Anda di halaman 1dari 7

REFLEKSI KASUS

TARDIVE DYSKINESIA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa

RSJ Grhasia

Disusun oleh :

Aisyah Amieni Ardi Putri

20204010132

Pembimbing :

dr. Rina Sugiyanti, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA RSJ GRHASIA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2021
REFLEKSI KASUS KOASS STASE JIWA

Nama : Aisyah Amieni Ardi Putri


NIM : 20160310159
NIPP : 20204010132
Periode Koass : 61
Tempat Stase : RSJ Grhasia
Masa Stase : 22 Februari 2021 – 13 Maret 2021

A. Rangkuman Kasus
Pasien wanita 52 tahun di bangsal Sembodro, pasien telah berada di RSJ sejak 5 Februari
2021. Pada tanggal 5 Februari 2021 pasien di antar oleh suami ke IGD RSJ Grhasia. Selama
di rumah pasien meminum obat secara teratur. Pada alloanamnesis didapatkan kesaksian
keluarga menceritakan bahwa 2 hari SMRS pasien keluyuran dan tidak bisa tidur.Riwayat
penyakit jiwa sebelumnya pasien pertama kali dibawa ke RS Grhasia pada 13 Januari 2019
dengan keluhan keluyuran, sulit tidur,kadang marah-marah tidak jelas, kemudian pasien
dibawa lagi ke RS Grhasia pada 10 Maret 2020 dengan keluhan keluyuran, sering bicara
sendiri. Riwayat penyakit jiwa pasien belum pernah sembuh dan berobat jalan teratur,

Pasien sudah mengkonsumsi obat antipsikotik kurang lebih 2 tahun sejak tahun 2019.
Obat antipsikotik yang dikonsumsi saat 2019 adalah Seroquel XR (kandungan Quetiapine
fumarate) dan clozapine. Obat antipsikotik yang dikonsumsi saat 2020 adalah risperidone dan
clorilex (kandungan clozapine). Kemudian obat antipsikotik yang dikonsumsi saat 2021
adalah Seroquel XR dan clozapine.

Pada saat dilakukan autoanamnesis pada pasien pada tanggal 23 Februari 2021 pasien
mengatakan mendengar bisikan-bisikan yang menyuruhnya keluar rumah ke tengah jalan,
merasa dipanggil Tuhan dan merasa sudah meninggal, pasien juga merasa suaminya sudah
meninggal. Pada saat anamnesis dengan pasien nampak gerakan tangan yang tidak terkontrol
dari pasien. Oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pasien di diagnosis dengan skizofrenia tak
terinci (F20.3) dengan tardive dyskinesia.
B. Perasaan Terhadap Pengalaman
Keluhan gerakan-gerakan involunter yang pasien rasakan adalah suatu hal yang
cukup menarik untuk dikaji bahwa konsumsi obat antipsikotik dapat menimbulkan efek
samping tardive dyskinesia.
C. Evaluasi
 Bagaimana tardive dyskinesia dapat terjadi pada pasien tersebut?
 Bagaimana tatalaksana tardive dyskinesia?
D. Pembahasan
Diskinesia tardif adalah gerakan tidak sadar yang abnormal setelah minimal 3
bulan perawatan antipsikotik pada pasien tanpa penyebab lain yang dapat diidentifikasi.
Sindrom ini terdiri dari gerakan stereotipik berulang berupa gerakan memutar lidah, bibir
mengerut, dan gerakan mengunyah. Otot-otot wajah bagian atas lebih jarang dipengaruhi
oleh gerakan-gerakan involunter. Namun demikian, dapat terlihat peningkatan kedipan
mata, blefarospasme, gerak mengernyit, dan kedutan mata. Keterlibatan tambahan dari
trunkus dan ekstremitas sering terjadi, meskipun bervariasi dalam presentasi dan tingkat
keparahannya. Gerakan tubuh yang bergoyang-bergoyang bersama dengan dorongan
panggul (diskinesia kopulatorik) kadang-kadang dapat ditemukan. Pada bentuk yang
meluas, pasien terlihat menyentak kaki, dan ada fleksi-ekstensi lutu berulang yang tidak
teratur. Saat berdiri di tempat, pasien cenderung untuk menggeser berat badan mereka
dari satu kaki ke kaki yang lain atau berjalan mondar-mandir.
Dopamine receptor blocking agents (DRBAs) yang lebih dikenal sebagai
antipsikotik, adalah obat yang banyak digunakan untuk mengobati gangguan psikotik.
Namun, penggunaan terbatas karena berpotensi menyebabkan reaksi gangguan gerak
yang serius. Golongan obat ini menyebabkan risiko efek samping berupa akatisia,
distonia, parkinsonisme, dan diskinesia tardif, yang dikenal sebagai sindrom
ekstrapiramidal atau extrapyramidal syndrome (EPS). Efek samping lain dari antipsikotik
yang disebut dengan sindrom neuroleptik maligna tidak dibahas dalam tulisan ini meski
juga melibatkan gambaran klinis gangguan gerak. Sindrom tersebut ditandai oleh
rigiditas otot berat, peningkatan suhu badan, dan gejala terkait lainnya (misalnya
diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai
dengan koma, mutisme, dan tekanan darah yang tinggi atau tidak stabil), serta
peningkatan kreatinin fosfokinase serum.
Antipsikotik awal, sekarang disebut sebagai antipsikotik generasi pertama atau
first generation antipsychotics (FGAs) atau antipsikotik tipikal (misalnya
chlorpromazine, haloperidol, dan fluphenazine), menyebabkan efek samping tardive
dyskinesia yang lebih berat dibandingkan antipsikotik baru, yang dikenal sebagai
antipsikotik generasi kedua atau second generation antipsychotics (SGAs) atau
antipsikotik atipikal (misalnya risperidone, olanzapine, dan quetiapine).
Penggunaan jangka lama dari antipsikotik terutama golongan tipikal dapat
menyebabkan salah satu efek samping yaitu tardive dyskinesia . Salah satu
patomekanisme hipotesis etiologi tardive dyskinesia adalah teori Post synaptic D2
Receptor Supersensitivity , blokade reseptor dopamine terutama D2 dalam jangka lama
dapat menyebabkan hipersensitifitas dari reseptor D2 post sinaps sehingga menyebabkan
plastisitas maladaptif dalam transmisi jaras striatokortikal.
Perbedaan tardive dyskinesia, sindrom ektrapiramidal syndrome dan sindrom
neuroleptic maligna akan dijelaskan pada tabel di bawah ini :
Sindrom Sindrom Tardive dyskinesia
Neuroleptik Maligna Ektstrapiramidal

Pengertian Sindrom neuroleptik Gejala atau Diskinesia tardif


maligna (SNM) gangguan susunan adalah gerakan tidak
adalah kegawatan ekstrapiramidalis sadar yang abnormal
neurologis yang dapat berupa setelah minimal 3
gangguan gerak bermacam-macam bulan perawatan
(movement gerakan involunter antipsikotik pada
disorder) yang akut (Parkinsonism, pasien tanpa
berpotensi distonia akut, penyebab lain yang
mengancam nyawa akatisia akut) dapat diidentifikasi.
akibat komplikasi
penggunaan obat-
obatan neuroleptik.
Gejala klinis “Clinical Tetrad Gejala motorik Sindrom ini terdiri
SNM” aitu ekstrapiramidal dari gerakan
Perubahan status (misalnya distonia stereotipik berulang
mental, rigiditas akut dan gejala berupa gerakan
muskuler, parkinsonisme memutar lidah, bibir
hipertermia, seperti bradikinesia mengerut, dan
instabilitas otonom dan tremor) adalah gerakan mengunyah.
efek samping
utama.
Patofisiologi Hipoaktivitas Sensitivitas yang Hipersensitifitas dari
dopaminergic lebih tinggi pada reseptor D2 post
sentral yang pengiriman sinyal sinaps sehingga
diakibatkan oleh dopamin menyebabkan
blokade reseptor selanjutnya. Teori plastisitas
dopamin D2 pada lain juga maladaptif dalam
jalur nigrostriatal, mengaitkan transmisi jaras
tuberoinfundibular, keadaan striatokortikal
dan hipodopaminergik
mesolimbik/kortikal yang menghasilkan
. aktivitas kolinergik
yang lebih tinggi
dan peningkatan
sensitivitas reseptor
muskarinik
asetilkolin

Meskipun gejala tardive dyskinesia sudah lama sekali diketahui, namun


etiologinya masih belum jelas sekali, multifaktor mulai dari polimorfik genetik sampai
jenis obat, dosis dan lama pemberian yang menyebabkan kelainan proses pada transmisi
dopamin terutama pada reseptor D2, meningkatnya aktivitas pada reseptor D2 yang
berakibat meningkatnya rasio aktivitas D1/D2 reseptor, supersensitivitas reseptor
dopamin pasca sinaps akibat blokade kronik, menurunnya aktivitas atau insufisiensi
GABA, dan efek neurotoksik radikal bebas dari metabolisme katekolamin yang pada
akhirnya akan terjadi kerusakan membran sel.
Tatalaksana untuk tardive dyskinesia, pada awalnya dilakukan pencegahan primer
yaitu pencegahan terjadinya ekstrapiramidal syndrome adalah dengan penggunaan obat
anti-psikotik dosis rendah namun efektif dan durasi penggunaan bila memungkinkan
dalam waktu tidak lama. Bila timbul gejala ekstrapiramidal ringan-sedang, turunkan dosis
obat anti-psikotik mencapai dosis minimal namun efektif, dan bila menggunakan obat
anti-psikotik konvensional/tipikal/APG I misalnya haloperidol dapat diganti dengan yang
atipikal/APG II misalnya risperidone, olanzapine, quetiapine, atau clozapine. Hanya
clozapine yang dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan ekstrapiramidal termasuk
tardive dyskinesia. Bila timbul gejala gangguan ekstrapiramidal berat, obat anti-psikotik
segera dihentikan dan diberi terapi untuk menghilangkan efek samping ekstrapiramidal
tersebut.
Bila pemakaian anti-psikotik dari golongan neuroleptik poten dosis tinggi yang
diduga nantinya akan dapat timbul efek samping ekstrapiramidal, banyak juga yang
menyertakan terapi profilaksis dengan bersamaan pemberian antikolinergik seperti
misalnya trihexyphenidyl 4-15 mg/hari atau benztropine 4-6 mg/hari untuk mengurangi
efek asetilkolin yang berlebihan karena penghambatan dopamin. Pemakaian
antikolinergik juga mempunyai efek samping seperti mulut kering, konstipasi, retensi
urin, gangguan memori, atau penglihatan kabur. Juga pemberian lecithin 3-9 gr/hari,
vitamin B6 1.200 mg/hari, vitamin E 400-1.600 IU/hari, branched chain amino acid
(valine, isoleucine, leucine), dan N-acetyl cysteine bermanfaat dalam pencegahan dan
terapi gangguan eksrapiramidal khususnya tardive dyskinesia karena pemakaian obat
golongan neuroleptik.

E. Kesimpulan
Diskinesia tardif adalah gerakan tidak sadar yang abnormal setelah minimal 3
bulan perawatan antipsikotik pada pasien tanpa penyebab lain yang dapat diidentifikasi.
Penggunaan jangka lama dari antipsikotik terutama golongan tipikal dapat
menyebabkan salah satu efek samping yaitu tardive dyskinesia . Beberapa
patomekanisme terjadinya tardive dyskinesia yaitu teori supersensitivitas reseptor
dopamin pasca sinaps akibat blokade kronik, menurunnya aktivitas atau insufisiensi
GABA, dan efek neurotoksik radikal bebas dari metabolisme katekolamin yang pada
akhirnya akan terjadi kerusakan membran sel.
Tatalaksana untuk tardive dyskinesia, pada awalnya dilakukan pencegahan primer
yaitu pencegahan terjadinya ekstrapiramidal syndrome adalah dengan penggunaan obat
anti-psikotik dosis rendah namun efektif dan durasi penggunaan bila memungkinkan
dalam waktu tidak lama. Bila pemakaian anti-psikotik dari golongan neuroleptik poten
dosis tinggi yang diduga nantinya akan dapat timbul efek samping ekstrapiramidal,
banyak juga yang menyertakan terapi profilaksis dengan bersamaan pemberian
antikolinergik seperti misalnya trihexyphenidyl 4-15 mg/hari atau benztropine 4-6
mg/hari untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebihan karena penghambatan
dopamin.

F. Daftar Pustaka
1. Adler L, Angrist B, Peselow E, et al. Clonidine in neuroleptic-induced akathisia. Am J
Psychiatry. 1987; 144:235-236.
2. Abad V, Ovsiew F. Treatment of persistent myoclonic tardive dystonia with verapamil. Br. J
Psychiatry. 1993; 162:554-556.
3. Brasic JR. Tardive dyskinesia. Available from:
http//emedicine.medscape.com/article/1151826-overview#a11, Apr 24, 2017.
4. Chang FCF, Fung VSC. Clinical significance of pharmacogenomics studies in tardive
dyskinesia associated with patiens with psychiatric disorders. Pharmacogenomics and
Personalized Medicine. 2014; 7:317-328.
5. Cloud LJ, Zutshi D, Factor SA. Tardive dyskinesia: therapeutic options for an increasingly
common disorder. Neurotherapeutics. 2014;11:166-176.
6. Diederich NJ, Goetz CG. Drug-induced movement disorders. Neurol Clin. 1998;16:125-139.
7. Gordon JH, Clopton JK, Curtin JC, et al. chronic autoreceptor blockade and neuroleptic-
induced dopamine receptor hypersensitivity. Pharmacol Biochem Behav. 1987;26.2:223-228.
8. Gureje O. The significance of subtyping tardive dyskinesia. A study of prevalence and
associated factors. Psychol Med. 1989;19:121-128.
9. Jimenez-Jimenez FJ, Garcia-Luiz PJ, Molina JA, Drug-induced movement disorders. Drug
Safety. 1997;16(3): 180-204.
10. Mathews M, Gratz S. Antipsychotic-induced movement disorders: Evaluation and Treatment.
Psychiatry. 2005; 3:36-41.
11. Pringsheim T, Doja A, Belanger S, et al. Treatment recommendations for extrapyramidal side
effects associated with second generation anti psychotic use in children and youth. Paediatric
Child Health. 2011;16: 590- 598.
12. Reddy NK, Banji D, Banji O, et al. An overview of tardive dyskinesia. International Journal
of Pharmaceutical Sciences Review and Research. 2010;4:104-114

Anda mungkin juga menyukai