Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA

KEPALA RINGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN


RASA AMAN DAN NYAMAN

KARYA TULIS ILMIAH

DISUSUN OLEH:

LILIK WULANDARI
P18029

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2020
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Penyakit Cedera Kepala 

2.1.1. Definisi

Cedera kepala ialah suatu masalah kesehatan global yang dapat

menyebabkan disabilitas, defisit mental dan bahkan kematian. Cedera

kepala jadi masalah bagi masyarakat karena menyebabkan kematian,

dan jadi sebab kematian utama pada usiamuda. Penderita penyakit ini

acap kali merasa edema selebri yaitu pengumpulan cairan

diintraseluler atau ekstraseluler ruang otak secara berlebih di mana

bisa mengakibatkan tekanan intracranial meningkat(Kumar, 2013

dalam Putri dan Fitria, 2018). 

Cedera kepala mencakup trauma kulit kepala, otak serta

tengkorak (Morton, 2012 dalam Amin Hadi, 2013). Trauma kepala

ialah sebuah trauma mengenai struktur kepala hingga bisa

menyebabkan kelainan struktural dan fungsional jaringan

otak (Taqiyyah & Jauhar, 2013). 

 
2.1.2. Klasifikasi

A. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan derajat cedera (Amin

Hadi, 2013) yaitu: 

1. Cedera kepala ringan 

a. GCS 14-15 

b. Bisa menyebabkan hilangnya kesadaran dan amnesia dalam

waktu di bawah 30 menit.

c. Tiada faktur tengkorak

d. Tiada hematoma, kontusia serebral

2. Cedera kepala sedang 

a. GCS 9-13 

b. Amnesia dan hilangnya kesadaran melewati 30 menit namun di

bawah 24 jam

c. Bisa mengalami faktur tengkorak

d. Disertai laserasi, kontusia serebral serta hematoma intrakranial

3. Cedera kepala berat 

a. GCS 3-8 

b. Bisa menyebabkan amnesia dan hilangnya kesadaran melewati

24 jam

c. Disertai laserasi, kontusia serebral serta hematoma intracranial


 

B. Berdasarkan jenis cedera (Amin Hadi, 2013) 

1. Cedera kepala terbuka, bisa menimbulkan leserasi diameter dan

fraktur tulang tengkorak.Trauma ini bisa menerobos jaringan otak

serta tengkorak.

2. Cedera kepala tertutup, bisa serupa dengan pasien yang cedera

serebral secara luas dan gegar otak ringan.

2.1.3. Etiologi

Etiologi cedera kepala meliputi antara lain (Musliha 2010).

1. Cedera akselerasi, dapat terjadi bila kepala yang tidak bergerak dihantam

objek yang bergerak, seperti kepala ditembak oleh peluru yang dipukul.

2. Cedera deselerasi, dapat terjadi bila objek yang diam dibentur oleh

kepala yang bergerak, misalnya perkara kepala terbentur kaca depan

mobil dalam perkara kecelakaan mobil

3. Cedera akselerasi-deselerasi, acap kali ada pada perkara celakanya

kendaraan bermotor serta kekerasan fisik.

4. Cedera coup-countre, bisa timbul bila kepala terbentur hingga

menimbulkan otak bergerak di ruang kranial serta terkena wilayah


tulang tengkorak yang berlawanan dengan kuat. Misalnya bagian

belakang kepala seseorang dipukul.

5. Cedera rotasional, bisa terjadi bila benturan menimbulkan berputarnya

otak pada rongga tengkorak, di mana menyebabkan peregangan dalam

substania alba dan pembuluh darah robek  di mana memfiksasi otak

melalui bagain dalam rongga tengkorak.

2.1.4. Patofisiologi

Fungsi otak dapat berjalan dengan baik jika terpenuhinya

kebutuhan glukosa dan oksigen. Sel-sel saraf menghasilkan energi

nyaris sepenuhnya melalui proses oksidasi. Otak tak memiliki

persediaan okigen, meskipun aliran darah ke otak berkurang sebentar

bisa, bisa menimbulkan gangguan fungsi. Begitupun dengan oksigen

yang dibutuhkan sebagai bahan bakar metabolisme otak tak boleh

kurang dari 20 mg %,karena bisa menyebabkan koma. Glukosa yang

dibutuhkan sejumlah 25% dari semua glukosa yang dibutuhkan tubuh,

jika kadar glukosa plasma menurun hingga 70%, maka bisa timbul

gejala awal mula disfungsi serebral (Musliha, 2010).

Ketika hipoksia dialami otak, tubuh berupaya mengisi oksigen

yang dibutuhkan melalui proses metabolisme anaerob yang bisa


menimbulkan pembuluh darah terdilatasi. Rusaknya otak pada

kontusio berat bisa terjadi asal laktat tertimbun akibat metabolisme

anaerob, dan akan mengakibatkan asidosis metabolik (Musliha,

2010). Ketika keadaan cerebral blood flow (CBF) yaitu 50-60

ml/menit/100gr jaringan otak, dan merupakan 15% dari cardiac

output.Trauma kepala menyebabkan fungsi jantung berubah, tekanan

vaskuler dan udem paru berubah. Berubahnya otonom fungsi ventrikel

ialah peralihan gelombang T dan P serta distrima, takikardia, fibrilasi

atrium dan vebtrikel (Musliha, 2010). 

Keadaan perdarahan otak mengakibatkan tekanan vaskuler

terpengaruh,  tekanan veskuler yang menurun mengakibatkan

pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Saraf simpatik dan

parasimpatik tidak begitu besar mempengaruhi pembuluh darah arteri

dan arteriol otak (Musliha, 2010). Menurut patofisiologi cedera kepala

terbagi jadi dua yaitu primer dan sekunder. Cedera kepala primer yaitu

hasil langsung mekanisme dinamik (acelerasi, decelerasi, rotasi) yang

mengakibatkan jaringan terganggu. Cedera ini bisa mengalami

laserasi, gegar kepala ringan dan memar otak. Sedangkan cedera

kepala sekunder yaitu tampak gejala seperti hipoksia, hipotensi


sistemik, komplikasi pernafasan dan infeksi organ tubuh

lainnya (Musliha, 2010).

2.1.5. Manifestasi Klinis

Menurut Musliha (2010) ciri gejala cedera kepala yaitu:

1. Cedea kepala ringan hingga sedang memiliki tanda disorientasi ringan,

nyeri kepala, amnesia post traumatik, mual dan muntah, amnesia post

traumatik dan pendengeran terganggu.

2. Cedera kepala sedang hingga berat memiliki tanda oedema pulmonal,

hemiparase, terganggunya syaraf kranial dan kejang.

2.1.6. Penatalaksanaan

Stabilisasi kardiopulmoner meliputi prinsip ainway breating-

circulation (ABC). Keadaan anemia, hipotensi dan

hipoksemia akan condong membuat hebat meninggikan TIK serta

prognosis yang dihasilkan amat buruk. Menurut Setyanegara (2010)

dalam Amin Hadi (2013) penatalaksanaan cedera kepala melipiti:

1. Memeriksa secara umum guna menemukan berbagai jenis gangguan atau

cedera pada bagian tubuh lainnya.


2. Memeriksa neurologis meliputi motoril, respon mata, pemeriksaan pupil,

verbal, reflek okuloves tubuker dan reflek okulosefalik. Jika tekanan

darah pasien rendah, maka penilaian neurologisbelum bermanfaat.

3. Amnesia antegrade/pascatrumatik

4. Diberi pengobatan, misalnya anti kejang, ntiedemaserebri dan natrium

bikarbonat

5. Memeriksa diagnostik, diantaranya ialah CT-Scan.

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien cedera kepala menurut Amin

Hadi (2013) ialah:

1. CT-Scan baik dengan kontras ataupun tidak: Menentukan pendarahan,

luasnya lesi, berubahnya jaringan otak dan determinan ventrikuler,

dengan catatan agar adanya infark/iskemik dapat diketahui, tidak

boleh dilekukan pada 24 hingga 72 jam sesudah injuri.

2. MRI, dipakai serupa seperti CT-Scan.

3. Cerebral angiography, anomali sirkulasi cerebralditunjukkan misalnya

jaringan otak sekunder berubah jadi trauma, udema dan perdarahan.

4. Serial EEG, berkembangnya gelombang patologis bisa terlihat.


5. X-Ray, berubahnya struktur tulang, strutur garis dan fragmen tulang

dapat terdeteksi.

2.1.8. Komplikasi

Menurut Satyancgara (2014) komplikasi cidera kepala antara lain:  

1. Higrima subdural, yaitu cairan serebro spinal eInekus yang terkumpul

oleh kansul di bawah duramete.

2. Paeumatokel traumatika, yaitu terkumpulnya udara di

bawah poriosterum yang disebabkan fraktur tulang tengkorak.

3. Higroma epikranial, yaitu keadaan yang diakibatkan robeknya durameter

dan fraktur tengkoral sehingga cairan cerebro spinalmengakir dengan

bebas.

4. Prolaps selebri, disebabkan oleh terbukanya fraktur tulang tengkorang

sehingga korteks selebri dari tengkorak keluar.

5. Otitis-asteomieltis, yaitu infeksi tulang sebagai komplikasi sekunder dari

tulang hidung.

6. Ahses suhhynal-abses otak, yaitu komplikasi lanjut cidera kepala


 

2.2. Konsep Nyeri

2.2.1. Definisi

Nyeri adalah satu diantara bentuk tanggapan tubuh pada

kerusakan jaringan melalui nosiseptor.Penyebab nyeri ialah karena

terjadi edema selebral yang menyebabkan peregangan struktur otak

dan meningkatnya intrakranial. Selain itu nyeri terjadi akibat

terganggunya perfusi jaringan serebral yang mengakibatkan hipoksia

serebral karena perfusi jaringan otak tidak kuat sehingga

menyebabkan metabolisme aerob ke anaerob berubah dan asak lakat

otak meningkat (Tarwoto, 2011). 

2.2.2. Klasifikasi

Nyeri dapat dibedakan jadi nyeri akut dan kronis. Nyeri akut

ialah nyeri yang timbul sesudah cedera akut, penyakit bedah dan

mempunyai awitan yang cepat, dengan tingkatan bervariasi serta

berlangsung singkat. Nyeri akut bisa berhenti dengan sendirinya dan

menghilang sesudah keadaan pulih. Berlangsungnua nyeri akur tidak

mencapai enam bulan. Mayoritas orang merasa nyeri diantaranya


seperti sakit gigi dan kepala. Sedangkan nyeri kronisialah nyeri yang

timbul dengan waktu yang lama(Andarmoyo, 2013).

2.2.3. Penanganan Nyeri

1. Terapi Farmakologi 

Terapi ini terbagi dalam tiga golongan aksi obat, yaitu opioid

agonists, non opioids dan adjuvants(Urden et al.,2010 dalam Nur

Intan 2014).

2. Terapi Non Farmakologi (Komplementer)

Terapi ini sudah terbukti bisa membuat nyeri menurun. Adapun

terapi ini bisa dilaksanakan melalui istraksi, oksigenasi, posisi

head up 30 dearajat dan relaksasi nafas dalam. Satu diantara

intervensi keperawatan yang amat aktif guna mengatasi nyeri

ialah posisi head up 30 derajat.

2.2.4. Alat Ukur Nyeri

Nyeri bisa diukur dengan memakai alat ukur intensitas nyeri.

Adapun alat yang dipakai ialah skala intensitas nyeri. Pery dan Poter

(2007) dalam Solehati dan Kosasih (2015) mengemukakan skala

intensitas nyeri, yaitu:


1. Skala Analog Visual 

Bentuk skala ini ialah garis horizontal dengan panjang 10

cm. Ujung kiri skala menentukan tak adanya nyeri, sedangkan

ujung kanan menunjukkan nyeri yang berat. Guna menilai hasil,

kita bisa meletakkan penggaris pada garis yang taka da nyeri, lalu

diukur dan dicatat dalam ukuran cm. Dalam skala ini, membuat

garis memanjang tanpa ada tanda angka terkecuali angka 0 dan

10. Skala ini bisa digambarkan:

0 = tidak ada nyeri 

1-2 = nyeri ringan 

3-4 = nyeri sedang 

5-6 = nyeri berat 

7-8 = nyeri sangat berat 

9-10 = nyeri buruk sampai tidak tertahankan

• 0 Tidak ada nyeri 

• 10 Nyeri berat 

2. Skala Numerik 

Bentuk skala ini ialah garis horizontal dengan memperlihatkan

angka dari 0- 10, di mana angka 10 memperlihatkan tak ada

nyeri, sedangkan angka 10 memperlihatkan nyeri yang amat


hebat. Skala ini berupa garis panjang ukuran 10 cm dan tiap

panjang 1 cm dikasih tanda. Skala ini bisa digunakan pada pasien

yang nyerinya hebat dan pasien yang baru menjalani operasi.

Pasien menunjukan angka kemudian bisa dipakai untuk

mempelajari efektivitas dari intervensi yang meredakan nyeri.

Skala ini bisa digambarkan:

0 = tidak ada nyeri sedikit nyeri

1-3 = nyeri sedang 

3-7 = nyeri berat 

7-9 = nyeri yang paling hebat 

10 = nyeri yang paling hebat

3. Skala Faces Pain Rating Scale (FPRS) 

FPRS alah skala nyeri ragam gambar kartun dengan enam

susunan nyeri serta dilengkapi angka mulai 0 hingga 5.

Umumnya skala ini dipakai untuk mengukur skala nyeri pada

anak.

Skala ini bisa digambarkan:

0 = tidak menyakitkan 

1 = sedikit sakit 

2 = lebih menyakitkan 
3 = lebih menyakitkan lagi

4 = jauh lebih menyakitkan lagi 

5 = benar- benar menyakitkan 

2.2.5. Nyeri Kepala pada Cedera Kepala

Penyebab nyeri ini ialah post trauma yang mengakibatkan

terjadinya tekanan intrakranial dengan tingginya gejala tekanan darah

sistemik, muntah dan nyeri kepala hebat. Tekanan intrakranial bisa

timbul akibat tertekannya ruang selebral karena volume otak

bertambah melampaui ambang toleransi pada ruang kranium, yang

mana bisa diakibatkan oleh pendarahan serebral dan edema

selebri (wijayasakti, 2009). Nyeri juga bisa disebabkan oleh rusaknya

serabut saraf otak dan meningkatnya tekanan

intrakranial (Wijayasakti, 2009). 

Salah satu sindrom post traumatik pada cedera kepala adalah

nyeri kepala, vertigo, depresi, penurunan konsentrasi, insomnia, mual,


muntah. Nyeri pada cedera kepala jika tidak ditangani akan

mengakibatkan kegiatan pasien terpengaruhi, kebutuhan dasar tidak

tercapai, bahkan bisa mempengaruhi faktor psikologis daintaranya

ialah menghindari kontak dengan yang lain. Nyeri kepala post trauma

bisa mengakibatkan pusing, mual, tidak dapat tidur dan

konsentrasi. Indikator nyeri yang dialami oleh pasien dapat terlihat

dari ungkapan wajah seperti menggeletukkan gigi dan meringis.

Selain itu bahasa tubuh seperti gelisas dan mobilisasi(Andarmoyo,

2013). 

2.2.6 Posisi head UP 30 Derajat

1.Pengertian Head Up 30 Derajat

Posisi head up 30 derajat merupakan posisi untuk menaikkan kepala

dari tempat tidur dengan menggunakan pengganjal dan dengan sudut

sekitar 30 derajat dan posisi tubuh dalam keadaan sejajar (Bahrudin,

2008).Posisi head up ini mrmposisikan kepala seseorang lebih tinggi

30 derajat dari tempat tidur. Posisi head up ini suatu bentuk tindakan

keperawatan yang rutin dilakukan pada pasien,cedera kepala,dengan

cedera kepala ringan.(Sunardi,2011). 


Posisi head up dilakukan selama 30 menit.(Freire 2012)

2.Tujuan Head Up 30 Derajat

Pemberian  posisi head  up 30 derajat pada pasien   mempunyai

manfaat  yang besar  yaitu dapat    memperbaiki kondisi hemodinamik

dengan memfasilitasi peningkatan aliran darah ke  serebral

dan memaksimalkan  oksigenasi jaringan serebral 2,5 

2.3. Konsep Asuhan Keperawatan 

2.3.1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan adalah pengunpulan dan

analisis infornasi secara sistematis dan berkelanjutan mengenai

klien.Pengkajian dimulai dengan mengumpulkan data dan

menempatkan data keformat yang terorganisir.(Roshdal & Mary,

2014).

Pengkajian keperawatan merupakan terkumpulnya data pasien

baik objektif ataupun subjektif pada sistem persarafan yang terganggu

dan berhubungan dengan cedera kepala. Adapun data yang harus

didapatkan yaitu:
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)

a) Umur

b) Alamat 

c) Jenis kelamin

d) Agama

e) Suku bangsa

f) Status perkawinan

g) Golingan darah

h) Penghasilan

Hubungan pasien dengan penanggung jawab(Rendy &&

Margareth, 2012).

2. Riwayat kesehatan

Tingkat kesadaran/ GCS (< 15), konvuls, dispnea, sakit

kepala, muntah, luka bagian kepala, paralise, akumulasi sekret

dalam saluran, adanya liquor dari hidung serta telinga dan kejang

(Rendy & Margareth, 2012).

3. Riwayat penyakit sebelumnya perlu diketahui, baik mencakup sistem

persarafan ataupun yang lainnya. Begitupun dengan riwayat penyakit

keluarga, khususnya penyakit menular (Rendy& Margareth, 20 12). 


4. Riwayat di atas bisa dipelajari dari pasien maupun keluarga sebagai

data subjektif. Data ini amat berarti karena bisa berpengaruh pada

pragnosa pasien (Rendy &Margareth, 2012).

5. Pemeriksaan fisik

a. Aspek neurologis, mempelajari tingkat kesadaran umumnya GCS <

15, disorientasi orang, waktu dan tempat.

b. Nerus cranial, bisa mengalami gangguan jika meluasnya cedera kepala

hingga batang otak karena perdarahan otak mempelajari nervus I, II,

IIL, V, VII, IX, dan XIl (RendyMargareth 2012).

Lebih lanjut, menurut Ulya dkk (2017) pengakajian keperawatan

pada kasus gawat darurat adalah sebagai berikut:

1. Pengkajian primer

a. Jalan nafas (airway)

Penilaian jalan nafas ada tidaknya sumbatan (benda asing, sckret)

Dengarkan suara spontan (whezzing atau krekles).

b. Pernafasan (breathing)

Proses respirasi diperhatikan dan tulis upaya melakukan kecepatan

kedalaman

Ada tidaknya penggunaan otot bantu napas

Lakukan quskultasi suara pernafaasan.


c. Sirkulasi (circulation)

Perdarahan, lihatlah tanda hilangnya darah ekstern dan lansung tekan.

Denyut nadi, ada tidaknya nadi, kualitas, laju dan ritme (takikardia).

Perfusi kulit, gejala yang spesifik (akral dingin, kulit basah, mungkin

menandakanbintik keadaan syok hipovolemik), suhu kulit, sek warna

dan capillary refill

d. Status kesadaran (disability)

Mengkaji tingkat sadarnya pasies dengan

memakai Glasgow Coma Scale: 

GCS 13- 15: Cedera kepala ringan

GCS 9 -12: Cedera kepala sedang

GCS 3 -8: Cedera kepala berat

e. Pemaparan (exposure)

Seluruh pakaian pasien dilepas dengan cepat guna memerika

pendarahan, cedera dan gangguan lainnya.

2. Pengkajian sekunder

a. Full set of vital signs (tanda-tanda vital), pelajari tekanan darah, nadi,

respirasi, subu, dan saturasi oksigen.

b. Five interventions (Lima intervensi)

Memasang monitor jantung
Memasang nasogastric tube atau orogastrik tube (bila ada tanda)

Memasang folley catheter (bila ada tanda)

Pemeriksaan laboratorium 

Pasang oksimetri

c. Give comfort measures (memberikan kenyamanan), berisi

pengkajian nyeri pada pasien (P,Q,R,S,T).

d. History (riwayat pasien)

Subjektif, mengandung keluhan utama yang dirasakan pasien.

Alergi, pelajari bila ada alergi pada makanan atau obat

e). Modikasi, pelajari penggunanaan obat yang sedang maupun

sudah dikonsumsi

f). Riwayat penyakita sebelumnya yang ada hubungannya dengan

sekarang

g). Last meal, mengandunf hasil kajian makanan dan minuman

yang terkakhir dikonsumsi oleh pasien sebelum tiba ke IGD

atau peristiwa.

h) Event leadinf, mengandung kronologi peristiwa, gejala yang

dirasa, penanganan yang dilaksanakan dan lokasi nyeri.

i).  Head-to-toe (pemeriksaan dari kepala-kaki)

j). Kepala (head)


2.Melakukan inspeksi dengan menilai bentuk dan keadaan

yang tidak sama. Terka tengkorak guna

menemukan fragmen tulang yang tertekan, hematoma

laserasi maupunnyeri.

a) Muka (face)

Periksa luka pada wajah adakah cairan yang keluar

dari mata, hidung, telinga dan mulut. Evaluasi pupil

meliputi kesimetrisan, respon cahaya dan fungsi

penglihatan. Periksamulut adakah laserasi, gigi

goyang ataupun benda asing.

b). Leher (neck)

Inspeksi (luka, jejas, ekinosis, distensi pembuluh

darah leher, dan devinsi traken), palpasi (penubahan bentuk,

kerusakan, lebam dan jejas di tulang belakang).

c). Dada (chest)

Inspeksi (kesimetrisan, perubahan bentuk, dan

luka). Palpasi dada (perubahan bentuk udara đi bawah kulit

dan area lebam/ jejas ), auskultasi jantung dan paru-paru.

d). Perut (abdomen)


Periksa adanya memar, massa, atau objek yang

menancap. Palpasi dinding perut (nyeri, kelakukan),

auskultasi perut di semua kuadran.

e). Ekstremitas (extremity)

Periksa keempat tungkai ada tidaknya bentuk yang berubag,

dislokasi ekimosis, dan luka atau pembengkakan. Periksa

sensori motorik dan keadaan neurovaskuler pada tiap

dislokasi dan ekstremitas. Palpasi (jejas, krepitasi

dan suhu tidak normal).

2.3.2. Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan bisa dirumuskan terhadap pasien cedera

kepala ialah sebagai berikut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

1. Nyeri akut mengenai trauma jaringan

2. Tidak efektifnya bersihan jalan mengenai nafas penumpukan sputum

3. Terganggunya perfusi jaringan otak berkenaan dengan udema otal

4. Terbatasnya kegiatan berkenaan dengan turunnya kesadaran

5. Cemasnya keluarga mengenai keadaan pasien yang kritis.

 
2.3.3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah perawatan yang dilaksanakan

perawat atas dasar pengetahuan dan penilaian klinis perawat dalam

meningkatkan outcome pasien. Intervensi keperawatan meliputi

perawatan secara langsung dan tidak langsung yang diarahkan pada

individu, keluarga, masyarakat dan orang yagdirujuk oleh perawat,

dokter ataupun pemberi pelayanan kesehatan (Bullechek dkk

(2015). Bulechek dkk (2015) berpendapat bahwa

itervensi keperawatan untuk pasien cedera kepala yaitu:

1. Nyeri akut berkaitan dengan trauma jaringan

Tujuan: sesudah dilakukan asuhan keperawata selama 1 x 3 jam

diharapkan nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria hasil: melaporkan berkurangnya nyeri secara subjektif,

bisa mempelajari peningkatan atau penurunan nyeri, pasien tidak

gelisah dan skala nyeri 0. 

Intervensi keperawatan:

a. Manajemen nyeri (1400)

Mengkaji karakteristik nyeri

Ajarkan teknik head up 30 derajat

Mengajarkan metode distraksi
Memberi kesempatan waktu istirahat jika nyeri terasa dan berikan posisi

nyaman.

Bekerja sama dengan dokter dalam memberi analgetik

b. Tanda vital (6680)

Memantau tekanan darah, suhu, nadi dan pernafasan

Menentukan sebab dan berubahnya vital sign

2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berkaitan dengan penumpukan

sputum

Tujuan : sesudah dilaksanakan asuhan keperawatan selama 1 x 3

jam, berharap bersihan jalan napas bisa efektif.

Kriteria hasil: bersihnya suara napasm tida ada suara ronchi

dan sianosi tidak ada. Intervensi keperawatan:

a. Bersihan jalan (3140)

Informasikan kepada klien dan keluarga tentang suction

Lakukan suction sesuai persetujuan klien atau keluarga

Monitor status oksigen klien

b. Manajemen pernapasan (3350)

Letakkan klien agar memaksimalkan ventilasi


Auskuktasi suara napas, tulis bila ada tambahan suara

Memantau respirasi dan status O2

c. Terapi oksigen (3320)

Mempertahankan jalan napas yang utuh

Peralatan oksigenasi diatur

Pantau aliran oksigen

Pantau adanya kecesaman pasien pada oksigenasi

3. Terganggunya perfusi jaringan otak berkaitan dengan udema otak.

Tujuan: sesduah dilaksanakan asuhan keperawatan selama 1 x 3

jam, perfusi jaringan otak diharapkan bisa membaik.

Kriteria hasil: tanda-tanda vital stabil, tidak ada

peningkatan intrakranial. 

Intervensi keperawatan:

a. Manajemen sensasi perifer (2660)

Pantau dan tulis neurologis dengan memakai metode GCS

Pantau tanda vital tiap 30 menit

Posisi kepala sejajar dan tak menekan dipertahankan

Menghindari bentuk yang berlebihan, muntah mengedan, konstipasi

yang berkelanjutan dan memeprtahankan pengukuran urin.

Obsservasi kejang dan lindungi pasien


b. Terapi oksigen (3320)

Jalan napas paten dipertahankan

Alat oksigenasi diatur

Pantau aliran oksigen

Memantau adanya kecemasan klien pada oksigenasi

Memberi oksigen sesuai yang dibutuhkan klien

4. Terbatasnya aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran

Tujuan: sesudah melakukan asuhan keperawatan selama 1 x 3

jam, diharapkan kebutuhan dasar klien bisa tercukupi secara

mandiri.

Kriteria hasil: tingkat kemandirian klien meningkat, terjaganya

kebersiham, tercukupinya nutrisi sesuai kebutuhan dan oksigen

memadai.

Intervensi keperawatan:

a. Ambulasi (0221)

Peningkatan mekaniks tubuh

Kaji komitmen pasien untuk belajar dan menggunakan

Memberi penjelasan setiap melaksanakan tindakan pada pasien

Memberi bantuan guna kebutuhan kebersihan dan nutrisi bisa terpenuhi

Ajarkan tirah baring


Jelaskan pada keluarga, tindakan yang bisa dilakukan ketika menjafa

lingungan agar aman dan bersih.

5. Kecemasan keluarga berkaitandengan keadaan kritisklien

Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 3 jam

diharapan kecemasan keluarga bisa berkurang.

Kriteria hasil: ungkapan wajah tidak menandakan kecemasan,

keluarga paham cara berhubungan dengan klien, keluarga

mengetahui tentang keadaan pengobatan dan peningkatan

tindakan.

Intervensi keperawatan:

a. Penununan kecemasan (5820)

Membangun hubungan kepercayaan

Menjelaskan prosedur dan tindakan yang dilakukan pada klien

Memberi kesempatan pada keluar agar mempertahankan hubungan baik

antara keluarga dan klien

Mendorong spiritual keluarga

2.3.4. Implementasi keperawatan

Implementasi ialah inisiatif rencana tindakan agar tujuan spesifik

bisa tercapai. Tahap implementasi diawali sesudah tersusunnya

rencana tindakan dan diarahkan pada rencana strategi agar tujuan yang
diharapkan tercapai. Maka dari itu rencana tindakan yang spesifik

dilaksanakan agar bisa memodifikasi faktor yang berpengaruh pada

masalah kesehatan. Tujuannya ialah untuk membantukk dalam

mencapai tujuan yang sudah ditetapkan, meliputi peningkatan

kesehatan, mencegah penyakit pemulihan dan memfasilitasi

koping (Efendi & makhfudli 009). Implementasi terhadap klien yang

mengalami masalah cedera kepala dilakukan serupa dengan intervensi

ketentuan intervensi perawat.

2.3.5. Evalusi keperawatan

Evaluasi ialah perlakuan intelektuan dalam melengkapi proses

keperawatan yang ditandai seberapa jauh diagnosis keperawatan,

rencana dan impelentasi tindakan yang berhasil dicapai. Tujuannya

ialah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini

dapat dilakukan dengan menciptakan hubungan dengan klien atas

dasar tanggapan klien pada tindakan keperawatan yang diberikan

sehingga perawat bisa mengambil keputusan. Proses evaluasi terdiri

dari dua tahapan, yaitu mengukur capaian tujuan klien dan perubahan

fungsi tubuh serta gejala yang membandingkan data yang terkumpul


dan penapaian tujuan (Efendi & Makhfadli. 2000). Hasil yang di

harapkan:

1. Nyeri berkurang atau hilang

a. Skala nyeri P

b. Pasien menunjukan ekspresi rileks

c. Tanda vital dalam nilai normal

2. Mempertahankan efektifnya bersihan jalan napas, oksigenasi otak dan

ventilasi

a. Tercapai nilai gas darah dan bunyi napas normal saat auskultasi

b. Membersihkan dan membuang sekret

3. Mencapai pembaikan pada perfusi jaringan otak

a. Stabilnya tanda vital

b. Intrakranial tidak meningkat

4. Mencapai kemandirian klien dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien

a. Tingkat kemandirian klien meningkat

b. Terjaganya kebersihan

c. Terpenuhinya nutrisi sesuai kebutuhan

d. Oksigen memadai

5. Anggota keluarga memperlihatkan mekanisme koping yang adaptif


a. Memiliki hubungan dengan kelompok pendukung

b. Membagi perasaan dengan tenaga kesehatan yang tepat

6. Pasien dan anggota keluarga berpartisipasi dalam proses

rehabilitasi sesuai indikasi

a. Berperan aktif dalam menentukan tujuan rehabilitasi dan ikut serta

dalam menunjukkan kegiatan.

b. Mempersiapkan keluarga agar menerima pasien keluar dari rumah

sakit

7. Tidak ada komplikasi

a. Mencapai TIK normal, tanda vital dan suhu tubuh normal

serta meningkatkan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang.

b. Menggambarkan hasrat untuk berespon terhadap tindakan

menurunkan TIK.

Anda mungkin juga menyukai