Anda di halaman 1dari 7

Korupsi dan Pelanggaran HAM

Fenomena korupsi sudah da sejak manusia memulai interaksinya dalam sebuah


bentuk perkumpulan yang hari ini kita sebut organisasi. Dalam korupsi sendiri mempunyai
intensitas yang berbeda-beda antara waktu dan dan tempatnya dan juga berbagai latar
belakangnya. Semakin berkembangnya masyarakat dalam membentuk suatu kesepakatan
yang dalam hal ini negara maka berkembang pula entitas korupsi dalam berbagai fasenya
hingga hari ini pemaknaan korupsi begitu luas.
Dewasan ini hampir di semua negara terdapat fonemena tersebut. Walau dengan
berbagai bentuknya mulai dari negara monarki seperti Saudi sampai negara demokrasi seperti
indonesia, mulai dari negara libertarian seperti amerika sampai negara otoritarian seperti
korea utara dapat di pastikan korupsi pasti ada didalamnya. Bahkan korupsi tak lagi
memandang sedang dalam kondisi bagaimana keadaan negara tersebut entah negara maju,
negara berkembang maupun negara miskin.
Dalam berbagai bentuk bersinggungannya antara korupsi dengan suatu birokrasi
kenegaraan yang tujuan utamanya sebagai alat untuk kepentingan orang banyak tentu akan
mempunyai dampak yang signifikan.
Pada negara maju korupsi akan membuat negara tersebut stagnan bahkan akan
mengalami kemunduran, dalam negara berkembang dan negara miskin jelas bahwa dengan
korupsi usaha segenap stakeholder negara tersebut akan harapan kemajuan dan kesejahteraan
negara tersebut terganggu, dalam banyak kasus menyebutkan bahwa suatu kasus korupsi
secara langsung atau tidak dapat mempengaruhi indeks demokrasi, penggerogotan terhadap
pertumbuhan ekonomi maupun kebudayaan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah negara kita, di indonesia fenomena korupsi merupakan
konsumsi publik yang bisa dikatakan menjaddi konsumsi harian. Hal tersebut dikarenakan
sudah membudayanya praktek korupsi di negri ini. Anggaran besar terhadap pendidikan
misalnya, anggaran sebesar 20% dari APBN tentu merupakan dana yang begitu besar namun
faktanya banyak praktek-praktek korupsi didunia pendidikan yang mengakibatlkan kurang
maksimalnya pelayanan pendidikan. Bahkan di banyak tempat dapat kita temui sarana
prasarana pendidikan yang kurang layak bahkan bisa dibilang menyedihkan.
Melihat dampak tersebut tak ayal bahwa keterkaitan korupsi dengan pelanggaran
HAM memang begitu erat. Namun pembicaraan mengenai hal ini sangatlah minim, baik
dalam literatur maupun dalam forum-forum masyarakat baik oleh akademisi maupun praktisi.
Ini mungkin disebabkan secara tekstual hubungan antara korupsi dan pelanggaran HAM
nampak kurang bersinggungan secara langsung walau dalam prakteknya korelasi dua hal
tersebut begitu nampak nyata.

Korupsi
Kata korupsi secara bahasa berasal dari bahasa Latin “koruptio” yang berarti
“penyuapan”, atau  “corrumpere” artinya “merusak”. Hal ini terjadi dimana  para pejabat
badan-badan negara menyalah gunakan jabatan mereka sehingga memungkinkan terjadinya
penyuapan, pemalsuan, serta berbagai ketidakberesan lainnya1.
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata korupsi pertama di gunakan oleh
Poerwadarminta yang merupakan terjemah dari bahasa belanda “corruptive”. Dan kemudian
diartikan sebagai “ penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaanuntuk
keuntungan pribadi atau orang lain2.
Mengutip pendapat dari Schorder, Pilto dkk dalam bukunya mengatakan bahwa tidak
ada definisi yang mengikat terhadap korupsi dan korupsi sendiri didefinisikan menurut
masyarakat yang satu sama lainya berbeda. Selanjutnya pilto dkk mencoba memberikan
batasan pengrtian korupsi bedasar konsep dasar ilmu pengetahuan

1. Dalam Ilmu politik, secara umum berlaku definisi “korupsi merupakan


penyelahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan
oleh diri sendiri maupun orang lain yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan
pribadi, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan atau
pribadi lainnya.
2. Ilmu Ekonomi, para ahli ekonomi memberikan definisi yang konkret tentang korupsi
sebagai berikut: “bagi para pihak yang terlibat, korupsi merupakan pertukaran yang
menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi dengan imbalan materi atau non
materi) yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma
yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang
yang dimiliki oleh salah satu pihak yang terlibat dalam bidang publik maupun
swasta”3.

1
  Lihat Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru van Hove, Jilid 4, Jakarta, 1983, hal. 1876 
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan keempat, Balai Pustaka, Jakarta, 1995,  hal. 527
3
Pitlo, dkk, Mengenai Teori-teori Politik dari Sistem Politik Sampai Korupsi,  Nuansa, Jakarta, 2006, hal. 404 - 405
Dari berbagai pengertian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa korupsi merupakan
perilaku penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan mendapat keuntungan pribadi baik
secara politik maupun ekonomi serta berdampak merugikan bagi masyarakat luas.

   Hak Asasi Manusia (HAM)


Hak asasi manusia berasal dari bahasa inggris yakni “human rights” (Inggris) atau
“mensenrechten” (Belanda) dan “.droit de I’homme” (Perancis). Namun ada pula pihak
tertentu menolak menggunakan istilah “Hak Asasi (manusia)” dan lebih memilih istilah
lain seperti “hak-hak dasar” atau “hak-hak fiundamental.4
Dalam sejarahnya wacana HAM berkembang begitu pesat paska perang dunia kedua.
Sejak masa itu HAM banyak bicarakan secara teori maupun penerapan terhadap aplikatif
hukumnya. Terutama dalam negara demokrasi HAM nampak menjadi gagasan yang wajib
ditegakkan dalam pemerintahan. Hari ini HAM dianggap sebagai moral dasar dalam setiap
kehidupan manusia yang didalamnya terdapat tuntutan untuk melindungi yang lemah atas
kesewenang-wenangan yang kuat.
Dalam Sidang PBB pada Tahun 1948 dideklarasikan suatu deklarasi yang kita kenal
dengan istilah “Universal Declaration of Human Rights” (Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia disingkat DUHAM). Pasal 1, 2, dan 3 kita dapat menemukan penjelasan apa itu
HAM

Pasal  1: “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-
hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani, dan hendaknya
bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan”.

Pasal  2: “setiap orang berhak atas setiap hak dan kebebasan yang tercantum
dalam dklarasi ini tanta keterkecualian seperti perbedaan ras, warna kulit, enis
kelamin, bahasa, agama, dan politik”.

Pasal  3: “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan


sebagai individu”.

4
Affandi Hernadi, Konsepsi Korelasi, dan Implementasi Hak Aasasi Manusia dan Good

Governance, tulisan alam Mengenal Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif),

PUSHAM UII Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hal. 2)


Kesepakatan tersebut mendapat afirmasi dari 175 anggota PBB walaupun
dalam pelaksanaanya para negara-negara tersebut bisa mengaktualisasikan seusai
tempat nya masing-masing mengenai konsep kebahasaan dan tataran praktisnya..

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dideklariskan pada


tahun 1948dari sisi normatif tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap karena
hanya sebuah declare atau “pernyataan”. Maka dari itu pada Tahun 1951 Majelis
Umum PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk menyiapkan istrumen yang
memiliki kekuatan mengikat, sebagai pendukung DUHAM, Tanggl 16 Desember
Tahun 1966, 2 (dua) Draft Kovenan dengan Resolusi 2200A (XXI) Majelis Umum
PBB mengesahkan 2 (kovenan) yang mulai berlaku 1976 (karena dibutuhkan 10
tahun untuk sosialisasi ke sumua negara anggota PBB), yaitu: International
Covenan on Civil and Political Rights  (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik). Kovenan ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4558 dan International Covenan on Economic, Social and Ciultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) telah
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, Lembaran Negara
republic Indonesia tahun 2005 Nomor 117, tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 45575.

Dan hal tersebut sudah sesuai dengan ketetapanMPR RI Nomor XVII/MPR/1998


tentang Hak Asasi Manusia , dirumuskan bahwa HAM  adalah: 

“hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal
dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk
hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan kesejahteraan, yang
oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun”.

                 Dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,


pada Bab I Pasal 1 Angka 1, merumuskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
“seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia sebagai mahkluk

5
Lihat Ifdal Kasim, Implementasi Hak-hak Ekonomi,  Sosial, dan Budaya, Kerangka Normatif dan Standar,  Makalah disampaikan
dalam Seminra Nasional Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial , dana Buaday di Indonesia,
dilaksanakan oleh Kerjasama Pusata Studi HAM Universitas Islam Jogyakarta dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta,
16 – 18 April 2007.
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dan hak-hak yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, adalah6:

1) hak untuk hidup


2) hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
3) hak untuk mengembangkan diri,
4) hak untuk memperoleh keadilan
5) hak atas kebebasan pribadi.
6) hak atas rasa aman,
7) hak atas kesejahteraan
8) hak turut serta dalam pemerintahan
9) Hak Perempuan,
10) Hak Anak.

Dalam Konstitusi Negara Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia tahun 1945, HAM juga diatur dalam Pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Asas
Normatif ini menunjukan bahwa bangsa indonesia telah sepakat dengan pemenuhan hak-hak
dasar manusia dalam perjalanannya dan serius untuk mengawalnya.

 Korupsi merupakan pelanggaran HAM berat

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih


dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mengatur bahwa “praktek Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme tidak hanya dilakukan antara penyelenggaran negara, melainkan juga antara
penyelenggara negara dengan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi Negara”.

Pembahasan Korupsi dan HAM kali ini adalah tentang pemenuhan-pemenuhan Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak tersebutlah yang secara langsung akan terdampak
ketika terjadi tindak pidan korupsi seperti fasilitas umum, pendidikan, perumahan dan
pekerjaan yang memungkinkan sebagai instrumen kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Tanggung jawab pemenuhan hak dasar tersebut tentu harus diimbangi dengan rasa tanggung
jawab yang besar dan mekanisme akuntabilitas negara sebagai pelaksananya.

6
Lihat Undang-undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 – 52, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia republic
Indonesia,  Jakarta, 2010, hal. 47 - 74
Akan tetapi jika dana yang dialokasikan tersebut dikorupsi maka akan langsung
berdampak signifikan terhadap masyarakat. Hal tersebut dapat langsung kita lihat dengan
tingginya angka kriminalitas mempunyai koletrasi yang erat dengan kemiskinan dimana
harusnya program-program dalam mengentaskan kemiskinan maksimal namun dengan
adanya korupsi menjadi tidak maksimal. Rendahnya tingkat pendidikan dengan sarana
prasarana serta tak terjangkaunya biaya yang dibebankan padahal dengan anggaran besar
pada APBN masalah dana harusnya dapat terakomodir. Semuanya ini dapat dikatakan
sebagai asal dari kebutuhan akan hidup. Selain itu terjadi juga kemiskinan, kekurangan
gisi, anak-anak putus sekolah, lapangan kerja semakin kurang, dan lain-lain. Hal ini
dikarenakan uang yang disediakan oleh APBN dan APBD telah dikorupsi oleh para
pelaksana/penguasa yang bekerja sama dengan para pengusaha.

Tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, mengakibatkan terjadi


pelanggaran atas isi Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sekaligus
merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Secara umum yang disebut pelanggaran
dalam kovenan ini, menurut Allan McChesnay7

1. Gagal mengambil tindakan untuk melindungi hak yang sudah ada;


2. Tidak mengambil tindakan cepat untuk mencegah gagalnya terpenuhi hak;
3. Gagal memnuhi suatu kewajiban yang diharuskan oleh kovenan;
4. Tidak berhasil mencapai pemenuhan hak dalam tingkat yang minimum,
padahal dibutuhkan oleh sebagaian besar masyarakat;
5. Membatasi pemenuhan suatu hak yang diakui dalam kovenen dengan cara
yang tidak dibolehkan oleh kovenan;
6. Dengan sengaja menghentikan atau memperlambat perkembangan bertahap
dalam pemenuhan suatu hak;
7. Membatalkan atau mengurangi program yang telah membantu terpenuhinya
kovenan;
8. Gagal memberikan laporan kepada berkala PBB.

Paparan diatas menunjukan bahwa korelasi antara tindak pidana korupsi dengan
pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, khusausnya Hak Atas Pekerjaan, Hak
Atas Rasa Aman bagi masyarakat, Hak untuk mendapatkan standard kehidupan yang
layak, Hak Atas Kesehatan, Hak Pendidikan, Hak Atas Perumahan dan Hak Atas

7
Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,  Insist Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2003,
hal. 34
Lingkungan Bersih dan Sehat, Hak untuk mengembangkan budaya yang dimiliki
berpengaruh dengan signifikan karena dengan korupsi dampak laten maupun
nyatanya akan langsung menghambat upaya pemenuhan-pemenuhan hak-hak dasar
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru van Hove, Jilid 4, Jakarta.
2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan
keempat, Balai Pustaka, Jakarta.
3. Pitlo, dkk, Mengenai Teori-teori Politik dari Sistem Politik Sampai
Korupsi, Nuansa, Jakarta, 2006.
4. Affandi Hernadi, Konsepsi Korelasi, dan Implementasi Hak Aasasi Manusia dan
Good Governance, tulisan alam Mengenal Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian
Multi Perspektif), PUSHAM UII Yogyakarta, Yogyakarta.
5. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 –
52,  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia republic Indonesia,  Jakarta, 2010.
6. Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya,  Insist Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai