Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA TERAPAN

PERCOBAAN VI
ASMA

OLEH :

NAMA : SASKIA SAKINA RAMADANY


NIM : O1A1 15 135
KELOMPOK : II (DUA)
KELAS :D
ASISTEN : ERLIA NINGSIH NATSIR

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Tujuan
Tujuan dari percobaan ini antara lain :
a. Untuk mengetahui dan memahami cara melakukan skrining resep
pasien asma pada kondisi khusus
b. Untuk mengetahui dan memahami cara pelayanan informasi obat dan
konseling pasien asma pada kondisi khusus

B. Landasan Teori
Asma adalah penyakit inflamasi saluran nafas yang dapat menyerang
semua kelompok umur. Asma ditandai dengan serangan berulang sesak
napas dan mengi, yang bervariasi setiap individunya dalam tingkat
keparahan dan frekuensi. Asma dapat mempengaruhi kualitas hidup serta
beban sosial ekonomi. Asma tidak dapat disembuhkan namun dapat
dikontrol dengan manajemen yang tepat. Walaupun panduan
penatalaksanaan asma sudah tersebar luas hampir di seluruh dunia serta
berbagai obat baru terus dikembangkan namun penanganan asma di
lapangan masih belum adekuat di negara berkembang maupun di negara
maju (Keterine dkk., 2014 ).
Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah
penderita asma di dunia mencapai 300 juta orang. Angka ini
dikhawatirkan terus meningkat hingga 400 juta orang pada tahun 2025. Di
dunia penyakit asma termasuk 5 besar penyebab kematian. Diperkirakan
250.000 orang meninggal setiap tahunnya dikarenakan asma (Aliya,
2015). Departemen Kesehatan memperkirakan penyakit asma termasuk 10
besar penyebab kesakitan dan kematian di RS dan diperkirakan 10% dari
25 juta penduduk Indonesia menderita asma. Angka kejadian asma pada
anak dan bayi sekitar 10-85% dan lebih tinggi dibandingkan oleh orang
dewasa (10-45%) (Oemiati dkk., 2010).
Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum
berhasil. Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu berbagai
kekurangan dalam hal pengetahuan tentang asma, kelaziman melakukan
diagnosis yang lengkap atau evaluasi pre terapi, sistimatika dan
pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan penyuluhan dalam
pengelolaan asma. Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik
haruslah dilakukan pada saat dini dengan berbagai tindakan pencegahan
agar penderita tidak mengalami serangan asma. Untuk meningkatkan
pengelolaan asma yang baik hal-hal tersebut harus dipahami dan dicarikan
pemecahannya (Nugroho, 2011).
Asma terdiri dari dua jenis yaitu asma kronik dan asma akut. Asma
kronis diklasifikasikan lagi sebagai asma intermiten dan asma persisten
yang dapat dikategorikan sebagai ringan, sedang, atau berat. Penilaian
awal keparahan dibuat pada saat diagnosis, dan terapi awal didasarkan
pada penilaian ini. Pada asma kronis, klasifikasi awal keparahan asma
didasarkan pada gangguan penyakit saat ini dan risiko masa depan. Pada
asma akut, tingkat keparahan eksaserbasi tidak tergantung pada klasifikasi
asma kronis pasien karena bahkan pasien dengan asma intermittent dapat
memiliki eksaserbasi akut yang mengancam jiwa. Tingkat keparahan pada
saat evaluasi dapat diperkirakan dengan tanda dan gejala atau berdasarkan
PEF atau FEV. Eksaserbasi dianggap ringan jika pasien hanya mengalami
dyspnea dengan aktivitas dan PEF setidaknya 70% dari nilai pribadi
terbaik, sedang jika dyspnea membatasi aktivitas dan PEF adalah 40%
hingga 69% dari yang terbaik, dan berat dengan PEF kurang dari 40% dan
dyspnea mengganggu percakapan atau terjadi saat istirahat. Ketika pasien
tidak dapat berbicara atau PEFnya kurang dari 25% dari nilai prediksi, hal
tersebut menunjukan eksaserbasi yang dapat mengancam jiwa (Burns,
dkk., 2016).
Asma terjadi karena adanya peningkatan responsivitas bronkus
terhadap berbagai stimulus, diantaranya sel mast, eosinofil, neutrofil,
limfosit T, makrofag dan epitel sel, bermanifestasi sebagai penyempitan
jalan nafas meluas yang keparahannya berubah secara spontan maupun
sebagai akibat pengobatan (Aliya, 2015). Faktor pemicu asma baik di desa
maupun di kota masih sangat tinggi antara lain dari asap kebakaran hutan,
asap kendaraan bermotor dan asap atau debu industri. Disamping itu
perilaku merokok, pemakaian bahan kimia ( obat anti nyamuk, parfum dll)
dan menjamurnya makanan produk massal industri yang mengandung
pewarna, pengawet dan vetsin (MSG) memberi kontribusi yang bermakna
pada penyakit ini. Keadaan sosial ekonomi juga diduga kuat sebagai
pemicu terjadinya asma di Indonesia. Prevalens asma pada anak di kota
umumnya lebih tinggi dibanding di desa, terlebih pada golongan
sosioekonomi rendah lebih besar dibanding sosioekonomi tinggi. Pola
hidup di kota besar meningkatkan risiko terjadinya asma baik prevalens,
morbiditas maupun mortalitasnya (Sihombing dkk., 2010).
Terapi untuk menangani asma perlu dilakukan dengan tujuan untuk
mengurangi kerusakan dengan cara: mencegah gejala yang kronis dan
mengganggu (misalnya batuk atau sesak napas di siang hari, malam hari,
atau setelah beraktivitas), mempertahankan agar fungsi paru-paru normal,
mempertahankan tingkat aktivitas normal (termasuk olahraga dan
kehadiran di tempat kerja atau sekolah), memenuhi harapan dan kepuasan
pasien dan keluarga dengan perawatan. Mengurangi risiko dengan cara :
mencegah eksaserbasi berulang dan meminimalkan kebutuhan untuk
kunjungan gawat darurat atau rawat inap; mencegah hilangnya fungsi
paru-paru; untuk anak-anak, mencegah berkurangnya pertumbuhan paru-
paru; dan meminimalkan atau meniadakan efek samping terapi. Untuk
asma akut berat, tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki hipoksemia
yang signifikan, obstruksi jalan napas balik cepat (dalam beberapa menit),
mengurangi kemungkinanterulangnya obstruksi aliran udara yang parah,
dan mengembangkan rencana tindakan tertulis dalam kasus eksaserbasi di
masa depan (Wells, dkk., 2012).
Pengobatan farmakologis asma antara lain golongan agonis beta yang
meliputi metaproterenol dalam bentuk aerosol, belerja sangat cepat,
diberikan sebanyak 3-4x semprotan dan jarak antara semprotan pertama
dan kedua adalah 10 menit. Golongan lainnya adalah metilxantin,
kortikosteroid, kromolin dan iprutropium bromida (Utami dkk., 2014).
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
1. Kasus
Tn. Bagus seorang laki-laki umur 45 tahun, tinggi 165 cm, dan
berat badan 55 kg. Akhir – akhir ini ia bekerja di sebuah Toko bunga
dan tiba – tiba merasakan sakit kepala, sesak napas, dan batuk yang
terjadi pada malam hari. Riwayat pengobatan asetaminofen 500 mg
bila mengalami sakit kepala dan diresepkan dexamethason 0,5 mg
tablet dan salbutamol 2 mg tablet (masing-masing 3 kali sehari). Sejak
frekuensi sesak napasnya meningkat, kombinsai anti asama in mulai
dikonsumsi sejak 4 bulan lalu hingga sekarang. Tanda vitas:
pernapasan 37 x/ menit; suhu 38,5; sebelumnya Tn. Bagus sejak kecil
didiagnosa mengidap asma
2. Resep Sebelum Skrining

Dr. Yeni Rachmawati, Sp.P

SIP : 321/ABC/11/23

Alamat : Jln. Kenanga

Kendari, 04 Mei 2018

R/ Formoterol Fumrate 4,5 mcg

R/ Budesonid 200 mcg

R/ Paracetamol 500 mg

S 3 dd tablet p.r.n

Pro : Tn. Bagus

Umur : 45 Tahun

Alamat : Jln. Melati


3. Resep sesudah skrining

Dr. Yeni Rachmawati, Sp.P

SIP : 321/ABC/11/23

Alamat : Jln. Kenanga

Telp. 0401 123456789

Kendari, 12 Mei
2017

R/ Symbicort

S 2 inh 2 dd 1

R/ Acetaminofen 500 mg

S 3 dd 1 prn

Pro : Tn. Bagus

Umur : 45 Tahun

Alamat : Jln. Melati


B. Pembahasan
Kasus dalam resep menunjukkan bahwa pasien yang bernama Tn.
Bagus merupakan seorang ibu rumah tangga berumur 45 tahun, 160 cm,
55 kg. Tidak lama ini Tn. Bagus bekerja disebuah toko bunga dan tiba-tiba
ia merasakan sakit kepala., sesak napas dan batuk yang terjadi pada malam
hari. Riwayat pengobatan asetaminofen 500 mg bila mengalami sakit
kepala dan diresepkan dexamethason 0,5 mg tablet dan salbutamol 2 mg
tablet (masing-masing 3X sehari). Sejak frekuensi sesak nafasnya
meningkat. Kombinasi terapi anti asma ini mulai dikonsumsi sejak 4 bulan
yang lalu hingga saat ini. Tanda vital : pernapasan 37 kali/menit, suhu
38,5. Sebelumnya, Tn. Bagus sejak kecil didiagnosa mengidap asma.
Berdasarkan resep, pasien mendapatkan pengobatan menggunakan
formoterol fumrate, budosenid dan asetaminofen.
Formoterol fumarat adalah bubuk kristal putih atau kekuningan.
Mudah larut dalam asam asetat glasial, larut dalam metanol pada tingkat
yang lebih rendah, dalam etanol dan isopropanol, sedikit larut dalam air,
praktis tidak larut dalam aseton, etilazette dan dietil eter. Formoterol
fumarat diindikasikan untuk asma jangka panjang (dua kali sehari, pagi
dan malam) dan pencegahan bronkospasme dengan penyakit saluran
pernapasan obstruktif reversibel, termasuk pada pasien dengan gejala
nokturnal asma. Obat ini dikontraindikasikan terhadap pasien yang
hipersensitivitas terhadap formoterol fumarat. Efek samping obat ini
antara lain angina jantung, hipoarteri atau hipertensi, sakit kepala, mulut
kering, pusing, mual, hipokalemia, dan insomnia. Obat ini tidak dianjurkan
untuk digabungkan dengan MAO inhibitor, antidepresan trisiklik. Hal
ini dapat meningkatkan risiko efek samping pada bagian dari sistem
peredaran darah. Formoterol fumarat dengan dosis 6 mcg tersedia dalam
bentuk inhaler yang dikombinasikan dengan obat lain.
Budesonid merupakan obat golongan kortikosteroid yang diproduksi
dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu kapsul dan serbuk yang dihirup
(inhalasi). Pada bentuk kapsul, budesonid bisa digunakan untuk mengobati
salah satu penyakit radang usus yang disebut dengan Crohn’s disease atau
penyakit Crohn dengan gejala umum berupa diare dan nyeri di perut. Pada
bentuk inhalasi, budesonid bisa digunakan untuk pengendali penyakit
asma kronis berupa sesak napas dan mengi. Obat ini bekerja langsung
pada saluran pernapasan yang mengalami iritasi atau pembengkakan saat
asma terjadi. Selain untuk meredakan, budesonid juga bisa digunakan
untuk mencegah serangan asma. Efek samping dari budosenid hirup
(inhalasi) antara lain sakit kepala, badan berkeringat, nyeri sendi dan otot,
mual, muntah, diare, batuk, suara serak dan hilangnya nafsu makan. Obat
ini dikontraindikasikan terhadap pasien yang hipersensitivitas terhadap
budosenid. Budosenid tidak dianjurkan untuk pemakaian bersama dengan
simetidin karena akan menghambat metabolisme budosenid didalam organ
hati. Dosis budosenid untuk dewasa 200-1200 mcg diberikan dalam 2-4
dosis terbagi.
Asetaminofen termasuk golongan obat analgesik yang digunakan
untuk meringankan nyeri dan mengurangi demam. Asetaminofen
dikontraindikasikan terhadap pasien yang hipersensitivitas terhadap
acetaminofen dan defisiensi glukose 6 fosfat dehidrogenase. Efek samping
dari obat ini antara lain mual, sakit perut bagian atas, gatal-gatal, dan
kehilangan nafsu makan. Obat ini berinteraksi dengan penggunaan obat
metoclopramide, carbamazepine, fenobarbital dan fenitoin, kolestiramin
dan lixisenatide serta antikoagulan warfarin. Dosis dewasa acetaminofen
adalah 500 mg tersedia dalam bentuk sediaan tablet.
Berdasarkan kasus diatas, formoterol fumarat dan budosenid tetap
diberikan, namun dalam satu sediaan. Kombinasi kedua obat ini adalah
symbicort dalam bentuk sediaan inhaler. Dosis symbicort pada terapi asma
orang dewasa adalah 1-2 inhalasi 2 kali sehari. Asetaminofen juga tetap
diberikan kepada pasien untuk mengatasi demam pada pasien. Namun,
penggunaan acetaminofen ini bila diperlukan saja. Jika demam pasien
sudah turun, maka penggunaan acetaminofen segera dihentikan. Dosis
acetaminofen telah sesuai pada resep yaitu 500 mg dan diminum 3 kali
sehari.
Terapi non farmakologi asma antara lain memberikan edukasi atau
penjelasan kepada penderita/ yang merawat penderita mengenai berbagai
hal tentang asma, misalnya tentang terjadinya asma, bagaimana mengenal
pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal keparahan, mengenali
dan mengontrol faktor-faktor pemicu serangan asma, mengatur kegiatan
aktifitas fisik serta melakukan olahraga secara teratur, misalnya senam
asma untuk latihan pernafasan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Skrining resep dilakukan dengan mengakaji resep dari kelengkapan
administrasi, kesesuain farmasetis dan aspek klinis obat.
2. Pada saat konseling mengenai pengobatan pada pasien harus disampaikan
dengan benar dan jelas serta bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Obat
yang diberikan pada pasien antara lain symbicort dan acetaminofen
DAFTAR PUSTAKA

Aliya, Rahma., 2015, Pengaruh Pemberian Konseling Apoteker Terhadap


Hasil Terapi Pasien Asma Anak di Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru (Bp4) Yogyakarta, Jurnal Permata Indonesia, Vol. 6
(1).

Burns, M. A. C., Terry. L.S, Barbara. G.W, Patrick. M. M, Jill. M. K, dan Joseph.
T. D, 2016, Pharmacoterapy Principle And Practice 4thEdition,
McGrowHill: New York.

Katerine., Medison, I. dan Rustam, E., 2014, Hubungan Tingkat Pengetahuan


Mengenai Asma dengan Tingkat Kontrol Asma, Jurnal Kesehatan
Andalas, Vol. 3 (1).

Nugroho, Sigit., 2011, Terapi Pernapasan Pada Penderita Asma, Jurnal


Kesehatan Masyarakat, Vol. 2 (2).

Oemiati, Marice S dan Qomariah., 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Penyakit Asma di Indonesia, Media Litbang Kesehatan, Vol. 20
(1).

Sihombing, Qomariah A, dan Olwin N., 2010, Faktor Faktor Yang Berhubungan
Dengan Penyakit Asma Pada Usia ≥ 10 Tahun Di Indonesia (Analisis
Data Riskesdas 2007), J Respir Indo, Vol. 30 (2).

Utami, Nanang dan Cemy N., 2014, Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan
Perilaku Pencegahan Dini Kekambuhan Pada Pasien Asma Bronkhial di
RSUD dr. Moewardi, Jurnal Keperawatan AKPER 17 Karangayar, Vol.
1 (2).

Wells, G. B., Joseph, T. D, Terry. L.S, dan Ceceily, V.D, 2012, Pharmacotherapy
Handbook 9th Edition, Mc GrowHill: New York.

Anda mungkin juga menyukai