Anda di halaman 1dari 10

PENGGUNAAN RPTRA ( RUANG PUBLIK TERPADU RAMAH ANAK ) SEBAGAI RUANG

KONTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT (Dalam Prespektif Culutral Studies)


Studi Kasus : RPTRA Lenteng Agung
Oleh : Shameel Abdullah

RPTRA sebagai Ruang Publik

Ruang publik menurut Low dan Smith (dalam Kusno 2009:2) adalah geografi dari public
sphere, public space mencakup ruang fisik dan non-fisik, seperti jalan, taman, media, internet,
pusat perbelanjaan, dan organisasi lingkungan lokal. Dalam tulisan ini konsep ruang publik yang
digunakan adalah public space bukanlah public sphere karena penekanan pembahasannya lebih
pada fasilitas dalam tata kota yang berdampak pada kehidupan masyarakat perkotaan. Low dan
Smith juga memaparkan bahwa public space pada prinsipnya adalah ruang umum yang lebih
bebas penggunaannya untuk partisipasi publik merskipun tidak bebas dari peraturan. Ia juga
menjelaskan ruang publik adalah sebuah ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran
masyarakat. Kusno (2009:3) menjelaskan bahwa pemaknaan terhadap ruang publik ada suatu
kegiatan yang melibatkan wacana pengingatan, pengabaian, dan pelupaan. Artinya, ruang publik
melibatkan memori kolektif penduduk kota yang memiliki proses pengingatan, pengabaian, dan
pelupaan suatu memori yang terdapat pada ruang publik kota.

Ruang publik ideal akan terbentuk ketika topik diskusi yang terbangun dibatasi pada
kebaikan bersama. Dalam proses tersebut, para partisipan ditransformasikan dari koleksi
pencarian diri sendiri, individu pribadi ke dalam semangat publik secara kolektif, mampu untuk
bertindak bersama dalam kepentingan bersama. Dalam pandangan ini, kepentingan individu
tidak punya tempat yang layak dalam politik ruang publik (Kadarsih, 2008).

RPTRA adalah area publik terintegrasi untuk melayani berbagai usia, yang berfungsi
sebagai ruang terbuka hijau, sarana pengembangan anak, dan pemberdayaan masyarakat . Dalam
Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 196 Tahun 2015 Pasal 1 ayat 21,
Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) didefinisikan sebagai tempat dan / atau ruang
terbuka yang memadukan kegiatan dan aktivitas warga dengan mengimplementasikan sepuluh
program pokok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk mengintegrasikan
dengan program Kota Layak Anak. PKK sebagai dasar pembentukan RPTRA dengan sepuluh
program pokoknya, mewadahi kebutuhan keluarga mulai dari balita hingga lansia sehingga
RPTRA tidak hanya memfasilitasi anak-anak, tetapi juga berbagai kalangan usia.

RPTRA merupakan bagian dari bagian dari perspektif perancangan kota. Sebagai ruang
publik, maka RPTRA akan menjadi fokus utama dalam proses dan produk dalam persfektif
perancangan kota (Sunaryo et al., 2010) menjelaskan karakter-karakter ruang publik sendiri
yaitu: Pertama, ruang publik merupakan tempat masyarakat berinteraksi, melakukan beragam
kegiatan secara berbagi dan bersama, meliputi interaksi sosial, ekonomi dan budaya, dengan
penekanan utama pada aktivitas sosial.

Kedua, ruang publik diadakan, dikelola dan dikontrol secara bersama, baik oleh negara
atau privat, yang didedikasikan untuk kepentingan publik. Hal ini menjadi relevan dengan kajian
dalam penelitian ini, mengingat RPTRA yang dibangun merupakan hasil dari kerjasama antara
negara dan pasar melalui CSR. Ruang publik tentunya tidak berjalan di ruang hampa, akan ada
perubahan-perubahan yang terjadi yang akan mempengaruhi status kepemilikan ruang publik.
Namun dalam konteks perubahan ini masih dapat ditarik ikhtisar bahwa ruang yang
didedikasikan untuk kepentingan publik dapat didefinisikan sebagai ruang publik. Jadi dalam
konteks ini, RPTRA merupakan dari ruang publik. Konsensus menjadi aspek pengendali bukan
individu atau sekelompok tertentu, baik tirani mayoritas maupun dominasi minoritas.

Ketiga, ruang publik merupakan ruang yang terbuka dan aksesibel secara visual maupun
fisik bagi semua tanpa kecuali. Sebuah ruang publik harus terbuka bagi semua orang dari latar
belakang tanpa perkecualian. Dalam hal ini ruang publik, keberadaannya seperti public goods
yang pemanfaatan dan penggunaannya tidak bisa menafikan pihak lain. Terakhir karaktersitik
keempat yaitu ruang publik merupakan ruang yang mana masyarakat mendapat kebebasan
beraktivitas. Semangat yang menyelimuti ruang publik yaitu kebebasan ekspresi dan aktualisasi
diri,akan tetapi karena karakteristik yang publik maka kebebasan tersebut tidakberlaku mutlak,
selalu ada batasan terhadap kebebasan yang lain.

A. Konstruksi Sosial pada Konsep Ruang

Konstruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya
dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Asumsi dasarnya pada
“realitas adalah konstruksi sosial” dari Berger dan Luckmann. Selanjutnya dikatakan bahwa
konstruksi sosial memilik beberapa kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa memberikan
mekanisme konkret, dimana budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua,
konstruksi sosial dapat mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal, hal ini tidak
mengasumsikan keseragaman. Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu1.

Teori konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada
sosiologi pengetahuan, yang pembahasannya tertuang dalam buku Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann yang berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of
Knowledge”. Secara substantif Berger dan Luckmann meyakini bahwa realitas merupakan hasil
ciptaan manusia melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial. Untuk kepentingan
penyusunan teorinya, Berger dan Luckmann mendasarkan diri pada dua gagasan sosiologi
pengetahuan, yaitu “realitas” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai “a quality pertaining
to phenomena that we recognize as having a being independent of our volition” (kualitas yang
melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak kita).

Realitas merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai kekuatan
memaksa kesadaran masing-masing individu. Terlepas dari individu itu suka atau tidak, mau atau
tidak mau, realitas tetap ada. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai “the certainty that
phenomena are real and they possess specific characteristics” (keyakinan bahwa suatu fenomena
riil dan mereka mempunyai karakteristik tertentu). Pengetahuan merupakan realitas yang hadir
dalam kesadaran individu (Samuel, 2012).

Dalam rangka memahami realitas sosial dan pengetahuan, menurut Berger dan
Luckmann dalam Samuel (2012:14), seorang sosiolog akan mencari keterkaitan antara kondisi
sosial dengan realitas dan pengetahuan. “An adequate understanding of the reality sui generis of
society requires an inquiry into the manner which reality constructed” (untuk memahami realitas
unik dari masyarakat secara memadai perlu diketahui bagaimana realitas itu terbentuk).

Kemudian dalam pembentukan konstruksi sosial maka saya mencoba mengakaitkan akan
konsep ruang dan tempat sebagai wadah terbentuknya kontruksi sosial yang berproses dan
berkembang. Giddens (1990)2 menggambarkan ruang dan tempat dalam konteks kehadiran-
ketidakhadiran, dimana tempat ditandai oleh hubungan tatap muka dan ruang ditandai dengan
1
George Ritzher Modern Sociological Theory : Seventh Edition Mcgraw-Hill Terjemahan Bahasa Indonesia,
Prenada Media Grup, 2014,
2
Chris Barker, “Cultular Studies : Theory and Practice” Sage Publications London, 2000
relasi antarliyan yang absen. Ruang mengacu pada suatu ide abstrak, suatu ruang hampa atau
mati yang diisi oleh berbagai tempat manusia yang bersifat konkret dan spesifik.

Sebuah perhatian pada yang lebih geografis dikembangkan oleh Massey (19984). Dia
berpendapat bahwa spasialitas merupakan bagian integral dan aktif dari proses-proses produksi
masyarkat kapitalis; terdapat berbagai aspek selain wilayah yakni : jarak, pergerekan,
proksimitas, kekhususan, persepsi, simbolisme dan pemaknaan; ruang membuat segala pembeda
sehinngga kekuatan kausal dari berbagai entitas sosial seperti elas, negara, relasi, patriakri
semakin nyata (Sayer, 1992)3 satu implikasi dari pembedaan spasialadalah untuk mennetang
pemahaman bahwa kelas sosial adalah sebuah fenomena nasional, bahwa kelas secara hirarki
terspasialisasi oleh berbagai batas ruang di suatu negara. Penekanan banyak penelitian tentang
rekontruksi variasi lokal/regional telah membawa analisis untuk memikirkan ulang kelas sosial
melalui prisma spasial. Dengan demikian terdapat penentu relasi kelas sosial di berbagai ruang
masyarakat dalam mengkonstruksi proses sosialnya.

Beberapa poin tersebut dikembangkan dalam konsep “kompresi waktu-ruang” dari


Harvey (1989). Dia menunjukkan bagaimana kapitalise membawa ragam “kebakuan spasial”
dalam berbagai periode waktu. Di era masyarakat kapitalis, ruang di kelola dalam sebuah cara
untuk memgfasilitasi pertumubuhan produksi, reproduksi kekuasaan buruh dan memaksimalkan
keuntungan, dan melalui pengelolaan ulang atas ruang tersebut kapitalisme mengatasi periode
krisis dan meletakkan pondasi bagi sebuah periodu baru akumulasi kapital dan perubahan bentuk
berkelanjutan dari ruang dan alam sepanjang waktu4.

Haarvey mencoba membedah tesis Marx tentang pengahncuran total ruang dan berusaha untuk
menunjukkan bagaimana hal itu menjelaskan pergesaran dari “Fordisme” menuju akumulasi lentur “post-
Fordisme”. Yang terakhir melibatkan suatu kabakuan spasial baru dan yang paling penting beragam cara
baru untuk menghadirkan kembali waktu dan ruang. Pusat itulah yang menjadi kompresi waktu dan ruang
baik dari manusia dan pengalaman serta proses fisiknya. Harvey menunjukkan bagaimana kompresi
tersebut dapat menggerkkan sebuah perasaan tentang cemas, sebagaimana ketika RPTRA mengubah
bentuk hubungan manusia dan ruangnya.

B. RPTRA Lenteng Agung sebagai Ruang produk kebudayaan

3
John Urry, “Sosiologi Ruang dan Tempat”, (penj. Anton Novenanto), Jurnal Kajian Ruang dan Sosial-Budaya,
Vol. 1, No. 1, 2017
4
Ibid, Hal-24
Ruang-ruang yang tercipta di kota dan alam kota tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Lefebvre (1991) dalam teorinya 'social production of space', menyatakan bahwa (social) space is
a (social) product. Menurutnya, sebagai implikasi dari teorinya itu adalah a every society—and
hence every mode of production with all its subvariants—produces a space, its own space.
Masyarakat membuat ruangnya sendiri dengan mode produksinya yang dianutnya sendiri.

Merujuk kepada teori Lefebvre (1991) yaitu social production of space ini, produksi
ruang kota adalah proses sosio-spasial (Nasongkhla dan Sintusingha, 2013; Gϋr, 2002; Heynen et
al., 2006). Produksi ruang adalah proses dialektikal antara hubungan ruang dan sosial. Teori ini
menyatakan adanya hubungan sosial dan spasial yang bersifat dialek. Gür (2002) menyatakan
bahwa hubungan masyarakat dan ruang adalah hubungan yang mutually inclusive dan
constitutive of ech other5.

RPTRA Lenteng Agung dibangun atas dasar keinginan warga sekitar yang berharap di
wilayah mereka terdapat ruang terbuka atau taman yang bisa dijadikan lokasi bermain bagi anak-
anak atau tempat berkumpul warga. Hal ini pun diakui langsung oleh beberapa informan dari
warga yang peneliti temui. Mereka mengemukakan sebelumnya memang warga memiliki
aspirasi agar ada tempat bermain bagi anak-anak. Kebijakan melalui program pembangunan
RPTRA menjadi titik temu antara harapan warga dengan program pemerintah.

Adapun lokasi yang akhirnya dipilih dijadikan RPTRA adalah di di Jalan Raya Lenteng
Agung, RT 11/002, Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Luas
lahan yang dijadikan RPTRA Sunter Jaya Berseri seluas 2.200 m². Lokasi tersebut dulunya Spirit
Publik Volume 12, Nomor 2, Oktober 2017 merupakan lahan yang kurang terawat sehingga
sering dijadikan pasar malam yang membuat lahan tersebut terkesan kotor dan kumuh. Menurut
pengelola, kondisi demikian yang mendorong warga untuk mengusulkan agar lahan tersebut
menjadi RPTRA. Atas kerjasama Pemprov DKI Jakarta dengan PT Astra International Tbk
melalui CSR, akhirnya lokasi tersebut berhasil merubah wajah taman menjadi lebih hijau dan
asri. RPTRA Sunter Jaya Berseri dilengkapi berbagai fasilitas, diantaranya seperti taman baca,
sarana bermain, open theatre, ruang berkumpul, PKK Mart, ruang laktasi sampai lapangan untuk
bulu tangkis.

5
Sahala Simatupang, ”Proses Sosial dalam Produksi Ruang Publuk ‘RPTRA’ Kalijodo di Jakarta”, Jurnal SCALE,
Vol. 5, No. 1, 2017
Berdasarkan wawancara dan observasi yang saya lakukan ke lokasi tepat RPTRA
tersebut beroperasi, menurut keterangan beberap informan yang sempat di temui pemanfaatan
RPTRA Lenteng Agung sering di isi dengan kegiatan yang beraneka ragam dan menjadi tempat
favorit warga sekitarnya dalam mengisis waktu luang. Sebagian besar ramai oleh kegiatan anak-
anak bermain berbagai macam fasilitas yang ada dan juga ada beberapa orang dewasa dan
bahkan manula bersatu menjadi suatu komunitas komunal yang terus berlangusng setiap harinya.

Menurut pengelola yang di koordinir oleh Ibu-Ibu PKK pemanfaatan ruang RPTRA diisi
oleh dengan berbagai kegiatan yang memiliki nilai positif dalam pengembangan masyarkatnya.
Semisal ada kegiatan pelatihan menari dua kali dalam seminggu bagi anak-anak yang berminat,
atau di kelolanya perpustakaan sederhana atau taman baca di daerah taman tersebut dalam upaya
mereka memberikan edukasi terhadap masyarakat akan pemanfaatan RPTRA secara maksimal.

Menurut keterangan ketua RT setempat adanya RPTRA Lenteng Agung memberikan


ruang gerak bagi masyarakat agar bisa bertemu dan bersenda gurau di tempat yang layak dan
nyaman. RPTRA ini juga bisa menjadi suatu pusat kegiatan masyarkat dalam bersosialisasi dan
memberikan jejak pengalaman bagi setiap masyrakat yang hadir disana. Lanjutnnya, menurut
keterangannya lagi kegiatan dengan adanya RPTRA ini masyarakat mempunyai ruang dalam
berekspresi dana menuangkan wadah minat dan hobi mereka. Pemanfaatan RPTRA acap kali
digunakan untuk seluruh kemaslahatan dan di gunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan
masyarakat sekitarnya.

Massey (1994)6

Hal ini senada dengan studi Nzengwu (1996)7 tentang lagos, Nigeria yang dimana
analisisnya bertipe multilevel yang mengarahkan perhatian kepada bagaimana tempat dan ruang,
kota dan rumah di kontruksi berbagai macam kepentingan sosial yang ada. Nzengwu
mnenunjukkan bahwa hasrat kultural dan representasi simbolik menempati posisi sentral dalam
evolusi ruang-ruang kota sebagai tempat pertarungan dan interaksi. Jadi, analisis ruang
mengungkapkan kehadiran sistem nilai dan dampak trasnformartorisnya.

Ia juga menambahkan pandangan bahwa pandangan-pandangan kulturral memperkuat


konsepsi tentang tanah yang di dorong oleh pendekatan ‘gaya bebas’ terhadao ruang urban yang
6
Mark Gottdiener dan Ray Hutchison, “The New Urban Sociology”, Fourth Edition, by Wetview Press, 2011
7
Chris Barker, Op. Cit., 312
ditata sebagai suatu kerangkeng besi di ruang kota. Hal ini merupakan bentuk usaha yang cukup
berafiliasi dengan penelitian dan temuan yang saya temui di lokasi RPTRA Lenteng Agung
dimana suatu dorongan kultural sangat kental dalam pemberdayaan masyarakatnya melalui
konsep tata kelola ruang yang sesuai.\

Masyarakat terutama kategori masyarakat urban, memiliki potensi dalam memproduksi


kebudayaan dari pemanfaatan ruang yang tersedia. Mereka senantiasa menyesuaikan kebutuhan
sosial mereka dengan kondisi pertumbuhan lingkungan fisik mereka, dan pada akhirnya
dorongan kultural dan mereduksi kegiatan interaksi dan relasi yang terbentuk akan memiliki
keterkaitan dengan ruang fisiknya. Masyarakat menyesuaikan adanya runag fisik yang tersedia
dengan kontingen dan elemen diri masing masing yang berpotensi memproduksi kebudayaan
melalui dorongan kultural tersebut.

Secara garis besar dengan adanya perkumpulan masyarakat dalam memanfaatkan


RPTRA Lentengn Agung yang sesuai dengan dorongan kultural mereka maka terbentukya
kontruksi sosial disana sangat kental dan terbangun dalam ruang lingkup ruang lingkungan fisik
mereka. Lingkungan fisik ini mempenhgaruhi keberagaman masyartakat sekitarnya serta
memiliki sumbangsih tersendiri akan bagaimana masyarakat memproduksi kebudyaanya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan observasi yang saya lakukan dan berbagai macam proses
fungsi dualitas yang saya terapkan, RPTRA Lenteng Agung sebagai ruang kontuksi masyarakat
sekitar memiliki sumbangsih sangat besar dalam prespektif keruangan. Pemanfaatan lingkungan
fisik yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk korelasi dari proses sosial yang ada maka
hal ini secara tidak langsung merekonsturksi secara sosial dengan keunikan spasial yang ada.
Konteks penjabaran wacanaa dan keterangan yang diapat merujuk pada suatu kesimpulan utama
bahwa masyarakat yang tinggal di daerah RPTRA Lenteng Agung tidak terlepas dalam
bagaiamana ruang tersebut menkonstruksi masyaraka secara langsung dan memiliki penyesuaian
yang dominan akan penggunaan ruang tersebut.

Kontradiksi yang didapat juga selain dalam membentuk konstruksi sosial masyarakatnya,
juga dalam prespektif cultural studies adanaya RPTRA Lenteng Agung dengan segala berbagai
pemanfaatan yang ada, masyarakat sekitar yang tinggal di daerah tersebut memiliki wadah dan
andil tersendiri dalam menuangkan pengalaman mereka dalam bentuk produk kebudayaan.
Dorongan kultural yang ada bdi setiap individu masyarakat membentuk suatu komunitas yang
bekerja secara kolektif dalam memproduksi suatu produk kebudayaan.

Alhasil, korelasi dan keterkaitan ruang dan manusia dalam hal ini mencakup studi kasus
RPTRA Lenteng Agung sebagai ruang konstuksi sosial masyarakat memiliki korelasi yang
cukup kuat dan memiliki fungsi dan pemanfaatan dalam mengkonsttuksi kehidupan sehari-haro
masyrakatnya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adi, Isbandi Ruminto. 2012. Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat : Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat. 2013: Rajawali Pers.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies : Theory and Practice. London: Sage Publisher.
Gottdiener, Mark, and Ray Hutchison. 2011. The New Urban Sociology. Philadelphia: Westview
Press A Member of the Persue Books Group.
Ritzher, George. 2014. Teori Sosiologi Modern : Edisi Ketujuh. Translated by Triwibowo B.S.
Jakarta, Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Soekanto, Soerjono. 2017. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sujarwa. 2019. Model dan Paradigma : Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (IKAPI).
Suwarsono, and Alvin Y. SO. 2013. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka
LP3ES (IKAPI).

JURNAL
Faedlulloh, Dodi, Retnayu Prasetyanti, and Indrawati. 2017. "Menggagas Ruang Publik berbasis
Demokrasi Deliberatif : Studi Dinamika Pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
(RPTRA) di Jakarta Utara." Spirit Publik 12: 43-60.
Ngangi, Charles R. 2011. "Kontruksi Sosial dalam Realitas Sosial." Jurnal ASE 7: 1-4.
Prasojo, M. Nur Budi. 2015. "Kontruksi Sosial Masyarakat Terhadap alam Gunung Merapi."
Jurnal Analisa Sosiologi 4: 1-16.
Rahmiati, Desti, and Bondan Prihastomo. 2018. "Identifikasi Penerapan Konsep Ruang Publik
Terpadu Ramah Anak (RPTRA) pada Taman Kembang Iwak Palembang." Jurnal
Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan 8: 28-36.
Simatupang, Sahala. 2017. "Proses Sosial dalam Produksi Ruang Publik 'RPTRA' Kalijodo di
Jakarta." Jurnal SCALE 5: 43-51.
Surayuda, Riena J. 2016. "Pusat Komunitas dan Kontestasi Memori Kolektif : Studi Kasus
Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kenanga di Cideng, Jakarta Pusat."
MASYARAJAT Jurnal Sosiologi (LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI) 21: 234-
244.
Urry, John. 2017. "Sosiologi Ruang dan Tempat." Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1: 17-35.

Anda mungkin juga menyukai