Anda di halaman 1dari 3

Pendahuluan

Front pembela islam atau biasa dikenal fpi resmi dibubarkan oleh pemerintah. Hal itu
disampaikan oleh mahfud md selaku menteri kordinator bidang politik nhukum dan ham
dikantornya pada 30 desember 2020. Dalam konferensi pers tersebut mahfud md menjelaskan
bahwa fpi mulai saat ini secara de jure telah bubar. Mahfud juga menuturkan kebijakan
pemerintah ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya
mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Selanjutnya secara mendetail diatur dalam surat keputusan bersama 3 menteri yang di
tandatangani oleh menteri dalam negeri, menteri hukum dan hak asasi manusia serta menteri
komunikasi dan informatika. Dalam naskah tersebut setidaknya terdapat beberapa poin penting
YAKNI PELARANGAN AKTIVitas fpi, pelarangan penggunaan simbol-simbol fpi serta
penetapan fpi sebagai organisai terlarang. Tidak hanya melalui nsurat ini pemerintah juga
mengintruksikan kepada kepolisian dan juga masyarakat untuk merespon surat ini

Dalam kebijakan yang mengejutkan ini (pembubaran) yang mana sebelumnya pemerintah ketika
berhadapan dengan fpi oleh banyak pihak dinilai kurang tegas memantik reaksi publik yang
beraham. Publik nampaknya terpolarisasi menjadi dua yakni pihak yang pro dan yang kontra.
Pihak yang pro menilai kebijakan ini sudah sangat tepat mengingat dalam sepak terjangnya fpi
tak jarang meesahkan masyarakat mulai dari aksi sweeping sepihak, provokasi dan juga aksi
intoleran lainya. disisi lain pihak yang kontra tentu melihat dengan kasat mata kita dapat menilai
bahwa mereka menolak fpi di bubarkan.

Apakah kebijakan ini sudah tepat?

Menarik apabila kita perhatikan dalam kubu yang pro terhadap kebijakan ini terlepas dari apa
yang mendasarinya, sebagian besar mereka adalah orang-orang yang diresahkan oleh tindak
tanduk fpi selama ini. Namun di pihak yang kontra selain para anggota dan simpatisan fpi juga
terdapat YLBHI, kontras, elsam dan beberapa lembaga non pemerintah lain yang selama ini tak
jarang juga menjadi bulan-bulanan fpi.

Menurut kontras bersama sejumlah organisasi lain yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil
dalam keterangan tertulisnya (29/12/2020) menilai dari sudut pandang hukum keputusan ini
bermasalah ditambah dasar dari keputusan ini juga merujuk pada uu ormas yang dinilai
bermasalah khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

Menurut koalisi masyarakat sipil setidaknya ada beberapa poin yang patut di kritisi yakni:

1. Pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki keterangan
terdaftar (SKT) dalam hal ini FPI telah dianggap secara de jure bubar. Hal tersebut tidak
tepat mengingat dalam Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 menyatakan dalam Pasal 16
ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT,
bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensi dari tidak memiliknya SKT bagi sebuah
organisasi adalah tidak terdaftar bukan bubar.sebagi tambahan dalam pertimbangan
keputusan tersebut mk menyatakan Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan:
“berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak
mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan
pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut
sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut
sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau
melakukan pelanggaran hukum”.
2. Pelarangan terhadap segala aktifitas, simbol maupun atribut fpi dinyatakan tidak
memiliki dasar hukum, mengingat bubarnya fpi secara de jure tidak bisa hanya berdasar
tidak memperpanjang skt. Pasal 59 uu ormas hanya melarang kegiatan yang menggangu
ketertiban umum dan melanggar peraturan perundang-undangan. Selain itu dalam poin ke
4 pada pasal yang sama terkait pelarangan nama, lembaga dan juga atribut organisasi
terlarang sama sekali tidak dijelaskan terkait definisi ataupun penjelasan tentang
oarganisasi terlarang tersebut.
3. SKB FPI menjadikan uu ormas bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum.
Berawal dari UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan
Perppu No. 2 Tahun 2017 serta disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017, prosedur
pembubaran suatu organisasi hanya melalui keputusan pemerintah secara sepihak tanpa
melalui proses peradilan. Mengingat pada dasarnya kesalahan subjek huikum harus
dibuktikan diperadilan sebelum penjatuhan sangsi.

Namun sikap penolakan dari koalisi masyarakat sipil ini juga mendapat banyak kecaman dari
beberapa pihak termasuk beberapa “aktivis”, hal itu disebabkan karena mereka menilai
pandangan semacam ini hanyalah produk ketaatan mutlak pada paradigma positivism,
humanism liberal universal tanpa memperhatikan ketidakadilan struktural serta sikap ini
hanya heroisme sensasional tanpa memperhatikan dialektis historis mengingat FPI selama ini
seringkali dalam berbagai gerakan nya dinilai kontra produktif terhadap gerakan rakyat.

Apakah penilaian ini sepenuhnya benar?

Paradigma positivism adalah hal yang tak terpisahkan kalau kita berbicara tentang hukum
positif, namun yang patut dicermati lebih dalam adalah substansi penolakan ini. Titik tekan
dari sikap dari koalisi masyarakat sipil ini adalah penolakan terhadap kebijakan yang
mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang di ambil sepihak dan dikemudian kebijakan karet
ini berpotensi besar digunakan secara politis untuk membungkam gerakan rakyat.

Sejatinya kebijakan pemerintah menindak tegas ormas intoleran dan seringkali menggunakan
kekerasan dalam berbagai aksinya merupakan langkah yang patut di apresiasi. Naamun

Anda mungkin juga menyukai