Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN

Wawasan nusantara memiliki konsep bagaimana upaya menjawab tantangan tantangan


geografis yang melekat pada negara dan bangsa Indonesia serta sebagai negara yang kita tahu
terdiri dari ribuan pulau yang sangat beragam. Wawasan Nusantara ini sangat berkaitan
dengan dasar ideologi dan konstitusi yang digunakan oleh negara Indonesia ini yaitu
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Pada studi kasus yang kami bahas ialah tentang
“Polemik UU Mineral dan Batubara (Minerba)”.
DPR bersama Pemerintah telah menyetujui RUU tentang Perubahan atas UU No. 4 tahun
2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU. Lalu, Presiden menandatanganinya
pada 10 Juni 2020 dan langsung diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam
lembaran negara menjadi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Perubahan UU Minerba). Pada Pasal 4
Ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 yang berbunyi “Penguasaan mineral dan batubara oleh
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah”, diubah dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2020 menjadi
“Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. UU
Minerba baru ini malah akan menghadirkan resentralisasi kewenangan baik dari aspek
perizinan maupun pengawasan. Padahal, kewenangan yang sebelumnya dimiliki pemerintah
daerah bisa memberikan manfaat terhadap masyarakat di daerah sekitar wilayah
pertambangan. Diketahui bahwa dengan adanya UU Minerba ini sebagian kewenangan
diambil oleh pusat dengan dalih ingin menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Lalu,
UU Minerba ini juga dapat memperparah kondisi social ekonomi masyarakat. Hal ini
dikarenakan tanggung jawab sosial pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dihapuskan oleh UU No 3 tahun 2020 ini sehingga
perusahaan tambang tidak terlalu dipaksakan untuk melakukan reklamasi bagi pertambangan
yang telah selesai karena akan dialihkan kepada pihak ketiga dimana akan berdampak juga
pada lingkungan dan pengelolaan tambang itu sendiri. Batas waktu IUPK dalam UU Minerba
ini dinilai tidak logis dan memberikan kesan keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan-
perusahaan besar. Bahkan, menghilangkan kesempatan perusahaan-perusahaan swasta
pemain baru di sector pertambangan. Hal ini juga menunjukkan adanya oligarki oleh negara.
Negara atau pemerintah dengan sengaja menciptakan ketimpangan lintas generasi. Sehingga
wilayah tambang yang sebelumnya bisa dikelola dengan jangka waktu yang relatif tidak
terlalu panjang, dan bisa dilakukan lelang ulang, tetapi dengan adanya UU Minerba yang
baru ini dengan memberikan otomatisasi perpanjangan yang sangat lama, bahkan bisa
diperpanjang lagi ketika ada ketentuan hilirisasi. Pada pasal 83 poin (h) UU Nomor 3 Tahun
2020 berbunyi “jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Batubara yang terintegrasi dengan
kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara diberikan jangka waktu selama 30
(tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap
kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Padahal, pada Pasal 83 (g) UU Nomor 4 Tahun 2009 berbunyi
“jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh)
tahun. Adanya perubahan atau UU ini juga, akan menjadi hal yang kurang baik bagi rakyat
Indonesia, karena ini akan berkaitan bagi perkerjaan. Jika dianalisis lebih jauh, maka
perubahan UU ini akan kurang mengutungkan bagi rakyat, walaupun tujuan dari adanya
perubahan UU ini oleh pemerintah adalah untuk produksi serta distribusi mineral dan
batubara yang lebih baik lagi. Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tidak menyebutkan
bagaimana prinsip-prinsip penyusunan WHP dan kaitannya dengan tata ruang. Pasal 6 ayat
(1) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (“UU No. 26 Tahun 2007”) menentukan
bahwa penataan ruang harus diselenggarakan dengan memperhatikan wilayah yang rentan
bencana, potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, kondisi
ekonomi sosial, budaya politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan, dan geostrategi, geopolitik, dan
geoekonomi.
Wilayah Pertambangan merupakan daerah yang mempunyai kemampuan mineral
serta/ ataupun batubara serta tidak terikat dengan batas administrasi pemerintahan yang ialah
bagian dari tata ruang nasional. WP ialah landasan untuk aktivitas pertambangan yang
diresmikan oleh pemerintah sehabis didetetapkan oleh pemerintah daerah serta bertanya
dengan DPR. WP terletak dalam daerah daratan ataupun wilayah laut, dengan kriteria
terdapatnya gejala formasi batuan pembawa mineral serta/ atau batubara ataupun kemampuan
sumber energi bahan tambang padat atau cair. Perihal yang butuh dikritisi dalam pengaturan
terpaut WP merupakan Pergantian UU Nomor.4 Tahun 2009 mengganti Pasal 9 yang tadinya
menegaskan bahwa WP sebagai bagian dari tata ruang nasional ialah landasan untuk
penetapan aktivitas usaha pertambangan, jadi bagian dari WHP. Selaku bagian dari tata ruang
nasional, penetapan WP wajib memikirkan keterpaduan serta pemanfaatan ruang yang
berkesinambungan bersumber pada energi dukung area. Konsekuensinya, tata ruang serta
kajian area hidup strategis bagaikan instrumen penangkalan serta ataupun kehancuran area
menjadi landasan dalam penetapan WP.
Perubahan UU no. 4 Taun 2009 memperlemah pengawan pemerintah atas
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dan menghilangkan fungsi pengawasan
masyarakat atas dampak lingkungan hidup. Terdapat catatan ialah tidak sinkronnya
sentralisasi pengawasan dengan pengaturan pendelegasian penerbitan izin pada Perubahan
UU No. 4 Tahun 2009. Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 menghilangkan pengawasan
terhadap kepentingan umum serta penyelesaian masalah pertanahan dan perselisihan
pertambangan. Salah satu aspek yang dihilangkan dalam Perubahan UU No. 4 Tahun 2009
adalahpengawasan terhadap kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang
menyangkut kepentingan umum. Berdasarkan Pasal 32 PP No. 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha pertambangan Mineral dan
Batubara PP No. 55 Tahun 2010, kepentingan umum yang dimaksud termasuk fasilitas umum
yang dibangun oleh pemegang IUP/IUPKuntuk masyarakat sekitar tambang beserta
pembiayaan untuk pembangunan atau penyediaannya. Perubahan UU No. 4 Tahun 2009
menghilangkan kewenangan Inspektur Tambang untuk menghentikan sementara kegiatan
usaha pertambangan dan hak bagi masyarakat untuk mengajukan permohonan penghentian
sementara kegiatan usaha pertambangan. Dalam Pergantian UU Nomor. 4 Tahun 2009, tidak
hanya mempertegas pembagian ruang lingkup pengawasan antara inspektur tambang dengan
pejabat pengawas Pertambangan, pantas diapresiasi kalau Pergantian UU Nomor. 4 Tahun
2009 juga menaikkan syarat menimpa pengawasan secara berkala serta penyampaian hasil
pengawasannya kepada publik. Walaupun demikian, wajib dikritik pula bahwa Pergantian
UU Nomor. 4 Tahun 2009 melenyapkan kewenangan Inspektur Tambang buat menghentikan
sedangkan aktivitas usaha pertambangan. Pergantian UU Nomor. 4 Tahun 2009 apalagi pula
melenyapkan ketentuan permohonan warga kepada penerbit izin buat menghentikan
sementara aktivitas pertambangan. Lebih spesifiknya, Pergantian UU Nomor. 4 Tahun 2009
tidak menyebut pihak mana yang bisa mengajukan suspensi aktivitas usaha pertambangan
kepada Menteri. Ini memunculkan kekaburan hukum serta kemampuan pengabaian terhadap
permohonan suspensi dari masyarakat sebab tidak diatur dalam Pergantian UU Nomor. 4
Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai