikrobiota pada kelompok usia bayi ini sangat mempunyai peran
terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota diketahui
memproduksi bahan-bahan penting untuk menstimulasi system saraf saluran
cerna yang berperan untuk fungsi motilitas saluran cerna yang terjadi pada
32
kondisi sehat maupun sakit .
| 39
Kesimpulan
Kolonisasi dan perkembangan mikrobiota normal didalam saluran cerna
mutlak diperlukan untuk mempertahankan fungsi fisiologi kognitif dan saluran
cerna pada anak. Beberapa hal penting manfaat keseimbangan mikrobiota
saluran cerna antar lain untuk menjaga keseimbangan produksi hormon, sistem
imunitas saluran cerna dan fungsi normal gut-brain axis. Keseimbangan
kolonisasi mikrobiota saluran cerna secara langsung maupun tidak langsung
sangat diperlukan pada keadaan anak sehat maupun sakit. Gangguan
keseimbangan mikrobiota pada masa anak secara keseluruhan dapat
mempengaruhi fungsi kognitif dan tumbuh kembang anak secara optimal.
Daftar Pustaka
1. Pärtty A, Kalliomäki M, Wacklin P, Salminen S, Isolauri E. A possible
link between early probiotic intervention and the risk of
neuropsychiatric disorders later in childhood: A randomized trial.
Pediatr Res. 2015;77(6):823–8.
2. Vuong HE, Hsiao EY. Emerging Roles for the Gut Microbiome in
Autism Spectrum Disorder. Biol Psychiatry. 2017;81(5):411–23.
3. Cryan JF, Dinan TG. Mind-altering microorganisms: The impact of the
gut microbiota on brain and behaviour. Nat Rev Neurosci.
2012;13(10):701–12.
4. Leung K, Thuret S. Gut Microbiota: A Modulator of Brain Plasticity
and Cognitive Function in Ageing. Healthcare. 2015;3(4):898–916.
5. Bested AC, Logan AC SE. Intestinal microbiota, probiotics and mental
health: from Metchnikoff to modern advances: part III – convergence
| 40
toward clinical trials Alison C. Gut Pathog. 2013;5(4):2–13.
6. Guarner F, Malagelada J-R. Gut flora in health and disease. Lancet
(London, England). 2003 Feb;361(9356):512–9.
7. Guarner F, Foxx-Orenstein A, De Paula JA, Quigley E, Fedorak R, Wu
J, et al. WGO Handbook on Gut Microbes. World Gastroenterol Organ
Glob. 2014;1(414).
8. Guarner F, Bourdet-Sicard R, Brandtzaeg P, Gill HS, McGuirk P, van
Eden W, et al. Mechanisms of disease: the hygiene hypothesis revisited.
Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol. 2006;3(5):275–84.
9. Collins SM. MICROBIOTA IN DISORDERS OF MOTILITY AND
THE GUT BRAIN AXIS . 2016;
10. Kim J, Lin H. Contribution of gut microbes to gastrointestinal motility
disorders. Pract Gastroenterol. 2007;(April).
11. Carabotti M, Scirocco A, Maselli MA, Severi C. The gut-brain axis:
Interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous
systems. Ann Gastroenterol. 2015;28(2):203–9.
12. Dinan TG, Stilling RM, Stanton C, Cryan JF. Collective unconscious:
How gut microbes shape human behavior. J Psychiatr Res. 2015;63:1–9.
13. Sandhu K V., Sherwin E, Schellekens H, Stanton C, Dinan TG, Cryan
JF. Feeding the microbiota-gut-brain axis: diet, microbiome, and
neuropsychiatry. Transl Res. 2017;179:223–44.
14. Sarkar A, Lehto SM, Harty S, Dinan TG, Cryan JF, Burnet PWJ.
Psychobiotics and the Manipulation of Bacteria–Gut–Brain Signals.
Trends Neurosci. 2016;39(11):763–81.
15. Collins SM, Bercik P. The Relationship Between Intestinal Microbiota
and the Central Nervous System in Normal Gastrointestinal Function
| 41
and Disease. Gastroenterology. 2009;136(6):2003–14.
16. O’Mahony SM, Marchesi JR SP. Early life stress alters behavior,
immunity, and microbiota in rats: implications for irritable bowel
syndrome and psychiatric illnesses. Biol Psychiatry. 2009;65:263–267.
17. Heijtz RD, Wang S, Anuar F, Qian Y, Bjorkholm B, Samuelsson A, et
al. Normal gut microbiota modulates brain development and behavior.
Proc Natl Acad Sci. 2011;108(7):3047–52.
18. Borre YE, O’Keeffe GW, Clarke G, Stanton C, Dinan TG, Cryan JF.
Microbiota and neurodevelopmental windows: Implications for brain
disorders. Trends Mol Med. 2014;1–10.
19. Elmenhorst D, Kroll T, Matusch A, Bauer A. Sleep Deprivation
Increases Cerebral Serotonin 2A Receptor Binding in Humans. Sleep.
2012;35(12):1615–23.
20. Mu C, Yang Y, Zhu W. Gut microbiota: The brain peacekeeper. Front
Microbiol. 2016;7(MAR):1–11.
21. Smith PA. Brain, Meet Gut. Nature. 2015;526(7573):312.
22. Wang X, Wang B, Zhang X, Xu Z, Ding Y, Ju G. Evidences for vagus
nerve in maintenance of immune balance and transmission of immune
information from gut to brain in STM-infected rats. 2002;8(3):540–5.
23. Forsythe P, Bienenstock J and KW. Vagal Pathways for Microbiome-
Brain-Gut Axis Communication. In: Lyte M CJ, editor. Microbial
Endocrinology: The Microbiota-Gut-Brain Axis in Health and Disease,
Advances in Experimental Medicine and Biology. New York: Springer
New York; 2014. p. 115–26.
24. Richards EM, Pepine CJ, Raizada MK, Kim S. The Gut, Its
Microbiome, and Hypertension. Curr Hypertens Rep. 2017;19(4).
| 42
25. Noverr MC HG. Does the microbiota regulate immune responses
outside the gut? Trends Microbiol USA. 2004;
26. Duttaa Sourabh, Ganesh Meenakshi, Anesh RP and NA. Week of Life.
INDIAN Pediatr. 2014;1082(261):8–10.
27. Rotimi VO, Olowe SA, Ahmed I. The development of bacterial flora of
premature neonates. J Hyg (Lond). 1985;94(3):309–18.
28. Pärtty A, Yliopisto T. INFANT COLIC CRYING AND Causes ,
Consequences and Cure by. TURUN YLIOPISTO UNIVERSITY OF
TURKU; 2013.
29. Purchiaroni F, Tortora A, Gabrielli M, Bertucci F, Gigante G, Ianiro G,
et al. The role of intestinal microbiota and the immune system. Eur Rev
Med Pharmacol Sci. 2013;17(3):323–33.
30. Groer MW, Luciano AA, Dishaw LJ, Ashmeade TL, Miller E, Gilbert
JA. Development of the preterm infant gut microbiome: a research
priority. Microbiome . 2014;2(1):38.
31. Yang, Irene. Hodgson, Neil. Corwin, EJ. Brennan, PA. Jordan S,
Dunlop A. The Infant Microbiome: Implications for Infant Health and
Neurocognitive Development. 2017;65(1):76–88.
32. Pier M, Guarino L. “ Microbiota and gut motility .”
| 43
against Unwelcome Intrusion of Harmful Microorgansims: Mucins,
Antimicrobial Peptides and Microbiota. Clin Microbiol Rev.
2006;19(2):315–37.
36. Allan Walker W. Initial intestinal colonization in the human infant and
immune homeostasis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):8–15.
37. Kozáková H, Štěpánková R, Řeháková Z, Kolínská J. Differences in
enterocyte brush border enzyme activities in ageing rats reared in germ-
free and conventional conditions. Vol. 47, Physiological Research.
1998. p. 253–8.
38. Davila AM, Blachier F, Gotteland M, Andriamihaja M, Benetti PH,
Sanz Y, et al. Re-print of “intestinal luminal nitrogen metabolism: Role
of the gut microbiota and consequences for the host.” Pharmacol Res.
2013;69(1):114–26.
39. de La Cochetière M-F, Montassier E, Hardouin J-B, Carton T, Le Vacon
F, Durand T, et al. Human intestinal microbiota gene risk factors for
antibiotic-associated diarrhea: perspectives for prevention. Risk factors
for antibiotic-associated diarrhea. Microb Ecol. 2010;59:830–7.
40. Gilchrist CA, Petri SE, Schneider BN, Reichman DJ, Jiang N, Begum S,
et al. Role of the Gut Microbiota of Children in Diarrhea Due to the
Protozoan Parasite Entamoeba histolytica. J Infect Dis.
2016;213(10):1579–85.
41. Sommer F, Bäckhed F. The gut microbiota--masters of host
development and physiology. Nat Rev Microbiol. 2013;11(4):227–38.
42. Chogle A, Velasco-Benitez CA, Koppen IJ, Moreno JE, Ramírez
Hernández CR, Saps M. A Population-Based Study on the
Epidemiology of Functional Gastrointestinal Disorders in Young
| 44
Children. J Pediatr. 2016 Dec [cited 2017 Jan 3];179:139–143.e1.
43. Rana Fayez Ammoury, Marian Del Rosario Pfefferkorn JMC.
Functional gastrointestinal disorders: past and present. World J Pediatr.
2009;5(2):103–12.
44. Eric Chiou, SN. No Title. Therapy. 2011;8(3):315–331.
45. Bachner HA. A Healthy Gut and a Healthy Brain: Implications for
Counseling and Lifestyle. VISTAS Online. 2015;Article 47.
46. Quigley EMM. Intestinal Microbiota in Health and Disease.
Gastroenterology. 2015;535(7610):7610.
47. Versalovic J. The human microbiome and probiotics: Implications for
pediatrics. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):42–52.
48. Bailey MT, Lubach GR, Coe CL. Prenatal stress alters bacterial
colonization of the gut in infant monkeys. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2004;38(4):414–21.
49. Pärtty A, Isolauri E. Gut microbiota and infant distress – the association
between compositional development of the gut microbiota and fussing
and crying in early infancy. Microb Ecol Heal Dis. 2012;23(0):26–7.
50. Chan YK, Estaki M, Gibson DL. Clinical consequences of diet-induced
dysbiosis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):28–40.
| 45
Komplikasi Respiratorik pada Anak dengan Penyakit
Refluks Gastroesofagus
PENDAHULUAN
Keluarnya isi lambung ke dalam saluran cerna pada bayi dan anak ke dalam
esophagus dapat bersifat fisiologis dan dapat juga sebagai manifestasi
patologis. Refluks gastroesofagus (RGE) merupakan kembalinya isi lambung
(makanan, minuman, asam, pepsin, asam empedu, dsb) ke dalam esophagus.
tanpa terlihat upaya bayi untuk mengeluarkannya. Sebagian besar isi refluks
tersebut masuk ke dalam rongga mulut sebagai regurgitasi. Sebaliknya,
penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) terjadi karena isi refluks asam yang
terlalu lama dan sering berada di dalam esophagus dapat menyebabkan
kerusakan mukosa esophagus. Lebih lanjut, kondisi patologis ini kadang
berdampak pada gangguan organ di luar saluran cerna, terutama system
respiratorik.1,2
Terdapat beberapa kelainan sistem respiratorik sebagai dampak dari
RGE maupun PRGE, yang terjadi sebagai akibat dari aspirasi maupun
pengaruh reflex esofagopulmonaris atau esofagolaringea. Beberapa penyakit
yang sering terjadi pada system respiratorik dapat disebutkan misalnya asma,
bronkhitis, bronkhiolitis, dan pneumonia aspirasi.2 Sebagai pemicu dasar dari
| 46
aspirasi ini karena adanya refluksesofagus dan regurgitasi yang dikaitkan
dengan belum sepenuhnya fungsi motalitas saluran cerna bayi berkembang.
Asam lambung atau bahan kimia lainnya dari makanan dapat merusak saluran
pernafasan dan reaksi hiperaktivitas bronkhus. Tatalaksana gangguan saluran
pernafasan yang ditimbulkan oleh PRGE dilakukan melalui tiga pendekatan,
yaitu menhambat supata tidak terjadi refluks, mencegah aspirasi ke dalam
saluran cerna, dan mengatasi kelainan yang terjadi pada saluran cerna.2,3,4
Asma
Serangan asma pada anak dapat dipicu oleh refluks asam lambung
dalam esophagus atau aspirasi yang mengenai bronchus. Serangan asma
sendiri didefinisikan sebagai episode peningkatan yang progresif (perburukan)
dari gejala batuk, sesak nafas, wheezing, dan berbagai kombinasi dari gejala-
gejala tersebut. Tingkat derajad serangan asma tergantung pada beratnya
paparan dan respon bronkhus. Kejadian utama pada serangan asma akut adalah
| 47
obstruksi saluran respiratori secara luas yang disebabkan oleh kombinasi dari
spasme otot polos bronchus, edema mukosa karena inflamasi dan sumbatan
mucus (GINA).3,5
PRGE terdapat pada sekitar 60% anak penderita asma. Pada PRGE,
aliran balik asam lambung dan isi lambung lainnya ke dalam esophagus akibat
lemahnya tonus sfingter esophagus bagian bawah. Paparan asam lambung
pada esophagus dapat memicu terjadinya serangan asma pada anak.1,3 Pada
dasarnya, asma merupakan penyakit respiratorik dengan dasar inflamasi kronik
yang mengakibatkan obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan
derajad bervariasi. Pada anak dengan asma, manifestasi klinis yang dapat
dijumpai dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dana tau berulang.2,3,6
Pemahaman imunopatologi, genetika dalam patogenesis asma telah
banyak mengalami kemajuan. Terjadinya asma dipengaruhi oleh factor genetik
dan lingkungan. Akan tetapi, faktor mana yang lebih berperan tidak dapat
dipastikan karena kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut. Pada keadaan
normal terdapat mekanisme anti refluks dari sfingter esophagus bagian bawah.
Sebaliknya, pada kondisi patologis atau PRGE, tonus sfingter esophagus
bagian bawah lemah sehingga memudahkan terjadinya aliran balik dari
lambung ke dalam esophagus. Refluks dan sekaligus aspirasi dapat terjadi pada
kondisi dimana perbedaan tekanan atara sfinfter esophagus bagian bawah dan
laring tidak ada lagi (hilang). Hal ini karena menurunnya kekuatan sfingter
yang kadang-kadang tidak diketahui sebabnya.4,5,6
Gangguan traktus respiratorius pada PRGE terjadi melalui beberapa
mekanisme utama, yaitu:
| 48
1. Bahan refluks pada PRGE dapat menyebabkan terjadinya inflamasi, baik
disertai atau tanpa aspirasi (teori Crausz refluks). Inflamasi ini seterusnya
akan merangsang terjadinya bronkhokonstriksi yang merupakan dasar
patomekanisme dari asma.2,3,7
2. Pada serangan asma dapat distimulasi oleh refleks
esofagopulmonaris/esofagolaringeal. Refleks dari esofagus bagian distal
menstimulasi refluks vagal yang menyebabkan bronkhokonstriksi (reflux
theory). Mekanisme lain adalah refluks esofagobronkhial, yaitu asam dari
esofagus dapat menstimulasi reseptor asam yang sensitif di saluran napas
bagian atas, menimbulkan bronkhospasme.2,5,7
3. Asam di esofagus bagian bawah akan merangsang reseptor asam yang
sensitif, menimbulkan reaksi saraf bagian atas. Saat ini banyak hal belum
diketahui apakah serabut aferen pada manusia dapat menyebabkan nyeri
dada, batuk dan asma. Teori ini didukung oleh studi pemberian sedikit
asam ke dalam traktus respiratorius akan menyebabkan spasme
bronkhus.1,2
| 49
paling sering mengalami gangguan adalah segmen posterior dari lobus superior
dan segmen superior dari lobus inferior.2,6
Cairan asam dengan cepat masuk kedalam percabangan bronkhus dan
parenkim paru-paru, menyebabkan pneumonitis kimia dalam beberapa menit.
Derajat kerusakan jaringan secara langsung dihubungkan dengan pH dan
volume dari aspirat. Tingkat kematian yang terjadi pada pasien dengan
aspirasi asam lambung adalah kira-kira 30% dan lebih dari 50% diantaranya
mengalami syok atau apnea, radang paru paru sekunder, dan distress
pernapasan akut.2,6,7
Pneumonia
Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama, terutama di negara
berkembang. Pada dasarnya, pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai
parenkin paru. Sebagian besar, etiologi penyakit ini adalah mikroorganisme
dan sebagian kecil penyebabnya adalah aspirasi. Salah satu bahan yang
berdampak buruk untuk terjadinya aspirasi adalah aspirasi cairan lambung.
Pada PRGE, cairan lambung dapat mengalami aspirasi hingga masuk sampai
alveoli. Cairan lambung yang dengan cepat masuk ke dalam parenkhim paru
akan menyebabkan inflamasi pada alveoli dan jaringan sekitarnya.1,2,6
Pada PRGE, bahan refluks berisi bahan-bahan material yang berasal
dari lambung yang masuk kembali ke dalam esophagus, kadang-kadang
dengan mudah diikuti dengan aspirasi. Bahan-bahan kimia ini selanjutnya
memicu proses peradangan di daerah alveoli, dengan berbagai kemungkinan
bentuk lesi yang terjadi.6
| 50
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis RGE dan regurgitasi cukup diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala klinis pada RGE sangat
tidak spesifik, sehingga tidak direkomendasikan menegakkan diagnosis PRGE
hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisisk, tetapi diperlukan
dukungan pemeriksaan penunjang yang akurat. Diagnosis PRGE dan terapi
protom Pum inhibitor atau H2 antagonis hanya berdasarkan bayi menengis
berkepanjangan dan rewel adalah tidak rasional, karena kedua keadaan tersebut
merupakan kondisi fisiologi pada bayi sehat.1,2,7
Pemeriksaan penunjang akurat yang diperlukan untuk mendiagnosis
PRGE adalah endoskopi disertai pemeriksaan patologi anatomi jaringan biopsy
esophagus atau penurunan pH esophagus. Kedua pemeriksaan penunjang
tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit besar di wilayah provinsi, sehingga
dokter yang bekerja di wilayah lain seingkali mendapat kendala dalam
menegakkan diagnosis dan memberikan terapi rasional PRGE. Untuk
mengatasi keadaan ini, keberadaan kuesioner untuk menepis PRGE di ptaktik
klinis sangat diperlukan. Meskipun nilai sensitivitas dan spesifisitas hanya
sekitar 50%, Kuaesioner Infant Gastroesofageal Quesionaire (I-GERQ) telah
digunakan di berbagai pusat pelayanan kesehatan anak untuk meningkatkan
probable reflux, sehingga bayi memerlukan pemeriksan akurat lanjutan untuk
membuktikan adanya RGE, sedangkan bayi dengan nilai skor <9 tidak
memerlukan terapi khusus, merupakan variasi gejala klinis pada bayi
normal.1,2,6,7
Penentuan kelainan respiratorik yang disebabkan oleh GERD tidak
mudah dilakukan. Namun, prinsip dasar dalam penegakan diagnosis untuk
pembuktian tersebut dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
| 51
pemeriksaan penunjang. Perlu diketahui apakah gejala yang berkaitan dengan
kelainan saluran pernafasan muncul didahului oleh muntah. 1,6
Pemeriksaan penunjang dalam keterkaitan antara refluks dengan
gangguan saluran pernafasan dapat dilakukan beberapa pemeriksaan. Secara
ringkas, pemeriksaan itu dibagi menjadi: pemeriksaan untuk menentukan
adanya refluks, mengetahui penyebab refluks, menentukan adanya aspirasi,
dan menentukan adanya kelainan akibat refluks. Pengamatan pH esophagus
jangka panjang, dianggap sebagai pemeriksaan yang paling sensitive karena
dapat membedakan refluks abnormal dengan normal sampai 95%. Sebaliknya,
cara ini mempunyai kekurangan yaitu memerlukan waktu yang lebih panjang
sehingga anak perlu dirawat di rumah sakit. Keunggulan cara ini, selain dapat
menunjukkan refluks yang abnormal, juga dapat mencatat frekuensi dan lama
refluks pada berbagai posisi anak, baik ketika banagun maupun saat tidur. 1,6,7
Pemeriksaan lain untuk menilai adanya aprirasi akibat GERD adalah
dengan pemeriksaan langsung. Pada pemeriksaan aspirasi langsung, yang
dilakukan adalah pemeriksaan dalam pipa endotrakhea. Jika terdapat aspirasi
akibat GERD, maka akan ditemukan isi dari lambung yang masuk ke dalam
saluran pernafasan, misalnya susu atau bahan makanan lainnya. Apabila terjadi
aspirasi susu dalam jumlah yang sangat kecil, maka dapat dilakukan
pemeriksaan cairan endotrakhea. Bila ditemukan adanya laktulosa yang berasal
dari susu, berarti telah terjadi aspirasi susu ke dalam trakhea.2,6,7
Untuk menentukan adanya dampak dari PRGE terhadap saluran
pernafasan dapat dilakukan uji fungsi paru. Disisi lain, juga dapat dilakukan
pemeriksaan pulse oximetry dan pengukuran konsentrasi karbondioksida
sepanjang siklus respirasi. Pemeriksaan lainnya untuk menulai gangguan paru
dapat dilakukan, misalnya: rongent thoraks dan bronkuskopi.1,2,6
| 52
PENDEKATAN TATALAKSANA
Tatalaksana yang tepat diperlukan untuk mengatasi kelainan respiratorik akibat
PRGE. Pada prinsipnya, tatalaksana gangguan saluran pernafasan yang
ditimbulkan oleh PRGE dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu menghambat
supaya tidak terjadi refluks, mencegah aspirasi ke dalam saluran cerna, dan
mengatasi kelainan yang terjadi pada saluran respiratorik.1,2,6,7
| 53
Gejala klinis yang mirip tanda bahaya RGE atau PRGE terjadi pada bayi
yang alergi terhadap susu sapi. Dengan mempertimbangkan bahwa prevales
alergi protein susu sapi sangat tinggi (3-5%), maka tanda bahaya pada bayi
yang mengalami regurgitasi perlu dipikirkan sebagai gejala alergi protein susu
sapi. Penyakit RGE perlu dibuktikan bila bayi tidak mempunyai riwayat
atopi/alergi. Penapisan PRGE dilakukan dengan kuesioner PRGE, sedangkan
pembuktian PRGE dengan pemeriksaan endoskopi atau pementauan pH
esophagus 24 jam. Pemilihan Susu formula dengan kandungan protein
terhidrolisis ekstensif diberikan kepada bayi dengan alergi protein susu
sapi.1,2,5
| 54
pemberian oksigen dimaksudkan untuk mencegah sesak yang berlebihan dan
mengatasi hipoksemia.2,6
Daftar Pustaka
1. Ranuh IGMRG, Athiyyah AF, Syarif BH, penyunting. Rekomendasi
Gangguan saluran cerna fungsional. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
2016.
2. Benedictis FM, Andrew Bush A. Respiratory manifestations of gastro-
oesophageal
reflux in children. Arch Dis Child 2017;9:1–5
3. Rahajoe N, Kartasasmita CB, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting.
Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2015.
4. Global Initiative for Asma. Global strategy for asthma management and
prevention. 2014.
5. Papadopaulus NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J.
Lemanske R, et.al. International consensus on (ICON) pediatric asma.
Allergy. 2012;67:976-97.
6. Boesch RP, Daines C, Willging JP, Kaul A, Cohen1 AP, Wood RE.
Advances in the diagnosis and management of chronic pulmonary
aspiration in children. Eur Respir J 2006; 28: 847–861.
7. Vanderplas Y, Abkari A, Bellaiche M, Benninga M, Chouraqui JP, Cokura
F, et.al. Prevalence and heatlh outcome of fuctional gastrointestinal
simptoms in infant from birth to 12 month of age. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2015;61(5):531-7.
| 55
Mengenal Gejala Obstruksi Saluran Cerna
pada Anak
Obstruksi saluran cerna pada anak dapat terjadi pada sepanjang esofagus
sampai anus, dan hal ini dapat merupakan kelainan bawaan ataupun didapat.1,2
Obstruksi usus merupakan kelainan terbanyak yang memerlukan tindakan
pembedahan akut pada masa neonatus. Insidens obstruksi usus pada 1 di antara
1500 kelahiran hidup.3 Angka mortalitas di negara yang sedang berkembang
masih cukup tinggi karena biasanya bayi dalam keadaan kurang gizi dan
terlambat untuk dirujuk dibandingkan dengan negara maju.4
Patofisiologi
Obstruksi usus terjadi bila aliran kandungan usus halus terhambat. Pada
kondisi obstruksi tersebut akan terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh, sehingga menigkatkan tekanan perfusi usus. Proksimal terhadap bagian
obstruksi akan terjadi dilatasi usus karena terisi sekresi usus dan udara yang
tertelan. Kegagalan kandungan usus untuk melewati saluran cerna akan
menyebabkan kesulitan flatus dan berhentinya pergerakan usus. Pada 80%
kasus obstruksi usus terjadi di usus halus dan sisanya terjadi di usus besar.5
| 56
Kehilangan cairan melalui emesis, edema usus, dan kehilangan kapasitas
absorpsi akan menyebabkan dehidrasi. Emesis akan menyebabkan kehilangan
kalium, hidrogen dan klorida dari lambung; dan dehidrasi yang signifikan akan
menstimulasi tubulus ginjal proksimal mereabsorpsi bikarbonat dan kehilangan
klorida, sehingga memperburuk alkalosis metabolik.6 Selain itu stasis usus
akan menyebabkan pertumbuhan mikroflora usus yang berlebihan, yang dapat
menyebabkan emesis yang berbau menyengat ataupun terjadinya translokasi
bakteri.7 Dilatasi usus halus yang berlanjut akan meningkatkan tekanan intra
lumen usus, menyebabkan kehilangan drainase vena dan berakibat peningkatan
edema dan hiperemia usus. Hal ini akan menyebabkan iskemia, nekrosis dan
perforasi.
Manifestasi Klinis
Ada 4 keluhan utama obstruksi intestinal yaitu nyeri perut hebat (kolik),
distensi abdomen, muntah, dan konstipasi. Timbulnya gejala-gejala tersebut
dipengaruhi oleh lokasi dan tipe obstruksi.8,9 Muntah salah satu gejala awal
yang perlu dicermati terutama bila terjadi obstruksi proksimal, karena pada
obstruksi yang lebih distal keluhan muntah terjadi kemudian.10 Muntah yang
terjadi pada masa neonatus sering disertai gejala intoleransi asupan makanan,
distensi abdomen, kegagalan ekskresi mekonium dan tanda peritonitis (nyeri
tekan, nyeri lepas).11
| 57
infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, peningkatan tekanan intra kranial,
alergi makanan, maupun sindrom adrenogenital.12
Pada anak yang lebih besar, nyeri perut akut yang disertai muntah hijau
perlu dipertimbangkan etiologi obstruksi saluran cerna setelah dieksklusi ke
arah etiologi non-bedah.13 Riwayat nyeri perut sebelumnya perlu dievaluasi
termasuk intensitas sakit saat diperiksa. Bila disertai tinja berdarah
kemungkinan telah terjadi iskemia usus. Demam yang terjadi setelah muntah
atau nyeri perut (bukan yang terjadi saat awal keluhan) menunjukkan
kemungkinan sudah terjadi peritonitis.13
| 58
urin dan asupan makanan apakah berkurang). Derajat aktivitas perlu dievaluasi
apakah bayi/anak menunjukkan keaktifan yang normal, tidur terbaring atau
menunjukkan gerakan yang menahan sakit. Rasa nyeri yang tajam, terlokalisir,
dan bertambah sakit saat bergerak kemungkinan besar berasal dari reseptor
somatoparietal di peritoneum, otot, maupun kulit. Nyeri pada penekanan dan
nyeri lepas menunjukkan keadaan peritonitis. Pada auskultasi bila tidak
terdengar bising usus menunjukkan kondisi ileus ataupun peritonitis;
sedangkan bising usus yang meningkat menunjukkan obstruksi saluran cerna.13
Pemeriksaan Penunjang
| 59
terbentuknya abses pada apendisitis, maupun torsi omentum dan limfadenitis
mesenterium.16
Tabel 1. Gejala dan tanda nyeri perut akut yang mungkin memerlukan
tindakan bedah
Tata Laksana
Apendisitis dapat terjadi pada usia berapa saja tetapi puncaknya pada
masa remaja akibat hiperplasia limfoid folikular.18 Pemeriksaan klinis tidak
dapat membedakan antara apendisitis dengan limfadenitis mesenterium.19
Beberapa sistem skor digunakan untuk mendiagnosis apendisitis di antaranya
adalah the Pediatric Appendicitis Score dan the Alvarado Score.20
| 60
Pada bayi dan usia di bawah tiga tahun, keluhan nyeri perut akut dapat
disebabkan oleh intususepsi, divertikel Meckel, malrotasi midgut, dan hernia
inguinalis. Intususepsi biasanya terjadi di bawah usia 2 tahun, dengan gejala
nyeri tekan pada daerah kuadran kanan bawah, teraba massa berbentuk pisang
di daerah abdomen, tinja seperti agar berwarna merah (red currant jellystool)
akibat kongesti vena usus yang mengalami intususepsi. Penyebabnya pada
90% kasus adalah idiopatik, dan sekitar 10% akibat lead point atau sticky pot
di kolon. Enema gunakan kontras ataupun udara dapat sebagai tindakan
diagnostik sekaligus terapeutik bagi intususepsi.21
Daftar Pustaka
| 61
4. Nasir GA, Rahma S, Kadim AH. Neonatal intestinal obstruction. East
Mediterr Health J. 2000;6:187-93.
5. Ullah S, Khan M. Intestinal obstruction: A Spectrum of causes, Department
of Surgery, Postgraduate Medical Institute Lady Reading Hospital,
Peshawar Pakistan. JPMI. 2008;8(1):210–3.
6. Wangensteen OH. Understanding the bowel obstruction problem. Am J
Surg. 1978;135(2):131-49.
7. Rana SV, Bhardwaj SB. Small intestinal bacterial overgrowth. Scand J
Gastroenterol. 2008;43(9): 1030-7.
8. Cirocchi R, Abraha I, Farinella E, Montedori A, Sciannameo F.
Laparoscopic versus open surgery in small bowel obstruction. Cochrane
Database Syst Rev. 2010;17(2):751.
9. Khanzada TW, Samad A. Etiological spectrum of dynamic intestinal
obstruction, Department of Surgery, Isra University Hospital, Hyderabad,
Pakistan. Gomal J Med Sci. 2006;12(1):35–6.
10. Bailey PV, Tracy TF Jr, Connors RH, Mooney DP, Lewis JE, Weber TR.
Congenital duodenal obstruction: a 32-year review. J Pediatr
Surg. 1993 Jan;28(1):92-5.
11. Grob M. Intestinal obstruction in the newborn infant. Arch Dis Child.
1960;35:40.
12. Llyod DA, Kenny SE. Congenital anomalies. In: Walker WA, Goulet O,
Kleinman RE, Sherman IM, Shneider BC, Sanderson IA. Walker's
Pediatric Gastrointestinal Disease. 4th ed. Ontario: BC Decker; 2004.
p.561-8.
13. Reust CE, Williams A. Acute abdominal pain in children. Am Fam
Physician. 2016;93(10):830-6.
| 62
14. Kwan KY, Nager AL. Diagnosing pediatric appendicitis: usefulness of
laboratory markers. Am J Emerg Med. 2010;28(9):1009-15.
15. Shah S. An update of common gastrointestinal emergencies. Emerg Med
Clin North Am. 2013;31 (3):775-93.
16. Carty HM. Paediatric emergencies: non-traumatic abdominal emergencies.
Eur Radiol. 2002;12 (12):2835-48.
17. Sharwood LN, Babl FE. The efficacy and effect of opioid analgesia in
undifferentiated abdominal painin children: a review of four
studies.Paediatr Anaesth. 2009;19(5):445-51).
18. Bundy DG, Byerley JS, Liles EA, Perrin EM, Katznelson J, Rice HE. Does
this child have appendicitis? JAMA. 2007;298(24):2895-904.
19. Toorenvliet B, Vellekoop A, Bakker R, Wiersma F, Mertens B, Merkus
J, et al. Clinical differentiation between acute appendicitis and acute
mesenteric lymphadenitis in children. Eur J Pediatr Surg. 2011;21(2):120-
3.
20. Ebell MH, Shinholser J. What are the most clinically useful cutoffs for the
Alvarado and Pediatric Appendicitis Score? A systematic review. Ann
Emerg Med. 2014;64(4(:365-72.e2.
21. Pepper VK, Stanfill AB, Pearl LH. Diagnosis and management of pediatric
appendicitis, intussusceptions, and Meckel diverticulum. Surg Clin North
Am. 2012;92(3):505-26.
| 63
Diare Persisten Pada Anak HIV/AIDS
Pendahuluan
Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di banyak negara
berkembang termasuk Indonesia. Walaupun telah banyak kemajuan diperoleh
di bidang pemberantasan penyakit diare di Indonesia namun hingga kini angka
kesakitan diare tetap masih tinggi. Angka kesakitan diare diperkirakan antara
120-130 kejadian per 1000 penduduk, 60% kejadian diare tersebut terjadi pada
balita. Telah banyak kemajuan yang diperoleh sehingga angka kematian dari
diare akut sudah dapat ditekan, tetapi angka kematian diare persisten pada anak
balita masih tinggi yaitu berkisar antara 23-62% dengan rata-rata 45%. Di
samping itu penderita diare persisten juga akan mengalami gangguan
pertumbuhan di kemudian hari.1
Diare persisten pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
terjadi akibat berbagai penyebab, termasuk infeksi bakteri (Salmonella,
Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang
umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus
(CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang
digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV, terutama
selama infeksi HIV utama.2
| 64
Bagi penderita infeksi HIV, diare persisten merupakan komplikasi yang
biasa terjadi di mana 60-90% di negara berkembang. Suatu studi di India
menyatakan bahwa diare merupakan manifestasi klinikal ketiga paling banyak
pada pasien Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Walaupun begitu,
sampai 50% pasien tidak dapat diidentifikasi patogen pada ususnya. Hal ini
kerana infeksi intestinal pada HIV berkait dengan enteropati pada AIDS dan
organismenya masih tidak dapat dideteksi seperti prevalensi infeksi
mikrosporidia pada pasien HIV diperkirakan 15%.3
Diare merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering dijumpai
pada anak dengan HIV/AIDS. HIV tidak hanya menyerang orang dewasa saja
melainkan juga pada anak. Penularan ini dapat terjadi karena adanya transmisi
virus pada kehamilan, pada saat melahirkan, maupun pada saat menyusui. Saat
virus HIV menjangkiti tubuh, virus akan menyerang dan merusak sel-sel
limfosit T CD4+ sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap
berbagai penyakit infeksi.2
Adanya virus HIV di dalam tubuh tidak hanya mempengaruhi sistem
imun melainkan juga dapat mempengaruhi sistem saraf bahkan gastrointestinal
(GI). Gangguan GI terlihat pada 50% pasien AIDS di Amerika Utara atau
Eropa dan sebesar '90% pada negara berkembang. Salah satu manifestasi
umum gangguan GI pada pasien dengan HIV/AIDS adalah diare.1
Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau
tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare dapat dikelompokkan
berdasarkan durasi dan gejalanya menjadi diare akut, persisten, dan kronik.
Pada HIV/AIDS, diare yang terjadi umumnya berupa diare persisten dan kronis
atau diare yang terjadi berulang. Penyebab diare pada pasien dengan
HIV/AIDS adalah karena infeksi protozoa, bakteri, virus, helmintik, fungi,
| 65
maupun karena efek samping pengobatan dan malnutrisi. Diare dapat
mengakibatkan kematian atau kehilangan kemampuan anak apabila tidak
didiagnosis dan ditangani dengan baik.2
Definisi
Diare persisten adalah episode diare lebih dari dua minggu yang
sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi.1
Berdasarkan The American Gastroenterological Association diare persisten
adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 2 minggu, oleh etiologi
infeksi serta memerlukan pemeriksaan labih lanjut.1
Diare persisten atau kronis merupakan suatu kondisi episode diare lebih
dari dua minggu yang disertai dengan kondisi penurunan berat badan atau
sukar naik. Diare yang berlangsung lebih dari 14 hari di definisikan sebagai
diare persisten apabila etiologinya adalah infeksi, dan didefinisikan sebagai
diare kronis apabila etiologinya non-infeksi.1
Epidemiologi
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare
pada balita, insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar
antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari
keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukan bahwa diare persisten
dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat
kematian anak di dunia.3
Di Indonesia diare persisten/kronik sebesar 0,1% dengan angka
kejadian tertinggi anak-anak berusia 6-11 bulan. Penyebab diare persisten
| 66
dan penyakit penyerta adalah terbanyak adalah gizi buruk 36,6%, alergi
susu sapi 31,7%, infeksi saluran kemih 24,4%, HIV 19,5%.4
Infeksi HIV/AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika pada 1981 pada
orang dewasa homoseksual dan pada anak ditemukan 1983. Sedangkan di
Indonesia kasus HIV pertama kali ditemukan pada 1987 yaitu pada pasien
dewasa di Bali. Infeksi HIV adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus HIV. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit
yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun sebagai akibat dari infeksi
HIV.5
Data terbaru dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI secara kumulatif dari 1
April 1987 sampai 31 Maret 2016, total pasien dengan infeksi HIV adalah
191.073 kasus dan penderita AIDS adalah 77.940 kasus. Untuk Aceh
didapatkan 303 kasus HIV dan 276 kasus AIDS (prevalensi 6.14 per 100.000
penduduk). Sejak epidemi HIV, AIDS telah merenggut nyawa lebih dari 25
juta orang di dunia. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena
AIDS dan 500.000 di antaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun.5
Berdasarkan Data Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia 2011-
2016 oleh Kementerian Kesehatan RI (2013) bahwa total penderita AIDS pada
anak 16.884 kasus (sekitar 2,77%) dari keseluruhan kasus AIDS. Jumlah
penderita infeksi HIV baru pada anak yaitu 5,7% (4.361 kasus) dari total kasus
baru dan jumlah kematian anak akibat AIDS 1.839 orang (6,7%) dari total
jumlah penderita yang meninggal. Tampak terjadi peningkatan setiap
tahunnya.5
Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada subpopulasi yang
berperilaku risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya
bahkan anaknya. Pada akhir 2015 terjadi penularan secara kumulatif pada lebih
| 67
38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Para ibu ini
sebagian besar tertular dari suaminya.5
Kasus HIV/AIDS di Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh diyakini
bagaikan fenomena gunung es, laporan resmi jumlah kasus tidak
mencerminkan masalah yang sebenarnya. Artinya, banyak kasus tidak
terdeteksi. Jadi, itu ada rasionya 1 : 200, dimana ada satu kasus yang
terdeteksi, berarti ada 200 kasus lainnya yang positif. Kalau angka sekarang
hampir mencapai 300 orang positif HIV di Provinsi Aceh. Berarti tinggal
dikalikan, 300 x 200 berapa? Ada sekitar 60 ribu kasus. Kalau dilihat dari rasio
maka di Aceh ada sekitar 60 ribu orang yang positif HIV. Untuk itu
pemerintah wajib memberikan perhatian khusus, jangan sampai di Aceh yang
merupakan daerah yang menerapkan Syariat Islam menjadi nomor satu kasus
HIV/AIDS di Indonesia.6
Etiologi
Pada umumnya para ahli sependapat bahwa penyebab diare
persisten/kronik sangat kompleks dan merupakan gabungan banyak faktor
yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Faktor etiologi diare
persisten/kronik menurut PRITECH/WHO adalah :1
1. Kuman penyebab yang khusus
a. Kuman yang sering ditemukan pada diare persisten dari pada diare
akut
- Enteroadherent E. Coli
- Cryptosporidium
- Enteropathogenic E. Coli
| 68
b. Kuman yang dijumpai dengan frekuensi sama antara diare persisten
dan diare akut
- Shigella
- Non-typhoid Salmonella
- Campylobacter jejuni
- Enterotoxigenic E. Coli
- Giardia lamblia
- Entamoba histolytica
- Clostridium lamblia
2. Faktor host
- Gizi buruk : atrofi mukosa usus, regenerasi epitel usus berkurang,
pembentukan enzim serta penyerapannya terganggu
- Defisiensi zat imunologis
- Defisiensi enzim laktase
- Alergi makanan
3. Faktor-faktor lainnya
- Penanganan diare yang tidak efektif
- Penghentian ASI dan makanan
- Penggunaan obat-obatan antimotilitas
| 69
luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-
pasien HIV tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase
lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis.8 Grohmann et al
(1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan
Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.9
Patogenesis
Cryptosporidium, Microsporidium, dan Isospora belli merupakan
protozoa yang paling sering menginfeksi saluran cerna dan menimbulkan diare
pada pasien HIV. Infeksi menular melalui rute feses-oral, kontak seksual,
makanan, minuman, atau hewan.10 Infeksi dapat menimbulkan gejala beragam,
dari diare ringan atau intermitten pada tahap-tahap awal infeksi HIV sampai
diare berat yang mengancam nyawa pada pasien dengan gangguan kekebalan
yang parah.10,11
Yang berperan pada pathogenesis diare terutama karena infeksi yaitu
faktor kausal (agent) dan faktor pejamu (host). Faktor pejamu adalah
kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat
menimbulkan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare, Terdiri
dari faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna antara
lain keasaman lambung, motilitas usus, imunitas dan juga lingkungan
mikroflora usus. Pada pasien penderita HIV, terjadi penurunan sistem imunitas
yang bermakna, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme. Faktro
kausal yaitu daya penetrasi yang dapat masuk sel mukosa, kemampuan
memproduksi toksin yang memperngaruhi sekresi cairan usus halus serta daya
lekat kuman.10-12
| 70
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-
anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus
HIV terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi
penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria.
Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.1
Kerusakan mukosa usus, pada tahap awal kerusakan mukosa usus
disebabkan oleh penyebab diare akut yang tidak mendapatkan penanganan
yang baik. Berbagai faktor melalui interaksi timbal balik yang tidak hanya
menyebabkan perbaikan kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga
menimbulkan kerusakan mukosa yang lebih berat dengan berbagai
komplikasi.13
Laktase↓ Protase ↓
KEP
| 71
Diagnosis
Evaluasi pada pasien dengan diare persisten/kronis meliputi :1,3
1. Anamnesis
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare,
antara lain berapa lama diare sudah berlangsung dan frekwensi berak.
Selain itu anamnesis juga bertujuan untuk mengetahui factor-faktor risiko
penyebab diare, antara lain riwayat pemberian makanan atau susu, ada
tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat dan adanya
penyakit sistemik.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada diare persisten/kronis harus mencakup perhatian
khusus pada penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status
perkembangan anak.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah
lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12,
asam folat, kalsium, ferritin, laju endap darah, dan protein C reaktif.
Pemeriksaan serum Ig deteksi adanya defisiensi imun, HIV testing
untuk pemeriksaan kadar CD4 pada kasus sangkaan infeksi
HIV/AIDS.
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas
jika curiga ada pankreas, pH tinja <5 menandakan adanya
intoleransi laktosa. Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan
| 72
kemungkinan infeksi protozoa seperti giardiasis, dan amebiasis yang
banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten.
Tatalaksana
Penatalaksanaan diare persisten meliputi rehidrasi enteral/parenteral,
nutrisi dan medikamentosa.1,3
1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi
secepatnya. Diare persisten seringkalai disertai gangguan elektrolit
sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi
hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotika spektrum luas harus
dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi
kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
2. Terapi Nutrisi
a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten
Kebutuhan energy dan protein pada diare persisten berturut-turut
sebesar 100 kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan
asupan yang mengandung energi 1 kcal/g. Pilihan terapi nutrisi
dapat meliputi : diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet
berbahan dasar ayam.
b. Pemberian mikronutrien zinc, vitamin A dan zat besi.
3. Medikamentosa
Antibiotik diberikan jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi
intestinal maupun ekstra-intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah,
segera diberikan antibiotic yang sensitive untuk shigellosis.
Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) untuk penyebab
Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia. Jika dicurigai penyebab
| 73
adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja
dan sensitivitas. Infeksi bakteri Mycobacterium Avium Kompleks
menyebabkan demam berlanjutan, keringat pada malam hari, berat badan
menurun, anemia, nyeri badan, pusing, diare, dan kelemahan. Bakteria
yang menyebabkan infeksi ini biasanya ditemui dalam air, habuk, tanah,
dan tinja burung. Infeksi ini biasanya terjadi apabila jumlah sel CD4+
kurang dari 50 mm3 darah. Azithromycin biasanya diberikan sebagai
pengobatan pencegahan.14 Tatalaksana paling efektif untuk diare ini
adalah penggunaan Antiretroviral (ARV) yang mengontrol
kriptospiridosis yang persisten. Nitazoxanid disetujui untuk terapi (usia
1-3 tahun: 100 mg, 2x/ hari ; usia 4-6 tahun: 200 mg, 2x/hari).15
Kesimpulan
Diare merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering dijumpai
pada anak dengan HIV/AIDS. HIV tidak hanya menyerang orang dewasa saja
melainkan juga pada anak. Penularan ini dapat terjadi karena adanya transmisi
virus pada kehamilan, pada saat melahirkan, maupun pada saat menyusui. Saat
virus HIV menjangkiti tubuh, virus akan menyerang dan merusak sel-sel
limfosit T CD4+ sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap
berbagai penyakit infeksi.
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca
infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus,
sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten.
Talaksanaan diare persisten meliputi rehidrasi enteral/parenteral, nutrisi
dan medikamentosa. Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi
dan rehidrasi secepatnya. Diare persisten seringkalai disertai gangguan
elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi
| 74
hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotika spektrum luas harus
dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi
kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
Kepustakaan
1. Soenarto Y. 2015. Diare Kronis dan Diare Persisten, Buku ajar
gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
2. Matondang SC, Kurniati N. 2010. Infeksi HIV pada Bayi dan Anak, Buku
ajar Alergi-imunologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
3. Hegar B, Yuliarti K, Gandaputra E. Buku Pedoman Pelayanan Medis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Penerbit IDAI. Jilid 2. 2011. hal 56-63.
4. International Child Health. 2007. Diare persisten. International
Child Health.
5. Aslinar. HIV/AIDS pada Anak. Koran Serambi Indonesia. Sabtu, 3
Desember 2016.
6. Jamil KF. Jumlah pasien HIV/AIDS berobat terus meningkat. Tabloid
RSUDZA Lam Haba. Edisi 17/Tahun II/2017.
7. Attili SVS, Gulati AK, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4
counts and enteric infections in a hospital-based cohort of HIV-infected
patients around Varanasi, India. BMC Infectious Diseases. 2006: 6: 39.
8. Schimdt W, Schneider T, Heize W, Schultz D, Weinke T, Ignatius R,
Owen EY, Zeitz, Reichen T, Ulrich R. Mucosal Absorbtion In
Microsporisiasis. AIDS. 1997; 11: 1589-1594.
| 75
9. Grohmann GS, Roger GW, Perreira HG, Monroe SS, Hightower AW,
Weber R, Brian RT. Enteric Viruses And Diarrhea In HIV Infected
Patient. 1993; 329: 14-20.
10. McPhee,dkk.Current Medical Diagnosis & Treatment 2011 Fiftieth
Edition.. Mc Graw Hill.2011. USA
http://emedicine.medscape.com/article/211316-clinical#showall.
11. Brian A. Boyle, MD posted: 07/01/2001; AIDS Read. 2001;
11(7) © 2001 Cliggott Publishing, Division of CMP Healthcare Media
http://emedicine.medscape.com/article/ 211316-overview#showall Ana
Luiza Werneck-Silva; Ivete Bedin Prado Posted: 02/18/2009; J
Gastroenterol Hepatol. 2009;24(1):135-139. © 2009 Blackwell Publishing.
12. Price,Sylvia.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6.EGC.2003.Jakarta
13. Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-prose
Penyakit, ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
14. Maartens, G., Celum,C., dan Lewin, SR. (2014). HIV infection:
epidemiology, pathogenesis, treatment, danprevention. Lancer. 384,
pp.258-327.
15. Purnaningtyas Dewi A. Faktor Resiko Kejadian HIV Pada Anak Dari Ibu
Hamil Yang Terinfeksi HIV. RSUP Dr. Kariadi Semarang, Indonesia :
Universitas Diponegoro, 2011
| 76
The Evidence of Zinc in Reducing
the Prevalence of Diarrhea
Abstrak
Suplemen zink merupakan intervensi penting untuk mengobati episode diare
pada anak-anak. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemberian zink
bersama rehidrasi dengan oralit baru (cairan rehidrasi oral osmolaritas rendah),
dapat mengurangi durasi dan tingkat keparahan episode diare. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan suplemen zink
harian 20 mg zink untuk 10-14 hari untuk anak-anak di atas usia 6 bulan dan
10 mg per hari untuk bayi di bawah usia enam bulan dengan diare.
Suplemetasi zink ini mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan episode
diare serta mencegah kejadian diare sampai dua-tiga bulan berikutnya.
Suplementasi zink pada anak di Negara berkembang juga dikaitkan dengan
pengurangan angka diare yang merupakan penyebab kematian yang paling
sering.
Katakunci: diare, cairan rehidrasi oral, zink, prevalensdiare
| 77
Pendahuluan
Diare akut masih menjadi penyebab utama kematian anak meskipun upaya
rehidrasi oral (URO) tak terbantahkan telah menunjukkan keberhasilan. Diare
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di seluruh
dunia. Episode diare diperkirakan terjadi 1,5miliar episode tiap tahunnya, serta
mengakibatkan 1,5-2,5 juta kematian setiap tahunnya pada anak-anak di bawah
usia lima tahun.1,2 Catatan lebih buruk ditemukan di negara-negara
berkembang, karena dipengaruhi oleh factor infeksi, kekurangan gizi, dan buta
huruf. Insiden diare di Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 2000
insiden penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000
penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010
menjadi 411/1000 penduduk. Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari
tahun ke tahun,diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di
Indonesia. Peningkatan kematian akibat diare adalah terutama terkait dengan
tatalaksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tatalaksana yang cepat dan tepat.3
Penggunaan larutan rehidrasi oral (oralit) menyelamatkan nyawa anak-anak,
tetapi tampaknya tidak memiliki efek pada pengurangan lama diare pada anak.
| 78
Meskipun terbukti bemanfaat, ada sedikit hambatan pada pengenalan
luasoralit osmolaritas rendah dan zink untuk pengobatan diare. Banyak negara
telah mengubah kebijakan tatalaksana diare untuk menyertakanoralit
osmolaritas rendah dan zink, tetapi masihada kesenjangan antara perubahan
kebijakan dan pelaksanaan program yang efektif, dengan sangat sedikit anak-
anak yang saat ini sedang diobati dengan tepat.5
| 79
memainkan peran sentral dalam pertumbuhan sel dan fungsi sistem kekebalan
tubuh.10
| 80
bulan. Paramameter yang dinilai adalah frekuensi tinja, jumlah tinja, dan durasi
diare. Pengurangan frekuensi tinja per hari didapatkan 62% pada kelompok
dengan suplementasi zinc dan pengurangan 26% didapatkan pada kelompok
plasebo. Perbedaan yang jelas 36% antara dua kelompok dari hari pertama
sampai hari ke-3 dan hari ke-5 menjadi signifikan secara statistik. Demikian
pula, perbedaan yang signifikan didapatkan dalam pengurangan jumlah tinja
per hari dari hari pertama sampai hari ke-3 dan hari ke-5 dengan perbedaan
45% antara kedua kelompok.12
Sebuah meta-analisis dari 12 penelitian mengamati dampak suplemen
zink pada tatalaksana diare akut, 11 di antaranya menunjukkan pengurangan
durasi episode diare. Delapan dari penilitian tersebut, didapatkan pengurangan
signifikan secara statistik. Lima dari penelitian ini juga mengumpulkan data
volume tinja dan frekuensi defekasi, dan menemukan bahwa suplemen zink
mengurangi volume tinja dan frekuensi defekasi. Data menunjukkan bahwa
suplementasi zink memiliki dampak yang signifikan dan menguntungkan pada
perjalanan klinis diare akut, mengurangi baik durasi dan tingkat keparahan.3
Meta-analisis lain dari 18 penelitian oleh Lazzerinidkk., dengan
melibatkan 6165 partisipan menunjukkan bahwa pada diare akut, zink
mengurangi durasi diare, baik mengurangi diare kurang dari tiga hari, diare
kurang dari lima hari, maupun diare kurang dari tujuh hari. Zink juga
mengurangi durasi diare persisten. Beberapa penelitian melaporkan tingkat
keparahan diare, tetapi hasilnya tidak konsisten.13
Hasil sebuah kajian sistematik oleh Patel dkk. menunjukkan bahwa
suplemen zink mengurangi durasi rata-rata diare akut sekitar 20%, dan diare
persisten sebesar 15-30%, tetapi tidak memiliki efek yang signifikan pada
frekuensi atau volume tinja. Ada tingkat heterogenitas yang tinggi signifikan
| 81
secara statistik di seluruh penelitian untuk efek suplementasi zink pada rerata
durasi diare dan risiko muntah setelah pemberian zink.14
| 82
Sebuah analisis gabungan dari empat RCT melaporkan tentang efek
dari suplementasi zink oral pada anak dibawah usia lima tahun dengan diare
persisten. Analisa Cox survival regression digunakan untuk mengevaluasi efek
zink pada diare berkelanjutan. Suplementasi zink pada anak dengan diare
persisten mempunyai kemungkinan lebih rendah 24% untuk terjadi diare
berkelanjutan dan rerata gagal terapi atau kematian lebih rendah 42% dari pada
grup kontrol.17
| 83
diikuti 2 sampai 3 bulan untuksurveilans morbiditas. Suplementasi zink pada
anak-anak di negara berkembang ternyatadikaitkan dengan pengurangan
tingkat diare yang substansial sebagai penyebab utama kematian.19
| 84
hingga 59 bulan, setiap area secara acak dilakukan intervensi dan kontrol.
Setiap anak dengan usia 3 hingga 59 bulan dimasukan dalam penelitian.
Penurunan penggunaan antibiotik secara signifikan tampak pada grup
intervensi yang menunjukkan bahwa keuntungan suplementasi zink dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada anak. Suplementasi zink untuk
diare dengan program edukasi selain dengan terapi rehidrasi oral, dapat
menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan yang dapat
menyebabkan resistensi.21
| 85
ditetapkan. Waktu untuk timbulnya episode pertama dan proporsi anak
mengalami diare selama 90-hari berikutnya juga tidak berbeda antara grup.
Temuan ini menunjukkan bahwa di antara anak-anak Bangladesh, 5-hari
pengobatan zink untuk diare akut sama ampuhnya dengan 10-hari dalam
mencegah diare pada 3 bulan berikutnya.23
Interaksi Obat
Bila zink diberikan bersamaan dengan beberapa obat tertentu, maka interaksi
obat dapat terjadi. Phytate yang terdapat pada makanan pokok seperti sereal,
jagung, dan nasi, dapat menurunkan penyerapan zink. Penelitian in vitro
menunjukkan bahwa zink dapat dipresipitasi oleh fosfat dan phytate pada pH
yang mendekati pH lumen usus. Produk susu dan roti menurunkan absorpsi
zink. Kopi juga menghambat penyerapan zink. Suplemen besi menghambat
absorpsi zink sehingga suplementasi zink sebaiknya diberikan 2 jam sebelum
zat besi. Penicillamine dan chelator lainnya mengurangi absorpsi zink. Garam
kalsium mengurangi absorpsi zink. Tetrasiklin oral mengurangi absorpsi zink,
sehingga suplementasi zink diberikan 2 jam sebelum tetrasiklin. Asam amino,
| 86
seperti histidin dan metionin, dan ion lain dengan berat molekul rendah seperti
EDTA dan asam organik (misal sitrat), meningkatkan absorpsi zink. Zink
menghambat absorpsi copper dari intestin. Diuretik thiazid meningkatkan
ekskresi zink melalui urin. Zink mengurangi absorpsi siprofloksasin,
levofloksasin, dan ofloksasin. Absorpsi dari garam zink dan garam besi akan
menurun bila dikonsumsi secara bersamaan.22,24,25
| 87
setelah suplementasi zink. Namun, satu penelitian menunjukkan penurunan
kadar copper yang signifikan pada kelompok anak malnutrisi dengan diare
persisten yang diberikan suplementasi zink. Tetapi dapat disimpulkan bahwa
tidak ada efek samping substansial pada pemberian suplementasi zink untuk
terapi diare yang dapat mempengaruhi kadar copper.26
Rekomendasi
World Health Organization (WHO) dan UNICEF telah merekomendasikan
penggunaan zink sebagai suplemen disamping terapi rehidrasi oral untuk
penatalaksanaan diare. Dosis zink elemental 20 mg per hari bersifat efektif dan
aman pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Pemberian zink direkomendasikan
untuk digunakan sejak pada layanan kesehatan primer.
Untuk efek yang maksimal, zink dan terapi rehidrasi oral sebaiknya
tersedia di masyarakat. Program berbasis komunitas dapat meningkatkan
penggunaan zink serta meningkatkan terapi rehidrasi oral pada komunitas yang
sama.
Revitalisasi tenaga kesehatan dengan menggapai masyarakat ekonomi
rendah sangat penting dalam mencapai tingkat cakupan sasaran. Selain itu,
kerjasama dengan sektor swasta, sektor medis dan non medis, serta formal dan
informal, dapat membantu mencapai perluasan program di populasi.4
Kesimpulan
Pemberian zink oral memberikan manfaat tambahan dalam menurunkan
jumlah, frekuensi, dan durasi diare, dengan sifat aman, sertaefektif untuk terapi
diare. Selain itu, pemberian zink selama 10-14 hari mencegah terjadinya diare
sampai 2-3 bulan berikutnya. Suplementasi zink pada anak-anak di negara
| 88
berkembang juga dikaitkan dengan pengurangan angka diare yang substansial
sebagai penyebab utama kematian, Dapat disimpulkan bahwa suplementasi
zink oral merupakan intervensi terapi yang sederhana dan efektif dalam
tatalaksana diare serta dapat mengurangi prevalens diare.
Daftar Pustaka
1. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrheal
diseases as estimated from studies published between 1992 and 2000.
Bull World Health Organ 2003;81:197-204.
2. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children
dying every year ? Lancet 2003;361:2226-33.
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan 2011; triwulan II:1-18.
4. WHO/UNICEFJoint Statement-Clinicalmanagement of acute diarrhea.
WHO/FCH/CAH 04.7 May 2004.
5. Fischer Walker CL, Fontaine O, Young MW, Black RE. Zinc and low
osmolarity oral rehydration salts for diarrhea: A renewed call to action.
Bull World Health Organ 2009;87:780-6.
6. Hoque KM, Rajendran VM, Binder HJ. Zinc inhibits cAMP-stimulated
Cl secretionvia basolateral K-channel blockade in rat ileum. Am J
Physiol 2005;288:G956-63.
7. Hoque KM, Binder HJ. Zinc in the Treatment of Acute Diarrhea:
Current Statusand Assessment. Gastroenterology 2006;130:2201-05.
| 89
8. Zinc supplementation helps diarrhea symptoms. Available from:
http://www. newsmedical.net / news / 2008 / 02 / 04 / 34888.aspx. [last
cited on 2010 Feb 6].
9. Berni CR, Cirillo P, Buccigrossi V, Ruotolo S, Annalisa P, De Luca P,
dkk. Zinc inhibits cholera toxin induced, but not Escherichia coli heat
stable enterotoxininduced, ion secretion in human enterocytes. J Infect
Dis 2005;191:1072-7.
10. Implementing the new recommendations on the clinical management of
diarrhea-Guidelines for policy makers and programme managers.
WHO, Geneva. 2006.
11. Ramanujam TR. Role of zinc in health and disease. Available from:
http: / www.medindia.net / articles / roleofzinc.asp. [last cited on 2010
Nov 15].
12. Trivedia SS, Chudasamab RK, Patel N. Effect of zinc supplementation
in children with acute diarrhea: Randomized double blind controlled
trial. Gastroenterol Res 2009;2:168-74.
13. Lazzerini M, Ronfani L. Oral zinc for treating diarrhea in children.
Cochrane Database Syst Rev 2008:CD005436.
14. Patel A, Mamtani M, Dibley MJ, Badhoniya N, Kulkarni H.
Therapeutic value of zinc supplementation in acute and persistent
diarrhea: a systematic review. PLoS ONE 2010;5:e10386.
15. Baqui AH,Black RE, Arifeen SE, Yunus M, Chakraborty J, Ahmed S,
Vaughan JP. Effect of zinc supplementation started during diarrhoea on
morbidity and mortality in Bangladeshi children: community
randomised trial. BMJ 2002; 325:1-7.
| 90
16. Sachdev HP, Mittal NK, Yadav HS. Oral zinc supplementation in
persistent diarrhea in infants. Ann Trop Paediatr 1990;10:63-9.
17. Bhutta ZA, Bird SM, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A,
dkk. Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in
children in developing countries: Pooled analysis of randomized
controlled trials. Am J Clin Nutr 2000;72:1516-22.
18. Roy SK, Raqib R, Khatun W, Azim T, Chowdhury R, Fuchs GJ, dkk.
Zinc supplementation in the management of shigellosis in
malnourished children in Bangladesh. Eur J Clin Nutr 2008;62:849-55.
19. Bhutta ZA, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Gore S, Hidayat
A, Khatun F, Martorell R, Ninh NX, Penny ME, Rosado JL, Roy
SK, Ruel M, Sazawal S, Shankar A.Prevention of diarrhea and
pneumonia by zinc supplementation in children in developing
countries: pooled analysis of randomized controlled trials. Zinc
Investigators' Collaborative Group.J Pediatr1999 Dec;135(6):689-97.
20. Robberstad B, Strand T, Black RE, Sommerfelt H. Cost effectiveness
of zinc as adjunct therapy for acute childhood diarrhea in developing
countries. Bull World Health Organ 2004;82:523-31.
21. Baqui AH, Black RE, El Arifeen S, Yunus M, Zaman K, Begum N,
dkk. Zinc therapy for diarrhea increased the use of oral rehydration
therapy and reduced the use of antibiotics in Bangladeshi children. J
Health Popul Nutr 2004;22:440-2.
22. Medicines for diarrhea in children. Dalam: Stuart MC, Kouimtzi M,
Hill SR, penyunting. WHO Model Formulary; 2008. h. 351.
23. Alam DS,Yunus M, El Arifeen S,Chowdury HR,Larson CP, Sack
DA,Baqui AH, Black RE. Zinc treatment for 5 or 10 days is equally
| 91
efficacious in preventing diarrhea in the subsequent 3 months among
Bangladeshi children.J Nutr2011;141(2):312-5.
24. Lönnerdal B. Dietary factors infl uencing zinc absorption. J Nutr
2000;130:1378S-83.
25. Pécoud A, Donzel P, Schelling JL. Effect of foodstuffs on the
absorption of zinc sulfate. Clin Pharmacol Ther 1975;17:469-74.
26. Fischer C, Harvey P. Low risk of adverse effects from zinc
supplementation. MOST, The USAID Micronutrient Program.
| 92
Diagnostik dan Tata Laksana Terkini
Alergi Saluran cerna Pada Anak
Pendahuluan
Penyakit alergi merupakan masalah yang penting diperhatikan karena terjadi
pada semua lapisan masyarakat dan angka kejadian penyakit ini terus
meningkat pada tiga dekade terakhir (Bellanti et al., 2005; Mohammadzadeh et
al., 2008; Patel et al., 2008). Perkembangan dan peningkatan penyakit alergi
ditentukan antara lain oleh latar belakang genetik, pajanan terhadap alergen
serta diperkuat oleh faktor yang berasal dari lingkungan. Faktor genetik dapat
dibuktikan dengan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Faktor prediksi
yang paling baik dalam menentukan apakah anak akan mengalami penyakit
alergi dikemudian hari adalah riwayat atopi dalam keluarga terutama pihak ibu
(Yadav dan Yadav, 2005).
Tingkat risiko terkena alergi terhadap janin atau bayi baru lahir dapat
dibedakan dalam tiga kategori: risiko kecil (5-15%), dimana ibu bapak dan
atau salah satu keluarga sekandung dan janin atau bayi tanpa riwayat alergi
apapun. Risiko sedang (20-40%), dimana ibu bapak dan atau salah satu saudara
kandung janin atau bayi diduga terkena alergi. Sedangkan risiko tinggi (40-
60%), dimana ibu bapak dan atau salah saudara sekandung janin atau bayi
yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi. Nilai keluarga
yang diprediksi digunakan untuk menentukan kemungkinan bayi terkena
| 93
alergi. Penilaian awal pada usia dini sangat penting untuk mengurangi risiko
alergi pada bayi agar tidak terjadi gangguan regulasi sitokinsehingga memiliki
efek perlindungan jangka panjang terhadap keseimbangan sel Th(Yadav dan
Yadav, 2005).
Terdapat lebih dari 170 jenis makanan yang dapat menyebabkan reaksi
alergi namun sejumlah studi prevalensi hanya memfokuskan pada makanan
yang paling banyak menyebabkan alergi, yaitu susu sapi, kacang tanah,
seafood, dan telur (Sampson dan Burks, 2009). Makanan utama yang diperoleh
seorang bayi pada usia 0-6 bulan adalah air susu ibu (ASI), susu sapi atau
keduanya. Susu sapi dan makanan pendamping lain seperti bubur susu
diberikan pada bayi dari ibu yang tidak mempunyai ASI dapat menyebabkan
penyakit alergi susu sapi (ASS) (Smith dan Ownby, 2009). Sekitar 35-45%
penyakit dermatitis atopi dan gejala alergi saluran cerna dan pernapasan yang
terjadi pada bayi usia 0 bulan sampai dengan 2 tahun disebabkan ASS.
(Skripak et al., 2007). Faktor lingkungan termasuk alergen makanan, tungau,
debu rumah, polutan terutama asap rokok, dan infeksi pada bayi merupakan
faktor penting yang menyebabkan gejala alergi pada awal kehidupan (Bellanti
et al., 2005). Bila seorang mempunyai bakat atopi, maka ia akan rentan dan
mudah tersensitisasi serta dapat berkembang menjadi penyakit alergi yang juga
dapat diakibatkan oleh makanan hiperalergenik seperti protein susu sapi dan
beberapa alergen inhalan (Host dan Halken, 2003a; Smith dan Ownby, 2009;
Abraham dan Ownby, 2005).
Diare disamping dermatitis atopi, asma atau mengi, rinitis alergi dan alergi
makanan merupakan suatu perjalanan alamiah penyakit alergi yang dikenal
dengan istilah “Allergic March”, dimulai saat bulan pertama setelah lahir
sampai usia 1-2 tahun (Sangsupawanich et al., 2007). Diare yg merupakan
| 94
salah satu dari alergi pada anak sangat berhubungan dengan imunitas mucosa
serta makanan hiperalergenik yg dikonsumsinya dan bahkan makakan ibunya
yg memberi ASI.
| 95
tipe II sitotoksik yang bergantung antibodi, reaksi hipersensitivitas tipe III
yang dipengaruhi kompleks imun, dan reaksi hipersensitivitas tipe IVcell-
mediated (hipersensitiv tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang
disebut reaksi hipersensitivitas tipe V atau stimulatory hypersensitivity(Hǿst
dan Halken, 2003a; Abraham dan Ownby, 2005).Hipersensitivitas yang sangat
berhubungan dengan alergi makanan adalah tipe I dan IV (Borish dan
Rosenwasser, 2009).
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi
reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk suatu reaksi
selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE
spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan
alergen yang bersangkutan (Bellanti et al., 2005).Proses aktivitas sel mast
terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat
anafilatoksin, antigen yang lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein.
Proses aktivitas ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi pada penderita, seperti reaksi anafilaktik terhadap
penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga (Hǿst dan
Halken, 2003a; Abraham dan Ownby, 2005).Reaksi anafilaktoid terjadi
melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh
reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang
dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (Smith dan Ownby, 2009).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitvitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A=eosinophil
chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari
preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
| 96
selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF=neutrophil chemotactic
factor). Mediator yang terbentuk kemudian meupakan metabolit asam
arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe
I.Menurut jarak waktu, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase
lambat (Hǿst dan Halken, 2003a; Smith dan Ownby, 2009; Rothenberg dan
Hogan, 2006).
Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat)
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat tak dapat melalui antibodi tetapi
diperlukan sel limfosit lebih khusus limposit T. Setelah reaksi pertama sel T
memori mengenal antigen bersama molekul MHC kelas II pada APC dan sel
limfosit berubah menjadi sel blast dan berproliferasi. Sel T yang terstimulasi
melepaskan mediator yang menimbulkan respon hipersensitivitas (Smith dan
Ownby, 2009).Pelepasan limfokin terus menerus dari sel T yang tersensitasi
menyebabkan akumulasi makrofag, banyak yang kemudian menjadi sel
epiteloid, sedangkan yang tersisa berfungsi membentuk sel raksasa (giant
cells) (Hǿst dan Halken, 2003a).
Imunitas mukosa
Sistim imunitas mukosa saluran cerna
Pertahanan yang paling kuat pada jaringan limfoid mukosa saluran cerna
adalah enzim yang terdapat mulai dari mulut sampai ke kolon. Enzim
proteolitik di dalam lambung (pepsin, papain) dan usus halus (tripsin,
kimotripsin, protease pankreatik) berfungsi untuk digesti. Pemecahan
polipeptida dan tripeptida bertujuan agar dapat terjadi proses digesti dan
absorpsi bahan makanan, dan membentuk protein imunogenik yang bersifat
nonimun (peptida dengan panjang asam amino <8-10 bersifat imunegonik
yang buruk). Efek protease berlipat ganda dengan adanya garam empedu yang
| 97
memecah karbohidrat dan akan didapatkan suatu sistim yang poten untuk
meningkatkan paparan antigen (Ag). Kadar pH yang sangat rendah di dalam
lambung dan usus halus dan produk bakteri di dalam kolon berfungsi sebagai
respon imun terhadap antigen oral. Patogen invasif (yang merusak pertahanan)
memicu respons agresif, sedangkan untuk kolonisasi luminal dibutuhkan yang
lebih bersifat respons toleran.
Komponen utama pertahanan tubuh adalah produk gen musin.
Glikoprotein musin melapisi permukaan epitel dari rongga hidung/orofaring
sampai ke rektum. Sel goblet yang menghasilkan mukus secara kontinu
melindungi persambungan epitel. Partikel asing, bakteri virus menjadi
terperangkap dalam lapisan mukus dan akan dikeluarkan dengan proses
peristaltik. Pertahanan ini mencegah patogen dan antigen masuk ke bagian
bawah epitel, dan disebut proses ekslusi nonimun. Musin juga berfungsi
sebagai cadangan IgA. Antibodi ini berasal dari epitel dan dikeluarkan ke
dalam lumen.
Antibodi sIgA terdapat dalam lapisan mukus berikatan dengan
bakteri/virus dan mencegah menempel pada epitel. Hubungan faktor-faktor,
disebut sebagai faktor trefoil, membantu memperkuat pertahanan dan memicu
pemulihannya biar terdapat defek. Tidak adanya produk gen musin atau faktor
trefoil, manusia menjadi lebih rentan terhadap inflamasi dan kurang mampu
memperbaiki kerusakan bariel. Apakah defek tersebut berperan pada pasien
dengan alergi makanan masih dalam penelitian.
| 98
sel membatasi masuknya makro molekul yang besar. Namun demikian,
persambungan yang kuat ini masih mungkin dilalui oleh di dan tripeptida serta
oleh ion-ion tertentu. Pada keadaan inplamasi persambungan ini menjadi
kurang kuat sehingga makro molekul dapat masuk kedalam lamina propria,
contohnya respon terhadap antigen makanan atau masuknya mikro organisme
lumen. Pada keadaan ini, antigen makanan akan menjadi antigen asi, dimana
pada individu yang memiliki bakat alergi akan menginduksi proses alergi
menjadi berlanjut.
Sel epitel usus dapat memproses sebagian antigen lumen dan
mempresentasikannya ke sel T dalam lamina propria. Dalam keadaan normal,
interaksi ini menyebabkan aktifasi selektif sel T CD 8+ regulator. Pada
penyakit tertentu (contohnya inflamatory bowel disease), aktifasi sel regulator
rusak sehingga inflamasi menetap. Pada alergi makanan alergen yang
menembus epitel akan menempel pada sel mast mukosa.
Sel T yang teraktifasi dalam Peyer’s Patch setelah paparan dengan
antigen disebut sebagai Th3. Sel ini berfungsi mengeluarkan transforming
growth faktor β, memicu sel B untuk menghasilkan BgA dan berperan pada
terjadinya toleransi oral (aktifasi antigen spesifik non respon terhadap antigen
yang masuk per oral).
Sel T regulator yang paling baru dikenal adalah fenotip
CD4+CD25+CD45RA+ sel ini awalnya dikenal pada gas tritis auto imun dan
berfungsi menghambat kontak antar sel dan dapat menyebabkan kelainan auto
imun pada neonatus yang mengalami timektomi.
| 99
Imonuglobulin A Sekretori Pada Saluran Cerna
Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen
(yang dapat memicu respon inflamasi) dan berfungsi utama sebagai inhibitor
penempelan bakteri atau virus ke epitel. Anti bodi IgA dapat menggumpalkan
antigen, menjebaknya dalam lapisan mokus dan membantu mengeluarkannya
dari tubuh. Anti bodi IgA Sekretorik dilindungi dari proteolisis dan protease
lumen dengan perlindungan glikoprotein yang diproduksi sel epitel. Molekul
ini menutupi bagian fc antibodi dimer melindunginya dari proses proteolitik.
Sistim IgA tidak akan matur sebelum usia 4 tahun sehingga pada umur
tersebut dapat terjadi peningkatan respon imun terhadap antigen makanan. IgA
sekretorik dari ASI dapat memberikan imuniasi pasif dalam menghadapi
patogen dan berperan menjadi barier bagi neonatus. IgA tidak ditemukan
dalam saluran cerna karena mudah dipecah oleh protease lambung dan usus
halus. Pada alergi makanan harus terdapat IgE dalam saluran cerna. Hal ini
dapat terjadi karena adanya antigen yang melewati barier mukosa dan
mempresentasikannya ke sel mast.
Reaksi simpang makanan
Reaksi
Reaksi Simpang Makanan
Reaksi Simpang
Simpang Makanan
Makanan
(Adverse
(Adverse Reactions to Foods)
(Adverse Reactions to
Reactions to Foods)
Foods)
Reaksi simpang
Reaksi simpang
makanan
Reaksi simpang
makanan
makanan
- Intoleransi
- Intoleransi
(laktosa)
IgE-mediated Non IgE-mediated - Intoleransi
(laktosa)
IgE-mediated Non IgE-mediated - Intoksikasi/
(laktosa)
IgE-mediated Non IgE-mediated -kontaminan
Intoksikasi/
-kontaminan
Intoksikasi/
kontaminanMed Clin N Am 2006;90:97-127.
Immunol Allergy
Med Clin
Clin N
N Am
Am 2005;25:369-88.
2006;90:97-127.
Med Clin N Am 2005;25:369-88.
Immunol Allergy 2006;90:97-127.
Immunol Allergy Clin N Am 2005;25:369-88.
| 100
Pemeriksaan alergi
Pada anamnesis, dapat diketahui jangka waktu timbul gejala setelah
mengkonsumsi makanan hiperalergenik atau makanan yang mengandung susu
sapi. Kebanyakan gejala akibat alergen makanan timbul sekitar seminggu
setelah bayi mengkonsumsi makanan tersebut (Dias et al., 2010).Gejala klinis
pada kulit (urtikaria, dermatitis atopi), saluran pernapasan (asma/diawali suara
mengi, rinitis alergi) serta saluran cerna (muntah, diare, berak berdarah, kolik,
obstipasi) (Scurlock et al., 2005).Pemeriksaan fisik didapatkan kulit kering,
urtikaria, dermatitis atopi, Alergi Schiner’s, nasal crease, geographic tongue,
mukosa pucat, mengi (Hǿst dan Halken, 2003b; Scurlock et al., 2005).
Pemeriksaan penunjang untuk melihat telah terjadi sensitisasi alergi
makanan pada anak yang lazim dilakukan saat ini adalah pemeriksaan IgE
spesifik secarain vivo (uji tusuk kulit) dimana konsentrasi IgE spesifik dinilai
dengan uji tusuk kulit untuk melihat reaksi alergi tipe cepat (hipersensitivitas
tipe I) dan pemeriksaan kadar eosinofil total untuk melihat reaksi alergi tipe
lambat (hipersensitivitas tipe IV) (Bellanti et al., 2005; Hǿst dan Halken,
2003a; Vandenplas et al., 2007; Sicherer, 2008. Borish dan Rosenwasser,
2009). Namun terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang merupakan suatu
parameter yang secara langsung menunjukkan respon imun terhadap pajanan
alergen, yaitu sekresi sitokin dari limfosit T. Ketidak seimbangan produksi
sitokin yang berasal dari Th-1 dan Th-2 menjadi faktor risiko dermatitis atopi
dan penyakit alergi lain (Bellanti et al., 2005; Hǿst dan Halken, 2003a).
Pemeriksaan yang lazim untuk mengukur kadar IgE secara invitro dengan
metode RAST atau ELISA dan pemeriksaan IgE secara invivo (uji tusuk kulit)
(Sicherer dan Wood, 2012; Sicherer, 2008). Pharmacia CAP System, yaitu
| 101
suatu pemeriksaan immunoassay untuk menilai antibodi IgE spesifik, yang
sama dengan ELISA dan dinyatakan positif bila hasil >32kUa/L serta
berkorelasi baik dengan double blind placebo controlled food
challenge(DBPCFC) (Hǿst dan Halken, 2003b; Scurlock et al., 2005).
Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan darah tepi: hitung jenis
eosinofil >3%, eosinofil total >300/ml, kadar IgE total (menurut umur)
meningkat.
Uji tusuk kulit merupakan metode diagnostik konvensional untuk menilai
kehadiran IgE spesifik alergen dan mendeteksi IgE yang terikat pada sel mast
di kulit. Ketika kulit ditusuk, maka alergen akan memicu aktivasi sel dan
melepaskan mediator inflamasi termasuk histamin. Mediator yang terlepas
akan menghasilkan reaksi wheal dan flare, yaitu suatu reaksi hipersensitivitas
cepat yang diperantarai oleh IgE yang spesifik terhadap alergen yang diuji. Tes
akan memberikan hasil berupa ukuran wheal yang maksimal setelah 15 sampai
20 menit. Ukuran wheal dengan diameter 3 mm atau lebih dari kontrol akan
memberikan hasil positif. Banyaknya kehadiran IgE spesifik dapat diprediksi
dari besarnya ukuran wheal yang terbentuk. Uji tusuk kulit sangat mudah
dilakukan, cepat dan sangat sensitif dalam mendeteksi IgE spesifik (O’Brien,
2002; Lasley dan Shapiro, 2000). Pemeriksaan dengan menggunakan uji tusuk
kulit yang merupakan metode utama untuk menilai sensitisasi alergi yang
dimediasi IgE. Pemeriksaan ini berguna untuk mendapatkan informasi
mengenai IgE spesifik terhadap protein atau alergen. Tes alergi ini berfungsi
untuk memperkuat akurasi diagnosis setelah pemeriksaan fisik dan riwayat
keluarga diperoleh. Uji tusuk kulitsangat direkomendasikan untuk mendukung
efektivitas terapi yang akan dilakukan. Tidak ada batasan umur yang
| 102
ditetapkan untuk dilakukan pemeriksaan ini namun reaksi pada kulit
kebanyakan muncul pada bayi dan anak-anak yang berusia muda.
Penilaian untuk menentukan hasil pemeriksaan positif adalah bila lesi yang
ditemukan >3mm dari kontrol. beberapa studi menyatakan bahwa lesi yang
berukuran >3mm memiliki hubungan klinis yang lebih erat terhadap reaksi
allergen meskipun ukuran lesi 3mm dan 6mm sama-sama menunjukkan hasil
positif (Sumadiono dan Setiabudiawan, 2012; Sicherer, 2008).
Penanganan
-Penghindaran protein susu sapi dan produknya
-Asi
-Ibu pantang protein susu sapi dan produknya
| 103
Provokasi susu sapi, merupakan suatu cara pemeriksaan lanjutan yang sangat
penting bila seorang bayi telah dilakukan eliminasi susu sapi setelah diketahui
IgE spesifik susu sapi menunjukkan hasil yang positif (Hǿst dan Halken,
2003b; Scurlock et al., 2005). Tes provokasi dibutuhkan sebagai pemeriksaan
baku emasuntuk mengkonfirmasi reaksi makanan yang memediasi IgE
(Eckman et al., 2009). Diantara pemeriksaan tersebutyang paling penting
adalah pemeriksaan kadar IFN-γ dan IL-5 darah perifer saat terjadi alergi yang
dapat menggambarkan aktifitas Th-1 dan Th-2 (Abraham dan Ownby, 2005).
Prognosis
Angka remisi:
-Tahun pertama : 45-55%
-Tahun kedua : 60-75%
-Tahun ketiga : 90%
Alergi dengan alergen lain
Daftar Pustaka
1. Abbas, A.K., Licthman, A.H., Pober, J.S., 2007, Celluler and
molecular immunology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders. h.31-204.
2. Abraham, C.M., Ownby, D.R., 2005. Ontogeny of the Allergic
Inflammatory Response. Dalam: Moss, M.H., Editor. Immunology and
Allergy Clinics of North America. Philadelphia: Saunders Elsevier.
h.215-229.
3. Ahlstedt, S., Soderstrom, L., Kober, A., 2008. In vitro diagnostic
method in the evaluation of food hypersensitivity. Dalam: Metcalfe,
D.D., Sampson, H.A., Simon, R.A. penyunting. Food allergy: adverse
| 104
reactions to foods and food additive. Edisi ke-4. Blackwell
Publishing.h.233-263.
4. Bellanti, J., Zeligh, B., Pung, Y.H., 2005. Immunology of the fetus and
new born. Dalam: MacDonald, M.G., Seisha, M.M., Mullet, M.D.
Avery Neonatology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
5. Borish, L., Rosenwasser, L.J., 2009. Cytokines in Allergic
Inflammation. Dalam: Adkinson, N.F., Bochner, B.S., Busse, W.W.,
Holgate, S.T., Lemanske, R.F., Simons, F.E. Middleton’s Allergy:
Principles and practice. Edisi ke-7. Missouri: Mosby. h.165-179.
6. Eckman, J., Saini, S.S., Hamilton, R.G., 2009. Diagnostic evaluation of
food-related allergic diseases. Allergy Asthma Clin Immunol, 5(2): h.1-
7.
7. Hǿst, A., Halken, S., 2003b. Approach to feeding problems in the infant
and young child. Dalam: Leung, D.Y.M., Sampson, H.A., Geha, R.S.,
Szefler, S.J., penyunting. Pediatric Allergy principles and practice.
Edisi ke-7. Missouri: Mosby.h.488-494.
8. Munasir, Z., 2010. Peran risiko alergi dan polimorfisme genetic gen
Interleukin 4, serta faktor lingkungan terhadap terjadinya Dermatitis
Atopi pada bayi sampai usia 6 bulan. Desertasi. Jakarta: FKUI.
9. Munasir, Z., Siregar, S.P., 2007. Alergi protein susu sapi. Dalam: Buku
Ajar Alergi Imunologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
h. 285-94.
10. O’Brien, R.M., 2002. Skin prick testing and in vitro assays for allergic
sensitivity. Austr Pres, 25(4): h.91-3.
| 105
11. Safri, M., Munasir, Z., Kurniati, N., 2008. Elimination and provocation
test in cows milk hypersensitive children. Paediatr Indones, 48(4):
h.253-256.
12. Sampson, H.A., Burks, A.W., 2009. Adverse reactions to foods. Dalam:
Dalam: Adkinson, N.F., Bochner, B.S., Busse, W.W., Holgate, S.T.,
Lemanske, R.F., Simons, F.E., Middleton’s Allergy: principal and
practice. 7th Ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. h.1139-67.
13. Sangsupawanich, P., Chongsuvivatwong, V., Mo-Suwan, L.,
Choprapawon, C., 2007. Relationship between atopic dermatitis and
wheeze in the first year of life: analysis of the prospective cohort of the
thai children. J Investig Allergol Clin Immunol, 17: h.292-296.
14. Scurlock, A.M., Lee, L.A., Burk, A.W., 2005. Food Allergy in
Children. J Immunol Allergy Clin N Am, 25: h.369-388.
15. Sicherer, S.H., Wood, R.A., 2012. Allergy testing in Childhood: using
allergen-specific IgE tests. Pediatrics, 192: h.193-197.
16. Sicherer, S.H., 2008. In Vivo Diagnosis: Uji tusuk kuliting and
Challenge Procedures. Dalam: Metcalfe, D.D., Sampson, H.A., Simon,
R.A., penyunting.Food Allergy Adverse Reactions to Foods and Food
Additives. Edisi ke-4. Massachusetts. Blackwell Publishing. h. 267-277.
17. Skripak,J.M., Matsui, E.C., Mudd, K., Wood, R.A., 2007. The natural
history of IgE-mediated cow’s milk allergy. J Allergy Clin
Immunol,120: h.1172-1177.
18. Smith, H.P., Ownby, D.R., 2009. Clinical significance of
Immunoglobin E. Dalam: Adkinson, N.F., Bochner, B.S., Busse, W.W.,
Holgate, S.T., Lemanske, R.F., Simons, F.E. Middleton’s Allergy:
Principles and practice. Edisi ke-7. Missouri: Mosby. h.845-57.
| 106
19. Sumadiono, Setiabudiawan, B., 2012. Metode Pemeriksaan skin prick
test. Dalam: Petunjuk Penanganan Alergi protein susu sapi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta.
20. Yadav, M., Yadav, A., 2005. Causes and Prevention: Allergy and
Asthma. Edisi ke-1. h.223-231.
| 107