Anda di halaman 1dari 397
7 M. TUANAKOTTA & AKUNTANSI FORENSIK Sa eu Global Competitiveness Index | 68 Apakah Kajian mengenai Korupsi Bermanfaat?. 72 Catatan untuk Rekan Pengajar ix Survei Integritas oleh KPK 75 ‘Ucapan Terima Kasih xiii Penutup 80 Daftar Is xv Catatan Kaki’ 81 DaftarSingkatan xxi BAB 3—Lingkup AkuntansiForensik 83 Pengantar 83 é " BAGIAN I—Pengantar Akuntansi Forensik 1 Praktikcdi Sektor Swasta 84 Asset Recovery 88 BAB 1—Akuntansi Forensik 3 Fraud dan Akuntansi Forensik 93 ‘Akuntansi Porensik 3 Praktik di Sektor Pemerintahan 93 Disiplin dan Profesi Forensik Lainnya 5 ‘Akuntansi Forensik di Sektor Publik dan ‘Alantan Forensik di Pengadilan 8 Swasta 93 Sengketa 10 Penutup “94 ‘Aluintansi atau Audit Forensik “12 Catatan Kaki 95 “Prakiik Akuntansi Forensik di Indonesia 13 ‘Alaintan Forensik Sektor Publik “17 Lampiran 96 18 “Segitiga Akuntansi Forensik 21 BAB 4—Atribut dan Kode Ftik Akuntan OSA dan COSA 24 Forensik serta Standar Audit Investigatif ‘Sistematika FOSA atau COSA 26 Pengantar 99 eet 32 Atribut Seorang Akuntan Forensik 99 fan Kaki 35 Karakteristik Seorang PemeriksaPraad 104 Kualitas Akuntan Forensik 106 Independen, Objektif, dan Skeptis’ 106 Kode Etik Akuntan Forensik: "107 BAB 2-H Akuntansi Forensik? 43 Pelaksanaan Kode Etik 110 “engantar Standar Audit Investigatif 115 Lo oe Ag ‘Standar Pemeriksaan Keuangan Negara na Standar Akuntansi Forensik 121 Catatan Kaki 124 xvi Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif BAB 5—Tatanan Kelembagaan 131 Pengantar 131 Tatanan Kelembagaan 132 Lembaga Pemberantasan Korupsi 144 Interaksi Antarlembaga dalam Memberantas Korupsi 153 KPK Diaudit BPKP? 155 Anti-Corruption Agencies 164 Landskap Audit Pemerintahan 165 Pengadilan Tipikor 182 Catatan Kaki 183 BAGIAN I—Fraud 187 BAB 6—Fraud 189 Pengantar 189 Fraud dalam Pertndangan Kita 190 Beberapa Statistik Kejahatan di Indonesia 192 Fraud dalam KUHP 194 Fraud Tree (Pohon Fraud) 195 Akuntan Forensik dan Jenis Fraud 204 ‘Manfaat Fraud Tree 205 Pressure 207 Perceived Opportunity 211 Rationalization 212 2008 Report To The Nation 214 Catatan Kaki 221 BAB 7—Korupsi 223 Pengantar 223 Pendekatan Sosiologi 224 Delapan Pertanyaan tentang Korupsi 225 Korupsi-Tinjauan Sosiologis 233 Korupsi-Tinjauan Sosiologis Aditjondro 238 Laporan Khusus Time tentang Soeharto Inc. 242 Beberapa Perkembangan Terakhir 249 Penutup 264 Catatan Kaki 268 BAB 8—Mencegah Fraud 271 Pengantar 271 Gejala Gunung Es 272 Pelajaran dari Report to the Nation 274 Pengendalian Intern 275 Fraud-Specific Internal Control 277 Pengendalian Intern Aktif 278 Pengendalian Intern Pasif 281 Dapatkah Kita Memercayai Pengendalian Intern? 284 Catatan Kaki 284 BAB 9—Mendeteksi Fraud 285 Pengantar 285 Kesenjangan antara Kenyataan dan Harapan 286 Mengenalkan Standar Audit untuk Menemukan Fraud 292 Audit Umum dan Pemeriksaan Fraud 293 Pelajaran dari Report to the Nation 294 ‘Teknik Pemeriksaan Fraud 295 Catatan Kaki 296 BAB 10—Profil Pelaku, Korban, dan Perbuatan Fraud 297 Pengantar 297 Profiling 297 Profiling dalam Kejahatan Terorganisasi 299 Semacam Profiling: Contoh Perpajakan di Zaman Penjajahan Belanda 301 Profil Korban Fraud 301 Profiling terhadap Perbuatan (Kejahatan, Fraud, dan Lain-lain) 302 Latihan Profiling 304 Catatan Kaki 304 Lampiran 305 BAGIAN Ill—Teknik-teknik Audit Investigatif 311 BAB 11—Tujuan Audit Investigatif 315 Pengantar 315 Contoh dari Tujuan Investig Penutup 319 315 BAB 12—Investigasi dan Audit Investigatif 321 Pengantar 321 Aksioma dalam Investigasi_ 322 Latihan mengenai Aksioma Fraud 325 Pertemuan Pendahuluan 328 Predication 330 Pemeriksaan dalam Hukum Acara Pidana 342 Bukti dan Pembuktian-Auditing dan Hukum 346 Catatan Kaki 347 BAB 13—Audit Investigatif dengan Teknik Audit 349 Pengantar 349 Kunci Keberhasilan 351 Teknik-teknik Audit 351 ‘Memeriksa Fisik dan Mengamati 351 ‘Meminta Informasi dan Konfirmasi 353 Memeriksa Dokumen 353 Review Analitikal 353 ‘Menghitung Kembali 359 Penutup 359 Catatan Kaki 361 BAB 14 363—Audit Investigatif dengan Teknik Perpajakan 363 Pengantar 363 Net Worth Method 363 Expenditure Method 368 Penerapannya di Indonesia 370 BAB 15—Follow The Money 373 Pengantar 373 Naluri Penjahat 374 Kriminalisasi dari Pencucian Uang 376 Terorisme dan Pencucian Uang 377 Follow The Money dan Data Mining 386 ‘Mata Uang Kejahatan 386 Catatan Kaki 387 BAB 16—Audit Investigatif dengan ‘Menganalisis Unsur Perbuatan Melawan Hukum 389 Pengantar 389 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi 396 Tindak Pidana Lain Berkaitan dengan Tipikor 398 Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi Beberapa Konsep Undang-undang Analisis Beberapa Kasus Korupsi Kasus Akbar Tandjung 424 Kasus Samadikun Hartono 427 Kasus Djoko S. Tjandra 428 Kasus Mohamad (Bob) Hasan 428 Catatan Kaki 430 398 416 424 BAB 17—Investigasi Pengadaan 431 Pengantar 431 Sistem Pengadaan Indonesia Tidak Berfungsi 437 Mengapa Kerangka Akuntabilitas untuk Pengadaan Gagal 439 Beberapa Kasus yang Dilaporkan Bank Dunia 441 Ketentuan Perundang-undangan 444 Daftari = VTE Pedoman dan Petunjuk 447 Investigasi Pengadaan 447 Diagram 451 Contoh-contoh Kasus 453 Penutup 455 Catatan Kaki 456 BAB 18—Computer Forensics 459 Pengantar 459 Computer Forensic dalam Kehidupan Sehari— hari 462 Computer Forensics 462 Spesifikasi dari Disk Imaging Tool 468 Cloning atas Data dalam Ponsel_ 471 Mengenali Bukti Digital 472 Perspektif Hukum dari Bukti Digital 476 Catatan Kaki 477 Lampiran 478 BAB 19—Wawancara dan Interogasi 491 Pengantar 491 Perbedaan antara Wawancara dan Interogasi 494 ‘Manfaat Melakukan Wawancara Sebelum. Interogasi 497 Wawancara 498 Behavior Symptom Analysis (BSA) dan Saluran Komunikasi 505 Verbal Behavior 506 Paralinguistic Behavior 512 Nonverbal Behavior 516 Catatan AKhir 524 Interogasi 525 Catatan Kaki 548 Lampiran 549 BAB 20—Operasi Penyamaran 567 Pengantar 567 Istilah Operasi Penyamaran 568 Pengedaran Senjata Api llegal 583, Undercover Operations 585 ‘Tujuan Undercover Operations 586 Beberapa Masalah dalam Melakukan Covert Operations 587 Penjebakan (Entrapment) Surveillance 588 Sumber dan Informan 589 587 xvEtE —_Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif Penggunaan Operatives 590 Pertanyaan mengenai Operasi Penyamaran 590 Lampiran 593 BAB 21—Peniup Peluit 605 Pengantar 605 UU Perlindungan Saksi dan Korban 607 Pedoman Whistleblowing System 610 Whistleblower di Amerika Serikat 613 Persons of the Year 2002 614 Seorang Akuntan Forensik Menjadi Whistleblower 616 Peniup Peluit diIndonesia 618 Pertanyaan untuk Diskusi 638 Agus Condro Prayitno 640 Catatan Kaki 644 Lampiran 645 BAGIAN IV—Ketentuan Perundang- undangan 649 BAB 22—Hukum Acara Pidana 657 Pengantar 657 ‘Tujuan Hukum Acara Pidana 658 ‘Asas yang Mengatur Perlindungan 659 ‘Asas-asas Hukum Acara Pidana 660 Penyelidik, Penyidik, dan Tugas Mereka 662 Jaksa, Penuntut Umum, dan Penuntutan 663 Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana 663 Penyitaan dan Penggeledahan 663 Penangkapan dan Penahanan 664 Mengadili, Pra-Peradilan, dan Putusan Pengadilan 664 Surat Dakwaan 664 Ruang Sidang 665 Bukti, Barang Bukti, dan Alat Bukti 666 Nilai Pembuktian dari Alat Bukti 667 Upaya Hukum 670 Mafia Peradilan 671 ‘Mengawasi Peradilan 673 Catatan Kaki 674 Lampiran 675 BAB 23—Hukum Acara Perdata 685 Pengantar 685 ‘Asas-asas Hukum Acara Perdata 685 Penggugat, Tergugat, dan Kuasa/Wakil 686 Surat Gugatan 687 AlatBukti 687 Bentuk-bentuk Putusan Hakim 690 Catatan Kaki 690 BAB 24—Undang-Undang Bidang Keuangan Negara 691 Pengantar 691 Undang-Undang Keuangan Negara 692 Undang-Undang Perbendaharaan Negara 699 Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara 704 Undang-Undang BPK 707 Catatan Kaki 708 BAB 25—Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang 709 Pengantar 709 Undang-Undang 15/2002 710 Undang-Undang 25/2003 712 Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) 713 Beberapa Konsep Penting 714 BAB 26—Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 723 Pengantar 723 Arbitrase 725 Alternatif Penyelesaian Sengketa 727 Mediasi 728 Dading 729 Perbandingan antara Arbitrase, Mediasi, Dading, dengan Litigasi 729 Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) 730 Arbitrase di Luar Negeri 732 Catatan Kaki 733 Lampiran 735 BAB 27—US. Foreign Corrupt Practices Act dan UN. Convention Against Corruption 779 Pengantar 779 Pembahasan mengenai FCPA 780 Komentar 784 Kasus-kasus Indonesia 785 Konvensi PBB Menentang Korupsi (disingkat UNCAC) 789 BAGIAN V—Penutup 797 BAB 28—Penelusuran Aset dan Pemulihan Kerugian 801 Pengantar 801 Autokrat dan Kleptokrat 802 ‘Taksiran Nilai Jarahan 804 StAR dalam Berita 805 Pelajaran dari Kasus Marcos 806 ‘Bantuan untuk Penyelamatan Krisis Keuangan 1997 808 Penelusuran Aset 827 Pemulihan Kerugian 832 Catatan Kaki 834 Lampiran 836 Daftar Isi xix BAB 29—Perhitungan Kerugian 859 Pengantar 859 Kerugian dan Perbuatan Melawan Hukum 860 Beberapa Gagasan mengenai Kerugian 864 Contoh-contoh Kasus 873 Catatan Kaki 889 BAB 30—Kriminologi dan Viktimologi 893 Pengantar 893 Kriminologi 894 Penutup Bahasan mengenai Kriminologi 899 Viktimologi 900 Catatan Kaki 902 Daftar Pustaka D-1 Indeks 1-1 ‘Daftar Singkatan — ACFE ADB ADDP APBD APBN APIP APU ASOSAL Austrac BANI Association of Certified Fraud Examiners Asian Development Bank Agreed-upon: Due Diligence Process ‘Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ‘Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ‘Aparat Pengawasan Internal Pemerintah Akta Pengakuan Utang Asian Organization of Supreme Audit Institutions Australian Transaction Report and Analysis Centre Badan Arbitrase Nasional Indonesia’ Berita Acara Pemeriksaan Badan Pengawasan. Daerah Bank Beku Operasi BAS Bank of Credit and Commerce International Bank Indonesia Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Badan Layanan Umom’ 4 Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. BPKP BSA BUMD BUMN CAR CART CART CFE CFO CHAID CIA Coc coo CPL Cosa coso CPL CTR DNA DPD DPR DPRD FATE FBI FCPA FCPP EDI FIL FOSA FPP GAO GCI Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Behavior Symptoms Analysis Badan Usaha Milik Daerah Badan Usaha Milik Negara Capital Adequacy Ratio Computer Analysis and Response Team Classification and Regression Trees Certified Fraud Examiner Chief Financial Officer Chi Square Automatic Intera Certified Internal Auditor Control of Corruption Chief Operating Officer Corruption Perceptions Index Detection Corruption - Oriented Systems Audit ‘The Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission Corruption Perceptions Index Cash Transaction Report Dyoxyribonucleic Acid Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Financial Action Task Force (on money laundering) Federal Bureau of Investigation Foreign Corrupt Practices Act Financial Crime Prevention Project Foreign Direct Investment Foreign Indirect Investment Fraud - Oriented Systems Audit Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Government Accountability Office Global Corruption Barometer Global Competitiveness Index TAR IBI IBW ICOR ICRG Icw Icw IME INTOSAI IOCE IRS JPSK KKSK KNKG KPK KPPU KssKk KUHAP KUHP LPND LPS LSM MK MLAT MPR MRNIA. MII Daftar Singkatan = CUBE Instructie en verderebepalingen voor de Algemene Rekenkamer Inspektorat Bidang Investigasi (Departemen Keuangan) Indische Bedrijvenwet Incremental Capital Output Ratio International Country Risk Guide International Crime Victims Surveys Indische Compatabiliteitswet Indonesia Corruption Watch International Monetary Fund International Organization of Supreme Audit Institutions International Organization on Computer Evidence Internal Revenue Services Jaringan Pengawas Sistem Keuangan Kantor Akuntan Publik Kolusi Korupsi dan Nepotisme Komite Kebijakan Sektor Keuangan Komite Nasional Kebijakan Governance Komisi Pemberantasan Korupsi Komite Pemilihan Umum Komisi Pengawas Persaingan Usaha Komite Stabilitas Sistem Keuangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Komisi Yudisial Know Your Customer Lembaga Pemerintah Non Departemen Lembaga Penjamin Simpanan Lembaga Swadaya Masyarakat Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi (ASEAN) Mutual Legal edie in Criminal Matters Treaty Majelis Permusyawaratan Rakyat ‘Master Refinancing and Note Issuance Agreement Master Settlement and Acquisition Agreement Masyarakat ‘Transparansi Indonesia xxiv Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif NGO NIST NPL OECD PCGG Pemda PERC Perkap PMS PPATK R&D RICO SAI SAPP SKP3 StAR ‘Tim Tastipikor Tipikor TPK VLCC Wa, Non-Government Organization National Institute of Standards and Technology Non-Performing Loan Organization for Economic Cooperation and Development Presidential Commission on Good Government Pemerintah Daerah Political and Economic Risk Consultancy, Ltd. Peraturan Kapolri Penyertaan Modal Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Reglement voor het Adminstratief Beheer Release & Discharge Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Sistem Akuntansi Instansi Supreme Audit Institution Sistem Akuntansi Pusat Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat Surat Keterangan Lunas ‘Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Sarbanes-Oxley Act (2002) Stolen Asset Recovery Suspicious Transaction Report ‘Transparency International ‘Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ‘Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi United Nations Convention Against Corruption Very Large Crude Carrier Who, What, Why, When, Where, How, How much ‘There have always been times when people acted immorally, bist what was new was the extent of public immortality. making itself so obvious to the average citizen. Barbara’Tuchman ‘agian Pertama terdiri atas lima bab yang merupakan penigantar atau 1 pengenalan Akuntansi Forensik dan Andi Investigatif (AAD. Bagian pertama membahasapa (wl ddan mengaps (why)-nya AFAL. Bab 1, berjudul “Akuntansé Forensi’; membehas pehgertian APAT Secara lho Gibahas istileh forensik dan bidang-bidang atau disiplin ilnia yang menangant mi forensik. Bab ini membahas AFAI di sektor publik maupun sektor swasta, dengan kkasus-kasus AFAI di dalam maupun di luar pengadilan, : Dari judulnya, “Mengapa Akuntansi Forensik’ jelasbahwe Bab 2 ‘membahas mengapanya ae AFAL. Bab ini sarat dengan penjelasan tentang bermacam-macam indeks korupsi,b merupakan kajian persepsi maupun kajian gabungan antara persepsi dan kenyataanh, keajian ini memberikan petunjuk bahwa meskipun Indonesia bukan negara terkorup i ‘tetapi hve pean masalah yang sangat serius di tanah air. tepatnya, pemberantasan korupsi merupakan alasan bagi Keberadaay ‘AEAI ratio ia. Korupsi bukan semata-mata masalah penyelenggara negara: Banyak korupst merupal _ kolusi dengan korporasi swasta maupun individu, Pemberantasan korupsi adalah pelt ‘dan sekaligus tantangan, bagi AFAI. 4 Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif Akuuntansiforensik merupakan suatu super spesialisasi bagi seorang akuntan, Auditor adalah akuntan yang berspesialisasi dalam audit atas laporan keuangan. Akuntan forensik adalah auditor yang lebih khusus lagi spesialisasinya, yakni pada fraud, Istilah fraud dipakai dalam arti yang Juas, termasuk corruption (seperti diartikan oleh Association of Certified Fraud Examiners, ACFE) ‘maupun korupsi (seperti diatur dalam ketentuan perundang-undangan kita). ‘Tabel di bawah berjudul “10 most self-enriching political leaders” atau 10 pemnimpin politik yang paling banyak memperkaya diri sendiri. Mereka adalah penguasa yang memegang kekuasaan mutlak. Tabel ini adalah wujud nyata ungkapan Lord Acton, “Power corrupts and absolute power corrupts absolutely’. Diktator dan kleptokrat adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Tabel di bawah ini berasal dari kajian Transparency International dan dikutip secara luas, termasuk publikasi Bank Dunia (The Many Faces of Corruption). ‘Sepuluh (10) Pemimpin Politik Terkorup di Dunia Ne Nama Negara ss 1. Socharto Indonesia 15-35 miliar 2. Ferdinand Marcos Filipina 5-10 miliar 3. Mobutu Sese Seko Zaire 5 miliar 4. Sani Abacha Nigeria 2-5 miliar 5. Slobodan Milosevié Yogoslavia 1 miliar 6 Jean-Claude Duvalier Haiti 300-800 juta 7. Alberto Fujimori Peru £600 juta 8. Pavlo Lazarenko Ukraina 114-200 juta 9. Arnoldo Aleman ‘Nikaragua 100 juta 10. __ Joseph Estrada Filipina 78-80 juta (Kecuali Pavlo Lazarenko yang adalah mantan Perdana Menteri di negaranya, sembilan pemimpin lainnya adalah mantan presiden.) ‘Negara-negara tidak berdaya memulihkan kembali kerugian dari aset yang dicuri mantan penguasa mereka. Hasil curian hanya memperkokoh kelanjutan kekuasaan kroni dan kerabat mereka pasca-kematian para penguasa. Kalau Bab I menjelaskan AFAI dari segi disiplin ilmunya, maka pada Bab 3 yang berjudul “Lingkup Akuntansi Forensik” melihat “tapal batas” AFA. Bab 4 (Atribut dan Kode Etik Akuntan Forensik serta Standar Audit Investigatif) masih berbicara tentang apa AFAI dari sisi akuntan forensik dan standar profesinya. Apa ciri seorang akuntan forensik, apa keahlian, intuisi, dan kemampuan (skill) yang harus dimilikinya? Mengapa profesi ini harus memiliki kode etik dan standar profesi? Bab 5 (Tatanan Kelembagaan) melihat lembaga-lembaga dalam ketatanegaraan Indonesia. Seperti dikatakan di atas, korupsi bukan semata-mata masalah penyelenggara negara, tetapi masalah korupsi terbesar ada pada lembaga-lembaga negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga-lembaga penegak hukum. Bab ini juga akan membahas lembaga kuasi negara dalam bidang pemberantasan korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akuntansi Forensik AKUNTANSI FORENSIK Istilah akuntansi forensik merupakan terjemahan dati forensic accounting dalam bahasa Inggris. Menurut Merriam Webster's Collegiate Dictionary (edisi ke-10): | Mo-ren-sic adj{l. forensic public, ft. forum forum] (1659) 1: belonging to, used in, or suitable to court of judicature or to public discussion and debate 2: ARGUMENTATIVE, RHETORICAL 3: relating to or dealing with the application of scientific knowledge to legal problems < pathologist> <~experts> edicine> Menggunakan makna ketiga dari kata forensic dalam kamus tersebut, maka akuntanst forensik adalah penerapan disiplin akuntansi pada masalah hukum. Dalam pembahasan selanjutnya kita akan melihat bahwa yang diterapkan pada masalah hukum bukan saja akuntansi, tetapi juga auditing. Oleh karena iti, istilah akuntansi dalam definisi akuintansi digunakan dalam arti seluas-luasnya, yakni disiplin akuntansi yang mneliputt auditing. Masalah hukum dapat diselesaikan di dalam atau di luar pengadilan. Penyelesaian di dalam pengadilan dilakukan melalui litigasi (litigation) atau dengan beperkara atau beracara di pengadilan. Penyelesaian di luat pengadilan (out-of-court settlement) dilakukan secara _nir-litigasi (non-litigation). ‘ Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Penyelesaian di luar pengadilan dapat lewat arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution (lihat Bab 26). Juga keputusan berdasarkan ketentuan administratif, bersifat nir-litigasi, Sengketa antara PT Telkom dan PT Aria West International (AWT) melalui proses yang berat dan panjang (hampir dua tahun) akhirnya diselesaikan melalui akuisisi AWI oleh PT Telkom dalam bulan Agustus 2003, Dalam sengketa ini, AWI menggunakan PricewaterhouseCoopers sebagai akuntan forensiknya, dan penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan. Lihat juga Lampiran A bab ini (penyelesaian sengketa Pertamina-Lirik Petroleum di luar pengadilan). Dari penjelasan di atas, akuntansi forensik dapat didefinisikan sebagai berikut. Akuntansi forensik dipraktikkan dalam bidang yang luas, seperti: 1, dalam penyelesaian sengketa antarindividu; 2. diperusahaan swasta dengan berbagai bentuk hukum, perusahaan tertutup maupun yang memperdagangkan saham atau obligasinya di bursa, joint venture, special purpose companies, 3. diperusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki negara, baik di pusat maupun daerah (BUMN, BUMD); 4. didepartemen/kementerian, pemerintah pusat dan daerah, MPR, DPR/DPRD, dan lembaga-lembaga negara lainnya, mahkamah (seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Yudisial), komisi-komisi (seperti KPU dan KPPU), yayasan, koperasi, Badan Hukum Milik Negara, Badan Layanan Umum, dan seterusnya. Dalam kuartal terakhir 2009, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif dan menerbitkan “Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi atas Kasus PT Bank Century Tbk". ‘Objek yang diperiksa adalah suatu perusahaan swasta terbuka (Tbk), yang memeriksa atau. auditornya adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sedangkan yang meminta audit investigatif itu adalah DPR, dan penggunanya (antara lain) Panitia Khusus Hak Angket Skandal Bank Century. Ini contoh keterlibatan sektor publik dan privat dalam satu urusan yang sama. ‘Akuntansi forensik dapat diterapkan di sektor publik maupun sektor privat (perorangan, perusahaan swasta, yayasan swasta, dan lain-lain). Dengan memasukkan para pihak yang berbeda, definisi akuntansi forensik tersebut di atas dapat diperluas sebagai berikut. Bab 1—Akuntansi Forensik 5 D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting menulis "Simply ut, forensic accounting is legally accurate accounting. That is, accounting that is sustainable in some adversarial legal proceeding, or within some judicial or administrative review.”'(“secara sederhana dapat dikatakan, akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum. Atau, akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial atau tinjauan administratif”). Definisi Crumbley ingin menekankan bahwa akuntansi forensik tidak identik, bahkan tidak berurusan dengan akuntansi yang sesuai dengan generally accepted accounting principles (GAAP), Ukurannya bukan GAAP, melainkan apa yang menurut hukum atau ketentuan perundang-undangan adalah akurat. Crumbley dengan tepat melihat potensi untuk perseteruan di antara pihak-pihak yang. berseberangan kepentingan, Demi keadilan, harus ada akuntansi yang akurat untuk proses hukum yang bersifat adversarial, atau proses hukum yang mengandung perseteruan. Mengenai sengketa antara pihak-pihak, lihat pembahasan dalam judul terpisah di bab ini, DISIPLIN DAN PROFESI FORENSIK LAINNYA Dalam percakapan sehari-hari, orang awam akrab dengan istilah dokter forensik dan laboratorium forensik (disingkat LabFor). Orang awam menyebut dokter forensik sebagai “dokter mayat” karena ia berurusan dengan mayat. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa mendefinisikan kata forensik secara terbatas sebagai berikut: Laboratorium forensik menjadi populer dengan pemeriksaan penggunaan narkoba oleh para selebritis, indentifikasi DNA (Deoxyribonucleic Acid) untuk menentukan ayah dari seorang bayi atau orang dewasa (misalnya dalam menentukan abli waris), indentifikasi DNA dan non-DNA dalam bencana alam, jatuhnya pesawat terbang, bom-bom dalam aksi terorisme, dan insiden lainnya. Dalam Kotak 1.1 dan Kotak 1.2 berikut ini, disajikan berbagai disiplin ilmu dan profesi yang menggunakan istilah forensik. Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Kotak 1.1 Beberapa Profesi Forensik Bab 1—Akuntansi Forensik 7 Kotak 1.2 Beberaps Profesi Forensil Dalam sidang pengadilan abli-ahli forensik dari disiplin yang berbeda, termasuk akuntan forensik, dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan ahli. Di negara-negara yang berbahasa Inggris, mereka disebut expert witness (saksi ahli). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menggunakan istilah “Ahli”, meskipun dalam percakapan sehari-hari dan oleh pers digunakan istilah “saksi ahli” KUHAP Pasal 179 ayat (1) menyatakan: “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan” Dalam praktik, kelompok ahli lainnya juga terdiri atas para akuntan atau pelaksana audit investigatif yang memberi keterangan ahli demi keadilan. Istilah akuntan forensik dan akuntansi forensik dikenal, misalnya dalam strategi pencapaian di kejaksaan sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Korupsi. Dalam strategi penindakan, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh antara lain mencantumkan: “Pelatihan asset tracing, legal audit, dan forensic accounting’? Tidak jarang, para ahli forensik dari profesi yang sama “bertarung” di pengadilan. Seorang dokter forensik dapat memberi keterangan ahli di pengadilan untuk menguatkan dakwaan jaksa penuntut umum. Sebaliknya, rekannya memberi keterangan ahli di pengadilan yang sama untuk mematahkan argumen dokter forensik pertama. Dokter forensik kedua menjadi ahli di pengadilan untuk membela terdakwa. Contoh ini dapat dilihat dalam Lampiran A di Bab 4. Hal serupa dapat terjadi dengan para akuntan forensik. AKUNTAN FORENSIK DI PENGADILAN Dalam buku lain, penulis membahas penggunaan akuntan forensik sebagai Abli di pengadilan, khususnya di pengadilan tindak pidana korupsi, tantangan dan peluang untuk memperbaikinya.? Seperti disebutkan di atas, akuntan forensik dapat digunakan di sektor publik maupun privat. Di Indonesia, penggunaan akuntan forensik di sektor publik lebih menonjol dari sektor privat karena jumlah perkara yang lebih banyak di sektor publik. Akan tetapi, ada juga alasan Jain, yakni kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa sektor privat di luar pengadilan. Di sektor publik, para penuntut umum (dari kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi) menggunakan abli dari BPK, BPKP, dan Inspektorat Jenderal dari Departemen yang bersangkutan. Di lain pihak, terdakwa dan tim pembelanya menggunakan abli dari kantor-kantor akuntan publik; kebanyakan ahli ini sebelumnya berpraktik di BPKP. Pengertian Ahli menurut KUHAP terkait dengan seseorang, perorangan atau individu. Meskipun pers memberitakan dokter forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), ia tampil sebagai ahli di pengadilan atas nama pribadinya, sebagai individu, bukan mewakili RSCM. Begitu juga dengan Ahli dari perguruan tinggi; mereka tampil sebagai perorangan, dan bukan wakil dari perguruan tinggi di mana mereka mengajar atau meneliti. Pengertian Ahli menurut KUHAP berbeda dengan pengertian menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan RI. Pasal 11 huruf c dari undang- undang tersebut berbunyi sebagai berikut. BPK dapat memberikan: a... karena sifat pekerjaannya; b. _... pemerintah pusat atau pemerintah daerah; dan/atau c. _keterangan Abii dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Pihak yang memberikan keterangan Ahli adalah BPK, bukan pribadi (anggota, karyawan, auditor, dan seterusnya). Ini berbeda dengan Ali menurut KUHAP yang dikutip di atas. L Bab 1—Akuntansi Forensik 9 ‘Tabel 1.1 menyajikan matriks yang membandingkan Abli dan Pemberian Keterangan Abli sselaku pribadi (seperti dalam KUHAP) dan selaku lembaga (dalam hal ini BPK). Kompetensi Abli Substansi keterangan Pengolahan informasi Kepemilikan atas Kebebasan memberikan pendapat Batas Tabel 1.1 Ahli Selaku Pribadi dan Lembaga (BPK) Abli memberi keterangan yang diminta instansi berwenang, sesuai kompetensi Ahli yang melekat pada pribadinya. bili memberi keterangan tentang substansi yang menjadi kepakaran- ‘nya, penguasaan pengetahuannya secara pribadi, dan pengembangan pengetahuannya, Pendapat yang diberikannya merupakan pendapat pribadi. Informasi yang dipaparkan Abli di hadapan penyidik maupun sidang pengadilan diolahnya secara pribadi dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya secara pribadi. Keterangan yang diberikan Ahli ‘merupakan milik pribadinya. Abli mempunyai kebebasan pribadi dalam memberikan pendapat yang berkaitan dengan keahliannya. Pendapat yang diterangkannya adalah haasil pemikirannya. Abli memberikan keterangan sesuai dengan kepakaran yang dimilikinya. Ia hanya dibatasi oleh kedalaman pengetahwan dan pengalamannya. Abli memberi keterangan tentang ‘Kerugian negara yang merupakan kompetensi BPK; bukan kompetensi pribadi, sehingga tidak melekat pada pribadi pemegang jabatan Anggota BPK atau Pemeriksa BPK. Ahli memberi keterangan tentang, ‘kerugian negara/daerah karena pelaksanaan tugas konstitusional BPK, Pendapat yang diberikannya merupakan pendapat BPK. Informasi tentang kerugian negara ‘yang dipaparkan di hadapan penyidik ‘maupun sidang pengadilan diolah secara kelembagaan. Informasi ini tidak dimiliki sebelumnya, sehingga diperoleh melalui pemeriksaan investigatif. Keterangan yang diberikan merupakan milik BPK sebagai Jembaga negara. bli merupakan personifikasi BPK. Ta tidak memiliki kebebasan pribadi dalam memberikan keterangan. Ja senantiasa harus berkoordinasi dengan pimpinan karena yang diterangkannya adalah hasil pemeriksaan BPK. Abli memberikan keterangan sestai dengan Hasil Pemeriksaan BPK. 10 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik SENGKETA Bermacam-macam hal dapat memicu terjadinya sengketa. Sengketa bisa terjadi karena satu pihak merasa haknya dikurangi, dihilangkan atau dirampas oleh pihak lain. Hak yang dikurangi atau dihilangkan ini bisa berupa: 1. uang atau aset lain, baik aset berwujud (tangible asset) maupun aset tak berwujud (intangible asset), yang dapat diukur dengan uang; 2. _reputasi, misalnya tercemarnya nama baik apakah itu nama pribadi, keluarga atau nama perusahaan; 3. _ peluang bisnis, misalnya tidak bisa ikut dalam proses tender dengan alasan yang terkesan diskriminatif; 4. gaya hidup, misalnya ditolak memasuki Klub atau kawasan yang dinyatakan eksklusif; 5, hak-hak lain yang berkaitan dengan transaksi bisnis. Sengketa dapat dipicu oleh perbedaan penafsiran mengenai sesuatu yang sudah diatur dalam perjanjian atau mengenai sesuatu yang memang belum diatur. Mungkin juga pihak- pihak yang berbisnis menyelesaikan hal-hal tertentu dengan tradisi, kebiasaan, atau adat- istiadat; kemudian dalam menghadapi masalah serupa, satu pihak tidak dapat menerima penyelesaian berdasarkan tradisi, kebiasaan, atau adat-istiadat semacam itu. Dalam sengketa, masing-masing pihak merasa ia yang benar sepenuhnya, Akan tetapi bisa juga, ia mengakui lawannya benar dalam hal tertentu dan ia sendiri benar dalam hal-hal Jain. Mungkin satu pihak merasa ia yang benar karena hukum ada di pihaknya. Pihak lainnya : mempertanyakan kebenaran secara hukum, dari segi moral. Kesenjangan dari posisi masing- ‘masing pihak bisa sangat luas, dalam, dan rumit. Mereka mungkin tidak dapat menyelesaikan. ‘masalah mereka tanpa bantuan pihak lain, Tidak jarang pula pihak lain hanya akan menambah keruwetan. Faktor-faktor yang dapat menentukan berhasil atau gagalnya penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak yang bersengketa adalah sebagai berikut. 1. Berapa besar konsekuensi keuangan pada pihak yang bersengketa. Konsekuensi ini bukan saja jumlah yang disengketakan, tetapi juga biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan sengketa, dan perkiraan mengenai berapa lama sengketa ini akan terselesaikan, Masing-masing pihak mempunyai persepsi tentang kemampuan mereka menanggung konsekuensi keuangan ini. Ada pihak yang merasa beruntung kalau waktu penyelesaian diperkirakan akan panjang. Pihak ini berusaha untuk ‘mengulur-ulur waktu dengan bermacam-macam taktik; ia misalnya akan memilih taktik “tidak kooperatif” (lihat contoh kasus Ferdinand Marcos yang dibahas di Lampiran A Bab 28. Kasus ini dapat dipergunakan untuk memahami kasus-kasus besar di Indonesia). 2, _ Seberapa jauh pertikaian pribadi, rasa iri atau dendam terjadi di antara pihak-pihak. Kadang-kadang uang yang disengketakan (sekalipun jumlahnya besar) bukan persoalan bagi mereka. Keinginan untuk memenangkan sengketa, lebih penting. coe Gee tere eS Bab 1—Akuntansi Forensik il 3. Apakah penyelesaian sengketa ini akan berdampak dalam penyelesaian kasus serupa? Misalnya, perusahaan yang bersengketa dengan seorang pegawainya akan khawatir kalau ia kalah dalam sengketa ini, karena dalam waktu dekat ada kasus y serupa yang harus diselesaikan. Perusahaan penerbangan berusaha dengan cepat menetapkan dan menyelesaikan Klaim kecelakaan pesawatnya, karena khawatit keputusan yang ditunda akan lebih merugikannya, bukan saja dalam kasus ini tetapi juga dalam kecelakaan di kemudian hari. 4. Seberapa besar dampak dari publisitas negatif yang ditimbulkan, Suatu kantor akuntan publik (KAP) mempunyai kebijakan untuk tidak menuntut kliennya, meskipun KAP itu percaya bahwa pengadilan akan memenangkannya. KAP itu kkhawatir bahwa publistas negatifakan memengaruhi reputasinya dalam hubungan dengan Mien lainnya atau calon Kliennya 5. Seberapa besar beban emosional yang harus ditanggung. Beban emosional dapat tercermin dalam berbagai hal, seperti dikucilkan dari masyarakatnya (kelompok bisnis atau profesional yang merupakan bagian dari “habitat’-nya). Baginya, kemenangan atas sengketa ini merupakan prinsip. Beban emosional bisa juga tercermin dalam simbol atau lambang. Kemenangan dalam sengketa tertentu ‘mempunyai makna atau simbol yang mendalam baginya. Sengketa mengenai rumah tua peninggalan orang tua bagi seseorang bisa merupakan simbol kehormatan dan kesetiaannya kepada leluhurnya. Bendera merah putih di tangan pejuang bukanlah sekadar selembar kain berwarna merah putih; ia adalah simbol kedaulatan, Sebaliknya, juga ada faktor-faktor yang memudahkan penyelesaian sengketa antara pihak-pihak, misalnya pandangan dan nilai-nilai hidup. Pihak yang dirugikan mengikhlaskan penyelesaian sengketanya kepada pihak lawannya, karena nilai-nilai hidupnya jauh lebih ‘mulia baginya dibandingkan dengan kerugian materi yang akan dideritanya. Meskipun tidak banyak dipraktikkan dalam dunia bisnis, nilai-nilai hidup semacam ini masih ada di sana- sini. Dari uraian di atas, kita dapat membayangkan bahwa sengketa antara dua pihak bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda (meskipun sengketanya sama) apabila menyangkut dua pihak yang lain. Dua pihak yang bersengketa bisa menyelesaikannya melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sedangkan dua pihak lainnya menyelesaikannya melalui litigasi, Dalam kedua contoh ini penyelesaiannya adalah dengan cara hukum, tetapi yang pertama diselesaikan di luar pengadilan, sedangkan yang kedua, melalui proses beracara di pengadilan. Apakah sengketa bisnis yang menyangkut ganti rugi diselesaikan melalui hukum, di dalam maupun di luar pengadilan? Jawabannya adalah “sering kali tidak’. Terutama dalam kasus utang-piutang di mana kreditor memilih menggunakan “debt collector’. ‘Terjemahan “debt collector” ke dalam bahasa Indonesia adalah penagih utang. Penggunaan istilah bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari maupun dalam pemberitaan pers mencerminkan upaya penghalusan bahasa. 12 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Mengapa penyelesaian dilakukan di luar pengadilan? Bagi banyak pihak, pengadilan tidak mempunyai reputasi yang baik untuk penyelesaian sengketa; biaya perkara mahal, dan hasilnya sering kali mengecewakan. Berita dari harian Kompas yang dikutip di Kotak 13 adalah contoh “penyelesaian sengketa’ yang sering menjadi pilihan. Kotak 1.3 Pengigunaan Debt Collector AKUNTANSI ATAU AUDIT FORENSIK Di Amerika Serikat pada mulanya akuntansi forensik digunakan untuk menentukan pembagian warisan atau mengungkapkan motif pembunuhan. Misalnya, pembunuhan istri Bab 1—Akuntansi Forensik 13 oleh suami untuk mendapatkan hak waris atau klaim asuransi, atau pembunuhan oleh mitra dagang untuk menguasai perusahaan. Bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan persoalan hukum, maka istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Sekarang pun kadar akuntansinya masih terlihat, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam konteks keuangan negara, maupun di antara pihak-pihak dalam sengketa perdata. ‘Ada yang menggunakan istilah audit forensik (forensic audit) untuk kegiatan audit investigatif. Kedua istilah ini dan istilah lain yang berkenaan dengan akuntansi forensik, akan dibahas dalam Bab 2. Dalam rangka sertifikasi, istilah yang digunakan adalah auditor forensik dan bukan akuntan forensik. Pertimbangannya adalah anggota profesi ini bukan hanya akuntan.* Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) di Amerika Serikat juga menyebut anggotanya sebagai pemeriksa fraud bersertifikat atau Certified Fraud Examiners (CFE). PRAKTIK AKUNTANSI FORENSIK DI INDONESIA Z Beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, mengalami krisis keuangan di tahun 1997. Krisis ‘ ini terasa sejak Agustus 1997 dan terus memburuk. Ini berdampak pada pemerintahan Presiden Soeharto yang berakhir di bulan Mei 1998. Figur 1.1 Presiden Socharto menandatangani dokumen kesepakatan dengan IMF, disaksikan Mi Camdesus, 14 Januari 1998. Dalam bulan Oktober 1997, The Asian Wall Street Journal untuk pertama kalinya ‘memberitakan bahwa ada kemungkinan pemerintah Indonesia meminta bantuan dari IMF (International Monetary Fund), Permintaan bantuan kepada IMF dan Bank Dunia (World 14 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Bank) diikuti dengan resep-resep penyehatan perbankan Indonesia yang merupakan awal dari apa yang dikenal sebagai agreed-upon due diligence process (ADDP). Pada awalnya, ADDP ini dikerjakan oleh akuntan asing di bawah nama kantor mereka. Para akuntan Indonesia yang ikut melaksanakan ADDP ini mengetahui betul ketegangan antara dunia perbankan yang sudah terbiasa dengan “praktik-praktik lama” dengan tuntutan IMF atau Bank Dunia yang ingin mengetahui posisi kapitalisasi perbankan Indonesia, sebagai bahan pertimbangan untuk rencana rehabilitasi dan opsi rekapitalisasi. ‘Temuan awal ADDP ini menimbulkan dampak kejutan dalam dunia bisnis. Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatment di sisi aset (assets), dan understatements di sisi kewajiban (liabilities), (lihat Tabel 1.2).° Tabel 1.2 1. Danamon 26,0 140 54% 25,0 37,0 33% 2. BUN 15,6 11,3 28% 15,4 213 28% 3. Modern 31 18 43% 30 31 3% 4. BDNI 24,0 60 82% 323) 48,5 33% 5. Tiara 43 LL 54% 45 49 10% 6__PDFCI 44 LL 75%. 43, 49 14% Dari ADDP inibank-bankkita dikelompokkan dalam tiga kategori. Kelompok A dengan capital adequacy ratio (CAR) sebesar atau lebih dari 4%. Kelompok B, antara -25% sampai dengan kurang dari 4%. Kelompok C, di bawah ~25%. Secara nasional, lanskap perbankan kita waktu itu adalah sebagai berikut. Tabel 1.3 “Kelompok Bank ABC ama Pemerintah 7 7 Swasta Nasional weer 18 BIO =i A 4 * BPD 12 10 5 27 Camparan ei ee 32 ADDP sebenarnya tidak lain dari audit investigatif. Dari segi hukum, sistem pengadilan kita tidak berhasil menjerat bankir-bankir yang menikmati BLBI, atau mereka berhasil melarikan diri ke luar negeri. Pengadilan memang menjatuhkan hukuman untuk beberapa pejabat tinggi Bank Indonesia. Namun, dalam keputusan ini, bukan akuntan forensik yang berperan. Hal-hal ini serta kerugian dari Bab 1—Akuntansi Forensik 15 program penyelamatan perbankan Indonesia dalam krisis keuangan 1997-1998 dibahas secara mendalam di Bab 28. Baru pada kasus Bank Bali, terlihat suksesnya akuntansi forensik. Akuntannya adalah PricewaterhouseCoopers (lihat Kotak 1.4). PwC berhasil menunjukkan arus dana yang rumit. Bentuk diagramnya seperti cahaya yang mencuat dari sang surya (sunburst). Dari diagram ‘yang rumit (lihat Bagan 1.1), PwC meringkaskannnya menjadi arus dana dari orang-orang tertentu. Laporan PwC adalah contoh yang sangat baik untuk akuntansi forensik.’ Sayangnya laporan ini bukan untuk konsumsi publik. Sukses akuntansi forensiknya tidak diikuti dengan penyelesaian hukum di pengadilan (lihat Kotak 1.5 dan Bab 16), Kotak 1.4 Kasus Bank Bali ‘Tahun 2005 merupakan tahun suksesnya akuntansi forensik dan sekaligus sistem pengadilan. Di antara beberapa kasus, dua kasus yang menonjol. Pertama, kasus Komisi Pemilihan Umum, di mana akuntan forensiknya adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menyelesaikannya di pengadilan. Bab 1—Akuntansi Forensik 17 Kedua, kasus Bank BNI. Akuntansiforensiknya bukan dilakukan oleh lembaga pemeriksa atau kantor akuntan, melainkan oleh PPATK. Dua ahli dari PPATK dalam persidangan di pengadilan berhasil meyakinkan hakim mengenai peran kunci Adrian Waworuntu (lihat Figur 1.2). Sebelum keterangan para ahli PPATK, Adrian Waworuntu selalu berhasil meyakinkan bahwa dirinya tidak terlibat. Pelajaran utama dari kasus ini akan dibahas dalam Bab 15 (Follow the Money). Figur 1.2 oe Abli PPATK menunjukkan gambar arus uang kepada majelis haleim Tahun 2008 dan semester pertama 2009 menunjukkan ketangguhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menemukan dan menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Pemeriksaan KPK atas Bank Century dalam tahun 2009 terhambat “kasus” Bibit-Chandra atau “peristiwa Cicak dan Buaya” (lihat Bab 22). Skandal Bank Century yang ditengarai berisi dugaan tindak pidana perbankan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perpajakan, dan tindak pidana umum merupakan kasus yang menarik bagi mahasiswa akuntansi forensik. Dalam tahun 2008 dan awal tahun 2009, KPK berhasil membuat terobosan besar dalam menangkap jaksa, anggota DPR, anggota KPPU, dan lain-lain yang menerima suap dari “calo perkara” dan rent seekers.* Keberhasilan KPK dalam kasus-kasus ini tidak berhubungan dengan akuntansi forensik. Namun, ada banyak pelajaran yang bisa ditarik dari kasus-kasus tersebut, misalnya dalam fraud-oriented systems audit (FOSA) dan corruption-oriented systems audit (COSA) yang dibahas di bab ini. AKUNTAN FORENSIK SEKTOR PUBLIK Seperti dikatakan di atas, akuntansi forensik sektor publik di Indonesia lebih menonjol daripada akuntansi forensik sektor privat. Kasus-kasusnya pun lebih dikenal masyarakat. 18 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Selain nilai kerugian yang menakjubkan, kasus-kasus di sektor publik lebih dramatis karena kolusi antara penyelenggara negara di tingkat tinggi dengan para pebisnis atau calo perkara dari sektor swasta, sampai pertemuan di tempat dan waktu yang eksotis. Daya tarik acara televisi yang menggambarkan penangkapan dan penggerebekan para koruptor oleh KPK dalam dua tahun belakangan (2008 dan 2009), dan pengungkapan rekaman percakapan telepon hasil penyadapan KPK di pengadilan, seperti kasus Artalyta Suryani dan Jaksa Urip, kasus Al Amin Nur Nasution dan Azirwan, dan seterusnya. Dalam dua bulan terakhir di tahun 2009, pemirsa televisi disuguhi pemberitaan tentang musibah yang menimpa Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, pengungkapan rekaman percakapan telepon Anggodo Widjojo dengan petinggi kepolisian, kejaksaan, dan pihak lain, sampai penerbitan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) bagi Bibit dan Chandra, dan dugaan keterkaitannya dengan pemeriksaan kasus Bank Century oleh KPK. Di Amerika Serikat peran Elliot Ness yang menjerat Al Capone didramatisasi dalam film the Untouchable. Dj Indonesia terlihat peran-peran penting para akuntan forensik dari BPKP, BPK, dan aparat pengawasan internal pemerintah yang tergabung dalam APIP. Secara terinci dan dengan data statistik, penulis membahas peran mereka di buku “Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi’ BEBERAPA MODEL AKUNTANSI FORENSIK Dari pembahasan di atas, kita melihat bahwa akuntansi forensik pada awalnya adalah perpaduan yang paling sederhana antara akuntansi dan hukum. Contoh: penggunaan akuntan forensik dalam pembagian harta gono-gini, Di sini terlihat unsur akuntansinya, unsur hitung- menghitung besarnya harta yang akan diterima pihak (mantan) suami dan (mantan) istri. Segi hukumnya dapat diselesaikan di dalam atau luar pengadilan, secara litigasi atau non-litigasi. Model ini dapat digambar sebagai berikut (Bagan 1.2). Bagan 1.2 Diagram Akuntansi Forensike AKUNTANSI HUKUM Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang tambahan (di samping Akuntansi dan Hukum). Bidang tambahan ini adalah audit, sehingga model akuntansi forensiknya direpresentasikan dalam tiga bidang (Bagan 1.3). Bab 1—Akuntansi Forensik 19 Bagan 1.3 Diagram Akuntansi Forensike Dalam suatu audit secara umum maupun audit yang khusus untuk mendeteksi fraud (kecurangan), si auditor (internal maupun eksternal) secara proaktif berupaya melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem pengendalian intern, terutama yang berkenaan dengan perlindungan terhadap aset (safeguarding of asset), yang rawan akan terjadinya fraud. Ini adalah bagian dari keahlian yang harus dimiliki seorang auditor. Sama seperti seorang ahli sekuriti memeriksa instalasi keamanan di perusahaan minyak atau di hotel, dan memberi Japoran mengenai titik-titik lemah dari segi keamanan dan pengamanan perusahaan minyak atau hotel tersebut. Kalau dari suatu audit umum (general audit atau opinion audit) diperoleh temuan audit, atau ada tuduhan (allegation) dari pihak lain, atau ada keluhan (complaint), auditor bersikap reaktif, Ia menanggapi temuan, tuduhan atau keluhan tersebut. Contoh: temuan audit menunjukkan kepala bagian pengadaan berulang kali meminta kasir membayar pemasok ‘A yang tagihannya belum jatuh tempo; padahal pemasok lain yang tagihannya melewati tanggal jatuh tempo, tidak dimintakan pembayarannya. Pemasok yang dirugikan menuduh kepala bagian pengadaan itu berkolusi dengan pemasok A, sejak dalam proses tender dimulai. Pemakai barang yang dibeli mengeluh bahwa barang yang dipasok A mutunya jauh di bawah spesifikasi yang disetujui. Laporan (tip-off) dapat juga diberikan oleh para whistleblowers yang mengetahui terjadinya atau masih berlangsungnya suatu fraud, Dalam contoh di atas, temuan audit, tuduhan dan keluhan kebetulan untuk hal yang sama atau terkait. Akan tetapi temuan audit, tuduhan dan keluhan bisa juga mengenai hal- hal yang tidak berkaitan, tetapi mengarah kepada petunjuk adanya fraud. Auditor bereaksi tethadap temuan audit, tuduhan, dan keluhan serta mendalaminya dengan melaksanakan audit investigatif. Dalam Bagan 1.4 digambarkan dua bagian dari suatu fraud audit; yang bersifat proaktif dan investigatif. Audit investigatif dimulai pada bagian kedua dari audit ‘fraud yang bersifat reaktif, yakni sesudah ditemukannya indikasi awal adanya fraud, Audit investigatif merupakan bagian dan titik awal dari akuntansi forensik. 20 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Bagan 1.4 Diagram Akuntansi Forensik Investigatif, Temuan audit Risk Tuduhan Keluhan Tip Assessment AKUNTANSI dentifikasi potensi | Indikasi awal | Bukti adatidaknya ‘fraud adanya fraud | pelanggaran Dari Bagan 1.4 di atas terlihat proses audit investigatif, akuntansi dan hukum. Bagan ini merupakan pengembangan dari Bagan 1.3. Bagan ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan unsur tindak pidana, misalnya tindak pidana korupsi (tipikor). Dengan memasukkan unsur tipikor maka unsur akuntansinya adalah perhitungan kerugian keuangan negara (Bab 29) dan proses (atau acara) pengadilan tipikor. Model ini digambarkan dalam Bagan 1.5. Bagan 1.5 Diagram Akuntansi Forensik-Tipikor Semua diagram Akuntansi Forensik di bab ini adalah penyederhanaan dari dunia nyata. Contoh: dalam Bagan 1.5 ada kotak kecil dengan judul “Besarnya Kerugian”. Dalam dunia | nyata, kotak kecil ini bisa terdiri atas tiga atau bahkan mungkin empat tahap."” Seperti dijelaskan di muka, penyelesaian sengketa dapat dilakukan di bawah berbagai ketentuan perundang-undangan, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum ‘Administratif, dan Arbitrase serta Alternatif Penyelesaian Sengketa. Model ini digambarkan dalam Bagan 1.6. pet es i lier ae a ae eee Bab 1—Akuntansi Forensik 21 Bagan 1.6, Diagram Akuntansi Forensik entifikasi potensi | Indikasi wal | Buktiada/idaknya| adanya fraud Model di atas akan bertambah rumit kalau kejahatannya adalah lintas negara, seperti koruptor Indonesia yang melarikan diri ke Iuar negeri dan “mencuci uang”-nya juga ke luar negeri. Bidang hukumnya akan lebih luas lagi dengan konvensi dan traktat internasional yang. meliputi ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA). Lihat Bagan 1.7. Bagan 1.7 Diagram Akuntansi Forensile assessment ddan alternatit penyelesaian sengketa |. Ekstraisi dan MLA SEGITIGA AKUNTANSI FORENSIK Dalam pembahasan di atas kita melihat beberapa model akuntansi forensik, mulai dari yang, sederhana sampai yang paling rumit. 22 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Cara lain melihat akuntansi forensik adalah dengan menggunakan apa yang penulis istilahkan sebagai Segitiga Akuntansi Forensik. Segitiga ini disajikan dalam Bagan 1.8. Bagan 1.8 Segitiga Akuntansi Forensile Perbuatan Melawan Hukum Kerugian Hubungan Kausalitas Konsep yang digunakan dalam Segitiga Akuntansi Forensik ini adalah konsep hukum yang paling penting dalam menetapkan ada atau tidaknya kerugian, dan kalau ada bagaimana konsep perhitungannya."' Disektor publik maupun privat, akuntansi forensik berurusan dengan kerugian, Di sektor publik ada kerugian negara dan kerugian keuangan negara. Di sektor privat juga ada kerugian yang timbul karena cidera janji dalam suatu perikatan. Kerugian adalah titik pertama dalam Segitiga Akuntansi Forensik. Landasannya adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: Titik kedua dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah perbuatan melawan hukum. Tanpa perbuatan melawan hukum, tidak ada yang dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Itulah sebabnya dalam berbagai bencana yang jelas-jelas ada kerugian bagi para korban, seperti dalam hal kasus lumpur Lapindo, pertanyaannya yaitu: apakah ada perbuatan melawan bukum? Dalam kasus besar seperti Lapindo, jawaban atas pertanyaan: “adakah perbuatan melawan hukum?” tidak hanya bersifat teknis. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Anton Novenanto. Sebagian tulisannya disajikan dalam Kotak 1.6 (lihat khususnya dua alinea terakhir). Bab 1—Akuntansi Forensik 23 Kotak 1.6 Kasus Lumpur Lapindo Lemahnya Posisi Tawar Negara Titik ketiga dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah adanya keterkaitan antara kerugian dan perbuatan melawan hukum atau ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum, Perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas (antara perbuatan melawan hukum dan kerugian) adalah ranahnya para ahli dan praktisi hukum, Perhitungan besarnya kerugian adalah ranahnya para akuntan forensik. Dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menetapkan adanya hubungan kausalitas, akuntan forensik dapat membantu ahli dan praktisi hukum. Seperti diagram-diagram akuntansi forensik di atas, Segitiga Akuntansi Forensik merupakan model yang mengaitkan disiplin hukum, akuntansi, dan auditing. 24 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik FOSA DAN COSA Dalam Bagan 1.4 sampai dengan 1.7 di atas, kita melihat fraud audit terdiri atas dua komponen. Komponen pertama, proactive fraud audit (fraud audit yang proaktif), yang berada di Iuar payung akuntansi forensik. Sedangkan komponen kedua, investigative audit (audit investigatif), merupakan bagian dari akuntansi forensik. Bagian ini membahas komponen pertama dari fraud audit, yakni fraud audit yang proaktif. Berbagai istilah dipakai untuk fraud audit yang proaktif. Ada yang menggunakan kajian sistem, karena dalam fraud audit ini dilakukan kajian sistem yang bertujuan mengidentifikasikan potensi-potensi atau risiko terjadinya fraud. Dalam teknologi informasi, kajian atas sistem untuk mengetahui kelemahan dalam sistem itu disebut systems audit, Penulis menggunakan istilah ini juga, dengan penjelasan ‘mengenai orientasi atau tujuannya, yakni mengidentifikasikan risiko terjadinya fraud. Penulis mengusulkan istilah fraud-oriented systems audit (FOSA). Istilah fraud dalam FOSA digunakan dalam arti seluas-luasnya; seperti yang digunakan the Association of Certified Fraud Examiners dalam fraud tree-nya (lihat Bab 6). Kalau fokus dalam kajian ini adalah korupsi (seperti yang dilakukan KPK), penulis mengusulkan istilah corruption-oriented systems audit (COSA). Untuk kajian sistem yang bertujuan untuk ‘mengidentifikasi potensi fraud secara umum, kita dapat menggunakan istilah FOSA, Untuk kajian sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi korupsi secara spesifik, kita dapat menggunakan istilah COSA. FOSA dapat dilakukan oleh organisasi itu sendiri. Pada perusahaan swasta, FOSA dikerjakan oleh auditor internal, auditor internal dan bagian hukum atau unit di bawah direktur kepatuhan, atau unit lainnya yang ditunjuk komite audit. Kalan organisasi tersebut tidak mempunyai keahlian yang diperlukan, ia dapat meminta jasa kantor akuntan publik ‘yang memberikan jasa khusus untuk itu. Hal serupa dapat dilakukan departemen atau kementerian, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, yayasan, dan lembaga-lembaga sektor publik yang lain. KPK melakukan kajian ‘semacam FOSA dengan fokus kepada potensi korupsi (lihat Kotak 1.7). Kotak 1.7 Bab 1—Akuntansi Forensik 25 26 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik SISTEMATIKA FOSA ATAU COSA Langkah-langkah pelaksanaan FOSA atau COSA disajikan pada Bagan 1.9. Penjelasan Bagan 1.9 berikut menggunakan contoh-contoh dari sektor publik. Bab 1—Akuntansi Forensik 27 Bagan 1.9 Sistematika FOSA ea wa hg er cea iota Sk a ay ‘Menilal Adanya Potens atau Risiko Frand Peralatan FOSA, Pahami enitas dengan bik, manfaakan aalisis historis Segiiga fad (amd triangle) ‘Wawancara,bukan incrogas! Kuesionr, ditndaklanjut dengan substansiast Observasilapangan Sampling da timing ‘Titik lemah dalam sistem pengadaan barang dan jasa Profiling Analisis data (data analytics) Risiko atau Potensi Froud Kelemahan sistem dan keparuban Bena > rent seckers da lain-lain Sumber nti yang bersangkutan dan seluruh stukturnya Pressure groups (Metin, LSM) Whislebiowers(Pegawal, Supplier) Masyarakat (door yo0qp203) weg wedeag, wesersuyy Analisis Histris ‘Kajian KPK (Surve Integritas, FOSA ents lan) Perkara pengadilan maupun kasus yang ditutup Kajian tentang persepsi korupsi t ' t t 1 Bagan 1.9 terdiri atas tiga kotak yang menggambarkan tiga langkah dalam FOSA, yakniz 1. Kotak 1—menilai adanya potensi atau risiko fraud 2. Kotak 2—menganalisis potensi atau risiko fraud 3. Kotak 3—menilai risiko atau potensi fraud Langkah pertama adalah mengumpulkan materi untuk menilai adanya potensi atau risiko fraud dalam sistem dari entitas yang dikaji. Dalam langkah ini ada berbagai peralatan FOSA yang dapat dipergunakan, antara lain berikut ini. 1. Memahami entitas dengan baik. Dalam buku teks auditing bahasa Inggris, konsep ini dikenal sebagai understanding client's business and industry. 28 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik » Secara umum, suatu lembaga mempunyai “kekuasaan’ atau “kekuatan’” tertentu, “Kekuasaan” atau “kekuatan” cenderung korup, dan “kekuasaan” mutlak akan korup secara mutlak (ungkapan Lord Acton, power corrupts, and absolute power corrupts absolutely). Kasus-kasus korupsi yang melibatkan “oknum” anggota DPR menunjukkan “perdagangan wewenang” dalam bidang legislasi, pengawasan anggaran, fit and proper test, dan lain-lain. Kasus korupsi di kalangan “oknum” penegak hukum mencerminkan perdagangan kasus. Kasus-kasus perbankan mencerminkan kekuasaan Bank Indonesia atas bermacam-macam izin dan persetujuan Bank Indonesia, termasuk kekuasaan dalam bidang pengawasan. Pelaksana FOSA atau COSA bukan saja harus menginventarisasi kekuasaan dan wewenang yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan, tetapi kekuasaan yang sengaja direkayasa oleh lembaga atau “oknum’ di lembaga tersebut (lihat Lampiran B bab ini, khususnya bagian mengenai “Kebiasaan di Polri”) Kemudian ada lembaga negara yang berurusan dengan penerimaan negara seperti perpajakan, bea dan cukai, penerimaan dari sektor pertambangan, sampai penerimaan negara bukan pajak atau pungutan lainnya (PNBP). Potensi korupsinya terlihat dari kajian sistem oleh KPK di Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak, dan KPPN (lihat Kotak 1.7). Kasus tindak pidana korupsi atas Duta Besar dan karyawan kedutaan mengenai penetapan besarnya biaya pengurusan visa, merupakan contoh lain, Hal yang belum terungkap adalah penerimaan dari perdagangan senjata. Semua lembaga negara mempunyai anggaran belanja, Anggaran belanja, hususnya belanja barang dan jasa merupakan sasaran empuk untuk korupsi, baik yang berbentuk suap maupun pemerasan. Lembaga negara yang mempunyai anggaran yang besar untuk belanja modal dari Juar negeri punya kecenderungan atau berisiko melanggar ketentuan perundangan di bidang tindak pidana korupsi dalam maupun luar negeri (Lihat pembahasan tentang US. Foreign Corrupt Practices Act di Bab 27). Kemudian ada departemen atau lembaga yang menerima subsidi besar, seperti subsidi BBM. Ketika harga BBM di pasar dunia naik, terjadi disparitas harga yang besar antara harga BBM di pasar bebas dan harga BBM yang disubsidi. Disparitas harga ini merupakan insentif yang besar untuk menjual BBM bersubsidi melalui penyelundupan ke daerah perbatasan dengan negara tetangga tertentu. Kekhasan entitas membawa pola korupsi yang khas pula. Tidak jarang pola atau potensi korupsi berlangsung sejak beberapa pemerintahan yang lalu sampai sekarang. Potensi korupsi ini terjadi karena struktur dan prosesnya memang dirancang untuk para “rent seekers”. Segitiga fraud (fraud triangle). Konsep ini dibahas dalam Bab 6. ‘Wawancara, bukan interogasi. Wawancara dan interogasi dibahas dalam Bab 19. Kuesioner, ditindaklanjuti dengan substansiasi. Tidak jarang entitas meminta pelaksanaan FOSA dilakukan melalui kuesioner atau pelaksana FOSA memandang perlu menggunakan kuesioner. Sesudah entitas mengembalikan kuesioner yang diisinya, pelaksana FOSA wajib memastikan bahwa jawaban atas kuesioner tersebut memang benar. Proses mengecek kebenaran jawaban kuesioner ini disebut substansiasi (substantiation). Bab 1—Akuntansi Forensik 29 5. Observasilapangan. Wawancara dan kuesioner merupakan peralatan pengumpulan materi yang penting. Namun, tidak kalah pentingnya apabila pelaksana FOSA bisa menyaksikan sendiri apa yang terjadi di lapangan. Dengan melakukan observasi di lapangan, pelaksana bisa melihat bagaimana entitas memberikan pelayanan kepada publik, apakah suap terjadi dalam pemberian pelayanan ini, apakah ada prosedur tambahan (yang tidak ada dalam Buku Petunjuk atau jawaban kuesioner), dan seterusnya. 6. Sampling dan timing. Kedatangan pelaksana FOSA di lapangan sangat boleh jadi sudah ditunggu-tunggu oleh entitas, Entitas dapat “mengatur” apa yang boleh ada di lapangan, siapa yang boleh hadir, dan lain-lain. Unsur pendadakan (surprise element) sering kali merupakan kunci sukses pelaksanaan FOSA. Sampling dan timing dapat membantu. 7. Titiklemah dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa sering kali merupakan kegiatan yang paling banyak menghabiskan anggaran di sektor publik. Oleh karena itu, melihat titik-titik lemah dalam proses ini sangatlah penting, Bab 17 membahas hal ini. 8. Profiling. Lihat Bab 10. 9. Analisis data (data analytics). Lihat berbagai teknik computer forensics di Bab 18. Potensi atau risiko fraud dalam sistem dari entitas yang bersangkutan dapat dilihat pada: 1. Kelemahan sistem dan kepatuhan. Istilah yang dipakai untuk sistem bisa bermacam- macam. Ada yang menggunakan istilah sistem pengendalian intern (internal control system), ada yang melihatnya dari segi yang lebih luas, termasuk budaya perusahaan dan pemaksaannya (enforcement) dan menyebutnya lingkup pengendalian intern (internal control environment). Bahkan ada yang menggunakan istilah yang lebih canggih, yakni governance. Pelaksana FOSA berupaya melihat kelemahan dalam sistem atau lingkup pengendalian intern atau kelemahan dalam governance yang membuka peluang atau dilihat sebagai peluang (perceived opportunity) untuk melakukan fraud. Perceived opportunity ini merupakan satu dari tiga sisi dalam fraud triangle. Sistemnya secara teoretis bisa kuat, namun kalau terjadi banyak ketidakpatuhan tanpa pelaksanaan sanksi, ini pun merupakan perceived opportunity dalam pandangan calon pelaku fraud, Data historis seperti laporan audit internal maupun_ eksternal yang menemukan indikasi fraud tanpa ada tindak lanjut dari pimpinan, ‘merupakan petunjuk tentang budaya yang lemah dari entitas tersebut. 2, Entitas sering kali menyajikan pihak-pihak yang disebutnya stakeholders (pemangku kepentingan). Tidak jarang, yang disebut oleh entitas sebagai pemangku kepentingan, sebenarnya adalah benalu untuk entitas itu, Dalam ilmu ekonomi, mereka dikenal sebagai rent seekers. Mereka mungkin pemasok barang dan jasa satu-satunya dalam jenis barang atau jasa yang diperlukan entitas itu. Itulah sebabnya kita perlu mengetahui titik-titik lemah dalam sistem pengadaan barang dan jasa entitas yang bersangkutan. Dari observasi dan bertanya (inquiry), 30 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik pelaksana FOSA bisa mengetahui siapa saja pemasok ini dan berapa lama mereka “berkiprah” di entitas itu. Daftar ini sering kali serupa dengan daftar sponsor dari berbagai kegiatan sosial dan keagamaan yang dilakukan entitas. Kesamaan ini bisa merupakan petunjuk tentang rent seekers. Bentuk lain dari para benalu ini adalah para “calo” di lembaga-lembaga penegak hukum. Bisnis mereka adalah “memperdagangkan perkara-perkara” dengan imbalan yang besar bagi penegak hukum, Dalam tahun 2008 pengadilan tipikor berhasil mengungkapkan dan menghukum pelaku praktik ini, baik oknum jaksa maupun penyuap yang merupakan pebisnis swasta. Rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak yang disiarkan secara terbuka pada tanggal 3 November 2009, mengindikasikan para “makelar” kasus di lembaga-lembaga penegakan hukum. Kemampuan melakukan profiling akan membantu mengidentifikasi benalu-benalu ini. Di Lampiran C bab ini disajikan analisis psikologi dari percakapan telepon Artalyta Suryani dengan jaksa Urip Tri Gunawan (atau percakapan antara Anggodo dengan petinggi Polri dan Kejaksaan). Meskipun dalam COSA kita belum mempunyai bukti percakapan telepon seperti ini, namun analisis psikologinya sangat relevan. Dalam komunikasi antara “pemberi” dan “penerima’” tugas terlihat ketidaksetaraan ini, Hal yang harus diwaspadai adalah apakah jenis “hubungan keuangan” antara penyelenggara negara (petugas) dengan pihak swasta. Apakah pihak swasta menyuap penyelenggara negara? Atau, penyelenggara negara memeras pihak swasta? Dalam fraud tree, yang pertama (penyuapan) disebut bribery, sedangkan yang kedua (pemerasan), extortion. Dari mana pelaksana FOSA mendapatkan informasinya? Ada beberapa sumber informasi, sepertis 1. Entitas yang bersangkutan seharusnya merupakan sumber penting. Sekalipun informasi ini cenderung bersifat normatif dengan merujuk ke peraturan perundang- undangan dan peraturan internal entitas, yang belum tentu ditaati. Mungkin, peraturan perundang-undangan dan peraturan internal yang disebutkan entitas tersebut, sudah tidak berlaku, Ini merupakan petunjuk penting tentang lemahnya sistem entitas tersebut, Entitas yang dikaji mungkin suatu Direktorat Jenderal. Informasi dari entitas yang bersangkutan bisa meliputi seluruh struktur atau hierarkinya, atau sebagian saja. Dalam setiap organisasi ada “organisasi informal yang tersembunyi” (hidden informal organization) dan pemimpin informal (informal leaders) yang berpotensi menjadi sumber informasi penting. 2. Pressure groups atau grup penekan seperti media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan sumber informasi penting. Media cetak maupun elektronik sering kali menyajikan pelaporan investigatif (investigatif reporting) yang tajam dan tepercaya. Bab 1—Akuntansi Forensik 31 3. Whistleblowers merupakan sumber yang memberikan warna lain dalam pengumpulan materi untuk mengidentifikasikan potensi dan risiko fraud. Tidak selamanya whistle-blowers ini mempunyai niat baik. Mereka mungkin anggota “barisan sakit hati” dalam entitas tersebut. Mereka bisa terdiri atas pensiunan penyelenggara negara, pejabat atau pegawai yang masih berdinas aktif (amati peta persaingan antarpejabat), para pemasok barang dan jasa yang dikorbankan untuk memenuhi ketentuan formal tender, dan sebagainya. 4, Masyarakat sering kali berani melaporkan ketidakberesan dalam suatu entitas, apalagi kalau mereka merupakan pihak yang menerima pelayanan tidak baik dari entitas itu, 5. Google atau search engine lainnya. Banyak informasi di Google mengandung unsur “kejutan’” (surprise). Contoh: pejabat atau penyelenggara negara yang sudah atau akan menduduki jabatan penting pada saat ini. la mungkin mempunyai masa lalu yang sudah dilupakan atau terlupakan orang banyak, misalnya sebagai koruptor, atau pejabat kejaksaan yang sering memberikan SP3, atau hakim yang memberikan vonis bebas kepada koruptor kakap, dan lain-lain, Pemberitaan di masa lalu meninggalkan jejak di Google atau search engine lainnya. Juga ada organisasi yang menjual informasi mengenai apa yang dikenal sebagai politically exposed persons. Politically exposed persons ini dapat merugikan bahkan menghancurkan Jembaga negara. (lihat http://fis dowjones.com/politically-exposed-persons.html) Pelaksana FOSA bisa dan seharusnya memanfaatkan data historis yangmemberi petunjuk tentang titik-titik rawan fraud di entitas tersebut. 1. _Disektor publik, misalnya, ada kajian-kajian seperti survei integritas (lihat Bab 2) ‘atau COSA yang dilakukan KPK di berbagai entitas atau lembaga. 2. Mungkin di masa lalu sudah ada perkara pengadilan, atau kasus yang masih berjalan, atau kasus yang ditutup atau di SP3-kan karena berbagai alasan. 3. Kajian tentang persepsi korupsi (lihat Bab 2) 4, Bank Dunia (World Bank) mendokumentasikan praktik-praktik korupsi diberbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa bagian dari terbitan tersebut (The Many Faces of Corruption) memberikan petunjuk mengenai praktik-praktik korupsi di sektor publik yang merupakan referensi historis (kalau kasus itu terjadi di Indonesia) atau referensi pembanding (kalau kasus itu terjadi di negara lain). A custom risk map (peta risiko di Bea dan Cukai) merupakan contoh dari referensi pembanding. Langkah kedua dalam FOSA adalah menganalisis dan menyimpulkan berbagai informasi yang diperoleh dalam langkah pertama. Pelaksana FOSA menggabungkan berbagai analisis tentang potensi atau risiko fraud yang satu sama lain mungkin tidak sejalan, dan ada kesenjangan. Pelaksana FOSA melakukan analisis kesenjangan untuk mengetahui mengapa satu analisis berbeda dari analisis yang lain, termasuk tanggapan yang diberikan entitas terhadap kesimpulan sementara. 32 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Analisis dalam langkah kedua, dan khususnya analisis kesenjangan, mendorong terjadinya proses check and recheck pada akhir langkah kedua. Hal ini terlihat dari lingkaran umpan balik (feedback loop). Baru sesudah Pelaksana FOSA puas dengan gabungan dari berbagai analisis itu, ia memberikan kesimpulan atau penilaian mengenai risiko atau potensi fraud (assessment of potential fraud or risk of fraud). Kesimpulan mengenai potensi risiko dalam langkah kketiga lazimnya diikuti dengan rekomendasi seperti terlihat dalam kajian sistem oleh KPK (Kotak 1.7). PENUTUP Akuntansi forensik pada dasarnya menangani fraud. Tindak pidana korupsi, seperti akan dibahas dalam bab lain, adalah salah satu contoh dari sekian banyak bentuk fraud atau white-collar crime (kejahatan kerah putih). Bagaimana profil dari pelaku fraud ini? Ada ‘yang menggambarkan mereka sebagai serakah, licik, dan lihai (cerdik dalam konotasi yang jelek). Di Amerika Serikat, pelaku fraud ini dimanfaatkan untuk mendeteksi fraud lainnya dan menangkap pelakunya, Pelaku fraud yang cerdik, dimanfaatkan negara. Barry Minkow (Figur 1.5) adalah pendiri, pemegang saham utama dan CEO dari ZZZZ Best (perusahaan pembersih karpet). Bulan Maret 1989 dalam usia 23 tahun, Barry Minkow dengan penuh penyesalan mengakui telah melakukan fraud. Dengan marah, hakim_ Dickran Tevrizian menghukumnya 25 tahun penjara ditambah uang pengganti $26 juta. “Anda berbahaya? kata hakim, “Anda tidak punya nurani’, Bulan November 2005, Barry Minkow berdiri di depan mantan-mantan penegak hukum dari Securities and Exchange Commission yang berkumpul di Philadelphia untuk mendengar ceramahnya tentang kejahatan keuangan, Figur 1.5 Barry Minkow Bab 1—Akuntansi Forensik 33 Barry Minkow mendirikan Fraud Discovery Institute yang membantu FBI, penegak hukum dan perusahaan-perusahaan untuk mengungkapkan fraud. Melalui kegiatan penyamaran (sting operation) FBI, Barry Minkow berpura-pura akan menanam $2 juta dan berhasil mengungkap kecurangan tingkat global yang dilakukan seorang Selandia Baru bernama Derek Turner. ‘Ada juga pemanfaatan kecerdikan penjahat oleh FBI, yang kisahnya diangkat ke layar putih dengan judul Catch Me if You Can. Film ini mengisabkan Frank Abagnale Jr. yang berhasil mengelabui FBI dengan mengganti identitasnya. Keahliannya dalam memalsukan uang dan surat-surat berharga dimanfaatkan FBI untuk menangkap penjahatlain (dalam film ini Leonardo DiCaprio memainkan peran Frank Abagnale Jr. dan Tom Hanks sebagai agen FBI), Apakah kita mau memanfaatkan keahlian para koruptor? Kecerdikan Adrian Waworuntu (Figur 1.6), misalnya, bisa dimanfaatkan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan untuk ‘mengantisipasi dan melacak kejahatan perbankan. Figur 1.6 Adrian Waworunt Contoh konkret di mana negara memanfaatkan pelaku fraud sudah ada. Terakhir, dalam kasus Vincentius Amin Sutanto, mantan Financial Controller Asian Agri Group. Ta “membobol” uang Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd. di Fortis Bank, Singapura sebesar USS3,1 juta (sekitar Rp28 miliar). Perbuatannya terbongkar ketika ia baru mencairkan sebagian kecil uang tersebut, yakni sebesar Rp200 juta. Perbuatan Vincentius Amin Sutanto diadukan Asian Agri ke kepolisian. la melarikan diri kke Singapura, dan polisi memasukkan namanya ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Tidak Jama kemudian ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Ja meminta ampun kepada Sukanto ‘Tanoto, permintaannya ditolak. Asian Agri Group dimiliki oleh pengusaha Sukanto Tanoto. Vincentius Amin Sutanto mengadukan dugaan manipulasi pajak Asian Agri ke KPK. Penyelidikan gabungan Direktorat Jenderal Pajak dan KPK terhadap 14 unit usaha Asian Agri, menunjukkan indikasi kuat terjadinya manipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan pajak sepanjang 2002-2005 lewat berbagai modus. Negara diduga kehilangan penerimaan Pajak Penghasilan sekitar Rp1,3 triliun. 34 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Figur 1.7 Sukanto Tanoto Vincentius Amin Sutanto Tanggal 9 Agustus 2007, Vincentius Amin Sutanto divonis 11 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Vincentius Amin Sutanto dan dua rekannya terbukti melakukan pencucian uang (money laundering) dan memalsukan dokumen untuk pencucian uang tersebut. Kedua rekannya, Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto, masing-masing. divonis 8 tahun, Hukuman tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum Supardi B. P. Marbun selama 10-12 tahun. Vincentius terbukti melakukan pencucian wang USD3,1 juta (Sekitar Rp28 miliar) milik Asian Agri. Permohonan bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 2 November 2007. Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasinya. Kepala Biro Humas MA Nurhadi menyatakan, putusan majelis hakim agung yang diketuai Djoko Sarwoko itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menghukum Vincentius Amin Sutanto 11 tahun penjara. “Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang dan pemalsuan surat, dan menghukum terdakwa penjara selama 11 tahun dan denda Rp150 juta subsider 1 tahun kurungan,” kata Nurhadi mengutip putusan majelis hakim tanggal 26 Maret 2008. Ketua Indonesia Court Monitoring, Denny Indrajana menyatakan mestinya Vincentius ‘Amin Sutanto dilindungi. “Bagaimanapun, dia membantu membongkar kasus pajak;” katanya. Perlindungan bagi Vincent, menurut Denny, bisa berupa pengurangan hukuman sampai pembebasan. Denny menambahkan, “Untuk kasus-kasus berskala besar seperti ini sering kali penyidik menemui kesulitan jika tidak dibantu informasi ‘orang dalam”. Majalah Tempo (edisi 19 April 2009) menyajikan jejak kasus manipulasi pajak Asian Agri sejak Vincentius Amin Sutanto menyerahkan datanya ke KPK (Desember 2006) sampai saat Kejaksaan Agung, Departemen Keuangan, dan Direktorat Jenderal Pajak melakukan gelar perkara (April 2009). Perjalanan waktu yang sangat panjang ini,baru sampai tahap gelar perkara. : Bab 1—Akuntansi Forensik 35 CATATAN KAKI Tulisan D. Larry Crumbley ini diambil dari home page: Journal of Forensic Accounting. Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz, him. 228. ‘Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, hat Bab 8 dan Aneks 2. Lihat dokumen Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia mengenai Auditor Forensik dan pembahasannya tanggal 22 Desember 2008 di Jakarta. Kompas, 25 Februari 2006. Laporan Pricewaterhouse Coopers, Report to the Audit Board of the Republic of Indonesia in relation to a Special Investigation of the circumtances surrounding the dealings by PT. Bank Bali Tbk. (and others) in funds obtained from the Indonesian Government Guarantee Scheme. Figur 1.2 dan 1.3 merupakan bagian dari rekaman KPK dalam persidangan Adrian Waworuntu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK yang memperkenankan penulis menggunakan video klip tersebut. ‘Theodorus M, Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, lihat Bab 1 dan 2. Ibid., Bab 8. Tbid., Bab 6. Konsep hukum ini dibahas secara khusus dalam ibid., Bab 3, Para akuntan forensik dapat menggunakan disertasi Dr. Rosa Agustina sebagai acuan. 36 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Lampiran A Catatan Lampiran A ini menyajikan suatu kasus cukup besar yang diselesaikan melalui proses arbitrase, Ini adalah contoh penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau out-of-court settlement, Kasusnya tidak sederhana. Oleh karena disajikan sekadar sebagai ilustrasi, sumber yang dipakai adalah Kliping Kompas dan Kontan (http://www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/15609/Arbitrase- Minta-Pertamina-Bayar-Kerugian-Lirik-Petroleum) keduanya tanggal 12 Juni 2009. Ada perbedaan nama blok (lapangan) dalam kedua sumber ini; Kompas menyebutnya Molek, sedangkan menurut Kontan, Sago. Bab 26 akan membahas Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam bab itu, kasus ini akan dibahas secara lebih mendalam dari segi hukum. Pertamina Harus Bayar Putusan Arbitrase Ganti Rugi Rp344,9 Miliar Sengketa Pertamina-Lirik Petroleum Lirik Petroleum adalah mitra Pertamina dalam pengelolaan lapangan Lirik lewat mekanisme badan operasi bersama atau joint operating body (JOB) pada tahun 1995. Saat itu Lirik Petroleum mengajukan kewenangan pengelolaan untuk empat blok yang berlokasi di Sumatra, yaitu Lirik, North Pulai, South Pulai, dan Molek. Hanya lapangan Lirik yang disetujui. Lirik Petroleum menggugat potensi kerugian mereka karena tidak mendapat hak pengelolaan tiga lapangan yang lain. Lapangan Lirik sudah kembali dikelola Pertamina setelah kontrak pengelolaannya berakhir. Pertamina dalam Ajang Arbitrase Internasional PT Pertamina harus membayar ganti rugi US$34,49 juta atau sekitar Rp344,9 miliar kepada Lirik Petroleum. Itulah keputusan arbitrase yang mengabulkan tuntutan Lirik Petroleum. Pertamina EP dan Pertamina menjadi tergugat dalam kasus itu. ‘Mohammad Harun, Kepala Humas PT Pertamina EP mengatakan, hakim arbitrase internasional yang melakukan penilaian atas gugatan Lirik kepada Pertamina dan Pertamina EP telah mengeluarkan keputusan final pada tanggal 27 Februari 2009. Arbitrase menilai Pertamina telah melakukan kesalahan dengan hanya menyetujui satu dari empat rencana pengembangan lapangan migas yang dimiliki JOB Lirik dalam kurun waktu 1995 sampai 1996. Lapangan (blok) yang diberikan persetujuan pengembangannya Bab 1—Akuntansi Forensik 37 adalah lapangan Lirik. Pertamina menolak pengembangan tiga lapangan lainnya (North Pulai, South Pulai, dan Sago) karena dianggap tidak komersial. Satu lagi kasus kekalahan Pertamina dalam ajang arbitrase internasional. Dalam bulan Oktober 2006, Pertamina juga kalah dalam menghadapi tuntutan Karaha Bodas. Pertamina harus membayar US$265 juta untuk pembatalan Proyek Listrik Tenaga Panas Bumi di Garut, Jawa Barat. Keberatan Pertamina Untuk eksekusi keputusan tersebut, Pertamina harus mendaftarkannya ke Pengadilan Negeri Jakarta, Mohammad Harun pada hari Jumat, 12 Juni 2009 mengatakan, pihaknya sudah ‘menyampaikan keberatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas eksekusi putusan itu. “Pertamina tidak akan dengan mudah mengeluarkan uang sebesar itu kepada JOB Lirik?” katanya, Pertamina menilai cara pandang arbitrase yang menempatkan status Pertamina sebagai kontraktor kerja sama keliru sebab masalah dengan Lirik Petroleum terjadi pada 1995-1996 ketika status Pertamina adalah pemegang kuasa pertambangan migas mewakili pemerintah, Posisi Pertamina waktu itu seperti BP Migas sekarang. Dari empat lapangan yang diminta untuk dikelola, Pertamina menilai hanya satu yang memenuhi syarat. BP Migas sekarang juga berhak menolak rencana kerja kalau tidak ‘memenuhi syarat, Pertamina berhak menolak rencana pengembangan lapangan minyak yang diajukan JOB Lirik karena dianggap tidak menguntungkan. Kalau tetap dikomersialisasikan, cost recovery-nya harus diganti negara. Ini jelas merugikan negara. “Kami minta agar ada mediasi dulu atas putusan itu karena ada beberapa hal yang kami nilai berlebihan, misalnya panel memutuskan ganti rugi US$34 juta, sementara penggugat hanya mengajukan USS9 juta. Selain itu, patut dipertanyakan mengapa baru sekarang mereka mengajukan gugatan? kata M. Harun. 38 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Lampiran B Kombes Wiliardi Merasa Dijebak Polri Harus Benahi Sistem Promosi Internal Sumat, 8 Mei 2009 | 04:19 WIB Jakarta, Kompas—Salah satu tersangka pembunuh Nasrudin Zulkarnaen, Komisaris Besar Wiliardi Wizard, merasa dijebak oleh orang-orang yang selama ini dianggapnya dapat dipercaya dan beriktikad baik. Pengacara Yohanes Yakob yang ditemui di Jakarta, Kamis (7/5) malam, menjelaskan, Wiliardi menganggap tersangka Sigid Haryo Wibisono sebagai pengusaha bonafide dan memiliki akses politik bagus sehingga layak dibantu saat minta tolong. “Kelemahan Wiliardi adalah mudah percaya kepada orang. Kebaikan hatinya dimanfaatkan orang lain. Sosok Sigid yang dianggap bonafide dan memiliki pergaulan luas membuat Wiliardi serta-merta mengiyakan saat dia meminta bantuan. Wiliardi yang dimintai tolong Sigid akhirnya menghubungi Jer yang mengontak Edo” kata Yakob. Setelah Wiliardi bertemu dengan Jer dan Edo, mereka meminta dana operasional. Oleh karena yang memberi order adalah Sigid, Wiliardi membawa Edo ke kantor Sigid di Jalan Kerinci, Jakarta Selatan, Perundingan dilakukan antara Edo dan Sigid, Wiliardi harus kembali ke kantor karena suatu urusan sehingga tidak tahu-menahu rencana pembunuhan. ‘Yakob melanjutkan, Wiliardi tidak terlibat tindak pidana karena tidak mengetahui motif permintaan tolong Sigid untuk membunuh seseorang dan tidak menikmati sepeser pun uang, Rp500 juta dana operasional dari Sigid ke Jer-Edo dan rekan. Sebelumnya, Sigid pernah mempertemukan Wiliardi satu kali di rumah Jalan Pati Unus 35, Jakarta Selatan, dengan Antasari Azhar. Ketika itu, lanjut Yakob, pokok bahasan adalah karier Wiliardi. Sigid mengupayakan lewat Antasari dapat membantu mengangkat nama Wiliardi, alumnus Akademi Kepolisian tahun 1984, di jajaran petinggi Mabes Polri. Upaya membuktikan adanya keterlibatan Wiliardi sebagai perancang pembunuhan dinilai mengada-ada. “Kalau harus ditindak, seharusnya Wiliardi dikenai pelanggaran etika Polri? ujar Yakob. Kebiasaan di Polri ‘Sementara itu, anggota Komisi Kepolisian Nasional, Novel Ali, Kamis, mengatakan, dugaan eterlibatan Komisaris Besar Wiliardi Wizard dalam pembunuhan Nasrudin mencuatkan pertanyaan soal kebiasaan di tubuh Polri dalam memperoleh pangkat dan jabatan. Sebab, ‘dugaan kepolisian sementara, Wiliardi terdorong oleh ambisi ingin segera naik pangkat dan mendapat jabatan strategis. Bab 1—Akuntansi Forensik 39 Kebiasaan “nonformal” dalam memperoleh jabatan dan pangkat di tubuh Polri memang ‘masih dianggap oleh banyak anggota Polri sebagai jalan utama yang efektifketimbang mengikuti sistem yang berlaku, Sekalipun, di level pimpinan, Kepala Polri berkali-kali menegaskan bahwa jabatan dan pangkat hanya bisa ditempuh melalui sistem yang sepatutnya. Pengacara Antasari, Juniver Girsang, juga membenarkan, Antasari pernah dimintai Sigid untuk membantu kelancaran karier Wiliardi dengan cara melobi ke pimpinan Poli. Sementara itu, pengajar Program Pascasarjana Kajian IImu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, mengatakan, kasus Wiliardi memang mencerminkan. kebiasaan negatif di Polri selama ini yang sejak dulu terpelihara, “Kita patut apresiasi keberhasilan Polri cepat mengungkap kasus ini dan keterbukaan Polri menindak anggotanya sendiri yang diduga terlibat. Namun, jangan dilupakan ada ‘masalah internal yang harus dibenahi, yaitu merit systems” kata Bambang. 40 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Lampiran C Pesan Moral Kasus Urip-Artalyta Sabtu, 16 Agustus 2008 | 01:03 WIB Zainal Abidin Menarik untuk dianalisis seluruh isi percakapan Artalyta Suryani dengan para pejabat Kejaksaan Agung. Pelajaran moral apa yang bisa dipetik dari hal itu? Dalam rekaman percakapan itu Artalyta mendominasi pembicaraan, sedangkan Urip ‘mengamininya. Artalyta mengarahkan Urip agar terus konsisten dengan skenario yang telah dia susun. Urip, seperti murid yang patuh, mengiyakan (beberapa kali dia menggumamkan kata-Kata “ya’, “iya’, “he-eh’) instruksi Artalyta (yang dipanggilnya “Ibu Guru”). Dalam psikologi komunikasi, bentuk komunikasi seperti itu memperlihatkan adanya dialog di antara dua individu yang kedudukannya tidak sejajar. Di satu pihak, ada yang posisinya lebih tinggi atau superior (Artalyta), sedangkan di pihak lain lebih rendah atau inferior (Urip). Jika Urip bukan seorang jaksa, mungkin isi rekaman itu tidak akan membuat masyarakat terenyak dan trenyuh, Namun, masyarakat tahu bahwa Urip adalah seorang pejabat tinggi di kejaksaan, memiliki kedudukan penting dalam pemberantasan KKN. Dia adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidikan BLBI. Maka, sangat lucu dan janggal, seorang yang tahu dan berpengalaman dalam masalah hukum diarahkan tentang kesaksian di pengadilan oleh seorang pengusaha yang bukan ahli hukum! Analog Film Mafia Kasus ini memunculkan pertanyaan dalam masyarakat: kenapa seorang pejabat hukum yang terhormat patuh pada pengarahan seorang terdakwa yang bukan ahli di bidang hukum? Jawaban commonsense mengacu pada metafor dalam film-film laga atau mafia. Sering dikisahkan dalam film-film tersebut bahwa dalam melakukan aksi-aksi kejahatan, para bos mafia biasanya memanfaatkan para penegak hukum, seperti hakim, jaksa, pengacara, dan polisi. Mereka memanfaatkan para penegak hukum tersebut agar aksi-aksi kejahatan yang mereka lakukan tidak disentuh oleh hukum. ara penegak hukum yang lemah moral dan harga dirinya, dan tidak puas akan kehidupan ckonominya, dengan mudah masuk dalam perangkap mafia. Mereka menjadi kaki tangan bos mafia demi sejumlah imbalan ekonomi. Sebagai balasannya, mereka sangat loyal dan patuh. Mereka dapat melakukan apa saja untuk kepentingan bos mafia, termasuk berbohong kepada publik, menutupi-nutupi kejahatan, memutarbalikkan logika hukum dan moralitas, bahkan membocorkan rahasia negara. Mercka jadi pion yang dapat dimainkan oleh para bos. Bab 1—Akuntansi Forensik 41 Inj dapat dipahami karena logikanya, orang yang memberi kekuatannya lebih tinggi dibandingkan orang yang menerima. Hilangnya Harga Diri Dalam konteks inilah persoalan moral pribadi (personal morality) menjadi sangat krusial, Salah satu motif utama para penegak hukum masuk dalam perangkap mafia adalah ingin ‘meningkatkan harga diri. Dalam terminologi Adler (1978), mereka sebetulnya menderita inferiority complex, dan untuk kelihatan menjadi superior, mereka melakukan KKN. Mereka menduga bahwa dengan kekayaan, mereka dapat meningkatkan harga diri mereka di dalam keluarga, kerabat, dan lingkungan sosialnya, Harga diri terangkat jika mereka dapat memperlihatkan kekayaan (yang merupakan lambang “kesuksesan” dalam masyarakat kapitalis) saat berkumpul dengan para kerabat dekat dan tetangganya. Mercka ‘merasa bangga bila banyak orang tahu bahwa mereka menyumbang tempat-tempat ibadat, yayasan anak yatim piatu, dan keluarga tidak mampu. Mereka mungkin lupa bahwa untuk mendapatkan “superioritas” seperti itu, mereka sebetulnya harus melupakan akal sehat dan merendahkan harga diri, Dalam kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim, mereka sesungguhnya dikendalikan oleh pengemplang uang negara. Mereka secara ekonomis, psikologis, dan sosial mengalami “kerugian” karena hanya menerima Rp6 miliar, padahal risiko yang harus mereka tanggung sangat besar. Sementara Sjamsul Nursalim sendiri (sang “bos”) mendapatkan “keuntungan” yang luar biasa, Rp14,6 triliun dan bebas dari jeratan hukum! Aspek moral lainnya berkaitan dengan tidak adanya rasa keadilan dan ketidakpedulian terhadap kepentingan publik. Sangat tidak adil mengorbankan kepentingan publik untuk kepentingan pribadi (dan kepentingan kelompok sendiri), terutama dalam situasi sulit yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Dalam kondisi ekonomi nasional yang terpuruk seperti sekarang, tindakan mereka bukan hanya dikategorikan kejahatan kriminal, tetapi juga ‘merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Bayangkan seandainya Sjamsul Nursalim diadil dan dinyatakan bersalah, lalu seluruh atau sebagian utangnya dikembalikan kepada negara, paling tidak sebagian rakyat miskin dapat terbantu hidupnya dan bayi yang kekurangan gizi dapat tertolong masa depannya. Inti dari pelajaran moral dari kasus rekaman Urip-Artalyta adalah bahwa korupsi tidak menjadikan pelakunya terangkat harga dirinya, melainkan justru terpuruk, merendahkan dirinya sendiri, dan kehilangan akal schat. Pelajaran lainnya adalah bahwa perbuatan KKN dalam situasi ekonomi yang sulit pada dasarnya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Zainal Abidin, Dosen Fakultas Psikologi Unpad dan Pascasarjana UI Depok 42 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik BAB 2 ee Mengapa Akuntansi Forensik? PENGANTAR Cakupan akuntansi forensik pada dasarnya adalah fraud dalam arti seluasnye. Dalam Bab 6 dan bab-bab lain kita akan melihat pembahasan mengenai fraud, pencégahannya, dan pendeteksiannya. Association of Certified Fraud Examiners mengelompokkkan fraud ‘dalam tiga kelompok besar, yakni corruption (korupsi), asset misappropriation (penjarahan aset), dan fraudulent financial statements (laporan kewangan yang dengan sengaja dibuat menyesatkan). Kalau seorang auditor dapat disebut sebagai akuntan yang berspesialisasi dalam auditing, ‘maka akuntan forensik menjadi spesialis yang lebih khusus lagi (super specialist) dalam bidang. ravi. Ya menjadi fraud auditor atau fraud examiner. ‘Mengapa akuntansi forensik? Karena ada fraud, baik berupa potensi fraud maupun nyata-nyata ada-fraud. Itulah jawaban singkatnya atas pertanyaan yang menjadi judal bab ini, Fraud menghancurkan pemerintahan maupun bisnis. Fraud berupa: korupsi lebih Tuas daya penghancurnya, Pendidikan pun ikut dirusaknya, Ketika korupsi berkecamuk sedemikian hebatnya, pebisnis dan mahasiswa akuntansi forensik sekalipun, bertanya; apa salahnya korupsi? Mengapa benturan kepentingan (conflict of interest) dipersoalkan? Pada pertemuan Asia Pasifik mengenai fraud tahun 2004 (2004: Asia Pacific Fraud. Convention), Deloitte ‘Touche Tohmatsu melakukan polling terhadap 125 delegasi. Polling tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan peserta (82%) menyatakan bahwa mereka ‘mengalami peningkatan dalam corporate fraud (fraud di perusahaan) dibandingkan dengan tahun sebelumnya; 36% di antaranya menyatakan peningkatan fraud yang teramat besar. 44 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Khusus fraud dalam bisnis di Australia untuk tahun 2003, menurut perkiraan Australian Institute of Criminology berjumlah $5,8 miliar per tahun. Partner forensik dari Deloitte, Richard Batten, mengatakan “with corporate fraud on the rise, businesses without fraud prevention strategies are at serious risk of revenue leakage and reputation damage” (“dengan meningkatnya fraud di perusahaan, bisnis yang tidak mempunyai strategi perlindungan menanggung risiko kebocoran pendapatan dan kehancuran dalam reputasi).” Akuntan forensik mengamati dan memahami gejala fraud secara makro, pada tingkat perekonomian negara. Ada banyak kajian global yang dapat dimanfaatkan. Sebagian kajian ini akan dibahas di bab ini, dan beberapa kajian lainnya, di Bab 7 (lihat bagian berjudul “Delapan Pertanyaan mengenai Korupsi”). Kajian-kajian lembaga internasional bermanfaat dalam memberikan pemahaman. ‘Namun, kajian ini mempunyai keterbatasan operasional. Oleh karena itu, pemahaman tentang korupsi di Indonesia dari kajian-kajian lembaga internasional, dilengkapi dengan kajian yang lebih fokus. Di antaranya, kajian mengenai integritas yang dibuat KPK. Kajian tersebut juga dibahas dalam bab ini. CORPORATE GOVERNANCE Bagian ini tidak akan membahas makna dan cakupan dari corporate governance. Istilah dalam bahasa Inggrisnya pun sudah diterima secara luas di dunia akademi maupun bisnis di Indonesia. Tidak jarang corporate governance diberikan sebagai mata kuliah di fakultas ekonomi. Meskipun sorotan utama mengenai fraud pada umumnya, dan korupsi khususnya, adalah pada kelemahan corporate governance atau kelemahan di sektor korporasi, namun prinsip umumnya adalah kelemahan di sektor governance, baik korporasi maupun pemerintahan. Di Indonesia hal ini sangatjelas terlihat dalam perkara-perkara korupsi dari para penyelenggara negara. Juga jelas dari kajian KPK yang disebutkan di atas. ‘Apa dampak kelemahan governance pada umumnya, baik korporasi maupun pemerintahan? Pembaca dapat menarik kesimpulan sendiri tentang DPR pasca-penangkapan dan vonis para anggotanya, juga aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, bahkan Mahkamah Agung. Sebagian kasus tersebut dapat ditemukan dalam buku ini. ‘Apa dampak kelemahan governance di korporasi? Secara teoretis (dengan efficient market hypothesis) dapat dijelaskan bahwa perusahaan yang lemah governance-nya, akan dihukum oleh pasar modal berupa lebih rendahnya harga saham mereka. Dengan perkataan lain, saham mereka scharusnya mempunyai nilai yang lebih tinggi kalau mereka mempunyai good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik). Konsultan manajemen McKinsey melakukan kajian global mengenai hal ini dalam tahun 2002. Hal yang dilihat adalah substansi dari penerapan corporate governance, dan bukan Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 45 bentuk Iuarnya (substance over form), Syarat mengenai adanya Dewan Komisaris dan ada Direksi, mungkin saja seolah-olah terpenuhi. Namun, para komisaris dan direktur adalah anggota keluarga. Atau, ada komisaris “independen’, tetapi pemegang saham mayoritas sangat dominan dalam pengambilan keputusan, Substansi good corporate governance tidak ada, karena oversight (pengawasan) tidak berjalan. Dalam pembahasan berikut istilah dewan yang digunakan untuk menerjemahkan Board of Directors. Di negara-negara yang menganut two-board system seperti Indonesia, ada dewan Komisaris dan ada direksi. Di negara lain yang menganut one-board system, hanya ada satu dewan yang anggotanya disebut directors dan independent directors. Dalam kajian McKinsey, salah satu pertanyaan yang diajukan kepada institutional investors adalah ketika Anda mengevaluasi perusahaan di mana Anda akan melakukan investasi, apa yang lebih penting, kinerja keuangan atau praktik-praktik dewan yang Sehat (board best practices). Jawabannya bervariasi dari kawasan yang satu ke kawasan yang lain (ihat Bagan 2.1). Bagan 2.1 Kinerja Keuangan atau Praktile Dewan yang Sehat evaluating companies for potential investment, how imp practices relative to financial issues ave ron end fe eeernn Peete rn Sumber: McKinsey Investor Opinion Study: Pertanyaan lain yang diajukan kepada institutional investors adalah apakah Anda bersedia membayar lebih untuk saham-saham dari perusahaan yang melaksanakan praktik dewan yang sehat? Jawabannya juga bervariasi dari kawasan yang satu ke kawasan yang lain (lihat Bagan 2.2) AG! ~ =“ iggtatt=poagaiba a at ortaalk Bagan 2.2 Kesediaan untuk Membayar Premium a Ada Praketile Sehat Sumber: McKinsey Investor Opinion Study. Pertanyaan terkait dengan pertanyaan sebelumnya adalah berapa persen lebih tinggi yang Anda bersedia bayar lebih untuk saham-saham dari perusahaan yang melaksanakan praktik dewan yang sehat? (lihat Bagan 2.3), Bagan 2.3 Premium untuk Praletik Dewan yang Sehat Sumber: McKinsey Investor Opinion Study Bagan 2.3 menunjukkan bahwa makin lemah corporate governance (dalam hal ini praktik tidak sehatnya dewan), makin besar premium atau kelebihan yang investor bersedia bayar, jika memang ada perbaikan. Bagan 2.4 mencerminkan berapa persen tambahan (premium) investor bersedia membayar untuk perusahaan yang corporate governance-nya baik (hasil survei, 2002). Untuk Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 47 perusahaan Indonesia tambahannya sebesar 259%, Jadi kalau saham suatu perusahaan di Bursa Bfek Jakarta diperdagangkan dengan harga Rp!.000, investor bersedia membayar premium. Rp250 atau harga per saham Rp1.250. Premium ini berbanding terbalik dengan corporate governance dari perusahaan Indonesia pada saat survei berlangsung. Bagan 2.4 Average premium investors are willing to pay for well-governed company,' 2002, % "Of those investors willing to pay premium. ‘Sumber: Survei McKinsey investor opinion, 2002. Pertanyaannya adalah apakah ada korelasi antara corporate governance dengan kinerja keuangan? Pertanyaan terkaitnya ialah: Apakah ada korelasi antara skor dalam corporate governance dengan kinerja pasar modal (harga saham di pasar modal)? Jawaban atas kedua pertanyaan ini terlihat dalam Bagan 2.5 dan Bagan 2.6. Ini adalah hasil kajian CLSA. [CLSA adalah kelompok broker independent dan investasi yang menyediakan jasa-jasa pasar modal seperti equity broking, merger and acquisition, dan asset management services kepada korporasi global dan klien-klien institusional.] 48 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Bagan 2.5 Korelasi antara Corporate Governance dengan Kinerja Keuangan Correlation between CG Scores and Financial Performance 40.0% a a 35.0% 300% 25.0% 200% 150% 100% 5.0% OT meer Top uate atom Que maroc] za5% a8 Bow ROE 212% 20% ao% CLSA menyebutnya korelasi yang hampir sempurna antara corporate governance di Japisan teratas dan lapisan terbawah, dengan kinerja keuangan yang diukur berdasarkan ROCE (return on capital employed)? dan ROE (return on equity). Bagan 2.6 Korelasi antara Skor dalam Corporate Governance dengan Kinerja Pasar Modal Correlation between CG Scores and Stock Market yerformar 000% - 900% 200% 700% 800% 500% 400% 300% 200% 100% ener (%) Avenge Top Quate (m3 Yee mm 2 [msves| em =m Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 49 CLSA menyimpulkan adanya korelasi yang kuat antara skor corporate governance dengan kinerja harga saham, Bagan 2.7 mengindikasikan penyebab dari corporate governance yang lemah. Singapura menunjukkan penegakan hukum yang kuat dan penerapan akuntansi yang diadopsi dari asosiasi profesi internasional, secara ketat, Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya, Singapura juga kuat dalam penegakan hukum dan pelaksanaan standar akuntansinya, ia kuat dalam enforcement. Bandingkan kedua hal ini di Singapura dengan di Indonesia dan Cina. Itulah sebabnya mengapa McKinsey memberi judul Bagan 2.7 sebagai Toothless Tiger atau Macan Ompong. Bagan 2.7 Toothless tigers? ‘1 = lowest, 100 = highest felicia! ‘© Enforcement @ Rules, reguistionsy adoption of IGAAP ‘international generally accepted accounting principies. Sumber: CG Watch 2003, CLSA Emerging Markets and Asian Corporate Governance Association, April 2003; McKinsey analysis. Enforcement sangat penting. Kelemahan dalam bidang penegakan hukum, standar akuntansi, dan lain-lain konsisten dengan tingkat korupsi dan kelemahan dalam penyelenggaraan negara. 50 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Khusus untuk Indonesia, perhatian akuntan forensik adalah pada penemuan fraud dalam arti korupsi. Gerakan memerangi korupsi adalah gerakan yang bersifat global. Gerakan global ini tidak sekadar slogan basa-basi. Ini terbukti dari dukungan negara-negara maju yang ‘mempunyai undang-undang seperti Foreign Corrupt Practices Act di Amerika Serikat (Bab , 27), UN. Convention Against Corruption (Konvensi PBB untuk memberantas korupsi), Bank Dunia (Bab 1 dan 28) maupun traktat-traktat internasional di bidang Ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (Bab 28). Business Monitor International (BMI) dalam forecast pada kuartal keempat 2005 memuat SWOT Analysis mengenai lingkungan usaha (business environment) di Indonesia.® Analisis ini dapat dilihat dalam Kotak 2.1. Kotak 2.1 SWOT Analysis-Business Environment . Dalam weakness dicantumkan dua bank BUMN yang terlibat skandal korupsi. Bank . Mandiri kemudian terbukti juga mengalami kasus korupsi. Juga untuk kelemahan kedua; meskipun contohnya berbeda, kelemahan yang serius masih terlihat di bidang penegakan hukum. Kalau sektor keuangan (perbankan BUMN) dan bidang penegakan hukum rawan korupsi, tidaklah sulit untuk membayangkan keadaan di sektor publik lainnya dan sektor ‘swasta. Dalam opportunities disebutkan reformasi sektor bisnis, pemberdayaan sistem peradilan dan pemberantasan korupsi. Kita lihat seberapa jauh keberhasilan Indonesia dalam upaya- upaya ini, dengan menggunakan indeks dan kajian lainnya. CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX Indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index—CP1) sangat dikenal di Indonesia, dengan atau tanpa pemahaman yang benar. CPI adalah indeks mengenai persepsi korupsi di suatu negara. Indeks ini diumumkan setiap tahunnya oleh T! (lihat Kotak 2.2). Sees - Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 51 Kotak 2.2 Data terakhir yang dirilis TI adalah has kajian tahun 2009, yang meliputi 180 negara. Peta CPI 2009 ini dapat dilihat di Figur 2.1. Figur 2.1 Peta CPI—2009 Sumber: www.transparency.org. 52 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Perbedaan warna pada Figur 2.1 mencerminkan perbedaan skor CPI; makin gelap warnanya, makin rendah skor CPI-nya ‘Ada beberapa tabel yang disajikan di sini, Tabel-tabel ini menunjukkan peringkat (country rank), skor (2009 CPI score), banyaknya survei yang digunakan (number of surveys used), dan tingkat keandalan data (confidence range). Tabel 2.1 menunjukkan CPI dari negara-negara peringkat atas. Tabel 2.2 menunjukkan CPI dari negara-negara dengan peringkat terendah. Tabel 2.3 membandingkan CPI Indonesia dengan CPI negara tetangga. Tabel 2.4 memperlihatkan perubahan indikator korupsi di Indonesia dengan menggunakan CPI dari tahun 2001-2008, Perhatikan, dalam membandingkan kemajuan (atau kemunduran) dari tahun ke tahun, skor lebih penting dari peringkat. Peringkat ditentukan juga oleh banyaknya negara yang disurvei. Hasil kajian 2008 menunjukkan skor tertinggi yang pernah dicapai Indonesia dalam delapan tahun terakhir. Tabel 2.1 CPI 2009—19 Negara Peringkat Teratas 5 1 Selandia Baru 94 6 2 Denmark 93 6 3 Singapura 92 9 3 Swedia 92 6 5 Swiss 9.0 6 6 Finlandia 89 6 6 —-Belanda 89 6 8 Australia 87 8 8 Kanada 87 6 8 Islandia 87 4 11 Norwegia 86 6 12 Hong Kong 82 8 12 —_Luksemburg 82 6 14 Jerman 80 6 14 Irlandia 80 6 16 Austria 79 6 17 ——_Jepang 77 8 17 Inggris 7 6 19 Amerika Serikat «7,5 8 20___ Barbados 7A 4 ‘Sumber: www.transparency.org. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 53 Tabel 2.2 CPI 2009—Negara-negara Peringkat Terendah 168 Burundi 18 6 168 Guinea Ekuatorial 18 3 168 Guinea 18 5 168 Haiti 18 3 168 Iran 18 3 168 ‘Turkmenistan 18 4 174 Urbekistan 18 4 175 Cad 16 6 176 Irak 15 3 176 Sudan 1s 5 178 Myanmar 14 3 179 Afghanistan 13 4 180 Somalia AL 3 Sumber: wiw.transparency.org. Tabel 2.3 CPI 2009—Indonesia dan Negara-negara Tetangia 56 Malaysia 45 9 nL Indonesia 28 9 120 Vietnam 27 9 139 Filipina 24 9 146 ‘Timor-Leste 22 5 Sumber: ww transparency.org Tabel 2.4 CPI Indonesia Tahun 2001-2009 2001 88 a1 1,9 12 2002 96 102 1,9 2 2003 12 133 19 1B 2004 137 146 20 4 2005 140 159 22 1B 2006 130 163, 24 10 2007 143 180 23 nt 2008 126 180 26 10 2009 41 180 28 9 ‘Sumber: www:transparency.org. 54 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Beberapa hal yang perlu dipahami dalam membaca tabel-tabel tersebut. 1 Indeks ini menunjukkan urut-urutan negara sesuai dengan persepsi urut-urutan tingkat korupsi yang dilakukan pegawai negeri dan kaum politisi. Hal yang perlu digarisbawahi adalah kata persepsi (perception). Survei ini mencerminkan persepsi dan pandangan para pengusaha dan analis dari seluruh dunia, termasuk para pakar dari negera yang disurvei. Indeks ini merupakan indeks gabungan (composite index) yang berasal dari data yang berkaitan dengan korupsi dalam berbagai expert surveys oleh lembaga- lembaga bereputasi (lihat Tabel 2.6 untuk tahun 2008). Definisi korupsi yang digunakan dalam survei ini adalah penyalahgunaan jabatan oleh pegawai negeri dan kaum politisi untuk kepentingan pribadi, seperti penyuapan dalam proses pengadaan barang dan jasa di pemerintahan (sektor publik). Survei ini tidak membedakan korupsi yang bersifat administratif atau politis, atau antara korupsi besar dan korupsi kecil-kecilan. ‘Apakah hasil survei andal, dapat dipercaya? Ya, untuk persepsi mengenai tingkat korupsi. Mengenai tingkat keandalan antarnegara, kita perlu memperhatikan jumlah kajian yang digunakan, standar deviasi, dan lebarnya confidence intervals, ‘Makin sedikit survei atau kajian yang digunakan dan makin ebar rentang confidence intervals, makin rendah pula tingkat keandalan data tersebut. Lihat standar deviasi, confidence intervals dan jumlah kajian untuk negara-negara peringkat 126, di Tabel 2.5. Lembaga-lembaga yang melaksanakan kajian dapat dilihat dalam Tabel 2.6. Skor lebih penting daripada peringkat. Peringkat dipengaruhi oleh jumlah negara yang disurvei. Ada kecenderungan meningkatnya jumlah negara yang disurvei (lihat Tabel 2.4) Apakah Indonesia negara terkorup? Ada kesan bahwa data CPI menunjukkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia. Tabel 2.2 di atas tidak memasukkan Indonesia dalam peringkat negara-negara terkorup. ‘Apakah mudah atau sulit mengubah skor dalam CPI? Mengapa skor kita tidak banyak berubah, padahal sudah ada undang-undang pemberantasan tindak pidana Korupsi, sudah ada Gubernur yang dipenjara karena korupsi, dan lain-lain. Seperti disebutkan di atas, CPI merekam persepsi. Meskipun sudah ada undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan sudah ada yang dihukum, juga ada cukup banyak yang bebas, ada dugaan polisi, jaksa, hakim, panitera, pemeriksa, dan lain-lain yang disuap. ‘Skor CPI juga tidak mudah diubah karena didasarkan atas rata-rata bergerak selama tiga tahun terakhir (three-year rolling average). Jadi untuk presiden suatu negara yang masa pemerintahannya lima tahun, penilaian kinerja CPI-nya tercermin secara utuh untuk penghujung tahun ketiga, keempat, dan kelima, Diatas digunakan istilah expert surveys atau survei atas dasar pandangan para pakar. ‘Mengapa bukan persepsi orang banyak atau public opinion surveys yang dipakai? CPI ‘memang pernah menggunakan public opinion surveys. Cara ini ditinggalkan karena survei ini tidak membedakan “kadar” korupsi; karena itu para pakar bisnis dianggap dalam posisi yang lebih baik untuk memberi pandangan, ketimbang orang banyak. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 55 ‘abel 2.4 menunjukkan bahwa Indonesia ada di peringkat 111. Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara pada peringkat tersebut. Indonesia berada dalam peringkat yang sama dengan beberapa negara berkembang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2.5. Tabel 2.5 Indonesia dan Negara Lain di peringkat LL 1 Algeria 28 25-31 6 LL Djibouti 28 23-32 4 ML Mesir 28 26-31 6 111 Indonesia 28 24-32 9 M1 Kiribati 28 23-33 3 M1 Mali 28 24-32 6 111 Sa Tome 28 24-33 3 111 Solomon Islands 28 23-33 3 111__Togo 28 19-39 e Sumber: Corruption Perceptions Index, 2008. Standar deviasi dan confidence intervals merupakan konsep ilmu statistika yang dipakai ‘untuk menjelaskan tingkat keandalan data. Ukuran lainnya adalah jumlah kajian yang dipakai, dan siapa yang melakukan kajian tersebut (lihat Tabel 2.6). Tabel 2.6 Lembaga yang Melakukan Kajian ‘Asian Development Bank African Development Bank Bertelsmann Foundation ‘World Bank (IDA dan IBRD) Economist Intelligence Unit Freedom House Global Insight IMD International, Switzerland, World Competitiveness Center Merchant International Group Political & Economic Risk Consultancy World Economic Forum. Sumber: Corruption Perceptions Index, 2008. 56 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik GLOBAL CORRUPTION BAROMETER Global Corruption Barometer (GCB) merupakan survei pendapat umum yang dilakukan sejak tahun 2003, Pada saat penulisan buku ini hasil survei GCB yang tersedia adalah GCB tahun 2009. Survei sebelumnya adalah untuk tahun 2007, tidak ada survei untuk tahun 2008. Survei dilakukan oleh Gallup International atas nama Transparency International (TI). GCB berupaya memahami bagaimana dan dengan cara apa korupsi memengaruhi hidup orang banyak, dan memberikan indikasi mengenai bentuk dan betapa Iuasnya korupsi, dari sudut pandang anggota masyarakat di seluruh dunia. GCB ingin mengetahui dari masyarakat pada umumnya (ordinary people), sektor yang paling korup, bagian dari hidup sehari-hari yang paling dipengaruhi oleh korupsi, apakah korupsi meningkat atau menurun dibandingkan masa lalu, dan apakah di masa mendatang korupsi akan naik atau turun? GCB mendalami lebih lanjut, dan menyajikan informasi ‘mengenai: berapa seringnya keluarga harus membayar uang suap? bagaimana pembayaran suap terjadi (apakah diminta atau diberikan begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan)? apakah suap diberikan untuk mendapatkan akses ke public service (misalnya masuk sekolah negeri, buat kartu penduduk, dan sebagainya)? dan berapa uang suap yang dibayarkan? Informasi semacam itu sangat penting untuk membantu pemberantasan korupsi dan penyuapan. Misalnya, pertanyaan mengenai bagaimana pembayaran suap terjadi, akan ‘membantu kita dalam merancang kebijakan anti korupsi. Juga, dengan menanyakan sektor ‘masyarakat yang paling korup, GCB akan menjadi katalisator bagi reformasi di sektor itu. Pandangan orang tentang apakah korupsi meningkat atau menurun dibandingkan masa lalu, merupakan ukuran kegagalan atau keberhasilan dari kebijakan dan prakarsa anti korupsi. Dibawah ini secara berturut disajikan Global Corruption Barometer 2007 dan 2009 (GCB- 2007 dan GCB-2009). Ada perubahan dalam format penyajian GCB-2007 dan GCB-2009. GCB 2007 mewawancarai 63.199 orang di 60 negara dan kawasan (territories) antara bulan Juni dan September 2007. GCB 2009 mewawancarai 73.132 orang di 69 negara dan kawasan (territories) antara bulan Oktober 2008 dan Februari 2009, Jumlah negara dalam survei GCB sejak 2003 (survei pertama) berubah-ubah sebagai berikut. 2003, 45 2004 4 2005 70 2006 63 2007 60. 2009 9. Korupsi dalam GCB berarti uang sogokan atau pembayaran tidak resmi untuk mendapatkan suatu pelayanan. Secara umum, bukan hanya Indonesia, temuan utama survei GCB 2007 adalah sebagai berikut. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 57 1. Rakyat jelata (miskin), baik di negara berkembang maupun di negara industri yang sangat maju, adalah korban utama korupsi. Mereka juga merupakan kelompok yang paling pesimis bahwa korupsi di kemudian hari akan berkurang. 2. Sekitar 1 di antara 10 orang di seluruh dunia harus membayar uang suap atau sogok (bribe). Di beberapa wilayah, seperti Asia Pasifik dan Eropa Tenggara, penyuapan dilaporkan meningkat. 3. Penyuapan marak dalam urusan dengan kepolisian, sistem peradilan, dan pengurusan izin-izin 4. Masyarakat umum percaya bahwa lembaga-lembaga terkorup dalam masyarakat mereka adalah partai-partai politik, parlemen/DPR, kepolisian, dan sistem peradilan, Separuh dari mereka yang diwawancarai memperkirakan korupsi di negara mereka akan meningkat dalam tiga tahun mendatang. Ini merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan empat tahun sebelumnya. 6. Separuh dari mereka yang diwawancarai berpendapat bahwa upaya pemerintah ‘mereka memerangi korupsi tidaklah efektif. GCB merupakan alat TI untuk mengukur korupsi secara lintas negara. Melalui fokusnya pada pendapat publik, GCB merupakan pelengkap CPI dan BPI yang dilaksanakan atas pendapat para pakar dan pimpinan dunia usaha. Dalam tabel tersebut penulis menyarikan beberapa informasi yang relevan buat Indonesia. Dalam Tabel 2.7 sektor-sektor yang paling korup di Indonesia (kisaran dari 1 sampai 5, di mana I berarti tidak ada korupsi sedangkan 5 sangat korup). ‘Tabel 2.7 berisi sektor-sektor terkorup di Indonesia menurut pendapat orang Indonesia sendiri. Tabel 2.7 Sektor Terkorup di Indonesia SS ae Police 42 Parliament/Legislature 41 Legal Syster/Judiciary 41 Political parties 40 Registry and permit services 38 Tax revenue authorities 36 Utilities 3 Business/private sector 3 The Military 3,0 Education system 3.0 NGOs 28 Medical Services 28 Media 28 Religious bodies 2 Sumber: Global Corruption Barometer, 2007. 58 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Apakah masyarakat Indonesia memperkirakan korupsi akan bertambah, tetap atau berkurang dalam tiga tahun mendatang dibandingkan dengan 2007? GCB menunjukkan jawaban yang disarikan dalam Bagan 2.8. Bagan 2.8 Korupsi di Indonesia Naik, Turun, Tetap dalam Tiga Tahun Mendatang? Menurun Meningkat 22% 50% ‘Sama saja 19% ‘Sumber: Global Corruption Barometer, 2007. Apakah masyarakat Indonesia berpendapat bahwa upaya pemerintahnya dalam memerangi korupsi efektif, tidak efektif atau biasa-biasa saja? GCB menunjukkan jawaban, yang disarikan dalam Bagan 2.9. Bagan 2.9 Upaya Pemerintah Memerangi Korupsi di Indonesia Efektif, Tidak Efektif, Biasa-biasa? Efektit 37% Tidak efektir 4% Biasa saja 16% Sumber: Global Corruption Barometer, 2007. Survei untuk Indonesia dilakukan terhadap 1.010 responden dengan wawancara tatap muka di kota-kota besar, antara 4 sampai 21 Agustus 2007. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 59 Global Corruption Barometer-2009 (GCB-2009) mengajukan pertanyaan kepada responden: Dalam persepsi Anda berapa besar lembaga yang berikut dipengaruhi korupsi? ‘Tabel 2.8 menyajikan jawaban atas pertanyaan ini untuk kawasan Asia Pasifik. Tabel 2.8 Persepsi Korupsi di Lembaga Tertentu di Kawasan Asia Pasifile (oleae, lel ocercsleoety clas Sraahgeclecs 9) Brunei Darussalam Bi Sa A, 26 s 2. Bi PAE bs oe 35 40 3,0 Kamboja Hong Kong 2B GSO Fae ap 25 32 India Bes Slee. 2.9 37 32 35 Indonesia ar Same 2 a3 40 41 37 Jepang 3B Gea 56 43 32 39 Malaysia Posies ehders 527 3: 3 34 Pakistan BSE S72 eek © 0: 41 38 3,6 Filipina 40 39 30-20 40 34 34 Singapura red Hygiis aire ras: 22 18 22 Korea Selatan AS ROAD AEB ici 36 37 36 39 Thailand CUTER See ea) 3.6, 28 33, Catatan: Istilah di atas sudah dalam bahasa Indonesia: a) Parpol, singkatan dari partai politik (political parties); b) DPR, istilah generiknya parliament; c) Bisnis, terjemahan dari business/private sector; d) Pegawai Negeri, yang dimaksudkan adalah pejabat publik/pegawai negeri (public oficials/cvil servants); ) Peradilan, singkatan dari sistem peradilan (judiciary); f) Rata-rata, singkatan dari skor rata-rata (average score). Mengacu kepada kasus-kasus tertangkap tangan yang diikuti dengan persidangan di pengadilan sampai pemidanaan para terdakwa di tahun 2008 dan awal 2009, skor untuk Indonesia tidak mengejutkan. Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun mengakui hasil survei TI itu. Ia mengaku DPR berpeluang besar melakukan korupsi, karena memiliki fungsi anggaran (Suara Pembaruan, Kamis, 4 Juni 2009). Pertanyaan di atas diubah sedikit, sehingga jawabannya dapat dicerminkan dalam persentase, Pertanyaannya adalah dari enam sektor (organisasi) di bawah, mana yang paling dipengaruhi oleh korupsi? Tabel 2.9 menyajikan jawaban atas pertanyaan ini untuk kawasan Asia Pasifik. Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik ‘Tabel 2.9 Persepsi Korupsi pada Lembaga Tertentu di Kawasan Asia Pasifik (dalam %) Brunei Darussalam 10 3 “4 4 33 6 Kamboja 9 2 3 0 B 2 Hong Kong. 10 2 59 15 u 3 : India 58 10 9 8 13 3 Indonesia n 7 3 1 19 20 Jepang 40 4 5 3 46 1 Malaysia 2 4 12 1 37 5 Pakistan 2 4 2 8 40 4 Filipina 28 26 3 1 35 7 Singapura 10 5 66 a 9 B Korea Selatan 38 34 9 3 2 4 ‘Thailand 54 6 9 2 2 7 “Apakah Anda atau orang yang serumah dengan Anda membayar wang suap (bribe) dalam 12 bulan terakhir?” Jawaban atas pertanyaan ini mencerminkan persentase responden ‘yang mengatakan “Ye”, Tabel 2.10 menyajikan jawaban atas pertanyaan ini untuk kawasan Asia Pasifik. Tabel 2.10 Pembayaran Uang Suap dalam 12 Bulan Terakhir di Kawasan Asia Pasifik Brunei Darussalam 1 Kamboja ” Hong Kong 7 India 9 Indonesia 2» Jepang 1 Malaysia 9 Pakistan 18 | Filipina u Singapura 6 Korea Selatan 2 ‘Thailand u Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 61 “Bagaimana penilaian Anda terhadap upaya pemerintah dalam memberantas korupsi?” Untuk Indonesia, 74% responden menilai upaya pemerintah adalah efektif. Jawaban selengkapnya dapat dilihat pada Bagan 2.10. Bagan 2.10 ian Anda tethadap Upaya Pemerintah Memberantas Korupsi? Tidak Efektif 19% Biasa Saja M% Efektif 74% Sumber: Global Corruption Barometer, 2007. Untuk memperoleh gambaran mengenai negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang digunakan sebagai data pembanding dalam tabel-tabel di atas, GCB 2009 mengelompokkan mereka dalam kelompok menurut tinggi atau rendahnya penghasilan. Tabel 2.11 menunjukkan kelompok negara-negara di kawasan Asia Pasifik berdasarkan besarnya penghasilan. Tabel 2.11 Negara di Kawasan Asia Pasifile Menurut Kelompok Penghasilan Brunei Darussalam Penghasilan tinggi Kamboja Penghasilan rendah Hong Kong. Penghasilan tinggi India Penghasilan menengah bawah Indonesia Penghasilan menengah bawah Jepang Penghasilan tinggi Malaysia Penghasilan menengah atas Pakistan Penghasilan rendah Filipina Penghasilan menengah bawah Singapura Penghasilan tinggi Korea Selatan Penghasilan tinggi ‘Thailand Penghasilan menengah bawah Sumber: Global Corruption Barometer, 2009. 62 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik BRIBE PAYERS INDEX Bribe Payers Index (BPI) tahun 2008 meliputi 2.742 wawancara dengan para eksekutif bisnis senior di 26 negara, yang dilaksanakan antara 5 Agustus sampai 29 Oktober 2008. Survei dilakukan atas nama Transparency International oleh Gallup International. Gallup International bertanggung jawab atas pelaksanaan survei BPI 2008 secara keseluruhan dan atas proses pengendalian mutu. Ke-26 negara dipilih atas dasar aliran masuk Penanaman Modal Luar Negeri Langsung (Foreign Direct Investment) dan arusimpor serta peranan mereka dalam perdagangan regional. Daftar negara di mana para eksekutif disurvei disajikan dalam Tabel 2.12 di bawah, Tabel 2.12 Negara di Mana Eksekutif Disurvei Mes India Republi Prancis Ghana Indonesia Hungaria Brasil Jerman Maroko Jepang Polandia Cile Amerika Serikat Nigeria Malaysia Rusia Meksiko Inggris Senegal Pakistan Afrika Selatan Filipina Singapura Korea Selatan Sumber: Bribe Payers Index, 2008, Pertanyaan yang diajukan kepada para eksekutif bisnis senior: berapa besar kemungkinannya perusahaan asing melakukan penyuapan (bribery) ketika mereka bertransaksi di negara di mana Anda beroperasi? Para eksekutif ini menyampaikan persepsi atas dasar pengetahuan mereka (informed perceptions) mengenai sumber penyuapan yang berasal dari luar negeri Di antara negara pengekspor, Belgia dan Kanada yang paling kecil kemungkinannya melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri. Kedua negara ini disusul oleh Negara Belanda dan Swiss dalam jarak berdekatan. Pada ekstrim lain, para eksekutif memeringkat Rusia sebagai negara yang paling besar kemungkinannya melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri. Tidak ada satu pun negara yang mendapat skor 9 atau 10 dalam BPI 2008. Ini berarti, semua negara yang paling kuat ekonominya sedikit banyaknya (dipandang) mengekspor korupsi. Kebanyakan informasi dalam BPI 2008 merupakan data agregat dan bukan per negara. Dalam pembahasan yang berikut akan disajikan beberapa data agregat. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 63 Tabel 2.13 Penyuapan oleh Negara dan Teritorial Pengekspor 5 1 Belgia ; y 1 Kanada 88 85 90 3 Belanda 87 84 89 3 Swiss 87 84 89 5 Jerman 86 84 88 5 Jepang 86 83 88 5 Inggris 86 84 87 8 Australia 85 82 a7 9 Prancis, 81 79 83 9 Singapura 81 78 84 9 Amerika Serikat 81 243 79 83 12 Spanyol 79 249 76 81 13 Hong Kong 76 267 73 79 14 Afrika Selatan 78 278 al 8.0 14 Korea Selatan 78 279 a 78 14 Taiwan 78 2,76 7 78 17 Brasil 74 278 70 7 17 Talia 74 2,89 7 a 19 India 68 331 64 73 20 Meksiko 66 297 61 72 21 Cina 65 3.35 62 68 22 Rusia 59. 3.66 52 66 Sumber: Survei Transparency International Bribe Payers, 2008. Scores range from 0 to 10. The higher the score for the country, the lower the likelihood of companies from this country to engage in bribery when doing business abroad. Negara-negara dan teritorial di atas dibagi dalam empat kelompok (clusters). Kelompok 1 terdiri atas negara-negara yang perusahaannya paling kecil kemungkinannya melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri. Kelompok 4 terdiri atas negara-negara yang perusahaannya paling besar kemungkinannya melakukan penyuapan ketika beroperasi di luar negeri, Pengelompokan ini dapat dilihat dalam Tabel 2.14. Tabel 2.14 Pengelompokan Negara dan Teritorial Pengékespor 1 Kanada, Jerman, Jepang, Belanda, Swiss, dan Inggris. 2 Prancis, Singapura, Spanyol, dan Amerika Serikat. 3 Brasil, Hong Kong, Italia, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Taiwan, 4 Cina, India, Meksiko, dan Rusia. ‘Sumber: Bribe Payers Index, 2008, Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik ‘Tabel 2.15 menyajikan bentuk penyuapan oleh negara-negara pengekspor. Penyuapan ini dibagi dalam tiga kategori, yakni penyuapan kepada pejabat tinggi dan pimpinan partai politik (penyuapan tingkat tinggi), penyuapan kepada pegawai rendah sekadar untuk mempercepat proses (uang pelicin), dan pemanfaatan hubungan pribadi. Tabel 2.15 Penynapan olch Negara Pengekspor Australia ™% 5% 99% Belgia 3% 7% 16% Brasil 17% 21% 18% Kanada 4% 7% 10% Cina 24% 28% 25% Prancis 12% 1% 14% Jerman ™% 8% 9% Hong Kong 15% 1% 13% India 25% 30% 25% Italia 22% 20% 20% Jepang 8% 4% 10% Meksiko 32% 32% 38% Belanda 4% 7% 5% Rusia 51% 50% 3% Singapura 10% 11% 9% Aika Selatan 19% 16% 17% Korea Selatan 14% 14% 16% Spanyol 1% 16% 19% Swiss 5% 2% 5% Taiwan 17% 14% 12% ‘ Ingeris 5% 4% ™% Amerika Serikat 12% 8% 11% ‘Sumber: Survei Transparency International Bribe Payers, 2008. ‘Angka persentase dihitung dari jumilah responden yang menjawab pertanyaan “Berapa sering eksportir dari negara ini menyuap” dengan jawaban 4 atau 5. Jawaban 1 berarti “Tidak Pernah’ sedangkan 5 berarti “Hampir Selalu’, Jawaban “Tidak Tahu” tidak dihitung. Pembahasan selanjutnya adalah mengenai BPI 2008 khusus tentang Indonesia. Survei di Indonesia dilaksanakan dengan wawancara tatap muka antara 18 Agustus sampai 17 September 2008. Data pertama, mengenai penilaian para eksekutif bisnis senior yang beroperasi di Indonesia terhadap upaya pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi? Jawaban ‘mereka dirangkum dalam Bagan 2.11. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 65 Bagan 2.11 Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia Sangat tidak Sangat efektit ‘efektif 4 13% Efektit 1% Tidak ofektit 27% Biasa saja 15 ‘Sumber: Survei Transparency International Bribe Payers, 2008. Kedua, para eksekutif bisnis senior ditanya, seberapa jauh menurut persepsi mereka lembaga-lembaga di Indonesia dipengaruhi praktik korupsi? Jawaban mereka direkam dalam Tabel 2.16. Tabel 2.16 Lembaga-lembaga di Indonesia yang Dipengaruhi Praktile Korupsi —_—embaga tor Parliament/Legislature 41 Police 39 Political parties 39 Customs 39 Legal System/Judiciary 38 Registry and permit services 37 Tax revenue authorities 35 Utilities 29 Business/private sector 29 The Military 29 Education system 28 Medical Services 26 NGOs 28 ‘Media 24 Religious bodies 21 ‘Sumber: Survei Transparency International Bribe Payers, 2008. Catatan: Skor antara 1 sampai 5. Skor 1 berarti tidak korup, skor 5 sangat korup. 66 gsc riiacnet anand it KORUPSI DAN IKLIM INVESTASI—KAJIAN PERC Political and Economic Risk Consultancy, Ltd. (disingkat PERC) melakukan kajian untuk menilai risiko politik dan ekonomi suatu negara. Kajian-kajian ini merupakan referensi bagi pebisnis yang akan dan sudah menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan. Salah satu kajian PERC menunjukkan tingkat korupsi menurut persepsi eksekutif asing i negara tertentu, Survei terakhir PERC menyajikan skor korupsi (corruption scores) untuk 14 perekonomian Asia berdasarkan survei terhadap lebih dari 1.700 eksekutif. Survei ini dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy, Ltd. (disingkat PERC) disiarkan melalui AFP pada tanggal 8 April 2009. Australia dan Amerika Serikat dimasukkan dalam survei dan dalam tabel di bawah, sekadar sebagai pembanding. Tabel 2.17 Tinghat Korupsi di Asia menurut PERC 8 April 2009 i ‘Singapura 1,07 2 Hong Kong. 1,89 3 Australia 2,40 4 ‘Amerika Serikat 2,89 5 Jepang 3,99 6 Korea Selatan 4,64 7 Macau 5,84 8 Cina 6,16 9 Taiwan 6,47 10 Malaysia 6,70 u Filipina 7,00 2 Vietnam 71 B India 721 4 Kamboja 725 15 Thailand 7,63 16 Indonesia 8,32 ‘Sumber: Survei Table of Asian corruption scores in PERC. (http://news.asiaone.com/News/AsiaOne%2BNews/Singapore/Story/ AlStory20090408-134144.htmil, 8 April 2009) Keesokan harinya harian Kompas menyiarkan kajian ini beserta ulasannya. Lihat sebagian kutipan Kompas di Kotak 2.3. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 67 Kotak 2.3 Pengumuman Daftar Negara Terkorup 68 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik ‘Untuk tahun 2010, posisi Indonesia menurut PERC masih terkorup di antara negara- negara kunci di Asia, yakni 16 negara besar. Ringkasan pemberitaan Reuters, Senin, 8 Maret 2010. 1. Indonesia memperoleh skor 9,07 dalam survei 2010, dan 7,69 dalam survei 2009. Skor tertinggi adalah 10. 2. Korupsi begitu berkecamuk di semua tingkat. Upaya Presiden Susilo Bambang | Yudhoyono untuk memerangi masalah suap terhalang oleh politisasi terhadap masalah itu oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Perang terhadap korupsi terancam akan terkorup juga. 3. Survei 2010 menanyakan 2.174 eksekutif bisnis di tingkat menengah dan atas dari negara-negara di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. 4. Sesudah Indonesia, berturut-turut ada Kamboja, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia, dan yang paling tidak korup adalah Singapura. GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX Tingkat kemampuan bersaing suatu negara mencerminkan sampai berapa jauh negara tersebut dapat memberikan kemakmuran kepada warga negaranya. Sejak 1979, World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporannya (The Global Competitiveness Report) yang ‘meneliti faktor-faktor yang memungkinkan perekonomian suatu bangsa dapat mempunyai pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran jangka panjang yang berkesinambungan. Laporan terakhir WEF berkenaan dengan data 2007 dan dimasukkan dalam The Global Competitiveness Report 2008-2009. Laporan ini memeringkat tingkat kemampuan bersaing negara-negara dalam indeks yang disebut Global Competitiveness Index. Untuk laporan 2008-2009 Indonesia masuk peringkat 55 di antara 134 negara yang disurvei. Sebagai perbandingan, Tabel 2.18 menunjukkan peringkat Indonesia dan negara tetangga. Tabel 2.18 Peringkat Indonesia dan Negara Tetangga Singapura 5 5,53, 7 Malaysia 21 5.04 a ‘Thailand 34 4,60 28 Brunei Darussalam 39 454 NIA Indonesia 55 4.25 54 ‘Vietnam 70 410 68 Filipina 7 409 a Kamboja 109 3,53 10 ‘Timor-Leste 129 315 127 Sumber: Global Competitiveness Index, 2008-2009. Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 69 Indonesia dalam survei tiga tahun terakhir menunjukkan peringkat dan skor sebagai berikut (Tabel 2.19). Tabel 2.19 Peringleat dan Skor Indonesia Tiga Tahun Terakhiz 55 4,25 134 54 4,20 131 54 4,20 122 Sumber: Global Competitiveness Index, 2008-2009. ‘The Global Competitiveness Report mengelompokkan perkembangan ekonomi suatu negara ke dalam tiga tahapan. Tahap 1 disebut factor driven. Tahap 2 disebut efficiency driven. Dan Tahap 3 disebut innovation driven. Ada negara-negara yang sedang dalam peralihan, misalnya dari Tahap 1 ke 2 atau dari Tahap 2 ke 3, ‘Tahap-tahap di atas berhubungan dengan 12 pilar persaingan. Kedua belas pilar ini dapat dilihat dalam Figur 2.2. Figur 2.2 Dua Belas (12) Pilar Persaingan Basie requirements Insttusi (institutions) Infrastruktur infrastructure) ‘Stabilitas makroekonomi (macroeconomic stability) |. Health and primary education Efficiency enhancers 5. Higher education and training 9. Goods market efficiency Labor market efficiency ‘Financial market sophistication ‘Technological readiness 10. Market size Innovation and sophistication factors 11. Business sophistication 12, Innovation Sumber: Global Competitiveness Index. 70 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Figur 2.2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam Tahap 1 suatu negara bersaing dengan negara lain berdasarkan faktor-faktor yang mereka miliki (endowments) terutama tenaga kerja tidak terampil dan sumber-sumber daya alam. Oleh karena itu, tahap pertama disebut factor driven. Untuk mempertahankan kemampuan bersaing dalam Tahap 1, negara yang bersangkutan harus mengembangkan dengan baik lembaga-lembaga publik maupun swastanya (pilar 1), infrastruktur yang berkembang dengan baik (pilar 2), kerangka makro ekonomi yang stabil (pilar 3), dan tenaga kerja yang sehat dan mampu membaca (pilar 4). Ketika tingkat upah meningkat dengan berkembangnya perekonomian, negara-negara dalam Tahap 1 beralih memasuki Tahap 2. Dalam Tahap 2 mereka harus mulai meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan mutu produk yang mereka hasilkan. Pada Tahap 2, kemampuan bersaing didorong oleh pendidikan dan pelatihan (pilar 5), pasar-pasar yang efisiensi dari produk yang dihasilkan (pilar 6), berfungsinya dengan baik pasar tenaga kerja (pilar 7), kecanggihan pasar modal dan pasar uang (pilar 8), pasar valuta asing yang besar di dalam negeri (pilar 10), dan kemampuan untuk meraih manfaat dari teknologi yang ada (pilar 9). Akhirnya, negara-negara akan memasuki Tahap 3. Dalam Tahap 3 mereka mampu ‘mempertahankan tingkat upah dan standar hidup yang tinggi kalau mereka mampu bersaing dalam produk baru atau produk yang unik. Pada Tahap 3 perusahaan harus bersaing melalui inovasi (pilar 12) dan melalui penciptaan barang baru, barang yang berbeda, atau proses produksi yang paling canggih (pilar 11). Inj berarti, meskipun semua negara mengandalkan kedua belas pilar persaingan (12 pilars of comvetitiveness), namun penekanannya akan berbeda bergantung pada tahap di mana mereka berada, WEF memberikan bobot untuk masing-masing kelompok pilar, bergantung pada tahap_ di mana negara tersebut berada, Bobot ini dapat dilihat dalam Tabel 2.20 sebagai berikut. Tabel 2.20 Bobot untuk 12 Pilar Persaingan Basic requirements 40 20 Efficiency requirements 35 50 50 Innovation and sophistication factors 5 10 30 Sumber: Global Competitiveness Index. Untuk mengelompokkan negara-negara yang sedang dalam peralihan bersama- sama dengan negara-negara lain yang jelas-jelas berada dalam suatu tahap tertentu, WEF menggunakan dua ukuran. Ukuran pertama adalah GDP per kapita. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2.21. eee ee Tabel 2.21 Ukuran GDP per Kapita ‘Tahap 1: factor driven <2.000 Peralihan dari Tahap 1 ke Tahap 2 2.000-3.000 ‘Tahap 2: efficiency driven 3.000-9.000 Peralihan dari Tahap 2 ke Tahap 3 '9.000-17.000 ‘Tahap 3: innovation driven >17,000 Sumber: Global Competitiveness Index. Dalam GCI 2008-2009 GDP per kapita Indonesia adalah US$1.924,70. Ukuran atau kriteria kedua yang digunakan WEF adalah pangsa ekspor dari produk ‘utamanya (primary goods) terhadap total ekspor barang dan jasa. Kalau angka ini lebih dari 70%, negara tersebut masih berada dalam Tahap 1. Perincian skor dan peringkat Indonesia dalam kedua belas pilar persaingan dapat dilihat pada Tabel 2.22, Tabel 2.22 Skor dan Peringkat Indonesia dalam 12 Pilar Persaingan ‘Basic requirements: 43 76 Pilar 1: institutions 39 68 Pilar 2: infrastructue 30 86 Pilar 3: macroeconomic stability 49 2 Pilar 4: health and primary education 53 87 Efficiency enhancers: 43 49 Pilar 5: higher education and training 39 a Pilar 6: goods market efficiency 47 37 Pilar: labor market efficiency 46 B Pilar 8: financial market sophistication 45 57 Pilar 9: technological readiness 30 88 Pilar 10: market size Si v7 Innovation and sophistication factors: 40 45 Pilar 11: business sophistication 45 39 Pilar 12: innovation 34 47 ‘Sumber: Global Competitiveness Index. Apa masalah utama yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan perekonomian dan bisnisnya? Bagan 2.12 di bawah menunjukkan masalah-masalah tersebut. Intensnya masalah- ‘masalah yang bersangkutan ditunjukkan dari jumlah responden yang mengidentifikasikan masalah tersebut. 72 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Bagan 2.12 Bioraspemernta yang ide eho mnnonenen 1993 Penyedaan prasarana yang dak memadat 164 Korups 10,7 Peratranperburuhan yang bers menghang 97 Ifa. 8 Kemudahan untuk mendepathansumberpendanaan .. 78 Peratror perpejkan 67 Ketidakstablan dala hbk pemerita, 50 “Tenaga era yang dak cup Berpenidihan 44 Petra tentang vat at sn 39 Ketdakstabilan pemerita ude 31 ik ker yang leah 35 Tari perpejaan 13 Kejaatan dan pencrian : =e eshatan masyarkat yang bur on ° 5 10 15 20 Percent of responses Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa korupsi menduduki urutan ketiga dari masalah uutama yang kita hadapi, di samping masalah ketidakefisienan birokrasi pemerintahan dan masalah infrastruktur. APAKAH KAJIAN MENGENAI KORUPSI BERMANFAAT? Beberapa kajian global tentang korupsi oleh lembaga-lembaga internasional, telah dibahas sebelumnya. Kajian itu adalah CPI, GCB, BPI, PERC, dan GCI. Korupsi seperti komoditas ekonomi, ada permintaan dan penawaran. CPI, GCB, PERC, dan GCI merupakan kajian dari sisi permintaan. Sedangkan BPI merupakan kajian dari sisi penawaran. Oleh Karena itu, kita di Indonesia sering “tersengat” oleh CPI, GCB, dan PERC yang seakan-akan memojokkan kita atau kalau kajian tersebut menempatkan negara tetangga pada peringkat yang lebih baik dari Indonesia, kita mencibir. Pimpinan lembaga negara yang, dipersepsikan terkorup, mengecam indeks tersebut. Mereka menjadi defensif. Mereka bertanya dan mengecam CPI dan GCB ketika indeks ini dipublikasikan: 1, “Apakah buktinya (ada korupsi)2” 2, “Indeks itu hanya mendiskreditkan institusi terkorup)” 3. “Isapan jempol LSM yang mencari sensasi’. (dengan menyebut institusi yang Bab 2—Mengapa Akuntansi Forensik? 73 Khusus mengenai penegakan hukum dan penegak hukum, Amir Syamsuddin mengingatkan: Hasil survei MTI [sic] yang menjadikan lembaga kepolisian atau lembaga hukum sebagai Jembaga yang paling korup di Indonesia tidak perlu ditanggapi secara defensif oleh para petinggi institusi hukum yang ada. Justru hal itu menjadi cambuk untuk memperbaiki kinerja mereka di masa datang.* Tidak ada tanggapan terhadap BPI yang merupakan kajian dari sisi penawaran. Oleh karena itu, pembahasan mengenai apakah indeks korupsi bermanfaat, difokuskan pada indeks korupsi hasil kajian dari sisi permintaan. Alasan untuk mengatakan bahwa indeks di atas bermanfaat adalah berikut ini. 1. Bermanfaat, kalau kita menyadari bahwa indeks tersebut mencerminkan persepsi atau kesan. Namun, tidak berarti bahwa persepsi atau kesan itu tidak penting. Investor atau eksportir dari negara-negara yang menentang praktik korupsi seperti terlihat dari BPI, segan berbisnis dengan negara yang dianggap korup menurut CPI dan CGB. Ini juga tercermin dari skor dan peringkat dalam GCI. 2. Persepsi yang dilontarkan oleh survei pendapat umum seperti GCB mencerminkan kenyataan, Ini terbukti dari penangkapan dan penyidikan oleh KPK dan kejaksaan, yang diikuti dengan penyidangan di pengadilan dari tokoh-tokoh masyarakat dan penyelenggara negara seperti penegak hukum (jaksa, hakim, polisi), anggota lembaga legislatif (DPR dan DPRD), pimpinan Pemda (Gubernur, Bupati, Walikota, dan lain-lain), Menteri, dan petinggi lainnya di departemen, dan seterusnya. 3. Bermanfaat secara makro, bukan mikro. Calon presiden dan calon wakil presiden berkampanye tentang pemberantasan korupsi. Setelah mereka menjadi presiden dan wakil presiden, indikasi makro tentang keberhasilan (atau kegagalan) mereka ditunjulkkan oleh CPI, GCB dan indeks lainnya selama dan pada akhir pemerintahan mereka, Seperti tersirat dalam kutipan dari Amir Syamsuddin di atas, indeks ini bermanfaat bagi penyelenggara negara pada tingkat pengambil keputusan. [Contoh makro lainnya ialah keputusan pebisnis dalam butir pertama di atas.) Mungkin menyakitkan membaca kajian-kajian global tentang persepsi korupsi di Indonesia. Pilihannya adalah, kita abaikan kajian-kajian tersebut, atau kita membuat kajian Kkhusus mengenai Indonesia. Barangkali yang terbaik adalah, tidak mengabaikan kajian-kajian tersebut dan buat kajian khusus Indonesia. Untuk kajian khusus Indonesia, lihat pembahasan mengenai survei integritas dari KPK. Dengan membandingkan survei global tersebut, kita dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, kajian yang beraneka ragam itu secara konsisten menyimpulkan persepsi tentang korupsi di Indonesia, lembaga-lembaga terkorup, upaya pemerintah Indonesia, dan persepsi mengenai korupsi di masa mendatang. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2.23. 74 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Tabel 2.23 Korupsi di Indonesia Menurut Beberapa Kajian CPL GCB _Skor korupsi Kepolisian RI 4,2 (terburuk 5); 59% responden mengatakan korupsi akan meningkat dalam tiga tahun; 47% responden mengatakan upaya pemerintah memberantas korupsi tidak efektif. BP1 _Skor korupsi di DPR RI 4.1 (terburuk 5); 13% responden mengatakan upaya pemerintah memberantas korupsi sangat tidak efektif, sedangkan 27% mengatakan tidak efektif, PERC Indonesia pada tingkat korups! terburuk di Asta, skor 8,32. Singapura terbaik, skor 107. GCI___ Indonesia peringkat 55 dari 134 negara; Malaysia no. 21. Kedua, Indonesia bukan negara terkorup. Dalam Tabel 2.23, Indonesia tidak termasuk dalam daftar peringkat negara-negara terkorup. Masalahnya, dari segi besaran ekonomi, Indonesia tidaklah setara dengan mereka. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2.24. Tabel 2.24 Statistil GDP dan GDP per Kapita Negara-negara Terkorup versi CPI 2008 (dengan data Indonesia sebagai pembanding) Kongo 21.050 19.490 18.220 300 300 300 Guinea 10440 10.150 9.997110 1.100 1.100 Guinea-Bissau 857 830 809 600 600 600 Cad 16260 15990 15.790 1.600 1.600 1.600 Sudan 87270 © 82.720 75.060 «22002100 1.900 Afghanistan 23030 21.430 19.220 800 700 600 Haiti 11590 11330 10.980 1.300 1300 1300 Irak 112800 104.600 103.100 4.000 3.800 3.800 ‘Myanmar 55040 54.550 52.760 ‘1.200 1200 1.200 Somalian 5524 5387 5.252 600 600 600 Indonesia 915900 863.100 811.100 3.900 3.700 3.500, Catatan untuk Tabel 2.24: a. Dafiar negara terkorup diambil dari Tabel 2.2. b.. Statistik mengenai gross domestic product (GDP) dan GDP per kapita diambil dari https/www.cia. Business Monitor International, The Indonesia Business Forecast Report-Q4 2005, him. 19. 82 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara, lm. 124, Survei integritas ini selengkapnya dapat dilihat dalam Komisi Pemberantasan Korupsi- Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Survei Integritas Sektor Publik 2007 (http:// www.kpk.go.id/uploads/ca7f6c99-9000-f404,pd)). Istilah dalam bahasa Inggris sesuai dengan istilah yang digunakan dalam dokumen asli, Penulis menerjemahkan istilah tersebut ke dalam istilah bahasa Indonesia yang tidak selalu sama dengan istilah yang digunakan dalam dokumen asli. Syed Hussain Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi (terjemahan Penerbit LP3ES, Desember 1987, judul asli Corruption: its nature, causes and functions), hlm. 117. Time, 22 Mei 2006. Lihat pembahasan mengenai fraud di sektor swasta hasil kajian tersebut di atas oleh Nicholas Apostolou dan D. Larry Crumbley, “Fraud Surveys: Lessons for Forensic Accountants”, dalam Journal of Forensic Accounting 1524-5586/Vol.V1(2005), hlm. 103— 118 © 2005 R.T. Edwards, Inc. PENGANTAR Bab 1 berbicara tentang “apa" akuntansi forensik, sedangkan Bab 2 membahas “mengapa” akuntansi forensik. Apa dan mengapa adalah dua pertanyaan yang biasanya diajukan untuk: ‘mengenal sesuatis, dalam hal ini untuk mengenal akuntansi forensik. Pertanyaan berikutnya adalah, apa lingkup akuntansi forensik? Apa yang dikerjakan akuntan forensik? Pertanyaan ini sedikit telah disinggung dalam kedua bab pertama. Dalam bab ini kita akan melihat praktik akuntansi forensik jegara-negara Anglo Saxon. Di negara-negara itu praktik akuntansi forensik lebih menonjol di sektor'swasta: Prosesnya bisa di dalam maupun di luar pengadilan. Namu, yanglebih sering dibahas dalam literatur adalah proses di dalam pengadilan, Hal ini dengan jelas tercermin dalam definisi akuntansi forensik yang dikemukakan Crumbley (lihat Bab 1). Ferbedaan antara sistem dan praktik pengadilan kita dengan sistem dan praktik pengadilan di negara-négara Anglo Saxon perlu diketahui oleh mereka yang ingin inengambil sertifikasi certified fraud examiner, maupun mereka yang sekadar mémbaca buku teks dart negara-negara tersebut. Seperti pada Bab 1 dan 2, pembahasan dalam Bab 3 lebih bersifat selayang pandang. Keseluruhan bahasan dalam buku ini mencerminkan lingkup akuntansi forensik. Dalam _praktiknya, ada pokok bahasan yang sama sekali tidak merupakan lingkup praktik akuntansi forensik di suatu lembaga (misalnya covert operations). Dan sebaliknya, ada Gokor babes ‘yang lebih ditekankan oleh lembaga tersebut. 84 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Oleh Karena itu, lingkup akuntansi forensik sangat spesifik untuk lembaga yang menerapkannya atau untuk tujuan melakukan audit investigatifnya. Tujuan investigatifnya akan dibahas dalam Bab 11. PRAKTIK DI SEKTOR SWASTA G. Jack Bologna dan Robert J. Lindquist, dua penulis perintis mengenai akuntansi forensik mengemukakan beberapa istilah dalam perbendaharaan akuntansi, yakni: fraud auditing, forensic accounting, investigative accounting, litigation support, dan valuation analysis. Menurut ‘mereka, istilah-istilah tersebut tidak didefinisikan secara jelas.* Mereka menambahkan bahwa, dalam penggunaan sehari-hari litigation support merupakan istilah yang paling luas dan mencakup keempat istilah lainnya. Dalam makna ini, segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi forensik, bersifat dukungan untuk kegiatan litigasi (litigation support). Kalau di Bab 1 kita melihat bahwa sengketa juga dapat diselesaikan secara nir-litigasi, maka pengertian litigation support bisa diperluas dengan litigation and non litigation support atau legal support. Bologna dan Lindquist melanjutkan, bahwa para akuntan tradisional masih ingin membedakan pengertian fraud auditing dan forensic accounting. Menurut kelompok akuntan ini, fraud auditing berurusan dengan pendekatan dan metodologi yang bersifat proaktif untuk meneliti fraud; artinya, audit ini ditujukan kepada pencarian bukti terjadinya fraud. Tentunya bukti di sini adalah bukti yang akan dipakai di pengadilan, Sedangkan akuntan forensik baru dipanggil ketika bukti-bukti terkumpul atau ketika kecurigaan (suspicion) naik ke permukaan melalui tuduhan (allegation), keluhan (complaint), temuan (discovery), atau tip-off dari whistleblower. Dalam Bab 1, penulis mengemukakan bahwa akuntansi forensik dimulai sesudah ditemukannya indikasi awal adanya fraud. Audit investigatif merupakan bagian awal dari akuntansi forensik. Bologna dan Lindquist tidak menyentuh istilah valuation analysis. Analisis ini berhubungan dengan akuntansi atau unsur hitung-hitungan. Pihak-pihak yang bersengketa dalam urusan bisnis dapat meminta satu pihak membeli seluruh saham pihak lainnya atau mereka dapat menyepakati bahwa pembeli akhirnya adalah penawar yang mengajukan harga tertinggi. Ini adalah valuation analysis, Itulah gambaran umum mengenailingkup akuntansi forensik di sektor swasta atau sektor bisnis. Brosur dari salah satu kantor akuntan peringkat teratas (the Big Four) yang beroperasi di Asia Tenggara memerinci forensic services (jasa-jasa di bidang forensik)? Jasa-jasa forensik dalam Tabel 3.1 digambarkan dengan istilah yang tidak selalu akrab i telinga kita. Kadang-kadang suatu istilah lebih mudah dipahami dalam bahasa Inggris, daripada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, seperti dalam hal whistleblower hotline. Bab 3—Lingkup Akuntansi Forensik 85 Tabel 3.1 Deloitte-Forensic Services 'No._ Forensic Services Jasa-jasa di Bidang Forensik 1 Fraud & Financial Investigations Tnvestigasi keuangan dan fraud 2 Analytic & Forensic Technology Teknologi analitik dan forensik 3 Fraud Risk Management Manajemen risiko terhadap fraud 4 PCPA Reviews and Investigations FCPA—review dan investigasi 5 Anti Money Laundering Services Jasa pencegahan pencucian uang, 6 istleblower Hotline Whistleblower hotline 7 Litigation Support Dukungan dalam litigasi 8 Intellectual Property Protection Perlindungan hak intelektual 9 Client Training Pelatihan bagi klien di bidang forensik 10__ Business intelligence Services Jasa inteligen bisnis Berikut ini adalah penjelasan singkat dari beberapa jasa forensik dalam Tabel 3.1. 1. Analytic & Forensic Technology—Ini adalah jasa-jasa yang dikenal sebagai computer ‘forensics, seperti data imaging (termasuk memulihkan kembali data komputer yang hilang atau dihilangkan) dan data mining seperti yang dibahas di Bab 18. Beberapa perangkat lunak ini dilindungi hak cipta, seperti DTect™. 2. Fraud Risk Management—Serupa dengan FOSA dan COSA yang dijelaskan dalam. Bab 1. Beberapa peralatan analisisnya terdiri atas perangkat lunak ini dilindungi hak cipta, seperti Tip-Offs Anonymous”, DTermine™, dan DTect™. 3. FCPA Reviews and Investigations—FCPA adalah undang-undang di Amerika Serikat yang memberikan sanksi hukum kepada entitas tertentu atau pelakunya (agent) yang menyuap pejabat atau penyelenggara negara diluar wilayah Amerika Serikat. FCPA dijelaskan dalam Bab 27. FCPA Reviews serupa dengan FOSA, namun orientasinya adalah pada potensi pelanggaran terhadap FCPA. FCPA Investigations merupakan jasa investigasi ketika pelanggaran terhadap FCPA sudah terjadi. 4. Anti Money Laundering Services—Money laundering (pencucian uang) dan anti money laundering (pencegahan pencucian uang) dibahas dalam Bab 15 dan 25. Jasa yang diberikan kantor akuntan ini serupa dengan FOSA, namun orientasinya adalah pada potensi pelanggaran terhadap undang-undang pemberantasan pencucian wang. 5. Whistleblower Hotline—Whistleblower dibahas dalam Bab 21. Banyak fraud terungkap karena whistleblower memberikan informasi (tip off) secara diam-diam atau tersembunyi (anonymous) tentang fraud yang sudah atau sedang berlangsung. Kantor akuntan ini menggunakan perangkat lunak yang dilindungi hak cipta (Tip- Offs Anonymous”). 6. Business Intelligence Services—Istilah intelligence memberi kesan bahwa kantor akuntan memberikan jasa mata-mata atau melakukan pekerjaan detektif. Hal yang dilakukan adalah pemeriksaan latar belakang (background check) seseorang atau ‘suatu entitas. Jasa ini diperlukan oleh perusahaan yang akan melakukan akuisisi, 86 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik ‘merger, atau menanamkan uangnya pada perusahaan lain; ini adalah bagian dari jasa yang dikenal sebagai due diligence. Jasa intelligence juga bermanfaat dalam menciptakan kesadaran mengenai siapa pelanggan kita; ihat pembahasan tentang know your customer di Bab 25. Jasa intelligence juga berguna dalam rangka merekrut ‘orang untuk jabatan yang memerlukan kejujuran dan integritas. Dari penjelasan mengenai jasa-jasa forensik yang diberikan the Big Four di atas, kita akan mendapat kesan bahwa jasa tersebut seharusnya diberikan oleh seseorang yang pernah mempelajari dan mempraktikkan ilmu kepolisian (police sciences). Memang, the Big Four banyak mempekerjakan mantan anggota kepolisian seperti dari Scotland Yard, FBI, dan lembaga serupa itu. Kotak 3.1 berisi informasi singkat tentang FBI dan investigasi yang dilakukan FBI. Beberapa di antara investigasi yang mereka lakukan, juga dilakukan oleh akuntan forensik. Kotak 3.1 FBI Amerika Serikat dan Investigasinya Bab 3—Lingkup Akuntansi Forensik 87 ‘Sumber: http://www,bi.gov/. Oleh karena itu juga, jasa-jasa forensik yang dibahas di atas sering diberikan oleh perusahaan di bidang sekuriti seperti Kroll, Pinkerton, dan Interclaim (lihat Bab 28) dan oleh firma hukum (law firms). Lihat kutipan iklan Kroll yang berisi jasa-jasa forensik yang ditawarkannya di Kotak 3.2.’ Rekan dan staf di firma hukum sering kali berasal dari lembaga penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, SEC, otoritas jasa keuangan (financial services authority), dan lembaga di bidang pencegahan atau pemberantasan pencucian wang seperti Austrac, the Australian Transaction Report and Analysis Centre (semacam PPATK kita). 88 Bagian I—Pengantar Akurtansi Forensik Kotak 3.2 Iklan Suatu Konsultan Sekuriti KROLL eareacmimcc ticles and investigations Di bawah ini dibahas dua jasa forensik yang ada relevansinya bagi kita. Pertama, asset recovery yang akan dibahas secara lebih mendalam di Bab 28. Belum ada dokumentasi ‘mengenai adanya asset recovery atau pemulihan aset yang dilarikan koruptor Indonesia ke luar negeri, kecuali “kekayaan” H. A. Thahir di Singapura (lihat Bab 28), Melihat kasus- kasus korupsi yang sangat besar (untuk ukuran dunia sekalipun), seharusnya asset recovery merupakan jasa forensik yang sangat diperlukan di Indonesia. Jasa forensik kedua adalah penyediaan Abli (expert witness) di pengadilan, dan ersyaratannya. Ahli dan keterangan Abli, baik untuk kebutuhan penuntut umum maupun untuk tim pembela (pengacara) berkembang pesat di Indonesia. Masalahnya adalah kkriteria mengenai siapa yang dapat dianggap Ahli, masih sering diperdebatkan di ruang persidangan.* ASSET RECOVERY Asset recovery adalah upaya pemulihan kerugian dengan cara menemukan dan menguasai kkembali aset yang dijarah, misalnya dalam kasus korupsi, penggelapan, dan pencucian wang (money laundering). Bab 3—Lingkup Akuntansi Forensik 89 Asset recovery terbesar dalam sejarah akuntansi forensik adalah likuidasi Bank of Credit and Commerce International (BCCI). BCCI bangkrut karena sarat fraud. Para ahli dan praktisi perbankan menggambarkan kasus BCCI sebagai fraud terbesar dan paling rumit dalam industri perbankan, BCCI dituduh melakukan pencucian uang (money laundering), praktik tidak schat dalam memberikan pinjaman, penggelapan pembukuan, perdagangan valuta asing yang amburadul, dan pelanggaran ketentuan perbankan berskala besar. Karena tenggelam dalam fraud, nama bank itu diplesetkan menjadi Bank of Crooks and Criminals International. Tahun 1991 Touche Ross ditunjuk menjadi likuidator BCCI. Touche Ross kemudian bergabung dengan Deloitte Haskins & Sells menjadi Deloitte & Touche.* Wikipedia memberikan gambaran tentang proses dan besarnya aset para kreditor yang berhasil dipulihkan dalam upaya Deloitte & Touche yang sudah berjalan 14 tahun‘: Deloitte & Touche selaku likuidator mengajukan tuntutan terhadap Price Waterhouse dan Ernst & Young yang merupakan auditor dari BCCI. Tuntutan ini diselesaikan dalam tahun 1998 sebesar $175 juta. Deloitte & Touche juga mengajukan tuntutan terhadap Emir dari Abu Dhabi, pemegang saham besar BCCI, untuk sekitar $400 juta di tahun 1999, Kreditor BCCI mengajukan tuntutan sekitar $1 miliar kepada Bank of England. Dengan perjuangan mati-matian selama sembilan tahun, karena aturan kekebalan bank sentral, kasus ini ke pengadilan tahun 2004, Namun, dalam bulan November 2005 Deloitte menggugurkan tuntutannya terhadap Bank of England, dengan alasan hal itu bertentangan dengan kepentingan para kreditor, Sampai saat ini (2005), Deloitte & Touche berhasil memulihkan 90% kerugian yang dialami para kreditor. Pada awal proses likuidasi, pemulihan aset diperkirakan hanya akan mencapai 5% sampai 10%. Lihat Lampiran A bab ini tentang BCCI dan kejatuhannya. Pemerintah RI. mempunyai pengalaman dalam upaya pemulihan aset yang disembunyikan di luar negeri. Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menulis pengalamannya sebagai berikut’. ‘Waktu saya baru beberapa bulan di Kejagung, ada seseorang pengacara (lawyer) dari AS menawarkan jasa untuk melacak harta Pak Harto. Dari track record-nya saya lihat dia punya reputasi untuk itu, Akan tetapi, dana kita terbatas, tidak mungkin bisa membayar dia. Saya mengajukan penawaran bahwa biaya dibayar berdasar persentase dana yang berhasil ditarik. Akan tetapi, dia menghendaki agar fee dikeluarkan bertahap berdasarkan progres penyelidikan yang dilakukan. Dia memasang angka satu juta dolar sebagai acuan. Jadi, kalau dana penyelidikan yang dia lakukan sudah mencapai satu juta dolar, kita bayar. 90 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Proposal dia ini masuk akal juga. Cuma kita menghendaki lain, kalau memang sama- sama yakin bahwa dana Soeharto ada, buktikan dulu baru kemudian kita bayar berdasar persentase tertentu atas dana tersebut. Karena tidak tercapai kesepakatan, akhirnya kami batal menggunakan jasa pengacara Amerika itu. Inilah tantangan besar yang dihadapi akuntan forensik Indonesia, Setiap tahun kita melihat laporan berbagai lembaga mengenai aset negara yang berhasil diselamatkan. Jumlahnya cukup besar. Namun, mash relatif kecil dibandingkan dengan seluruh kerugian keuangan negara dan kerugian negara karena perbuatan melawan hukum. Expert Witness Pemberian jasa forensik berupa penampilan Abli (expert witness) di pengadilan negara-negara Anglo Saxon begitu lazim, sehingga seorang praktisi menulis*: Technically, the term “forensic accounting” means preparing an expert witness accountant {or litigation as part of a team representing either the prosecution or defense in a matter relating to a fraudulent activity. Over time, however, the term “forensic accounting” has also become synonymous with investigative accounting procedures. (Secara teknis, “akuntansi forensik” berarti menyiapkan seorang akuntan menjadi saksi ali dalam litigasi, sebagai bagian dari tim penuntut umum atau pembela dalam perkara yang berkenaan dengan fraud. Namun, dalam perkembangan selanjutnya istilah “akuntansi forensik” bermakna sama dengan prosedur akuntansi investigatif.) Masalah yang timbul dalam penggunaan akuntan forensik sebagai Ahli di persidangan, Khususnya dalam tindak pidana korupsi, adalah kompetensi dan independensi. Masalah Kompetensi dan independensi sering dipertanyakan tim pembela atau pengacara tethadap akuntan forensik yang membantu penuntut umum, Sebaliknya, tidak ada pertanyaan mengenai kompetensi dan independensi akuntan forensik yang membantu tim pembela (pengacara). Bagaimana pengadilan bisa menerima pendapat, kesimpulan atau keterangan saksi ahli di sidang pengadilan? Atau, bagaimana pengadilan menguji teori, teknik atau metode yang digunakan saksi ahli untuk merumuskan pendapatnya? Di Amerika Serikat, ada persyaratan yang harus dipenuhi agar pengetahuan tertentu dapat digunakan sebagai dasar untuk keterangan saksi abli. Saksi ahli yang memenuhi kualifikasi arena memiliki pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pelatihan, atau pendidikan ilmiah diperkenankan memberikan keterangan atau pendapat jika: Bab 3—Lingkup Akuntansi Forensik 91 1. _keterangan atau pendapatnya didasarkan atas fakta atau data yang cukup; 2. _keterangan atau pendapatnya merupakan hasil dari prinsip dan metode yang andal; dan 3. _saksi ahli sudah menerapkan prinsip dan metode dengan benar pada fakta dalam kasus yang dihadapi. Kata kunci dalam aturan di Amerika Serikat adalah prinsip dan metode yang andal (reliable principles and methods). Frasa ini menjadi standar umum untuk apa yang diterima sebagai keterangan saksi ahli, Dalam kasus yang dikenal sebagai Daubert case, Mahkamah Agung (Supreme Court) ‘menginterpretasikan bahwa kondisi berikut dipenuhi: 1. teknik atau teori sudah diuji secara ilmiah; 2. teknik atau teori sudah dipublikasi dalam majalah ilmiah di mana sesama rekan. dapat menelaahnya (peer-reviewed scientific journal); 3. tingkat kesalahan dalam menerapkan teknik tersebut dapat ditaksir dengan memadai atau diketahuis 4, teknik atau teori sudah diterima dalam masyarakat atau asosiasi ilmuwan terkait. ‘Mahkamah Agung tidak bermaksud untuk menerapkan semua butir di atas pada semua kasus. Butir-butir di atas dikenal sebagai Daubert test. Hal yang dikehendaki adalah bahwa butir-butir yang relevan harus diterapkan secara kasus per kasus. Butir-butir tersebut juga tidak perlu diterapkan secara ketat untuk semua jenis keterangan saksi ahli. Hal terpenting adalah butir-butir tersebut diterapkan seketat mungkin dalam kasus yang dihadapi. Ada kriteria lain, yang dikenal sebagai Frye test. Frye test lebih dulu dikenal daripada Daubert test. Di beberapa pengadilan negara bagian, Frye test masih diterapkan, Frye test hanya mensyaratkan bahwa keterangan saksi ahli didasarkan pada prinsip atau metode yang. sudah diterima oleh masyarakat atau asosiasiilmuwan terkait. Penerapan Daubert test dan Frye test bervariasi dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi yang Jain, Semua pengadilan Federal dan beberapa pengadilan negara bagian menerapkan Daubert test. Pengadilan negara bagian lainnya menerapkan Frye test saja, kombinasi dari Frye test dan Daubert test, atau tes lainnya. Masing-masing yurisdiksi umumnya tidak mendaftarkan para ahli yang disetujui pengadilan (court-approved experts). Secara umum, setiap saksi abli harus diterima (melalui proses persidangan yang dijelaskan di atas) sebagai ahli dalam setiap kasus di mana ia bersaksi. Oleh karena itulah, akuntan forensik harus siap, kalau pengadilan menerapkan Daubert test kepadanya. Itu berarti, sidang pengadilan (khususnya pihak lawan) bukan saja menanyakan keahlian profesional dari saksi ahli yang dihadirkan, tetapi juga teknik, teori, dan metode yang digunakannya untuk merumuskan pendapat atau keterangan ahlinya. 92 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Ringkasan Daubert test dan Fyre test disajikan dalam bentuk gambar (lihat Figur 3.1). Figur 3.1 Daubert Test dan Frye Test Frye Test ‘Sonne Accepted in noe Scent, Generally Accepted by the eS oem Scientific Community wuat §) WOULD HAPPEN te ect ened Enimable er Eror ho ‘Published ‘Scientific/Expert Testimony Admitted into Evidence ‘Sumber: William S. Hopwood et al, 2007, Forensic Accounting, McGraw-Hill, him, 485-486. Bab 3—Lingkup Akuntansi Forensik 93 FRAUD DAN AKUNTANSI FORENSIK Seperti dijelaskan di bab terdahulu, akuntansi forensik pada dasarnya menangani fraud. Oleh karena itu, para akuntan forensik di Amerika Serikat menamakan asosiasi mereka, Association of Certified Fraud Examiners disingkat ACFE. ACFE memublikasikan penelitiannya tentang fraud, seperti konsep Fraud Tree dan Report to the Nation (laporan mengenai fraud dalam bisnis di Amerika Serikat) yang dibahas dalam Bab 6. Dari pembahasan Report to the Nation di Bab 6, kita akan melihat respons dari para penyedia jasa forensik (KAP, agen sekuriti, dan firma hukum) terhadap jenis fraud yang sering terjadi, penangkal fraud (anti-fraud controls) yang dapat menekan kerugian yang diakibatkan oleh fraud, dan hal-hal apa yang membantu terungkapnya fraud. Dari temuan ACFE mengenai hal-hal apa yang membantu terungkapnya fraud, misalnya, penyedia jasa forensik memanfaatkan jasa whistleblower. PRAKTIK DI SEKTOR PEMERINTAHAN Di sektor publik (pemerintahan), praktik akuntan forensik serupa dengan apa yang digambarkan di atas, yakni pada sektor swasta. Perbedaannya adalah bahwa tahap-tahap dalam seluruh rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi di antara berbagai lembaga (lihat Bab 5). Ada lembaga yang melakukan pemeriksaan keuangan negara, ada beberapa lembaga yang merupakan bagian dari pengawasan internal pemerintahan, ada lembaga-lembaga pengadilan, ada lembaga yang menunjang kegiatan memerangi kejahatan pada umumnya, dan korupsi khususnya (seperti PPATK), dan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK. Juga ada lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai pressure group. Masing-masing lembaga tersebut mempunyai mandat dan wewenang yang diatur dalam konstitusi, undang-undang atau ketentuan lainnya. Mandat dan wewenang ini akan mewarnai lingkup akuntansi forensik yang diterapkan. Ini dibahas dalam Bab 5 mengenai tatanan kelembagaan di Indonesia. Di samping itu keadaan politik dan macam-macam kondisi lain akan memengaruhi lingkup akuntansi forensik yang diterapkan, termasuk pendekatan hukum dan nonhukum. Hal ini dapat dilihat dalam penanganan kasus-kasus korupsi atau dugaan korupsi mantan- mantan Kleptokrat dunia, AKUNTANSI FORENSIK DI SEKTOR PUBLIK DAN SWASTA Dalam tiga bab pertama kita telah melihat beberapa aspek akuntansi forensik di sektor publik dan swasta. Untuk Indonesia, akuntansi forensik di sektor publik jauh lebih dominan dibandingkan dengan akuntansi forensik di sektor swasta. Dalam perekonomian yang didominasi sektor swasta, kita akan melihat kebalikannya. 94 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik ‘Tabel 3.2 di bawah membandingkan akuntansi forensik di sektor publik dengan akuntansi forensik di sektor swasta. Tabel 3.2 Akuntansi Forensik di Sektor Publik dan Swasta Landasan “Amanat undang-undang Penugasan tertulis secara spesifik penugasan Imbalan Taziminya tanpa imbalan Fee dan biaya (contingency fee and ‘expenses) Hokum Pidana umum dan Khusus, hukum Perdata, arbitrase, administratif/ administrasi negara aturan intern perusahaan Ukuran ‘Memenangkan perkara pidana ___Memulihkan kerugian keberhasilan ddan memulihkan kerugian Pembuktian Dapat melibatkan instansilain di Buti intern, dengan bukti ekstern Juar lembaga yang bersangkutan___ yang lebih terbatas Teknik audit ‘Sangat bervariasi karena Relatiflebih sedikit dibandingkan investigatif kewenangan yang relatif besar di sektor publik. Kreativitas dalam pendekatan, sangat menentukan ‘Akuntanst “Tekanan pada kerugian negara dan Penilaian bisnis (business ‘kerugian keuangan negara valuation) Dalam pembahasan di bab-bab selanjutnya, terlihat perbedaan-perbedaan tambahan antara praktik akuntansi forensik di kedua sektor tersebut. PENUTUP Penulis-penulis buku akuntansi forensik mendefinisikan lingkup yang berbeda-beda, ada ‘yang sangat luas dan ada yang sangat sempit. Di antara kedua kutub inilah kita melihat kebanyakan penulis mendefinisikan lingkup akuntansi forensik, seperti yang dilakukan oleh Bologna dan Lindquist. Pengalaman para penulis dan lembaga yang mereka wakili, memberi warna kepada luas- sempitnya lingkup akuntansi forensik. Penulis buku ini mencoba memberikan lingkup yang luas, karena dua sebab. Pertama, akuntansi forensik masih dalam tahap perkembangan. Akuntansi forensik masih mencari bentuk. Berbagai lembaga menerapkan akuntansi forensik dengan penekanan yang berbeda-beda, sesuai dengan mandat yang mereka terima dan sesuai dengan tahapan pengalaman. Makin banyak pengalaman yang mereka miliki dan makin banyak SDM yang terlatih, lembaga-lembaga ini cenderung menerapkan akuntansi forensik dengan lingkup yang lebih luas. ; oe sa Bab 3—Lingkup Akuntansi Forensik 95 Kedua, kebanyakan penulis buku akuntansiforensik melihat lingkupnya dari segi praktis, bukan teoretis. Ini memang dapat dimengerti karena kebutuhan akuntansi forensik adalah untuk memecahkan masalah praktis di bidang hukum, akuntansi, dan auditing. Untuk segi teoretisnya, akuntansi forensik meminjam konsep-konsep dari berbagai disiplin ilmu yang lain, Akuntansi forensik menggunakan pendekatan multi disiplin (khususnya hukum dan akuntansi). Pendekatan ini juga dapat dilihat dalam bidang perpajakan dan kebangkrutan. Dalam perpajakan dan kebangkrutan, dasarnya adalah undang-undang, baik undang- undang perpajakan maupun undang-undang kepailitan, batk undang-undang materielnya ‘maupun aturan acaranya, Dalam penerapannya, akuntansi dan investigasi memainkan peranan penting. Bahkan beberapa teknik investigasi diterapkan juga dalam pemeriksaan pajak dan untuk urusan kepailitan. Juga dalam perpajakan dan kepailitan kita menyaksikan kegiatan firma-firma hukum dan akuntansi (law firms dan accounting firms) memberikan jasa-jasa kepada klien masing- masing. CATATAN KAKI ! G, Jack Bologna dan Robert J. Lindquist, Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques. 2 Deloitte, Forensic services in Southeast Asia: Uncovering the past, protecting the future. Istilah dalam bahasa Inggris di Tabel 3.1 diambil dari brosur tersebut, sedangkan terjemahan bebasnya dari penulis. > Iklan ini diambil dari KROLL GLOBAL FRAUD Report yang ditempatkan di situs Web Kroll. 4 Lihat Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Bab 8 * Mengenai perubahan kantor akuntan publik global dalam peringkat pertama, lihat ‘Theodorus M. Tuanakotta, Setengah Abad Profesi Akuntansi, Bab 3. © Sumber httpllen.wikipedia.org/wiki/Bank_of Credit_and_Commerce_International. ‘Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz, him. 293-294, * Edward J. McMillan, Policies and Procedures to Prevent Fraud and Embezzlement: Guidance, Internal Controls, and Investigation, him. 111. 96 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Lampiran A Bank of Credit & Commerce International Catatan ‘Majalah Time dalam terbitannya Senin, 29 Juli 1991 memuat cover story tentang BCCI. Ini menandakan bahwa BCCI adalah kasus besar. Kasus-kasus fraud perbankan biasanya kering dan menjemukan. Tidak demikian halnya dengan Bank of Credit & Commerce International. Dalam sejarah skandal perbankan, BCCI tidak ada lawan. BCCI bahkan berhasil menembus perbankan Amerika seperti layaknya invasi pesawat tempur Stealth. Diam-diam BCCI membeli First American Bankshares, suatu holding company berbasis di Washington dengan kantor yang tersebar antara Florida sampai New York. Chairman First American Bankshares adalah mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Clark Clifford. BCC lebih dari sekadar bank kriminal. Melalui wawancara dengan sumber-sumber yang dekat dengan BCCI, TIME menyusun potret dari divisi rahasia (clandestine division) yang dikenal sebagai “jaringan hitam” (“black network”). Jaringan hitam berfungsi sebagai operasi intel global dan pasukan penegak a'la Mafia (Mafia-like enforcement squad). BCCI didirikan dalam tahun 1972 dengan misi menjadi bank Muslim pertama yang tangguh. Didirikan di Luksemburg dengan kantor pusat di London, memiliki 400 cabang dan anak perusahaan di seluruh dunia. Meskipun dimiliki oleh pemegang saham berkebangsaan Arab dari negara-negara teluk, BCCI adalah bank Pakistan, dengan jantung di Karachi. Bab 3—Lingkup Akuntansi Forensik 97 Agha Hasan Abedi, pendiri dan pemimpin BCCI berkebangsaan Pakistan, sebagaimana halnya dengan kebanyakan manajer menengah di bank tersebut. Juga di Pakistan divisi terkorup dari bank itu berkembang dengan pesat. Invasi Uni Soviet ke Afghanistan di tahun 1979 yang berdampak terhadap negara tetangganya, Pakistan, yang menjadi makin strategis, mempercepat perkembangan BCCI dalam kekuatan geopolitik dan penggunaan jaringan hitamnya. Oleh karena Amerika Serikat ingin memasok kelompok Mujahedin di Afghanistan dengan misil Stinger dan peralatan militer lainnya, Amerika memerlukan dukungan penuh Pakistan yang akan dilalui arus senjata tersebut. Pada pertengahan 1980-an, operasi CIA di Islamabad merupakan stasiun intel terbesar Amerika Serikat. Jaringan hitam ini berkembang secara alamiah berkat keterlibatan BCCI dalam kegiatan rahasia dan kriminal, BCCI juga menikmati posisi unik dalam beroperasi sebagai unit pengumpul data intelijen melalui BCCI bisnis dengan pemimpin dunia seperti Noriega, Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, Presiden Alan Garcia (dari Peruvia), Daniel Ortega, pemberontak Adolfo Calero dan pedagang senjata seperti Adnan Khashoggi. Tujuannya semula adalah untuk membayar suap (sogok), mengintimidasi otoritas setempat dan menghentikan investigasi. Akan tetapi kemudian di awal 1980, menurut sumber internal BCCI, jaringan hitam memasuki perdagangan narkoba, senjata, dan transaksi valuta asing. Akhirnya jaringan hitam menjadi sumber perebutan kekuasaan dan pengaruh. Namun, tujuan utamanya adalah mengupayakan operasi penjarahan global yang menghabiskan miliaran dolar simpanan dan tabungan, Audit Price Waterhouse memicu pembekuan aset BCCI di seluruh dunia (awal Juli 1991). Menurut Price Waterhouse, BCCI begitu kacaunya sehingga bank itu tidak dapat menyusun. laporan keuangan yang layak. Namun, para investigator menemukan masalah yang lebih. besar, yakni $10 miliar atau lebih telah lenyap. Itu setara dengan separuh aset BCCI di seluruh dunia, ‘Apa yang terjadi? Struktur korporasi BCCI sedemikian rupa sehingga bank ini tidak diawasi oleh bank sentral mana pun. Jaringan organisasi BCCI terdiri atas lusinan perusahaan “cangkang” (shell companies), offshore banks, cabang dan anak perusahaan di 70 negara. Sangat tak masuk akal, sekalipun untuk pejabat dan auditor BCCI. Pemanfaatan rekening di Cayman Islands secara ekstensif yang tidak diatur, berhasil menyembunyikan segala sesuatunya, Organisasinya yang rumit dan metode akuntansinya yang unik (dengan tulisan tangan dan dalam bahasa Urdu Pakistan) membuat uang BCCI yang hilang, tidak dapat ditelusuri. Tidak ada seorang pun yang akan mengetahui berapa banyak yang dijarah Abedi, sementara itu sudah mendirikan bank baru (dinamakannya Progressive Bank) di Karachi. Kejatuhan BCCI tak terhindarkan. Fraud yang dilakukannya tidak lain adalah ponzi «scheme berskala dunia. BCCI menerima simpanan pihak ketiga, kemudian menjarahnya, dan mengembalikan dana kepada pihak ketiga tersebut melalui pemasukan dana baru. Sumber: Diringkas dari Gover Story majalah Time, Senin, 29 uli 1991, yang ditulis oleh Jonathan Beaty dan S. C. Gwynne dengan judul The Dirtiest Bank of All 98 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik BAB 4 Atribut dan Kode Etik Akuntan Forensik serta Standar Audit Investigatif PENGANTAR ‘Anggota suatu profesi mempunyai ciri-ciri khas sesuai tuntutan profesinya; demikian juga dengan akuntan forensik. Akuntan forensik memiliki ciri-ciri seorang akuntan dan auditor, Kekhususannya dalam fraud audit mewarnai ciri-ciri atau atribut seorang akuntan forensik. Ini adalah pokok bahasan pertama dalam bab ini. CCiri lain dari anggota suatu profesi adalah, ia tunduk pada kode etik profesinya. Hal yang sama berlakit untuk akuntan forensik. Di sektor publiky tuntutan untuk menaati kode etik bahkan lebih intens karena wewenang yang relatif besar yang dimiliki akuntan forensik yang merupakan bagian dari sistem penegakan hukum, Standar profesi akuntan untuk pelaksanaan audit atas laporan ketangan dan jasa-jasa atestasi sudah ada dan sudah disosialisasikan secara Iuas kepada anggota protest (anggota Institut Akuntan Publik Indonesia atau TAPI). Sampai seat penulisan edisi kedua buku ini, IAP belum menerbitkan standar audit investigatif: Badan Pemeriksa Keuangan RI menetapkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang memuat standar untuk pemeriksaan kecurangan (fraud audit) dan pemeriksaan ketidakpatutan (abuse). ATRIBUT SEORANG AKUNTAN FORENSIK Howard R. Davia memberi lima nasihat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud.! Pertama, hindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematu Identifikasi lebih dulu, siapa pelaku (atau yang mempuinyal potenst untuk menjadi pelaku). 100 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Banyak auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, dan tidak dapat menjawab pertanyaan yang paling penting: who did it? Kecurangan tidak terjadi begitu saja. Selalu ada pelakunya. Oleh karena itu, pada kkesempatan pertama auditor menemukan petunjuk awal (indicia of fraud), ia harus mulai berspekulasi secara cerdas, siapa yang berpotensi menjadi pelakunya atau otak pelakunya. Kelemahan auditor ini terlihat dari kebiasaan mereka melaporkan temuan mereka, misalnya dalam contoh ini: “Kami menemukan adanya pembayaran sebesar Rp139 miliar yang tidak didukung bukti-bukti yang cukup’: Temuan yang begitu penting berakhir dengan kalimat tersebut, Seluruh temuan tidak menjawab pertanyaan: siapa pelakunya? Contoh lain adalah penggunaan kalimat pasif seperti: “Pembelian dilakukan tanpa proses tender, sehingga ada potensi kerugian negara sebesar Rp175 miliar” Siapa pelakunya? Penyembunyian nama pelaku juga dapat dilakukan dalam kalimat aktif, seperti “Perusahaan (atau Bagian Pembelian) tidak melakukan proses tender dalam pengadaan alat- alat kantot” Si pelaku, dalam contoh ini, disembunyikan di balik organisasinya (“Perusahaan”) atau unit organisasinya (“Bagian Pembelian”). Kebiasaan di atas sudah dimulai ketika auditor melakukan audit umum (general audit atau opinion audit) dan diteruskannya ketika ia melakukan audit investigatif. ‘Ada kalanya kebiasaan itu didorong oleh keinginan untuk “memperhalus” pengungkapan sesuatu yang kelihatannya kurang elok. Dalam bahasa Inggris, penghalusan ini disebut euphemisms, Kalau istilah “praktik korupsi” diganti dengan “penyimpangan’, maka nama koruptornya “terpaksa’ ikut diperhalus (baca: dihilangkan). ‘Akan tetapi ada juga pertimbangan yang disebut asas praduga tak bersalah. Hanya pengadilan, melalui keputusan majelis hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum. tetap (in kracht), yang dapat menyatakan seseorang menjadi terpidana. Semua orang harus dianggap belum bersalah sampai ada keputusan ini. Dengan menggunakan fraseologi yang tepat (seperti “ada dugaan ..” atau “diduga” atau “ditengarai”) diikuti dengan inisial dari orang yang diduga menjadi pelaku, kesulitan di atas dapat diatasi. Cara “aman” ini dimanfaatkan oleh para jurnalis, yang diawal tulisan mereka mencantumkan sederetan inisial. Kemudian di tengah cerita, seolah-olah di luar konteks perbuatan kriminal tadi, mereka menyebut nama-nama orang secara lengkap. Dari penggalan- penggalan tulisan itu, pembaca dengan mudah “menebak” pelakunya. Lihat misalnya Kotak 15.1 di Bab 15. ‘Wartawan “menghormati* asas praduga tak bersalah dengan mencantumkan inisial atau singkatan nama tentang terperiksa atau tersangka. Sesudah itu beritanya dilengkapi dengan mengungkapkan identitas yang bersangkutan, untuk memuaskan pembaca. Lihat misalnya Kotak 4.1 yang merupakan kutipan dari sebagian berita Kompas, Jumat, 23 April 2010. Bab 4—Atribut dan Kode Etik Akuntan Forensik serta Standar Audit Investigatif 101 Kotak 4.1 Berita “Jampidum Ditegur” disajikan Kompas bersebelahan dengan tulisan yang ‘menjelaskan kegemasan masyarakat terhadap perlindungan martabat. Ringkasan tulisan ini disajikan dalam Kotak 4.2. Kotak 4.2 102 Bagian I—Pengantar Akuntansi Forensik Kedua, fraud auditor harus mampu membuktikan “niat pelaku melakukan kecurangan” (perpetrators’ intent to commit fraud). Banyak kasus kecurangan kandas di sidang pengadilan karena penyidik dan saksi abli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau pelanggaran. Davia mengingatkan kita akan sesuatu yang sangat gamblang, “The purpose of the courts is to judge people, not to hear detail-rich stories of the crimes involved” (tujuan proses pengadilan adalah menilai orang, dan bukan mendengar celotch yang berkepanjangan tentang kejahatannya). Padahal cerita tentang kejahatan ini (dibumbui dengan cerita tentang bagaimana sang auditor berhasil mengungkapkannya) yang sangat disukai para pemula, Para pemula bangga sekali bisa menceritakan peranan mereka sebagai Sherlock Holmes. Ketiga, “be creative, think like a perpetrator, do not be predictable” seorang fraud auditor harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud, jangan dapat ditebak. Bagian Ketiga buku ini akan membahas teknik-teknik audit investigatif; tekniknya tidak banyak. Masing-masing teknik mempunyai keunggulan dalam situasi tertentu, Beberapa teknik perlu dipadukan untuk mencapai hasil yang efisien dan efektif. Itulah pentingnya kkreativitas. Juga keadaan dapat berubah dengan cepat, bukti dan barang bukti disembunyikan atau dihancurkan, pelaku bersembunyi atau melarikan diri; fraud auditor harus kreatif. Seorang fraud auditor harus berpikir seperti pelaku fraud atau seperti penjahat. la harus dapat mengantisipasi langkah-langkah berikut pelaku fraud atau koruptor ketika mengetahui perbuatan mereka terungkap. Lihat misalnya kasus jaksa Urip (UTG) dan Artalyta (AS) yang dibahas dalam operasi penyamaran di Bab 20. Segera sesudah UTG tertangkap tangan, AS

Anda mungkin juga menyukai