Anda di halaman 1dari 9

AKTIVISME SOSIAL REMAJA DIANTARA BUDAYA DAN KRITIS

(Studi Kasus : Sabotase Remaja Penggemar K-Pop terhadap acara kampanye Donald Trump)
Oleh : Farhad Shameel (Sosiologi UNJ)

Pendahuluan

Keberadaan budaya populer yang begitu masif berkembang dan membentuk


kelompok atau komunitas yang secara cepat tersebar luas menjadi suatu aspek penting
dalam perkembangan industrialisasi dan moderenitas. Adanya relasi yang tidak dapat
dipisahkan antara perkembangan industrialisasi, kapitalisme, konsumerisme dengan
budaya populer menjadi suatu fenomena dan instrumen penting bagiamana
pembentukan gaya hidup masyarakat terutama dikalangan kelompok remaja dalam
mengekspresikan diri dalam pemenuhan kapasitas diri maupun kelompok.

Budaya populer adalah budaya khusus yang berkembang bersamaan dengan


berkembangnya industrialisasi, produksi massa dan media massa. Budaya populer
dalam hal ini berkaitan erat dengan apa yang disebut budaya massa yaitu budaya yang
di produksi untuk massa yang luas, mengikuti pola produksi massa (Piliang, 2011).
Kebudyaan laju produksi dan konsumsi yang di produksi oleh kapitalisme menjadi
pendorong adanya modifikasi pemaknaan dalam dunia musik yang berkembang
membentuk suatu komunitas subkulturnya masing-masing.

Perkembangan dunia musik di era sekarang memunculkan baik subkultur


maupun conterkultur yang berkembang di kebudayaan dominan. Kata “sub” dalam
subkultur mengandung konotasi sebagai suatu kondisi yang khas dan berbeda
dibandingkan dengan masyarakat dominan atau mainstream. Sedangkan kata
“kultur”mengacu pada seluruh cara hidup atau peta makna yang menjadikan dunia ini
dapat di pahami oleh anggotanya (Barker, 2011).

Cultural studies menganggap budaya lebih bersifat politis dalam pengertian yang
sangat spesifik yaitu sebagai ranah politik dan perkumpulan (Storey, 2007). Cultural
studies di pandang sebagai suatu hal yang penting dalam proses produksi dalam
pembentukan komunitas dan hubungan sosial. Storey berusaha mengkomparasikan
beberapa teori dimana dapat dilihat dari prespektif marxisme cultural kedalam dua cara
yang fudamental. Pertama memahami makna teks-teks dan praktek budaya kemudian
dianalisis dalam konteks fakta sosial yang ada beruntut hingga segi historikal sosialnya.
Kedua melalui kerangka konsep hegemoni Antonio Gramsci, bagaiaman hegemoni
menekankan pada bentuk eskpresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk
mempertahankan dan mengembangkan diri para korbannya sehinga mampu mereduksi
pola pikir yang melahirkan tindakan sosial yang tersagmentasi.

Kembali pada budaya populer yang berafiliasi dengan politik yang dimana
konsep storey yang mengupayakan cultural studies sebagai wacana dalam mengkaji
budaya populer dan kelompok subkultur didalamnya sebagai kerangka berpikir dimana
hegemoni budaya bisa menjadi alat politik praktis atau kekuatan massa yang jika
dikoordinasi secara masif dan tepat sasaran akan menjadi tindakan aktivisme yang patut
diperhitungkan.

Musik pop sendiri kini telah menjadi bagian dari kehidupan manusia dimana
bisa ditemukan bahwa budaya musik pop telah berafiliasi dengan segala sendi
kehidupan manusia. Pilihan dan selera musik akan memberikan peranan cukup besar
yang akan mempengaruhi bagiaman pola prilaku atau kegiatan kolektif yang dapat
terjadi dengan adanya kesamaan tersebut. Asumsi mengenai musik yang dapat
menentukan niali guna dari produk industri maupun kebudayaan serta proses konsumsi
yang di tawarkan begitu gencar membuat sekelompok subkultur musik pop memiliki
kesadaran kolektif dalam mengespresikan segala macam keresahannya.

Gerakan Penggemar Musik K-Pop Memanipulasi Politik Gedung Putih

Penyebaran virus Covid-19 menjadi polemik yang hingga sekarang masih


memberikan dampak yang cukup besar di berbagai negara. Pembatasan aktifitas sosial
di berbagai tempat serta optimalisasi kegunaan digital di masa sekarang menjadi suatu
fenomena dimana pola hidup baru memaksa manusia beradaptasi dengan situasi. Tak
terkecuali di negara Amerika Serikat akumulasi kasus penyeberan virus yang belum
bisa dikendalikan secara stabil, yang akibatnya mengancam krisis di berbagai bidang
(terutama di bidang ekonomi) serta maraknya isu rasial membuat kondisi di negara
amerika rentan akan kerisuhan dan krisi nasional.

Akumulasi permasalahan yang menjadi topik hangat di sana sangat berimbas


terhadap penilaian kinerja parlemen yang di nilai belum bisa secara optimal
memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya. Presiden Trump pun menjadi
sorotan utama akan kegagalan mereka dalam mengendalikan krisis yang melanda yang
pada dampaknya pengaruh kegiatan politiknya menjadi tergerus dan megurangi
kepercayaan publik terhadap parlemen yang ia pimpin.

Dalam menyikapi ini pada hari Sabtu tanggal 20 Juni kemarin Trump beserta
tim kampanyenya berencana mengadakan kampanye di Tulsa, Oklahoma. Rencana ini
di lakukan sebagai antispasi serta tindakan politisnya serta dalam rangka
mengkampanyekan bahwa Pemerintah Amerika sudah berhasil mengontrol dan
menerapak “new normal” serta sebagai kampanye bahwa Amerika telah berhasil dan
menangani krisis yang melanda negeri mereka. Dalam perkembangnya tim kampanye
mereka sangat optimistis dikarenakan secara tak terduga peserta yang mendaftar secara
online untuk mengikuti kampanye trump tersebut diklaim mencapai 1 juta orang
pendaftar.

Timnya segera menyewa gedung terbesar di kota itu. Gedung itu berkapasitas 19
ribu orang. Karena besarnya antusiasme, orang-orang pribadinya juga mempersiapkan
arena diluar gedung yang bisa menampung puluhan ribu orang. Mereka bersiap untuk
setidaknya seratusan ribu orang akan datang ke kampanye Trump ini. Kalau ini terjadi,
kampanye ini akan menjadi 'show of force' untuk Trump. Dia bisa mendeklarasikan
bahwa virus Corona bisa dikalahkan, ekonomi bergerak lagi.

Tetapi berita baiknya hanya sampai sehari sebelum acara. Diktui dari
cnnindonesia.com penggemar K-Pop dan pengguna TikTok menyabotase kampanye
presiden Amerika Serikat Donuld Trump dengan cara memesan tiket fiktif. Sabotase ini
berawal dari cuitan kampanye Trump pada 11 Juni mendesak orang untuk daftar
menggunakan ponsel untuk mendapatkan tiket gratis.

Kemudian secara kolektif para penggemar K-Pop membagikan informasi terkait


ke pengikut mereka untuk mendapatkan tiket tersebut namun mereka malah di himbau
untuk tidak hadir pada kampanye tersebut. Setelah ditelusuri ternyata pelaku utama dari
aksi sabotase tersebut ialah seorang nenek dari Iowa, Mary Jo Laupp menjadi pelaku
utama sabotase kampanye Trump di platform sosial media terutama di TikTok. Sebab
pada 11 Juni ia mengunggah video Tiktok yang mendorong orang untuk berpura-pura
memesan tiket dan tidak datang ke kampanye tersebut. “saya merekomendasikan
kepada kita semua yang ingin melihat auditorium dengan 19 ribu kursi in yang hampir
tidak terisi, pesanlah tiket sekarang, dan biarkan dia berdiri sendiri di sana sendirian di
atas panggung” ujar Laupp dalam video TikToknya.

Seperti dikutip melalui cnnindonesia.com, Laup awalnya membuat video


tersebut sebaga bentuk protes kepada Trump karena awalnya kampanye digelar
bertepatan dengan peringatan Juneteenth yang manandakan akhir perbudakan di AS
pada 19 Juni.

Media umumnya mengatakan bahwa orang masih takut akan virus. Tim
kampanye Trump mengharuskan orang untuk menandatangani surat untuk tidak
menuntut kalau terinfeksi virus Corona. Tim kampanye Trump sendiri menyalahkan
adanya protes yang bikin orang takut dan mereka yang sudah datang dihalangi orang
masuk ke arena kampanye. Namun para wartawan yang ada disana membantah ada
protes yang menghalang-halangi orang datang ke arena kampanye.

Inilah jawaban para remaja ini terhadap Trump yang selalu mencap media yang
tidak sesuai dengan keinginannya sebagai 'fake news.' Hal yang sama sekali tidak
diharapkan bahwa lawan mereka adalah para remaja, anak-anak ini adalah juga
pemilih pemula. Mereka adalah Generasi Z yang hidup lebih banyak di dunia virtual
dari pada dunia nyata. Saya melihat beberapa posting mereka yang melakukan 'victory
lap' dan saling memberi selamat. Mereka mengatakan, ini sumbangan terpenting yang
telah dilakukan Class 2020 (artinya anak SMA yang lulus tahun ini) kepada Amerika.

Sesungguhnya mereka juga sudah melakukan taktik yang sama sebelumnya.


Ketika protes Black Lives Matter memuncak, mereka menenggelamkan sebuah App
yang bernama iWatch milik polisi di Dallas. App ini bikinan polisi yang menyuruh
warga mengunggah video wajah para pemrotes yang dianggap melakukan pelanggaran
kepada polisi. Laporan bisa dilakukan secara anonim, kata polisi.

Apa yang dilakukan anak-anak ini adalah mereka mengunggah video-video


'fancams' dari K-Pop yang biasanya dipakai untuk mempromosikan lagu dari bintang
pujaan mereka. Video-video ini memacetkan iWatch yang dianggap sebagai bentuk
rasisme yang mengadu antara warga dengan warga demi keuntungan polisi. Mereka
juga mengirim kartu ucapan ulang tahun palsu ke Trump. Selain itu, mereka juga
mengubur hashtag dari kelompok-kelompok rasis kulit putih. Aktivisme online ini
jarang mendapat perhatian karena kita lebih terpaku pada orang-orang yang turun ke
jalan.

Kelompok Remaja Subkultur Sebagai Gerakan Kolektif Baru

Generasi muda atau remaja secara psikologis berada pada tahap perkembangan
dimana sikap dan niali yang berada pada pembentukan dan pengambilan ideologi dan
minat tertentu. Masa transisi ini dari anak-anak menuju dewasa biasanya muncul fase
memberontak sebagai wujud mencari jati diri di tengah kompleksitas masyarakat
modern. Dalam masa ini tidak jarang budaya dan media menjadi faktor penting dalam
pembentukan jati diri mereka.

Budaya generasi muda sebagaimana merujuk pada kajian Cultural Studies yang
dilakukan oleh Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) Brimingham UK,
terdapat perbedaan dengan munculnya budaya populer maupun media yang mereduksi
muisk, gaya hidup, aktifitas serta bahasa yang menjadi bagian proses bagaiaman remaja
dan generasi muda mengekespresikan dirinya di masyarakat.

Media menstransmisikan nilai kultural di antara komunitas dalam masyarakat


yang kompleks yang terindikasi dengan perubahan yang begitu cepat dan bertranmisi
menjadi konteks yang lebih luas. kultu yang dibawa lebih mudah mereduksi pola pikir
serta segala hal yang membentuk kelompok remaja pada generasi masyarakat modern
seperti sekarang.

Fenomena aktivsime online yang marak terjadi di Amerika Serikat ini


merupakan suatu pertanda bahwa ada pola gerakan baru yang populer dilakukan serta
terbukti ampuh mencapai atau mengekspresikan suatu tindakan politis yang kritis dalam
menyikpai keresahan mereka akan kondisi yang mereka tidak sukai. Kontradiktif ini
menjadi suatu gerakan yang unik dan terepresentatif terhadap perkembangan era digital
yang mana memang area ini dikuasi oleh kelompok usia remaja.

Pergerakan yang mereka lakukan membuktikan bahwa di era sekarang dengan


gaya dan budaya sesuai dengan ciri khas generasi ini, optimalisasi teknologi serta
efesiensi terhadap waktu dan biaya membuktikan bahwa hal ini tidak bisa dianggap
sepele dan hanya sebatas gerakan musiman.
Subkultur K-Pop yang didukung oleh platform media sosial menjadi instrumen
yang sering kali dipilih untuk mengkampanyekan apa yang menjadi keresahan serta
sebagai wadah dalam menyampaikan aspirasi yang mereka ingin utarakan. Kolektifitas
ini bisa menjadi dukungan tersendiri dan menjadi angin segar bahwa meski generasi
remaja di era sekarang sulit untuk menyampaikan aspirasinya melalui demonstrasi
massa dengan cara sendirinya mereka mencoba menyatu dengan budaya kan gaya hidup
sesuai dengan perkembangan zaman.

Meski tidak di tampik pula gerakan ini relatif mudah untuk di reda serta urgensi
dalam menggerakan massanya berdasarakan pengaruh dan konten yang dibawa namun
hal ini bisa menjadi titik balik bagaiaman remaja menyampaikan kekecewaannya
terhadap kebijakan maupun kinerja dari negara. Argumentasi ini bukan berarti
menampikkan bahwa demonstrasi masa secara nyata dan langsung berkumpul di satu
tempat sudah dapat digantikan. Gerakan ini bersifat sementara dan jauh dari tujuan
revolusioner dalam mengubah tatanan sistem yang telah ada, bisa dibilang fenomena ini
membuktikan bahwa budaya populer yang dinamis dan masif di era industri terutama
masifnya pengaruh musik pop asal Korea ini menjadi suatu kondisi yang cukup relevan
bahwa gerakan ini memiliki tempat tersendiri di kelompok remaja generasi sekarang.

Tetap saja meski gerakan ini berhasil mensabotase politisasi Trump terhadap
kebijakannya, namun pendekatan yang dilakukan ini sering kali sebatas hanya
mengkampanyekan dan memuat suatu isu dalam beberapa waktu tak terduga menjadi
topik pembahasan. Sebenarnya pada kasus-kasus lain, remaja sebagai pengakses
mayoritas platform sosial media sudah ramai menggunakan cara ini dalam
menyampaikan aspirasi mereka namun dari sekian banyak itu efektifas gerakan yang di
timbulkan cenderung pasif dan gampang di gantikan dengan isu baru yang secara tidak
langsung memotong alur kampanye pada sosial media.

Pencapain besar yang dilakukan oleh kolompok remaja penggemara ini di


dukung oleh faktor bagiaman budaya telah dapat menghegemoni dan menyatukan setiap
individu dalam bertindak dan berekspresi. Seperti yang diutarakan oleh Storey konsep
cultural studies yang tidak bisa dilepaskan dari unsur politis dan pembangunan kritis
bagi kelompok budaya baik subkultur maupun conterkultur sangat kuat akan menjadi
suatu elemen kuat gerakan kolektif bisa cepat muncul ke permukaan isu.
Saya rasa perlu ada keselarasan proses pengumpulan massa dalam
menghegemoni permasalahan dalam satu isu yang sama menjadi instrumen baru yang
dapat dilakukan kelompok gerakan masif dalam memberikan kritik terhadap kinerja
disetiap negara. Memanfaatkan budaya populer dan kreatifitas yang dominan bisa
menjadi cara yang lebih efesien dalam melancarakan gerakan sosial sesuai dengan
tujuan yang telah direncanakan.

Kesimpulan

Identias remaja sebagai generasi muda yang memiliki dominasi di dalam


paltform sosial media menjadi gerakan yang unik dan progresif dalam menyikapi
fenomena yang terjadi disekitarnya. Perubahan budaya dan kontestasi yang muncul
menakibtakan pemanfaatan efektif dan efesien kehiduapan pribadi mereka menjadi
gerakan kolektif dalam membahas suatu isu yang menjadi keresahan mereka.

Keterwakilan dalam situasi serta kesamaan dalam budaya yang memberikan


stimulus tambahan dalam mengeskpresikan suatu gagasan menjadi elemen penting
bagaimana generasi ini memiliki cara tersendiri memberikan kritis menuntutu
perubahan untuk keluar dari kondisi yang secara kolektif memiliki ketidak setujuan
dalam satu hal yang sama. Cultural studies sebagai elemen kritis sebagai proses
terbentuknya gerakan sosial berbasi aktifitas di sosial media.

Fenomena ini menjadi bukti bahwa budaya dan industri memiliki keterkaitan
dalam membentuk pola pikir dan gaya hidup yang sesuai dengan ketertarikan ini.
Fungsi budaya menjadi jalan yang lebih mudah untuk di lakukan dalam mencapai
gerakan yang diinginkan serta sebagai medium yang cukup efektif dalam menjangkau
generasi muda tersebut. Meski bersifar tidak terduga dan sukar untuk memprediksi
gerakan berbasis sosial media ini memang sangat membutuhakn peranan dan
momentum yang pas dalam melancarkan keterwakilannya.

Tetapi bukan berarti gerakan ini dapat memberikan solusi untuk mengubah
tatnan sosial dan negara yang ingin dirubah, banyak faktor yang perlu di lihat baik
pendorong maupun momnetum yang pas serta pemetaan polarisasi generasi muda yang
berada pada tahap perkembangan perlu di perlihara dan dilakukan konsolidasi secara
tepat supaya pemanfaataan dan capaian yang diinginkan dapat terwujud sesuai dengan
tujuan dan kepentingan bersama yang disepakati.
DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2011. Cultural Studies : Teori dan Praktek. Bantul: Kreasi Wacana.
Laksono, Puji, Drajat Tri Kartono, and Argyo Demartoto. 2015. "Subkultu Grunge
(Analisis Kritis Tentang Konstruksi Realitas Sosial dan Kesadaran Kritis Musisi
Grunge di Kota Surabaya)." Jurnal Analisa Sosiologi 17 - 31.
Pertiwi, Cita. 2017. "Subkultur Anak Muda Penggemar Budaya Populer ." Jurnal
Sosiologi FISIP Unair.
Pilian, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Komprehensif
Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra.

Anda mungkin juga menyukai