Anda di halaman 1dari 6

BAB IV ANALISIS

4.1 Analisis Terhadap Kandungan Informasi Geospasial Dasar (Kelautan)


Bagian berikut akan menjelaskan tentang analisis penyelenggaraan Informasi Geospasial
Dasar Kelautan yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

4.1.1 Analisis Terhadap Jaring Kontrol Geodesi

Sebenarnya dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar bidang Kelautan, sangat


diperlukan adanya penyebaran stasiun pasut (pasang surut laut) yang memadai, terutama
dalam negara kepulauan seperti Indonesia ini. Dengan adanya penyebaran stasiun pasut
yang baik maka akan memfasilitasi penentuan referensi vertikal yang baik pula, dalam
perspektif kelautan untuk penentuan referensi kedalaman. Namun dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial tidak
disebutkan mengenai Jaring Stasiun Pasut dalam Jaring Kontrol Geodesi sebagai bagian
dari Informasi Geospasial Dasar, meskipun dalam Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Informasi Geospasial disebutkan bahwa
Jaring Kontrol Geodesi sebagai bagian dari Informasi Geospasial Dasar terdiri dari
Jaring Kontrol Horizontal Nasional, Jaring Kontrol Vertikal Nasional, dan Jaring Kontrol
Gaya Berat dan Pasang Surut Laut.

4.1.1.A Analisis Terhadap Jaring Kontrol Horizontal Nasional (JKHN)

Gambar 4.1 Distribusi JKHN (Sumber: BAKOSURTANAL)

22
Dari Gambar 4.1 tentang data distribusi Jaring Kerangka Horinzontal Nasional
terbaru yang didapatkan pada saat penulisan Tugas Akhir ini, dapat dilihat secara
langsung bahwa masih kurang rapatnya pengadaan titik-titik kontrol horizontal di
bagian timur wilayah Indonesia. Dilihat dari pulau per pulaunya, Pulau Jawa
memiliki tingkat kerapatan yang paling baik, disusul oleh Pulau Sumatra yang
pengadaannya cukup merata. Pada Pulau Kalimantan terlihat bahwa kerapatan
jaring kerangka horizontal di wilayah selatan cukup baik, namun tidak demikian
halnya dengan wilayah tengah dan barat Kalimantan. Demikian halnya pada Pulau
Sulawesi yang sudah cukup rapat, namun bagian tengahnya masih memerlukan
pengadaan yg lebih rapat lagi. Sedangkan pada Pulau Papua, masih sangat
memerlukan pengadaan titik-titik kontrol horizontal yang lebih banyak dan merata.
Penyelenggaraan teknisnya mengacu pada SNI 19-6724-2002 tentang Jaring
Kontrol Horizontal.

4.1.1.B Analisis Terhadap Jaring Kontrol Vertikal Nasional (JKVN)

Gambar 4.2 Distribusi JKVN (Sumber: BAKOSURTANAL)

Dari data distribusi Jaring Kerangka Vertikal Nasional terbaru yang didapatkan
pada saat penulisan Tugas Akhir ini, dapat dilihat secara langsung bahwa pada
bagian timur wilayah Indonesia masih belum dibangun kerangka vertikal yang
memadai. Dilihat dari pulau per pulaunya, Pulau Jawa dan Sumatra memiliki
tingkat kerapatan yang paling baik. Pada Pulau Kalimantan dan Sulawesi jumlah
dan sebarannya masih sangat minim. Sedangkan pada Pulau Papua sangat
memerlukan pengadaan titik-titik kontrol vertikal dalam jumlah banyak dan

23
merata. Penyelenggaraan teknisnya mengacu pada SNI 19-6988-2004 tentang
Jaring Kontrol Vertikal dengan Metode Sipat Datar.

4.1.1.C Analisis Terhadap Jaring Kontrol Gaya Berat Nasional (JKGN)

Pengukuran gaya berat di Indonesia telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak
di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit. Sayangnya data yang
dimaksud selama ini dirahasiakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut karena
dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan bumi yang memiliki cekungan
minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini
minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area.

Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di


daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical
University. Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat
terbang, biasa disebut Airborne Gravimetry. Survey ini memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan survei di darat (terestrial) dan satelit. Dengan
pesawat terbang jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti
hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir. Selain itu juga
memberikan kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik
dibandingkan dengan satelit dan biaya yang dikeluarkan pun relatif lebih murah.

Dalam program Bakosurtanal yang diberi nama Survey Airborne Gravity Indonesia
(SAGI) ini, tahap awalnya dilakukan di seluruh Sulawesi, sebagai daerah yang
memiliki topografi yang kompleks, selanjutnya baru dilanjutkan ke wilayah
Indonesia lainnya. Penyelenggaraan teknisnya mengacu pada SNI 19-7149-2005
tentang Jaring Kontrol Gaya Berat. Ilustrasinya bisa dilihat pada Gambar 4.3

24
Gambar 4.3 Ilustrasi Pengerjaan SAGI (Sumber: BAKOSURTANAL)

4.1.1.D Analisis Terhadap Jaring Stasiun Pasut (Pasang Surut Laut)

Gambar 4.4 Distribusi Stasiun Pasut (Sumber: BAKOSURTANAL)

25
Dari Gambar 4.4 tentang data distribusi Jaring Stasiun Pasut terbaru yang
didapatkan pada saat penulisan Tugas Akhir ini, dapat dilihat secara langsung
bahwa sama halnya dengan JKHN dan JKVN, pada bagian timur wilayah
Indonesia masih belum dibangun stasiun-stasiun pasut dalam jumlah yang
memadai. Dilihat dari pulau per pulaunya, Pulau Jawa dan Sumatra memiliki
jumlah dan sebaran stasiun pasut yang paling baik, disusul oleh Pulau Sulawesi
dalam jumlah dan sebaran yang cukup baik. Sedangkan pada Pulau Kalimantan
dan Papua masih sangat minim jumlah dan sebarannya.

4.1.2 Analisis Terhadap Peta Dasar (Kelautan)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi


Geospasial ini belum difasilitasi keseluruhan jenis garis pantai dalam bentuk Peta Dasar.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, dalam pasal 13 dinyatakan garis pantai terdiri atas:
Garis Pantai Surut Terendah (digunakan untuk penyelenggaraan Peta LPI dan Peta LLN),
Garis Pantai Pasang Tertinggi, dan Garis Pantai Tinggi Muka Air Laut Rata-Rata (untuk
penyelenggaraan Peta Rupabumi, meskipun tidak termasuk dalam bidang Kelautan).
Garis Pantai Pasang Tertinggi belum difasilitasi untuk penggunaan dalam bentuk Peta
Dasar apapun, termasuk dalam perspektif Kelautan.

26
4.1.2.A Analisis Terhadap Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)

Standarisasi nasional penyelenggaraan Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) yang


telah disusun baru untuk dua skala, yaitu SNI 19-6726-2002 untuk skala 1:50 000 dan
SNI 19-6727-2002 untuk skala 1:250 000. Masih ada skala-skala Peta LPI yang masih
belum disusun standarisasinya, yaitu untuk skala 1:25.000 dan skala 1:10.000.

4.1.2.B Analisis Terhadap Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN)

Tidak seperti Peta Lingkungan Pantai Indonesia, standarisasi nasional terbaru Peta
Lingkungan Laut Nasional masih dalam tahap penyusunan. Peta-peta LLN yang ada
saat ini acuan pembuatannya hanya berdasarkan peta awal buatan tahun 1992 oleh
Dishidros.

4.2 Analisis Terhadap Penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar

Tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Informasi Geospasial sebagai
penyelenggara Informasi Geospasial Dasar masih belum dijelaskan secara rinci pada Undang-
Undang tersebut sehingga masih diperlukan adanya peraturan pendukung untuk
memfasilitasinya.

Untuk kualifikasi kompetensi penyelenggara Informasi Geospasial Dasar, telah diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Dengan penyusunan kurikulum geospasial yang baik maka diharapkan adanya
kesetaraan sumber daya manusia Indonesia dan asing dalam bidang geospasial, terutama
untuk kelautan.

Sedangkan dalam hal pembinaan penyelenggara dan pengguna informasi geospasial, Badan
Informasi Geospasial perlu memperhatikan kepentingan akademik, publik serta industri;
terutama dalam pengadaan sarana dan prasarana termutakhir dalam hal pendidikan dan
pelatihannya.

27

Anda mungkin juga menyukai