Oleh :
Ulfadiya Putri, S.Ked
G1A219040
i
HALAMAN PENGESAHAN
G1A219040
PEMBIMBING
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Report Session yang berjudul “DYSPNEA et CAUSA ADHF” sebagai
kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Program Profesi Dokter Stase Selektif
Jantung di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. T. Rahadiyan, Sp.JP.(K),FIHA
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Program Studi Profesi Dokter Stase Selektif Jantung di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan guna kesempurnaan laporan CRS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
penulis dan para pembaca.
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
4
BAB 2
LAPORAN KASUS
5
membengkak ketika ia memakan makanan bersantan dan berlemak.
Pasien juga mengeluhkan mudah lelah dan berkeringat dingin. Pasien
mengaku sesak nafas didahului dengan bengkaknya pada kedua kaki
pasien.
Keluhan lainya Nyeri dada (-), Mual (-), Muntah (-), sakit kepala (-),
pasien nyaman jika tidur menggunakan 2-3 bantal. Terbangun pada
malam hari akibat sesak. Batuk (-), BAK dan BAB dalam batas
normal. Riwayat pingsan saat tengah beraktifitas disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15; E4V5M6)
Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
6
HR : 67 x/menit
Nafas : 27 x/menit
Suhu : 36.6°C
SpO2 : 94%
Antropometri
BB : 55 kg
TB : 155 cm
Kulit
Warna : kuning langsat
Hiperpigmentasi : (-)
Pertumbuhan rambut : distribusi merata
Suhu : hangat
Lembab kering : lembab
Keringat : umum
Turgor : baik
Ikterus : (-)
Striae : (+)
Lapisan lemak : Tebal
Thoraks
Paru
7
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,
penggunaan otot bantu pernapasan (+), retraksi (+)
Palpasi :Vokal fremitus kanan menurun pada bagian basal dari kiri,
nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : redup pada basal kanan, kiri sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (+/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICSVI linea midkalvikula sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicula sisnistra,
ukuran 1 cm, reguler, kuat angkat. Thrill (-)
Perkusi :
- Batas atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
- Batas jantung kiri : ICS VI Linea midklavikularis sinistra
- Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, distensi (-), venektasi (-), pulsasi aorta
abdominalis (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), organomegali (-)
Perkusi : timpani 4 kuadran (+)
Ekstremitas :
Superior : akral hangat, CRT < 2s,edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2s, , pitting edem (+), sianosis (-)
2.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (04-03-2021)
Darah Lengkap
RBC : 4, 33 x 109/L (3.5-5.5)
HGB : 13.1 g/dl (11-16)
MCV : 93,8 fL (80-100)
MCH : 30.3 pg (27-34)
8
MCHC : 32,3 g/L (320-360)
HCT : 49,6 % (35-50%)
Kesan : dalam batas normal
Elektrolit
Na : 135,9 mmol/L (135-148)
K : 4,37 mmol/L (3.5-5.3)
Cl : 101,7 mmol/L (98-110)
Kesan : dalam batas normal
Kimia Darah
GDS : 138 (<200)
Kesan : dalam batas normal
Faal Ginjal
Ureum: 154 mg/dL (15-39)
Kreatinin: 2,73 mg/dL (0.55-1.3)
Kesan : GFR : 17.90 (kerusakan ginjal dengan penrunan GFR
berat )
9
EKG
Interpretasi EKG :
Irama : sinus aritmia
Regularitas : irreguler
HR : 74x/menit
Axis : LAD
Gel. P : 0,08s
PR interval : 0,28s
Komplek QRS: 0,10s
ST segmen : normal
Gel. T : normal
Kesimpulan : Sinus aritmia, LAD, AV Block derajat I
10
Rontgen Thoraks
Interpretasi :
Trakea : di tengah
Cor :
Batas jantung
Kiri : arkus aorta tampak di kiri jantung (ICS II LPS)
Kanan : RA tampak di linea midklavikula dextra
Pinggang jantung : tidak menonjol
CTR >50 %
Paru : . Infiltrat di perihiler kanan dan parakardial kanan. Kedua sinus
kostofrenicus lancip.
Kesan : Kardiomegali LVH . Infiltrat di perihiler kanan kiri dan
parakardial kanan DD/ bronkopneumonia
11
Echocardiography
Kesimpulan:
12
2.5. Tatalaksana
Non Farmakologi :
• Tirah baring
• Pemasangan Kateter
• Edukasi mengenai penyakit pasien, ketaatan minum obat, tatalaksana dan
kemungkinan resiko selama dirawat di rumah sakit
• Edukasi tentang keadaan pasien kepada keluarga
Farmakologi :
Terapi di IGD
- O2 nasal canul 2 – 4 L/mnt
- IVFD RL 500 mL/hari
- Inj. Furosemid 1 x 10 mg (IV)
- Drip Furosemid 2 mg/jam (IV)
- Inj. Ranitidin 2x50 mg (IV)
2.6. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Follow up
13
Tanggal Follow Up
04 Maret 2021 S Sesak (+) kaki bengkak (+), nyeri dada (-)
O Status Generalisata :
TD: 100/60 mmHg; HR:78 x/i; RR: 26 x/i; T: 36,6oc , SpO2 : 94%
Pemeriksaan fisik
Kepala : konjungtiva anemis (-/-), edema palebra (-/-)
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Jantung : BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Paru : vesikular menurun, Ronki (-/-)
Abdomen : Distensi (-)
Ekstremitas inferior : edema (+/+)
A DYSPNEA et CAUSA ADHF + AKI
• IVFD RL 10 gtt/i
• Drip Lasix 2 mg/jam (IV)
P • Inj. Ranitidin 2x50 mg (IV)
• Drip. Dobutamin 5mg/kgBB/jam
• Inj. Novorapid (SC)
• PO. Clopidogrel 1x75 mg
05 Maret 2021 S Sesak (+), Kaki bengkak (-), nyeri dada (-)
O Status Generalisata :
TD: 90/70 mmHg; HR:62 x/i; RR: 25 x/i; T: 36,6oc , SpO2 : 96%
Pemeriksaan fisik
Kepala : konjungtiva anemis (-/-), edema palebra (-/-)
Leher : JVP 5+2 cmH2O
Jantung : BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Paru : vesikular (+/+), Ronki (-/-)
Abdomen : Distensi (-)
Ekstremitas inferior : edema (-/-)
EKG :
A
• IVFD NACL
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Acute decompensated heart failure (ADHF) didefenisikan sebagai
perubahan gejala dan tanda gagal jantung yang realatif cepat dan membutuhkan
terapi darurat. Gejala dapat timbul dalam jangka waktu yang singkat (jam, hari
atau minggu), dan terkadang disertai serangan pencetus (contoh, selama infark
miokard, infark miokard akut, atrial fibrilasi, atau mitral regurgitasi mendadak
akibat ruptur muskulus papilaris atau korda tendinae) ataupun pencetus
nonspesifik lainnya (diet atau kepatuhan obat).4
2.2 Epidemiologi
ADHF menyumbang sekitar 700,000 angka kunjungan IGD dan lebih dari
1 juta angka rawat inap per tahunnya. ADHF merupakan penyebab utama rawat
inap pada pasien yang berusia diatas 65 tahun dan populasi yang akan berumuh 65
tahun dalam 20 tahun kedepan.5
Pada sebuah penelitian berbasis komunitas, insidensi ADHF adalah 11.6
kasus per 1000 pasien/tahun pada pasien yang berusia diatas 55 tahun.6 Selain itu,
angka tersebut juga berdampak pada status ekonomi, dimana total pengeluaran
untuk pengobatan mencapai 30 miliar dolar per tahun.2
2.3 Faktor Pencetus
Pasien dengan gagal jantung rentan untuk masuk kembali kerumah sakit.
Kebanyakan pasien masuk akibat gagal jantung tekait penyakit jantung lainnya.
Beberapa faktor pencetus ADHF tercantum pada tabel 2.1.1,7
Tabel 2.1 Faktor pencetus ADHF
16
Kardiomiopati peripartum
2.4 Patofisiologi
Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan
neurohormonal yang buruk dan mungkin diakibatkan atau sebagai akibat dari jejas
pada miokard dan atau ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan
karena iskemia, hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya
(seperti insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan. Beberapa
mekanisme pathogenesis gagal jantung akut diantaranya adalah:2,3
A. Aktivasi Neurohormonal
Tujuan utama dari sistem sirkulasi adalah untuk mempertahankan perfusi
organ vital dengan cara menjaga tekanan arterial dan volume darah sirkulasi.
Hingga saat ini telah diketahui beberapa mekanisme yang menjaga perfusi organ,
yaitu RAA sistem, SNS dan ptiuitary release of vasopressin (hormon antidiuretik).
Walaupun peningkatan regulasi akut pada sistem ini efektif dalam memulihkan
volume darah sirkulasi dan tekanan perfusi dalam jangka waktu pendek, aktivasi
kronik menyebabkan overload garam dan cairan begitu juga dengan fibrosis
jantung serta remodelling.
Saat tekanan perfusi menurun, sel juxtaglomerular pada nefron
mengeluarkan renin ke sirkulasi. Renin mengkonversi angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang kemudian dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin
Converting Enzyme. Angiotensin II memiliki beberapa efek penurunan, meliputi:
17
1. Peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik melalui vasokonstriksi.
2. Ekspansi volume dengan meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus
proksimal.
3.Stimulasi pengeluaran aldosteron adrenal.
4. Aktivasi SNS.
Pengeluaran aldosteron dari kelenjar adrenal menyebabkan resorpsi
natrium tambahan di tubulus distal dan dukts kolektivus, ekspansi volume dan
akhirnya menyebabkan fibrosis miokardum. Sehingga, aktivasi RAA sistem
memiliki peran penting dalam menimbulkan gagal jantung melalui retensi cairan
dan vasokonstriksi. Selain itu juga berkontribusi dalam remodeling ventrikel
kronik.
Pengurangan tekanan perfusi juga mengaktifkan SNS, dengan cara supresi
refleks baroreseptor kardioinhibitor dan augmentasi refleks eksitasi. Aktivasi SNS
menyebabkan peningkatan kardiak output melalui peningkatan kontraktilitas
miokard dan denyut jantung, sementara itu juga meningkatkan tekanan darah
melalui vasokonstriksi yang dimediasi norepinefrin. Sebagai tambahan,
peningkatan aktivitas simpatik menyebabkan pengeluaran renin dari ginjal dan
mencetus RAA system.
Terakhir, antidiuretic hormone (ADH) yang dilepaskan oleh kelenjar
pituitary posterior sebagai respon dari mekanisme osmotik dan nonosmotik.
Angiotensin II mencetus pelepasan ADH, disertai penurunan teknan perfusi. ADH
mengaugmentasi absorbsi air bebas di ginjal melalui peningkatan regulasi
aquaporin, stimulasi pusat haus di otak yang menyebabkan peningkatan intake
cairan, dan terjadi peningkatan tahanan vaskular melalui vasokonstriksi. Akhirnya
menyebabkan overload cairan, gangguan hemodinamik, dan perburukan gejala
gagal jantung akut.
B. Kongesti
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti
pulmonal dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun merupakan
presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung akut. Kongesti paru
dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena pulmonalis (peningkatan tekanan baji
kapiler paru/ pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)) dan akan berakibat
18
edema interstisial dan alveolar paru. Kongesti sistemik bermanifestasi secara
klinis dengan distensi vena jugularis dengan atau tanpa edema perifer dan
peningkatan berat badan secara gradual sering ditemukan. Biasanya, kongesti paru
berat yang terjadi secara mendadak dipresipitasi oleh peningkatan tekanan darah
(afterload), terutama pada pasien dengan disfungsi diastolik. Gangguan ginjal,
abmormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial, gangguan diet dan
beberapa obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS) juga
berkontribusi terhadap kelebihan cairan.
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi, akan
berkontribusi terhadap progresifitas dari gagal jantunglebih lanjut dengan aktivasi
neurohormonal, iskemia subendokardial dan/ atau perubahan ukuran dan bentuk
dari ventrikel kiri (remodelling) yang pada akhirnya berakibat pada insufisiensi
katup mitral. Peningkatan tekanan vena sistemik (tekanan atrium kanan bagian
atas), lebih sering disebabkan karena tekanan jantung kiri yang tinggi/ pulmonary
capillary wedge pressure (PCWP), yang akan berkontribusi pada terjadinya
sindroma kardio renal (SKR).
Berat badan biasa digunakan sebagai penanda adanya kongesti pada
scenario pasien gagal jantung yang dirawat inap maupun rawat jalan.
Bagaimanapun, beberapa penelitian menyimpulkan hubungan yang kompleks
antara berat badan, kongesti dan keluaran pasien dengan gagal jantung.
C. Cedera miokard
Pelepasan troponin sering terjadi pada kondisi gagal jantung akut,
terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Hal ini nampaknya
merefleksikan adanya cedera miokard, yang berhubungan dengan abnormalitas
hemodinamik dan / atau neurohormonal atau sebagai akibat dari kejadian iskemia.
Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat tingginya tekanan diastolik ventrikel kiri,
yang kemudian akan mengaktivasi stimulasi neurohormonal dan inotropik
sehingga berakibat kepada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
D. Gangguan ginjal
19
Pada gagal jantung akut, abnormalitas ginjal akan menyebabkan retensi
natrium dan air. Gangguan struktural ginjal akibat hipertensi, diabetes dan
arteriosklerosis merupakan penyebab yang sering ditemukan, dan perburukan
fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang dirawat dengan gagal
jantung akut. Dari penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan
fungsi ginjal segera setelah pasien dipulangkan. Perburukan selama perawatan
atau setelah pasien pulang mungkin diakibatkan karena penurunan curah jantung
dan peningkatan tekanan vena, yang diperparah dengan pemberian diuretik dosis
tinggi.
E. Efek tidak langsung obat
Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama untuk meringankan
gejala kongestif. Bagaimanapun, efek menguntungkan tersebut behubungan
dengan abnormalitas elektrolit, aktivasi neurohormonal yang lebih lanjut dan
perburukan fungsi ginjal. Pemberian loop diuretik intravena dengan dosis besar
berhubungan dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan gagal jantung.
Namun, hal ini mungkin suatu penanda dari keparahan dari gagal jantung itu
sendiri, dibandingkan dianggap sebagao penyebab peningkatan mortalitas.
Dobutamin, milrinon dan levosimendan akan meningkatkan profil hemodinamik,
namun efek ini berhubungan dengan peningkatan tingkat konsumsi oksigen
miokard (takikardia dan peningkatan kontraktilitas) dan hipotensi yang
berhubungan dengan efek vasodilatasi. Penurunan perfusi koroner yang
berhubungan dengan hipotensi dalam kondisi peningkatan kebutuhan akibat akan
mengakibatkan cedera miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung
koroner (PJK) yang sering memiliki miokardium yang mengalami hibernasi atau
iskemik. Hipotensi yang berhubungan dengan penggunaan vasodilator mungkin
juga mengakibatkan hipoperfusi miokardium dan ginjal dan kemungkinan dapat
mengakibatkan cedera.
20
2.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Sindroma klinis pada pasien ADHF memiliki rentang dari yang
mengalami overload volume sedang hingga yang mengalami syok kardiogenik.
Mayoritas pasien akan mengalami kongesti, namun sisanya akan mengalami
kardiak output yang rendah dan hipoperfusi dengan atau tanpa kongesti.
Gejala ADHF umumnya menyerupai gejala gagal jantung seperti dyspneu,
orthopneu, paroxysmal dyspneu, dan batuk malam.(Tabel 2.2) merangkum tanda
dan gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan ADHF.
Berdasarkan gejala, pasien dapat diklasifikasikan sebagai “wet” (kongesti)
dan “cold” (output rendah). Klasifikasi ini tampak pada (Gambar 2.1). Klasifikasi
ini dapat menentukan mortalitas dalam 6 bulan, dimana pada profil A (paling
ringan) memiliki mortalitas 11%, dan profil C (paling berat) memiliki mortalitas
40%).8,9
21
Tabel 2.2 Gejala dan Tanda Gagal Jantung Akut
Tanda Gejala
Kongesti pulmoner atau sistemik “wet”
Peningkatan berat badan Dyspnea saat aktivitas
Takipneu Dyspnea saat istirahat
Distensi vena jugular Orthopnea
Rales Paroxysmal nocturnal dyspnea
Gallop S3 / S4 Batuk
Reflux hepatojugular Distensi abdomen
Hepatomegali/ Splenomegali Kembung
Edem perifer Edema tungkai
Ascites
Edema anasarka
Saturasi oksigen rendah
Edema papru / efusi pleura pada
rontgen thoraks
Peningkatan BNP atau NT-proBNP
Kardiak output rendah “cold”
Hipotensi Mudah lelah
Denyut nadi lemah Penurunan urin output
Takikardia Pingsan
Gangguan status mental Mual/muntah
Akral dingin
Fungsi ginjal memburuk
Nonspesifik
Hiponatremi Anerxia
Cachexia (muscle wasting)
Sumber: Teerlink J, et al. 2014
22
Pasien dengan gagal jantung akut tidak terlepas dari adanya komorbid.
Bahkan lebih dari setengah populasi gagal jantung memiliki lebih dari 2 penyakit
komorbid kronik. Penyakit komorbid ini dapat berkontribusi dan memainkan
peran pada etiopathogenesis timbulnya perburukan akut pada gagal jantung.7
23
tinggi peningkatan kadar troponin berhubungan dengan prognosis yang semakin
buruk.10
Pemeriksaan EKG dapat membantu untuk mengidentifikasi kemungkinan
faktor pencetus pada gagal jantung akut. Beberapa kelainan yang dapat ditemukan
berupa aritmia, sindrom koroner akut berupa infark miokard dengan peningkatan
segmen ST maupun tanpa peningkatan segmen ST. Namun, ekg pada gagal
jantung akut jarang normal.10
Beberapa guideline tidak merekomendasikan pemeriksaan
echocardiografi. Namun, tindakan tersebut dapat dipertimbangkan pada pasien
gagal jantung akut dengan syok kardiogenik ataupun terdapat kecurigaan pada
kelainan struktural jantung.10
Pemeriksaan rontgen thoraks dapat membantu untuk menilai adanya
edema paru interstitial. Selain itu, pemeriksaan tersebut juga dapat menyingkirkan
penyebab dyspneu non kardiak (pneumothoraks, pneumonia).10
2.6 Tatalaksana
Tujuan umum pada penatalaksanaan ADHF meliputi: mengidentifikasi
faktor-faktor pencetus, menghilangkan gejala, memperbaiki outcome jangka
pendek dan jangka panjang secara langsung, dan memulai serta mengoptimalkan
terapi jangka panjang.11
Selain itu, terdapat beberapa rekomendasi tatalaksana, baik yang sesuai
dengan algoritma (Gambar 2.2) ataupun sesuai dengan profil klasifikasi dari gagal
jantung akut (Tabel 2.3)11,12
24
Tabel 2.3 Terapi berdasarkan klasifikasi
25
2.6.1 Tatalaksana Gagal Jantung selama Dekompensasi Akut
Selama episode ADHF, Jika inisiasi atau peningkatan dosis betablocker adalah
penyebab dekompensasi dan pasien tidak mengalami syok kardiogenik,
penatalaksanaannya cukup dengan meningkatkan dosis diuretik serta menghentikan beta-
blocker. Penghentian sementara angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor /
angiotensin receptor blocker (ARB) atau beta-blocker kemungkinan diperlukan dalam
keadaan syok kardiogenik atau hipotensi simptomatik. ACE-I / ARB dan
Mineralcorticoid receptor antagonist (MRA) juga mungkin perlu dihentikan sementara
8
karena disfungsi ginjal, terutama jika terdapat oliguria dan / atau hiperkalemia.
Memulai terapi beta-blocker selama ADHF dikontraindikasikan karena efek
inotropik negatif akut. Namun, ketika pasien euvolemik, aman untuk memulai pemberian
dosis rendah sebelum memulangkan pasien dan pasien dilaporkan mengalami outcome
yang baik pada pasien yang telah mulai mendapat beta-blocker sebelum dipulangkan.
Data observasional juga menunjukkan bahwa pasien yang dipulangkan tanpa diberikan
beta-blocker memiliki prognosis terburuk.8
Penghentian digoxin umumnya tidak dianjurkan karena adanya hubungan antara
penghentian pemberian terapi dengan perburukan kondisi HF, Kecuali jika risiko
toksisitas melebihi manfaatnya. Penting untuk tidak menghentikan digoxin pada pasien
HF yang stabil dan mentoleransi digoxin, terutama mereka yang sering dirawat di rumah
sakit.8
26
torsemide, adalah diuretik pilihan pertama dalam ADHF. Meskipun dosis yang lebih
tinggi menghasilkan efek diuresis yang lebih besar dan meredakan dispnea dengan lebih
cepat, efek ini tidak berhubungan dengan peningkatan outcome jangka panjang dan harus
dipertimbangkan terhadap risiko perburukan fungsi ginjal. Peningkatan mortalitas telah
dikaitkan dengan terapi loop diuretik dosis tinggi. Namun, belum jelas apakah peran
prognostik diuretik dosis tinggi mencerminkan peningkatan keparahan HF atau
dikarenakan progresiHF.8
Tabel 2.4 Dosis Diuretik
27
Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi mengurangi tekanan arteri pulmonalis dan meningkatkan diuresis.
Komplikasi ultrafiltrasi meliputi komplikasi yang berkaitan dengan akses vena sentral
dan deplesi intravaskular.8
Penelitian Ultrafiltrasi versus Diuretik Intravena untuk Pasien yang dirawat di
Rumah Sakit untuk ADHF (UNLOAD) menunjukkan penurunan berat badan yang lebih
besar secara signifikan pada 48 jam dan kehilangan cairan total dengan ultrafiltrasi
dibandingkan dengan diuretik intravena pada pasien ADHF, tetapi tidak ada perbedaan
signifikan pada meredanya dispnea dalam 72 jam. Pengurangan nyata dalam kunjungan
IGD terkait-HF telah dilaporkan. Baru-baru ini, The CARdiorenal REScue Study
(CARRESS)pada ADHF menunjukkan terapi ultrafiltrasi menyebabkan peningkatan
kreatinin serum (p = 0,003). Selain itu pada UNLOAD Trial, kelompok terapi ultrafiltrasi
lebih banyak mengalami efek samping yang serius. Oleh karena itu, peran ultrafiltrasi
pada pasien dengan ADHF perlu diklarifikasi melalui uji klinis tambahan. 8
Vasodilator
Vasodilator intravena sering memberikan perbaikan gejala yang cepat,
terutama pada pasien dengan edema paru akut atau hipertensi berat. Terapi
semacam itu juga dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak merespon
pengobatan diuretik yang agresif. Vasodilator harus dihindari pada pasien dengan
tekanan pengisian yang berkurang atau hipotensi simptomatik. Meskipun
vasodilator meningkatkan parameter hemodinamik dan dapat meringankan
kongesti, masih sedikit bukti mengenai peningkatan outcome. Tiga vasodilator
intravena yang tersedia dirangkum dalam Tabel 2.5.8
Nitrogliserin menunjukkan venodilatasi pada dosis rendah dan vasodilatasi arteri
ringan pada dosis yang lebih tinggi; dengan demikian, itu adalah agen yang disukai untuk
mengurangi preload. Pada dosis yang lebih tinggi, nitrogliserin adalah vasodilator
koroner yang kuat dan agen yang optimal untuk pasien dengan iskemia miokard aktif.
Tanpa penerapan interval bebas nitrat, toleransi terhadap efek hemodinamik dari
nitrogliserin umumnya muncul. Hipotensi dapat terjadi akibat diuresis cepat disertai
penurunan volume. Penggunaan inhibitor phosphodiesterase-5 secara bersamaan (mis.,
Sildenafil) dikontraindikasikan karena risiko hipotensi berat. 8
Nitroprusside adalah vasodilator arteri dan vena yang seimbang yang
menghasilkan peningkatan curah jantung dan penurunan tekanan pengisian (mirip dengan
28
dobutamin dan milrinon), tetapi dengan pengurangan yang lebih besar pada tekanan arteri
paru, resistensi vaskular sistemik, dan tekanan darah. Meskipun nitroprusside memiliki
waktu paruh pendek, hipotensi berat dapat terjadi. Dengan demikian, obat ini digunakan
terutama pada pasien dengan resistensi vaskular sistemik yang tinggi dan yang sering
membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif. Kerugian utama nitroprusside di luar
hipotensi dan takifilaksis meliputi risiko akumulasi sianida dan tiosianat serta toksisitas,
yang sangat jarang terjadi tanpa adanya pemberian jangka panjang atau dosis tinggi. Pada
pasien dengan gangguan hati atau ginjal yang substansial, agen ini harus dihindari atau
dosis dan durasi terapi harus diminimalkan.8
29
lebih dari 25% penurunan pada laju filtrasi glomerulus), gejala dispnea yang
dilaporkan dan angka rawat ulang dalam 30-hari serta mortalitas tidak membaik
pada pasien yang menerima nesiritide dibandingkan dengan plasebo. Mengingat
tingginya harga nesiritide dan keterbatasan manfaat yang dicatat dalam uji coba
ASCEND-HF, penggunaan agen ini harus dibatasi pada pasien tertentu.8
2.6.3 Tatalaksana Hipoperfusi untuk Meningkatkan Output yang Rendah
Terlepas dari status cairan, curah jantung yang rendah menimbulkan tanda dan
gejala hipoperfusi perifer (yaitu, penurunan output urin, kelemahan, vasokonstriksi
perifer, denyut nadi lemah). Inotrop dapat diberikanpada pasien dengan tekanan darah
sistolik rendah dalam keadaan tekanan pengisian yang adekuat atau pada pasien dengan
kongesti dan output rendah yang tidak merespon terapi diuretik. Pasien dengan gagal
jantung dengan fraksi ejeksi yang baik tidak mendapat manfaat dari terapi inotrop. Dua
agen inotropik positif yang sering digunakan adalah dobutamin dan milrinon (Tabel 2.6).
Dopamin dapat bermanfaat pada pasien tertentu. Karena agen ini belum terbukti
meningkatkan outcome, mereka harus digunakan dalam jangka pendek untuk membantu
diuresis dan meningkatkan perfusi organ begitu juga pada penggunaan jangka panjang
sebagai jembatan untuk transplantasi jantung atau untuk pengobatan paliatif gejala pada
pasien stadium akhir. Tabel 2.6 menjelaskan perbedaan terapi inotropik yang tersedia. 8
Tabel 2.6 Dosis inotropik positif
30
Dobutamin
Dobutamine, agonis reseptor β1- dan β2 sintetis, adalah inotrop dengan
efek vasodilatasi pada dosis yang lebih tinggi. Dobutamine harus dipertimbangkan
pada pasien dengan tekanan darah rendah (borderline)jika penurunan signifikan
pada tekanan arteri rata-rata dapat mengganggu fungsi hemodinamik. Efek
hemodinamik dari dobutamin melemah pada pasien yang menerima betablocker
nonselektif. Namun, efek hemodinamik dapat bertahan dengan keberadaan agen
selektif beta-1 sebagai hasil dari peningkatan regulasi betareceptor atau aktivasi
selektif reseptor beta-2. Dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan jika
betablocker dilanjutkan. Efek buruk dobutamine meliputi takikardia, takikaritmia,
iskemia miokard. Selain itu, kelangsungan hidup jangka pendek berkurang pada
pasien ADHF yang diobati dengan inotrop.8
Milrinone
Milrinone adalah inhibitor fosfodiesterase-III yang menghambat degradasi
adenosin monofosfat siklik. Ini adalah inotrop dengan efek vasodilatasi sistemik dan
paru. Mengingat sifat vasodilatorinya, milrinone harus diberikan secara hati-hati pada
pasien dengan hipotensi. Meskipun ada peningkatan indeks jantung, tekanan arteri rata-
rata sering tetap konstan karena penurunan resistensi arteriol secara bersamaan. Namun,
efek vasodilatasi milrinone mungkin lebih besar daripada kenaikan indeks jantung, yang
menyebabkan penurunan tekanan darah dan refleks takikardia. Milrinone juga akan
mengurangi tekanan paru-paru.8
Milrinone adalah obat pilihan pada pasien yang menerima terapi beta-blocker
kronis karena efek inotropiknya tidak melibatkan stimulasi reseptor beta. Terapi beta-
blocker yang berkelanjutan bahkan dapat menambah efek hemodinamik dari milrinone,
sebuah fenomena yang diamati dalam studi-studi agen dengan struktur yang serupa.
Meskipun, milrinone secara teoritis berhubungan dengan kurang takikardia dan aritmia, ia
memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih lama (satu jam jika fungsi ginjal normal, tiga
jam jika disfungsi ginjal). Milrinone juga telah dikaitkan dengan hipotensi, aritmia
ventrikel dan atrium, iskemia miokard dan penurunan kelangsungan hidup. 8
31
respons kardiovaskular selama kehamilan yang meliputi peningkatan kompliens
arteri, curah jantung, dan aliran darah ginjal. Recombinant Human Relaxin-2 for
Treatment of Acute Heart Failure (RELAX-AHF) melakukan penelitian acak
pada 1.160 pasien dengan ADHF menggunakan serelaxin atau plasebo.
Pengobatan serelaxin menghasilkan peningkatan signifikan pada perbaikan gejala
dispnea dalam 5 hari. Meskipun tidak ada perbedaan signifikan dalam dispnea 24
jam, lama rawat inap rumah sakit berkurang secara signifikan. Tidak ada efek
pada kematian kardiovaskular atau HF / gagal ginjal dalam rawat inap hingga 60
hari. Namun, serelaxin secara signifikan mengurangi kematian dalam 180 hari
(HR 0,63, 95% CI 0,42-0,93; p = 0,019). Serelaxin secara signifikan meperbaiki
tanda dan gejala HF, dan marker darikongesti dan kerusakan organ akhir.8
Berbagai antagonis neurohormonal baru telah diteliti untuk ADHF. Direct renin
inhibitororal, aliskiren baru-baru ini menunjukkan tidak ada efek menguntungkan dalam
mengurangi kematian kardiovaskular atau rawat inap HF, tetapi obat tersebut
meningkatkan efek samping.8
Berbagai pendekatan baru untuk meningkatkan kinerja jantung juga
sedang diteliti. Omecamtiv mecarbil adalah aktivator molekul kecil spesifik
jantung dari myosin yang telah terbukti meningkatkan kinerja jantung pada
sukarelawan sehat, serta pada pasien dengan gagal jantung kronis.8
32
Kardioversi disarankan pada pasien dengan aritmia terkait ketidak stabilan
hemodinamik. Pada pasien dengan atrial fibrilasi rapid ventricular response,
pemberian digoxin bolus intravena (0,25-0,2 mg) atau dosis lebih rendah (0.0625-
0.125 mg) jika pasien mengalami gagal ginjal.
Penyebab mekanik akut
Kelainan ini meliputi komplikasi dari SKA (ruptur free wall atau ruptur septum
ventrikel), trauma thoraks, endokarditis, intervensi kardiak, diseksi aorta ataupun
obstruksi akibat tumr. Tindakan echocardiografi segera adalah hal yang sangat
penting untuk menegakkan diagnosa. Setelah diagnosa didapat, dilakukan
tindakan pembedahan ataupun revaskularisasi.
Emboli paru
Emboli paru harus dipertibangkan sebagai salah satu pencetus ADHF karena
kemungkinan hiperkoagulasi. CT scan thoraks merupakan standar baku emas
penegakkan diagnosanya. Jika terbukti terdapat emboli paru, reperfusi
menggunakan thrombolisis disarankan.
Konseling Pasien
Edukasi pasien sangat penting dan harus melibatkan berbagai disiplin ilmu,
meliputi ahli gizi, apoteker, dan penyedia layanan kesehatan lainnya. Pengajaran harus
berfokus pada identifikasi tanda-tanda dan gejala perburukan HF, pemantauan berat
badan setiap hari, dan kepatuhan penggunaan obat-obatan serta diet. Edukasikan pasien
hanya pada topik-topik penting dan perkuat serta lengkapi edukasisaat pasien menjalani
rawat jalan. Instruksi pemulangan harus diberikan secara lisan dan tertulis. Pasien dan
pengasuh harus dilibatkan dalam mendiskusikan prognosis penyakit dan kualitas
33
hidup.Follow-up ketat direkomendasikan melalui telepon dalam waktu 72 jam
pada pasien tertentu dan jadwalkan kontrol ulang dalam 7-10 hari.8
34
BAB IV
ANALISA KASUS
Dari hasil anamnesis pada kasus ini diketahui bahwa pasien Tn. A,
Perempuan, usia 76 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan
memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak napas dirasakan pasien bahkan saat sedang
beristirahat dan bertambah berat dengan beraktivitas. Pasien terbangun pada
malam hari karena sesak. Dan pasien mengeluhkan kakinya yang membengkak.
Didapatkan pada pemeriksaan fisik iktus kordis terletak pada ICS VI, dan batas
jantung Kiri terletak pada ICS VI Midclavicula, dan terdapat kardiomegali. Pada
pemeriksaan penunjang berupa EKG didapatkan bukti Sinus aritmia, LAD, AV
Block derajat I Sehingga dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang dapat disimpulkan pasien didagnosa DYSPNEA et CAUSA ADHF +
AKI
Pada terapi awal pasien diberikan terapi gagal jantung akut berupa
oksigen, serta diberikan diuretik yaitu furosemid untuk mengeluarkan cairan yang
menumpuk pada paru-paru pasien, hal ini menyebabkan keluhan sesak pada
pasien berkurang dan terapi dinyatakan telah berhasil.
35
BAB V
KESIMPULAN
36
DAFTAR PUSTAKA
37
14. Brinkley, D. M., & Gelfand, E. V. Valvular Heart Disease: Classic
Teaching and Emerging Paradigms. The American Journal of Medicine;
2013.
15. Falk, V., Baumgartner, H., Bax, J. J., De Bonis. ESC/EACTS Guidelines
for the management of valvular heart disease. European Journal of Cardio-
Thoracic Surgery; 2017.
38