(Studi Kasus : Sabotase Remaja Penggemar K-Pop terhadap acara kampanye Donald Trump)
Oleh : Farhad Shameel (Sosiologi UNJ)
Pendahuluan
Cultural studies menganggap budaya lebih bersifat politis dalam pengertian yang
sangat spesifik yaitu sebagai ranah politik dan perkumpulan (Storey, 2007). Cultural
studies di pandang sebagai suatu hal yang penting dalam proses produksi dalam
pembentukan komunitas dan hubungan sosial. Storey berusaha mengkomparasikan
beberapa teori dimana dapat dilihat dari prespektif marxisme cultural kedalam dua cara
yang fudamental. Pertama memahami makna teks-teks dan praktek budaya kemudian
dianalisis dalam konteks fakta sosial yang ada beruntut hingga segi historikal sosialnya.
Kedua melalui kerangka konsep hegemoni Antonio Gramsci, bagaiaman hegemoni
menekankan pada bentuk eskpresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk
mempertahankan dan mengembangkan diri para korbannya sehinga mampu mereduksi
pola pikir yang melahirkan tindakan sosial yang tersagmentasi.
Kembali pada budaya populer yang berafiliasi dengan politik yang dimana
konsep storey yang mengupayakan cultural studies sebagai wacana dalam mengkaji
budaya populer dan kelompok subkultur didalamnya sebagai kerangka berpikir dimana
hegemoni budaya bisa menjadi alat politik praktis atau kekuatan massa yang jika
dikoordinasi secara masif dan tepat sasaran akan menjadi tindakan aktivisme yang patut
diperhitungkan.
Musik pop sendiri kini telah menjadi bagian dari kehidupan manusia dimana
bisa ditemukan bahwa budaya musik pop telah berafiliasi dengan segala sendi
kehidupan manusia. Pilihan dan selera musik akan memberikan peranan cukup besar
yang akan mempengaruhi bagiaman pola prilaku atau kegiatan kolektif yang dapat
terjadi dengan adanya kesamaan tersebut. Asumsi mengenai musik yang dapat
menentukan niali guna dari produk industri maupun kebudayaan serta proses konsumsi
yang di tawarkan begitu gencar membuat sekelompok subkultur musik pop memiliki
kesadaran kolektif dalam mengespresikan segala macam keresahannya.
Dalam menyikapi ini pada hari Sabtu tanggal 20 Juni kemarin Trump beserta
tim kampanyenya berencana mengadakan kampanye di Tulsa, Oklahoma. Rencana ini
di lakukan sebagai antispasi serta tindakan politisnya serta dalam rangka
mengkampanyekan bahwa Pemerintah Amerika sudah berhasil mengontrol dan
menerapak “new normal” serta sebagai kampanye bahwa Amerika telah berhasil dan
menangani krisis yang melanda negeri mereka. Dalam perkembangnya tim kampanye
mereka sangat optimistis dikarenakan secara tak terduga peserta yang mendaftar secara
online untuk mengikuti kampanye trump tersebut diklaim mencapai 1 juta orang
pendaftar.
Timnya segera menyewa gedung terbesar di kota itu. Gedung itu berkapasitas 19
ribu orang. Karena besarnya antusiasme, orang-orang pribadinya juga mempersiapkan
arena diluar gedung yang bisa menampung puluhan ribu orang. Mereka bersiap untuk
setidaknya seratusan ribu orang akan datang ke kampanye Trump ini. Kalau ini terjadi,
kampanye ini akan menjadi 'show of force' untuk Trump. Dia bisa mendeklarasikan
bahwa virus Corona bisa dikalahkan, ekonomi bergerak lagi.
Tetapi berita baiknya hanya sampai sehari sebelum acara. Diktui dari
cnnindonesia.com penggemar K-Pop dan pengguna TikTok menyabotase kampanye
presiden Amerika Serikat Donuld Trump dengan cara memesan tiket fiktif. Sabotase ini
berawal dari cuitan kampanye Trump pada 11 Juni mendesak orang untuk daftar
menggunakan ponsel untuk mendapatkan tiket gratis.
Media umumnya mengatakan bahwa orang masih takut akan virus. Tim
kampanye Trump mengharuskan orang untuk menandatangani surat untuk tidak
menuntut kalau terinfeksi virus Corona. Tim kampanye Trump sendiri menyalahkan
adanya protes yang bikin orang takut dan mereka yang sudah datang dihalangi orang
masuk ke arena kampanye. Namun para wartawan yang ada disana membantah ada
protes yang menghalang-halangi orang datang ke arena kampanye.
Inilah jawaban para remaja ini terhadap Trump yang selalu mencap media yang
tidak sesuai dengan keinginannya sebagai 'fake news.' Hal yang sama sekali tidak
diharapkan bahwa lawan mereka adalah para remaja, anak-anak ini adalah juga
pemilih pemula. Mereka adalah Generasi Z yang hidup lebih banyak di dunia virtual
dari pada dunia nyata. Saya melihat beberapa posting mereka yang melakukan 'victory
lap' dan saling memberi selamat. Mereka mengatakan, ini sumbangan terpenting yang
telah dilakukan Class 2020 (artinya anak SMA yang lulus tahun ini) kepada Amerika.
Generasi muda atau remaja secara psikologis berada pada tahap perkembangan
dimana sikap dan niali yang berada pada pembentukan dan pengambilan ideologi dan
minat tertentu. Masa transisi ini dari anak-anak menuju dewasa biasanya muncul fase
memberontak sebagai wujud mencari jati diri di tengah kompleksitas masyarakat
modern. Dalam masa ini tidak jarang budaya dan media menjadi faktor penting dalam
pembentukan jati diri mereka.
Budaya generasi muda sebagaimana merujuk pada kajian Cultural Studies yang
dilakukan oleh Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) Brimingham UK,
terdapat perbedaan dengan munculnya budaya populer maupun media yang mereduksi
muisk, gaya hidup, aktifitas serta bahasa yang menjadi bagian proses bagaiaman remaja
dan generasi muda mengekespresikan dirinya di masyarakat.
Meski tidak di tampik pula gerakan ini relatif mudah untuk di reda serta urgensi
dalam menggerakan massanya berdasarakan pengaruh dan konten yang dibawa namun
hal ini bisa menjadi titik balik bagaiaman remaja menyampaikan kekecewaannya
terhadap kebijakan maupun kinerja dari negara. Argumentasi ini bukan berarti
menampikkan bahwa demonstrasi masa secara nyata dan langsung berkumpul di satu
tempat sudah dapat digantikan. Gerakan ini bersifat sementara dan jauh dari tujuan
revolusioner dalam mengubah tatanan sistem yang telah ada, bisa dibilang fenomena ini
membuktikan bahwa budaya populer yang dinamis dan masif di era industri terutama
masifnya pengaruh musik pop asal Korea ini menjadi suatu kondisi yang cukup relevan
bahwa gerakan ini memiliki tempat tersendiri di kelompok remaja generasi sekarang.
Tetap saja meski gerakan ini berhasil mensabotase politisasi Trump terhadap
kebijakannya, namun pendekatan yang dilakukan ini sering kali sebatas hanya
mengkampanyekan dan memuat suatu isu dalam beberapa waktu tak terduga menjadi
topik pembahasan. Sebenarnya pada kasus-kasus lain, remaja sebagai pengakses
mayoritas platform sosial media sudah ramai menggunakan cara ini dalam
menyampaikan aspirasi mereka namun dari sekian banyak itu efektifas gerakan yang di
timbulkan cenderung pasif dan gampang di gantikan dengan isu baru yang secara tidak
langsung memotong alur kampanye pada sosial media.
Kesimpulan
Fenomena ini menjadi bukti bahwa budaya dan industri memiliki keterkaitan
dalam membentuk pola pikir dan gaya hidup yang sesuai dengan ketertarikan ini.
Fungsi budaya menjadi jalan yang lebih mudah untuk di lakukan dalam mencapai
gerakan yang diinginkan serta sebagai medium yang cukup efektif dalam menjangkau
generasi muda tersebut. Meski bersifar tidak terduga dan sukar untuk memprediksi
gerakan berbasis sosial media ini memang sangat membutuhakn peranan dan
momentum yang pas dalam melancarkan keterwakilannya.
Tetapi bukan berarti gerakan ini dapat memberikan solusi untuk mengubah
tatnan sosial dan negara yang ingin dirubah, banyak faktor yang perlu di lihat baik
pendorong maupun momnetum yang pas serta pemetaan polarisasi generasi muda yang
berada pada tahap perkembangan perlu di perlihara dan dilakukan konsolidasi secara
tepat supaya pemanfaataan dan capaian yang diinginkan dapat terwujud sesuai dengan
tujuan dan kepentingan bersama yang disepakati.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies : Teori dan Praktek. Bantul: Kreasi Wacana.
Laksono, Puji, Drajat Tri Kartono, and Argyo Demartoto. 2015. "Subkultu Grunge
(Analisis Kritis Tentang Konstruksi Realitas Sosial dan Kesadaran Kritis Musisi
Grunge di Kota Surabaya)." Jurnal Analisa Sosiologi 17 - 31.
Pertiwi, Cita. 2017. "Subkultur Anak Muda Penggemar Budaya Populer ." Jurnal
Sosiologi FISIP Unair.
Pilian, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Komprehensif
Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra.