Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Peran pengadilan sudah tidak diragukan lagi, karena dengan adanya lembaga pengadilan
segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang terlantar dapat diselesaikan,
bahkan lembaga pengadilan tersebut memberikan bantuan kepada mereka yang merasa haknya
telah dirampas dan memaksa para pihak untuk bertanggung jawab. atas tindakan pihak lain.
Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga peradilan pada dasarnya berusaha untuk mengaitkan
pernyataan hukum yang masih bersifat abstrak, karena melalui penyelenggaraan lembaga
peradilan hukum hanya dapat terwujud seperti yang dikatakan Sartjiputo Rahaho: keberadaan
lembaga hukum adalah sebuah operasi pemikiran yang membentuk konsep hukum yang abstrak.
Melalui bekerjanya lembaga-lembaga inilah hal-hal abstrak ini dapat diwujudkan dan dibuktikan.

Secara garis besar, dalam dunia hukum peradilan, termasuk dalam bidang peradilan
agama, terdapat dua macam sumber hukum yang dapat dijadikan bahan acuan yaitu, sumber
hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber resmi dari kedua hukum tersebut adalah
hukum perundang-undangan, hukum perundang-undangan, dan hukum adat. , Hukum fiqih,
hukum agama dan hukum adat, keduanya diartikan sebagai hukum positif. Atas dasar pangkat
relatif dan kekuasaan absolut, pengadilan agama memiliki kekuasaan untuk memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan kasus-kasus di antara umat Islam pada tingkat pertama Ini
adalah tanggung jawab pengadilan agama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa sumber hukum materil yang dipakai peradilan agama dan mahkamah syariah ?
2. Apa sumber hukum formil yang dipakai peradilan agama dan mahkamah syariah ?
C. Tujuan
1. Mampu menjelaskan terkait sumber hukum materil yang dipakai peradilan agama dan
mahkamah syariah
2. Mampu menjelaskan terkait sumber hukum formil yang dipakai peradilan agama dan
mahkamah syariah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian sumber hukum materil dan sumber hukum formil

Menurut Sudikno Mertokusumo, sumber hukum acara peradilan agama adalah sumber
hukum sering digunakan dalam beberapa pengertian, yaitu: a. sebagai asal hukum b. Sebagai
informasi yang menunjukkan hukum sebelumnya c. Sebagai sumber yang efektif d. Sebagai
sumber pemahaman hukum (seperti hukum, dokumen, dll) e. Sumber hukum.1

1. Hukum materil adalah hukum yang menjelaskan tentang perbuatan apa yang bisa
dihukum dan hukuman apa yang bisa dijatuhkan. Hukum tersebut menentukan isi
suatu kesepakatan, hubungan dan perilaku.
2. Hukum formil adalah hukum yang menunjukkan bagaimana memelihara atau
menegakkan aturan perselisihan, disebut juga hukum yang menunjukkan
bagaimana menyelesaikan aturan di hadapan hakim. Hukum formal disebut juga
hukum acara. Mulai dari pengertian hukum formal, bagaimana menjaga /
menegakkan isi hukum.2
1) Sumber hukum Materil Peradilan Agama

Dan didalam sumber lain mengatakan bahwa pengertian hukum materil pada peradilan
agama adalah hukum Islam, sehingga biasanya diartikan sebagai hukum islam atau biasa disebut
juga dengan Fiqh, tentunya hukum Islam atau Fiqh ini dilandasi oleh perbedaan pendapat..3

Dahulu, materi hukum pengadilan agama bukanlah hukum perundang-undangan


(rektifikasi), dan tersebarluaskan di berbagai kitab ulama, karena setiap ulama Fiqh yang menulis
karangan atau kitab ini memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda, yang biasanya
mengarah terhadap hukum yang berbeda. Untuk pengaturan tentang masalah yang sama, Maka
untuk menghilangkan perbedaan tentang masalah yang sama tersebut dan menjamin kepastian
hukum, kemudian undang-undang ini penting dibuat dan ditulis ke dalam bentuk undang-
undang.
1
Domiri, Analisis tentang Sistem Peradilan Islam di Indonesia, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Tahun ke. 47
No.3Juli -September 2016, h. 334.
2
Achmad Ichsan, Hukum Perdata (Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1967), 67.
3
Basiq Djalil,Peradilan Agama di Indonesia, 147.
Berikut ini adalah sumber hukum materil yang digunakan oleh pengadilan agama,
disusun secara kronologis menurut tahun persetujuannya:

 UU No. 22 tahun 1946 dan UU No. 23 tahun 1954 yang mengatur tentang hukum
perkawinan, perceraian dan penyelesaiannya
 Surat dari Biro Pengadilan Agama No. B / 1/735 tanggal 18 Februari 1968, yang
merupakan pelaksana dari PP No. 45 Tahun 1957, tentang pendirian Pengadilan
agama di luar Jawa dan Madura. Dalam surat Biro Kehakiman tersebut di atas
disebutkan bahwa untuk memperoleh kesatuan hukum yang substantif dalam
pemeriksaan dan penyelesaian perkara, sebaiknya hakim pengadilan agama /
pengadilan syar'iyah harus mengacu kepada 13 kitab terutama kitab Fiqh,
termasuk:4
1. Al-Bajuri
2. Fatkhul Mu’in
3. Syarqawi‘AlatTahrir
4. Qalyubiwa Umairah/al-Mahali
5. Fatkhul wahbah
6. Tuhfah
7. Targhibal-Mustaq
8. Qawanin Syari’ah li Sayyid binYahya
9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah
10. Syamsuri li Fara’id
11. Bughyatal-Musytarsyidin
12. Al-Fiqh ala Madzahibal-arba’ah
13. Mughnial-Muhjaj.

Kedua aturan hukum acara ini diberlakukan di peradilan agama, Kecuali untuk hal-hal
berikut yang secara khusus diatur dalam UU No. 7 tahun 1989, kedua aturan hukum acara ini
diberlakukan di pengadilan agama pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama.
Selain dua ketentuan aturan hukum acara tersebut, diberlakukan juga Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata atau BW. Secara khusus, buku keempat tentang alat bukti yang terdapat dalam

4
Hotnidah Nasution, Buku Dasar Peradilan Agama di Indonesia(Jakarta:FSHUINSyahid,2007),189.
Pasal 1865 sampai 1993 juga didasarkan pada Pasal 23 Standar No. 1847 (khususnya Pasal 7, 8,
9, 22, 23, 32, 225, 258, Pasal 272) .K (Wetbook Van Koophandel), 273, 274 dan 275. Mengenai
peraturan ini juga terdapat beberapa hukum acara yang diatur dalam aturan kepailitan yang diatur
dalam Keputusan No. 348 Tahun 1906, dan juga termasuk dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, sebagai Pedoman Indonesia praktik peradilan.5

Menurut Roihan A. Rasyid, pengadilan agama merupakan pengadilan Islam di Indonesia


yang didasarkan pada jenis perkara yang ditangani pengadilan agama dan tunduk pada aturan
agama Islam.6 Sebuah pengadilan agama didirikan di Indonesia untuk menegakkan hukum
perdata Islam di bidang-bidang tertentu (seperti perkawinan, warisan, pemberian, wasiat, agama,
agama, sumbangan, sedekah, dan hokum ekonomi Islam). Semua ini sejalan dengan hukum
Islam. Sumber hukum materiil dari hukum materiil peradilan agama tersebut berasal dari hukum
Islam..7

Hukum islam atau adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam dan tidak dapat
dipisahkan dari kaum Muslimin terutama didalam kehidupan. Menurut filosofi Pancasila dan
UUD 1945, Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa perundang-undangan hukum materiil Islam
merupakan prioritas konstitusional yudikatif. Kemudian, beberapa bagian dari hukum Islam
sebenarnya diusulkan dalam hukum eksplisit maupun implisit. Dari segi hukum materiil,
pengadilan agama dapat menjalankan kekuasaannya sebagai lembaga peradilan Muslim
Indonesia untuk menghindari penggunaan langsung Alquran dan Hadis atau sumber hukum
Islam lainnya. (seperti Ijma, Qiyas, Istihsan, Istishab) ataupun kumpulan kitab-kitab fiqh tertentu
yang menjadi standar hukum Islam8

Selama tidak ada konflik pemahaman, seseorang bisa langsung merujuk pada Alquran
dan norma hukum Islam lainnya. Seperti yang dikatakan Allah dalam QS An-Nisa / 4: 59.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah

5
H. Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ; Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, 27.
6
Abd. Halim Talli, Peradilan Islam dalam Sistem Peradilan di Indonesia (Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2011), h. 216.
7
Domiri, Analisis tentang Sistem Peradilan Islam di Indonesia,h. 334
8
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 147-148.
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Ayat ini menjelaskan tentang perintah untuk mendorong umat manusia membangun
masyarakat yang adil dan sejahtera, menaati Allah dan Nabi, menaati pemimpin, dan
menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan dalam Alquran dan Hadits.
Dengan cara ini, nilai-nilai Alquran dan Sunnah menjadi sempurna kembali untuk dunia dan
kehidupan yang akan datang. Kedudukan "Al Qur’ an" sebagai semua sumber hukum setingkat
hukum Islam juga didukung oleh firman Allah QS Al-Maidah / 5: 48-49.

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujianterhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, 49) Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-
dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”.

Sehingga, muatan hukum baik tertulis maupun tersirat Alquran dan Sunnah tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Namun demikian, undang-
undang substantif masih terikat dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 1 tentang Perkawinan 1974,
Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1977 tentang Penguasaan Tanah, dan beberapa diantaranya
tertuang dalam Undang - Undang tentang Peradilan Agama, Undang - Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf, Ordonansi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksana hingga PP No 28 Tahun 1977, Ordonansi DPR Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987
dalam kasus Wali Hakim, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Hasil dari ketetapan yang merepresentasikan hukum Islam adalah “kompleksitas hukum
Islam”. Status komplikasi dalam hukum Islam merupakan makna kehidupan masyarakat muslim
Indonesia yang mencakup norma hukum. Rumusan hukum Islam telah disetujui oleh Alim
Ulama Indonesia dan menjadi rangkaian hukum perundang-undangan, serta dimasukkan ke
dalam sistem hukum Indonesia dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991. 9 Kompilasi hukum
Islam, kompilasi hukum ekonomi syariah, dan Fatwa Majelis Hukum Syariah MUI di Indonesia
secara hukum diklasifikasikan sebagai hukum substantif, 10
sebagai sumber pedoman untuk
menyelesaikan perkara pengadilan agama.11

Upaya memasukkan perundang-undangan hukum materiil Islam ke dalam berbagai


peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tatanan kehidupan bangsa merupakan
upaya untuk menyatukan hukum Islam guna menghindari ketidakpastian hukum yang
disebabkan oleh perbedaan putusan pengadilan agama di berbagai daerah khususnya berada di
wilayah Indonesia.12 Melalui dasar tersebut, maka kepastian hukum Islam dapat dicapai melalui
kebenaran yang memang berdasarkan pada bukti. Selain bentuk kebenaran yang dapat
didasarkan pada bukti yang sah dan mencapai batas pembuktian minimal, kebenaran juga harus
dibujuk agar kebenaran tersebut dianggap memiliki nilai kebenaran.13

2) Sumber hukum Formil Peradilan Agama

Setelah menyelesaikan semua tahap pemeriksaan, hakim akan melanjutkan pekerjaannya


untuk mengadili kasus tersebut. Maka dari itu, hakim mencari dan menafsirkan undang-undang
tersebut dari sumber yang sah, lalu mempraktekan sekaligus menafsirkan kepada peristiwa

9
Dadang Hermawan dan Sumardjo, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Materiil Pada Peradilan Agama,
Yudisia, Vol. 6, No. 1, Juni 2015, h. 26.
10
Domiri, Analisis tentang Sistem Peradilan Islam di Indonesia , h. 335.
11
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia(Jakarta: Pranada Media Group, 2006), h. 158
12
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 149.
13
Abd. Halim Talli, Asas-Asas Peradilan dalam Risalah Al-Qada terhadap Beberapa Asas Peradilan di Indonesia,
h.131.
tertentu dalam kasus tersebut.14 Perjanjian, hokum lembaga peradilan, adat istiadat, perjanjian
internasional dan muatan ilmiah merupakan sumber hukum yang sepakat dan diakui secara
universal, terutama pada bidang komersial. Mengenai lingkungan peradilan agama, setelah
Alquran dan As Sunnah menjadi sumber utama, maka sumber hukum yang paling penting dapat
dijadikan dasar putusan perkara perbankan syariah, antara lain:

1. Peraturan Perundang-Undangan

Berbagai regulasi memuat banyak aturan hukum terkait dengan UU Nomor 3 Tahun
2006. Sehingga, hakim pengadilan agama terlebih dahulu harus mengkajinya sekaligus
memahami sebagai pedoman untuk memandu perkara ekonomi syariah.

2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)

Dewan Islam Nasional (DSN) merupakan bagian dari MUI yang dibentuk pada tahun
1999. Lembaga ini juga berhak menetapkan ketentuan produk dan jasa dalam kegiatan usaha
bank yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syari'at.

3. Akad Perjanjian

Ketika memutuskan perselisihan dalam ranah ekonomi islam, maka sumber hukum
utamanya adalah kesepakatan, kemudian semua aspek lainnya saling melengkapi. Maka dari itu,
hakim harus paham apakah standar kualitas perjanjian memenuhi persyaratan, dan apakah
efektivitas kegiatan tersebut konsisten. Jika akad mengandung hal-hal yang dilarang oleh hukum
Islam, seperti segala bentuk unsurnya, maka syarat akad telah mencapai asas kebebasan akad,
persamaan dan persamaan, keadilan dan kejujuran. Riba adalah unsur rampasan atau penipuan,
unsur maysir atau spekulasi, unsur dhurm atau unsur ketidakadilan. Tentu saja ketentuan ini
dapat diterapkan sepenuhnya pada hukum perdata Islam karena tidak diketahui adanya
kepentingan dalam perjanjian Islam yang merupakan bagian dari klaim kompensasi.

Sehingga, ketetapan ganti rugi harus didasarkan pada prinsip hukum Islam. Jika salah
satu pihak gagal mencapai kesuksesan karena dipaksa (berlebihan) dan tidak berhasil
diselesaikan, ia dianggap telah melanggar kontrak (wanprestasi) dan dapat merugikan pihak

14
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 167.
lainnya. Apakah suatu kontrak dilanggar dapat ditentukan melalui keputusan hakim, berdasarkan
kesepakatan bersama atau hukum Islam yang berlaku.

Menggabungkan kondisi di atas, pihak ilegal dapat diberi kompensasi yang tidak begitu
memberatkan, proporsinya sebanding dengan rugi yang diderita dan tidak memasukkan elemen
Rabawi. Perilaku ilegal didefinisikan sebagai: melakukan atau tidak melakukan tindakan yang
melanggar hak orang lain, atau melanggar hak dan kewajiban orang yang bertindak, atau
melanggar etika atau hukum. Sikap hati-hati terhadap masyarakat, terhadap diri kita sendiri dan
orang lain.

4. Fiqih dan Ushul Fiqih

Fiqh merupakan sumber hukum yang bisa digunakan untuk menyelesaikan perselisihan
ekonomi syariah. Kebanyakan penjelasan yang bisa kita lihat dikitab Fiqh memuat berbagai
pertanyaan muamalah, yang dapat dijadikan referensi untuk menyelesaikan permasalahan
ekonomi dalam hukum islam.

5. Adat kebiasaan

Untuk dapat menggunakan sumber hukum sebagai dasar putusan perkara hukum
perbankan syariah, praktik hukum dan ekonomi syariah sekurang-kurangnya harus memiliki tiga
syarat:

a) Tindakan tersebut diulangi dalam waktu yang lama oleh komunitas tertentu atau
biasa disebut dengan (longaet inveterate consuetindo)
b) Kebiasaan itu sudah menjadi keyakinan hukum masyarakat atau bias juga disbut
(opinion necessitates)
c) Pelanggaran adat akan berakibat hukum, apabila dalam praktek di bidang hukum
dan ekonomi Islam memiliki ketiga syarat tersebut, maka ketiga hal tersebut dapat
dijadikan landasan hukum sebagai dasar penilaian perkara ekonomi syariah..
6. Yurisprudensi

Dalam hal ini yurisprudensi yang dapat dijadikan landasan hukum sebagai dasar
persidangan dalam perkara ekonomi Islam. Dalam kasus tersebut, putusan dan banding hakim
tingkat pertama memiliki kekuatan hukum tetap dan diputuskan oleh hakim tertinggi. Mahkamah
Agung adalah bukti yang dapat dibenarkan, atau Mahkamah Agung sendiri dengan putusan yang
dapat ditegakkan secara hukum, terutama dalam hukum dan ekonomi Islam. Dengan kata lain,
yang dapat dijadikan sumber hukum dalam perkara ini adalah putusan hakim, padahal
merupakan putusan baku yang memenuhi persyaratan Mahkamah Agung dengan memberikan
rekomendasi, dan telah melalui prosedur "review" dan "menandai" standart hukum.

Sumber hukum formal di Indonesia antara lain hukum perundang-undangan, hukum adat,
dan hukum agama. Tidak dapat dipungkiri adanya hukum formal, karena tujuan utama proses
pengadilan di pengadilan adalah untuk menegakkan hukum materiil. Penegakan seluruh
komponen hukum substantif harus sesuai dengan ketentuan hukum acara (formal). 15 Hukum
acara sebenarnya melayani hukum materiil, dan kedudukan hukum acara pada dasarnya lwbih
diutamakan dari pada kebenaran formal.

Namun, ini tidak berarti bahwa hukum acara lebih diutamakan daripada kebenaran
materi. Dalam Hukum Acara Peradilan Islam berdasarkan Hadist RasululahSaw dijelaskan
bahwa Allah memerintahkan penyelesaian perkara tersebut berdasarkan zahirnya. Menurut
ketentuan UU Acara Perdata Umum, istilah dzahir tidak berarti bentuknya benar. Kata dzahir
bukanlah berarti kebenaran formal menurut istilah Hukum Acara Perdata Umum. Tetapi, yang
dimaksud dari kata dzahir tersebut merupakan kebenaran hakikat secara formal atau kebenaran
materil menurut kemampuan manusia.16

Hukum acara pengadilan agama, terkhusus hukum formal, diatur sesuai muatan hukum
dalam Pasal 54 yang berbunyi “Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan
17
Umum, kecuali yang telah diatur dalam Undang-Undang ini”. Sejak amandemen nya UU
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, kemudian disahkannya UU Nomor 50 Tahun
2009 yang menjelaskan bahwa hukum acara yang berlaku diperadilan umum kecuali yang diatur
secara khusus dalam undang-undang lain adalah hukum acara perdata. Hukum Acara Perdata
yang berlaku di pengadilan biasanya adalah HIR dan R.Bg, sebagaimana yang sudah dijelaskan
dalam Surat MA(Mahkamah Agung) Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965, yang setelah

15
Abd. Halim Talli, Asas-Asas Peradilan dalam Risalah Al-Qada terhadap Beberapa Asas Peradilan di Indonesia,
h. 114.
16
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 9-10.
17
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan(Jakarta: Kencana, 2010), h. 181.
itu ditegaskan kembali dalam Surat Nomor 3 MA (Mahakamah Agung) Republik Indonesia pada
tahun 1965.

Kesimpulannya hukum acara Peradilan Umum tersebut juga diberlakukan Peradilan


Agama sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dan hal-hal lain yang telah diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1989
itu sendiri.18

Terkait peraturan perundang-undangan hukum acara perdata yang berlaku bagi


lingkungan Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama meliputi, UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung.

Kemudian pasca amandemen kedua UU No. 7 tahun 1989 tentang pengadilan agama, tiga
regulasi dikeluarkan setelah diundangkannya UU No. 50 tahun 2009 :

1. Surat edaran Mahkamah Agung No 2 Tahun 1990 tentang petunjuk pelaksanaan


undang undang No 7 Tahun 1989 tetang Peradilan Agama.
2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam.

Undang-undang tentang pengadilan agama telah direvisi dua kali. Perubahan pertama
atas UU Peradilan Agama adalah UU No. 3 tahun 2006 tentang UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Perubahan pertama terjadi pada era reformasi, pada perubahan ini tidak
sepenuhnya mengatur tentang persatuan pengadilan agama dengan Mahkamah Agung. Pada
tahun 2009, UU Pengadilan Agama diubah kembali melalui UU No. 50 tahun 2009 sebagai
perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1987.19

18
Supardin, Lembaga Peradilan Agama dan Penyataan Atap, h. 78.
19
Supardin, Lembaga Peradilan Agama dan Penyatuan Atap,h. 89-90.

Anda mungkin juga menyukai