2.1.1 Definisi Leukimia Limfositik Akut Leukemia Limfoblastik Akut adalah salah satu jenis keganasan yang terjadi pada sel darah dimana terjadi proliferasi berlebihan dari sel darah putih. Pada LLA, terjadi proliferasi dari sel prekursor limfoid dimana 80% kasus berasal dari sel limfosit B dan sisanya dari sel limfosit T. Keganasan ini bisa terjadi pada stase manapun pada saat proses diferensiasi sel leukosit (Howard dan Hamilton, 2008). LLA merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan pada anak usia 2-5 tahun (Permono dan Ugrasena, 2010) dan akan terus meningkat seiring berkembangnya usia. Pada kasus LLA anak, tingkat kesembuhan dengan pengobatan kemoterapi sangat besar hampir mencapai 80% sedangkan pada orang dewasa lebih rendah tingkat kesembuhannya karena banyaknya pengobatan yang mengalami multi-drug resistance (MDR) (Howard dan Hamilton, 2008). 2.1.2 Klasifikasi diabetes melitus
Klasifikasi dari LLA terbagi atas beberapa jenis, yaitu klasifikasi berdasarkan morfologik, berdasarkan genetika, dan immunofenotip.
1. Klasifikasi French-American-British (FAB)Klasifikasi dari LLA yang digunakan oleh
dunia adalah klasifikasi morfologik menurut FAB (French-American-British) yang berdasarkan atas karakteristik dari sel blas (ukuran sel, rasio sitoplasma-inti, ukuran dari inti sel, dan warna sel). LLA-L1Pada tipe ini, sel blas berukuran kecil dengan sitoplasma yang sempit, nukleolus tidak jelas terlihat, dan kromatin homogen. L1 merupakan jenis leukemia limfoblastik akut yang sering terjadi pada anak-anak, sekitar 70% kasus dengan 74% nya terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (Gamal, 2011). LLA-L2 L2 terdiri dari sel blas berukuran lebih besar, ukuran inti tidak beraturan, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti, dan membran nukleolus yang irregular serta sitoplasma yang berbeda warna. Sekitar 27% kasus LLA, didapati morfologik tipe L2 dan lebih sering terjadi pada pasien usia di atas 15 tahun (Gamal, 2011). LLA-L3 L3 terdiri dari sel blas berukuran besar, ukurannya homogen, ukuran inti bulat atau oval dengan kromatin berbercak, anak inti banyak ditemukan, sitoplasma yang sangat basofilik disertai dengan vakuolisasi. Pada tipe ini, terjadi mitosis yang cepat sebagai pertanda dari adanya tahapan aktifitas dari makrofag (Gambar 1) (Gamal, 2011). 2. Klasifikasi World Health Organization (WHO)Kelainan klon kromosom sekarang juga dapat diidentifikasi pada sebagian kasus dengan menghitung jumlah kromosom per sel leukemia dan hasil perhitungannya dapat digunakan sebagai penentu baik buruknya prognosis penyakit leukemia. Selain itu juga dilihat translokasi dari genetika sel itu sendiri. Pembagian dari klasifikasi berdasarkan genetika yang dipakai adalah yang diluncurkan oleh WHO. 3. Klasifikasi berdasarkan imunofenotip dapat mengklasifikasikan leukemia sesuai dengan tahap-tahap maturasi normal yang dikenal. Klasifikasi ini membagi LLA ke dalam prekursor sel-B atau sel-T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD 22, CD 34, dan CD 79. Sedangkan prekursor sel T membawa imunofenotip CD 2, CD 3, CD 4, CD 5, CD 7, atau CD 8 (Gamal, 2011). 2.1.3 Etiologi Leukimia Limfositik Akut Penyebab dari terjadinya LLA masih belum diketahui, namun ada penelitian terbaru yang menyatakan bahwa adanya peranan infeksi virus dan atau bakteri (Permono dan Ugrasena, 2010). Ada beberapa faktor-faktor yang membantu meningkatkan angka kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor genetik (Tabel 1), dan faktor paparan terhadap radiasi pada saat sedang dalam kandungan maupun pada saat kanak-kanak. Selain itu, infeksi virus Epstein-Barrserta sel limfosit B juga berperan terhadap kejadian LLA pada negara berkembang (Tubergen dan Bleyer, 2007). 2.1.4 Patofisiologi diabetes melitus Leukemia Limfoblastik Akut terjadi dikarenakan oleh adanya perubahan abnormal pada progenitor sel limfosit B dan T. Pada LLA, kebanyakan kasus disebabkan oleh adanya abnormalitas dari sel limfosit B. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya LLA seperti faktor genetika, imunologi, lingkungan, dan obat-obatan. LLA terjadi karena pada sel progenitornya mengalami abnormalitas (Roganovic, 2013). Faktor genetika mempunyai peranan paling penting dalam proses terjadinya LLA. Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa terjadi gangguan pada gen ARID5B dan IKZF yang ternyata berperan dalam regulasi transkripsi dan diferensiasi sel limfosit B. Selain peranan genetik, faktor lingkungan seperti radiasi dan beberapa bahan kimia, infeksi, serta imunodefisiensi juga berpengaruh. Paparan terhadap radiasi meningkatkan angka kejadian LLA karena menyebabkan adanya gangguan terhadap sel-sel darah yang berada di sumsum tulang. Peranan infeksi terhadap kejadian LLA masih dalam proses pengembangan oleh karena adanya tumpang tindih antara usia anak-anak terkena infeksi dengan insidens puncak dari LLA (Roganovic, 2013). Anak-anak dengan penyakit imunodefisiensi yang diobati dengan obat-obatan yang bersifat imunosupresif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami keganasan terutama limfoma. LLA bisa saja muncul tetapi jarang. Adanya perkembangan sel kanker pada pasien immunocompromised berhubungan dengan infeksi (Roganovic, 2013). 2.1.5 Gejala Klinis Leukimia Limfositik Akut Gejala klinis yang dialami oleh pasien LLA biasanya bervariasi. Adanya akumulasi dari sel limfoblas abnormal yang berlebihan pada sumsum tulang menyebabkan supresi pada sel darah normal sehingga tanda-tanda klinisnya akan menunjukkan kondisi dari sumsum tulang, seperti anemia (pucat, lemah, takikardi, dispnoe, dan terkadang gagal jantung kongestif), trombositopenia ( peteki, purpura, perdarahan dari membran mukosa, mudah lebam), dan neutropenia (demam, infeksi, ulserasi dari membran mukosa). Selain itu, anoreksia dan nyeri punggung atau sendi juga merupakan salah satu tanda klinis LLA (Roganovic, 2013). Pada pemeriksaan fisik, didapati adanya pembesaran dari kelenjar getah bening (limfadenopati), pembesaran limpa (splenomegali), dan pembesaran hati (hepatomegali). Pada pasien dengan LLA prekursor sel-T dapat ditemukan adanya dispnoe dan pembesaran vena kava karena adanya supresi dari kelenjar getah bening di mediastinum yang mengalami pembesaran. Sekitar 5% kasus akan melibatkan sistem saraf pusat dan dapat ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah, papil edema) atau paralisis saraf kranialis (terutama VI dan VII) (Roganovic, 2013). 2.1.6 Penatalaksanaan Leukimia Limfositik Akut Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif dan suportif. Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi penyakit lain yang menyertai leukemia beserta komplikasinya, seperti tranfusi darah, pemberian antibiotik, pemberian nutrisi yang baik, dan aspek psikososial (Permono dan Ugrasena, 2010). Penatalaksaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk menyembuhkan leukemia. Di Indonesia sendiri sudah ada 2 jenis protokol pengobatan yang umumnya digunakan, yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2010. Selain dengan kemoterapi, terapi transplantasi sumsum tulang juga memberikan kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang terdiagnosis leukemia sel-T (Permono dan Ugrasena, 2010). Tahapan Kemoterapi Pengobatan LLA yang umumnya dilakukan adalah kemoterapi. Kemoterapi bertujuan untuk menyembuhkan leukemia dan proses pengobatannya terdiri dari beberapa tahapan-tahapan, yaitu fase induksi- remisi, intensifikasi awal, konsolidasi/terapi profilaksis susunan saraf pusat, intensifikasi akhir (terbagi atas fase re-induksi dan re-konsolidasi), dan maintenance/rumatan. Terapi Induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah untuk mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi hematopoesis yang normal. Terapi induksi meningkatkan angka remisi hingga mencapai 98%. Terapi ini berlangsung sekitar 3-6 minggu dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu glukokortikoid (prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin. Sekitar 2% kasus pasien anak LLA yang menjalani terapi induksi mengalami kegagalan (Roganovic, 2013). Intensifikasi awal. Target pengobatan adalah anak-anak yang sudah mencapai remisi dan fungsi hematopoesis-nya kembali normal. Tujuan dari tahapan intensifikasi adalah untuk eradikasi sel leukemia yang tersisa dan meningkatkan angka kesembuhan (Roganovic, 2013). Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan sebagai profilaksis susunan saraf pusat. Profilaksis SSP dilakukan mengacu pada fakta bahwa SSP merupakan pusat dari sel leukemia dan dilindungi oleh sawar darah otak sehingga obat tidak bisa menembusnya (Roganovic, 2013). Intensifikasi Akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini setelah terapi induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan prognosis pasien anak dengan LLA. Tahap ini merupakan tahap pengulangan dari tahap induksi dan intensifikasi awal dan untuk menghindari terjadinya resistensi obat maka dilakukan pergantian obat (Roganovic, 2013). Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan untuk mencegah terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengurangi sel leukemia sisa yang tidak terdeteksi. Terapi rumatan dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah tercapainya kondisi remisi morfologik. Keberhasilan ini dipantau dengan melihat hitung leukosit (2.000-3.000/mm3) (Roganovic, 2013). Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukemia. Selain itu, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti, hemoglobin >12gr/dL tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3.000/uL dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2.000/uL, jumlah trombosit > 100.000/uL, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal (Permono dan Urgasena, 2010). Efek Samping Kemoterapi Kemoterapi membunuh sel-sel kanker yang aktifitas mitosisnya cepat dan terapi ini tidak bisa membedakan yang mana sel kanker yang mana sel normal karena ada sel normal yang aktifitas mitosisnya cepat. Kerusakan pada sel yang normal disebut sebagai efek samping. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah sebagai berikut : -Anemia-Alopecia -Lebam, perdarahan dan infeksi -Mual dan muntah -Perubahan selera makan-Konstipasi -Diare- Masalah kesehatan mulut, gusi, dan tenggorokan -Gangguan otot dan saraf -Gangguan pada kulit dan kuku -Gangguan ginjal, vesika urinaria, dan urine -Weight gain (ACS, 2013). 2.2 Status Nutrisi pada Kanker Anak 2.2.1 Nutrisi merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan pada pasien anak penderita kanker. Baik penyakit maupun pengobatan akan mempengaruhi selera makan, toleransi terhadap makanan, dan kemampuan dari tubuh untuk mengolah nutrien. Nutrisi yang bagus mempunyai banyak manfaat, seperti menurunkan resiko infeksi pada saat pengobatan, menjaga pertumbuhan anak, memberikan kualitas hidup yang bagus, dan lain-lain (ACS, 2013). Anak-anak dengan kanker membutuhkan banyak nutrisi, seperti : 1.Protein Tubuh membutuhkan protein untuk tumbuh; memperbaiki jaringan yang rusak; dan untuk menjaga kulit, sel darah, sistem imun, serta sel epitel saluran cerna tetap bagus. Apabila anak tidak mendapatkan asupan protein yang cukup, tubuh akan memecah otot sebagai sumber energi. Hal ini akan meningkatkan resiko infeksi dan memperpanjang proses penyembuhan dari penyakit. Anak-anak yang menjalani kemoterapi, radiasi, dan operasi akan membutuhkan asupan protein lebih untuk memperbaiki jaringan yang rusak dan mencegah infeksi (ACS, 2013). 2.Karbohidrat merupakan sumber utama energi bagi tubuh untuk berfungsi secara normal. Kalori yang dibutuhkan oleh anak-anak bergantung pada usia, berat badan, serta aktifitas fisik mereka dan jumlah kalori mereka akan lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak dengan kanker membutuhkan kalori sekitar 20-90% lebih banyak daripada anak-anak yang tidak menderita kanker (ACS, 2013). 3.Lemak memiliki peranan penting dalam nutrisi pada anak karena lemak merupakan sumber kalori paling besar untuk tubuh. Tubuh akan memecah lemak untuk digunakan sebagai energi, melindungi jaringan tubuh, dan melarutkan vitamin untuk diserap ke dalam aliran darah (ACS, 2013). 4.Air Sel dalam tubuh membutuhkan air untuk berfungsi. Salah satu efek samping dari kemoterapi adalah mual dan muntah, jika gejala ini berkepanjangan akan menyebabkan anak mengalami dehidrasi sehingga keseimbangan cairan dalam tubuh akan terganggu (ACS, 2013). Vitamin dan mineral Tubuh membutuhkan sedikit vitamin dan mineral untuk tumbuh kembang dan berfungsi secara normal serta membantu tubuh untuk menggunakan energi yang didapat dari makanan. Vitamin D dan kalsium sangat penting untuk pertumbuhan tulang. Pada anak normal, asupan kedua zat ini tidak cukup sehingga pada anak penderita kanker disarankan untuk memperbanyak asupan vitamin D dan kalsium karena obat-obat kemoterapi dapat menurunkan kadar kedua zat dalam tubuh (ACS, 2013). Malnutrisi adalah suatu kondisi dimana terjadi defisiensi dari nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga tubuh tidak dapat berfungsi secara normal. Malnutrisi pada anak yang menderita kanker disebabkan oleh beberapa hal. Sekitar 50-60% anak yang menderita kanker mengalami malnutrisi yang dipengaruhi oleh jenis keganasan dan negara tempat tinggal, baik negara berkembang ataupun negara maju (Alcazar, 2013). Menurut penelitian Underzo et al. (1996) dan Reilly J, et al. (1999) dalam Alcazar A. M., et al (2013), prevalensi malnutrisi pada pasien yang didiagnosis menderita LLA sekitar 7% untuk negara berkembang, dan pada penelitian yang lainnya menunjukkan angka sekitar 21-23%. Prevalensi anak-anak yang mengalami obesitas setelah selesai pengobatan adalah sekitar 20-34%. Nutrisi menjadi salah satu faktor yang penting dalam menentukan prognosis dan harapan hidup dari pasien LLA. Pada pasien LLA yang mengalami malnutrisi pada saat ditegakkan diagnosis, ditemukan bahwa kemoterapi lebih berbahaya dan tidak begitu efektif dibandingkan dengan pasien LLA yang mempunyai nutrisi adekuat. Toksisitas hematologi adalah penyebab paling sering dari komplikasi yang terjadi, seperti meningkatkanya resiko infeksi, perdarahan, dan relapse yang disebabkan oleh neutropenia, trombositopenia, dan pengobatan yang dihentikan (Alcazar, 2013). 2.2.2 Hospitalisasi Pada Anak Menurut Perry and potter (2010) hospitalisasi adalah saat klien diterima masuk dan tinggal di suatu institusi untuk menentukan diagnosa dan menerima pelayanan pengobatan dan rehabilitatif. Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stress akibat perubahan baik terhadap status kesehatan maupun lingkungan dalam kebiasaan sehari-hari dan anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian yang bersifat menekan (Supartini, 2004). 2.3 Literatur Riview
No Judul & Nama Penulis Variabel Metode Hasil
1 Faozi Ekan (2010) variabel bebas Metode yang 1). Mayoritas dengan judul “ dan variabel digunakan adalah responden penelitian Hubungan Hospitalisasi terikatnya yaitu metode penelitian telah mengalami Berulang variabel non hospitalisasi berulang Dengan Perkembangan bebasnya status eksperimental dengan intesitas sering Psikososial Anak gizi variabel yaitu penelitian 2). Mayoritas Prasekolah Yang terikatnya korelasi dengan responden penelitian Menderita frekuensi rancangan cross memiliki Leukemia Limfosit hospitalisasi sectional, perkembangan Akut Diruang Melati 2 pasien leukemia alat pengumpul psikososial dibawah RSUD Dr. Moewardi pada anak data mengunakan usia rata-rata. Surakarta” prasekolah di metode 3). Ada hubungan RSUD Dr. wawancara hospitalisasi berulang Moewardi kepada orang tua terhadap dalam perkembangan mendapatkan psikososial anak usia informasi prasekolah yang seberapa sering menderita leukemia pasien limfositik akut di mendapatkan ruang Melati 2 RSUD perawatan Dr. Moewardi (khemoterapi), selanjutnya data tersebut di cantumkan dalam kuisioner identitas penelitian 2 Simamora Iwan ( 2009) Variabel dalam Metode yang 1). Proporsi penderita dengan judul ” penelitian ini digunakan adalah leukemia berdasarkan Karateristik Penderita menggunakan deskriptif dengan jenis leukemia Leukemia status gizi case series, alat terbesar adalah LLA Rawat Inap Di RSUP sebagai variabel pengumpul data 87% H.Adam Malik independent dengan data 2). Keluhan penderita (bebas) dan sekunder yang leukemia terbesar frekuensi diperoleh dari adalah pucat dan hospitalisasi penderita lemas masing-masing pasien leukemia leukemia rawat 92,6% pada anak inap RSUP 3). Umur rata-rata prasekolah H.Adam Malik adalah 14,06 tahun sebagai variabel Medan 2004- 4). Lama perawatan dependent 2007 adalah selama 12,99 (terikat) hari. 3 Siska Rani (2018) Leukemia Penelitian ini Hasil penelitian Hubungan Fase Jenis kelamin menggunakan menunjukkan bahwa Kemoterapi Dengan Kemoterapi desain penelitian sebagian besar anak Status Gizi Anak Anak observasional leukemia berjenis Leukimia analitik dengan kelamin laki-laki yaitu pendekatan cross sebanyak 19 orang sectional (63,3%). Mayoritas anak-anak menderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) sebanyak 28 orang (93,3%). Sebagian besar anak- anak sedang menjalani kemoterapi fase rumatan yaitu sebanyak 19 orang (63,3%). Anak yang menderita leukemia rata-rata berusia 6,27 tahun dan usia anak saat pertama kali didiagnosa leukemia rata-rata 4,9 tahun. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 16 orang (53,3%) mengalami mual dan sebanyak 15 orang (50,0%) mengalami mulut kering yang menghambatan asupan nutrisi pada saat kemoterapi. Mayoritas responden berada pada nutrisi baik yaitu sebanyak 22 orang (73,3%).