Anda di halaman 1dari 8

NAMA : CELYNA FIRA MUSLIMAH

KELAS/NO. ABSEN : J1B/30


NIM : 203141414111064

RESUME MATERI
“Aspek Hukum Transaksi Utang Piutang”

1. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemmudian hari, yang
timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur
dan apabila tidak dipenuhi member hak kepada kreditur untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.
2. Piutang adalah tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas uang, barang atau jasa
yang ditentukan dan bila debitur tidak mampu memenuhi maka kreditur berhak untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.
3. Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam yang dijumpai dalam kitab
Undang-Undang hukum Perdata pasal 1721 yang berbunyi: “ pinjam meminjam
adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang
lain suatu jumlah barang tertentu dan habis pemakaian dengan syarat bahwa yang
belakangan ini akan mengemballikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang
sama pula”
Jadi hutang piutang yaitu merupakan kegiatan antara orang yang berhutang dengan
orang lain/ pihak lain pemberi hutang atau disebut pelaku piutang, dimana kewajiban
untuk melakukan suatu prestasi yang dipaksakan melalui suatu perjanjian atau melalui
pengadilan. Atau dengan kata lain : merupakan hubungan yang menyangkut hukum
atas dasar seseorang mengharapkan prestasi dari seorang yang lain jika perlu dengan
perantara hukum.
4. Aspek-aspek Utang-piutang:
Utang piutang adalah dalam koridor hukum perdata, yaitu aturan mengatur
hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya dengan menitik
beratkan pada kepentingan perseorangan atau pribadi. Dalam hutang piutang
terdapat sekurangnya dua pihak kreditur(yang berpiutang) dan debitur (yang
berhutang).
Utang piutang di anggap sah secara hukum apabila dibuat suatu perjanjian
tertulis atau lisan dengan saksi. Debitur wajib untuk suatu prestasi,yang dapat
berupa kewajiban berbuat (melunasi hutang)atau tidak berbuat (ingkar janji pada
hutangnya) sehingga disebut wan-prestasi.
Prestasi itu harus tertentu dan dapat ditentukan,wajib di ketahui dan ditetapkan
(perjanjian jelas), prestasi harus mungkin dan halal, serta prestasi harus berupa
perbuatan satu kali dengan sifat sepintas lalu (ada sebuah benda atau berulang-
ulang/terus meneruscontohnya pada sewa menyewa dan perjanjian kerja).
Tanggung jawab perdata penghutang sifatnya menurun pada keluarga penghutang.
Sifat hukum pidana penghutang jika ada tuntutan maka berhenti sampai pada
penghuutang, tidak ke keluarganya. Pemenuhan perutangan itu bertanggung jawab
dengan seluruh harta kekayaannya dan atausesuai dengan harga yang dijaminkan.
Eksekusi piutang tidak bisa dilakukan paksa dengan penyanderaan barang atau
orang. Yang benar adalan dengan sitaan jaminan yang diputuskan oleh
pengadilan.
Tidak boleh ada ancaman terhadap penghutang, akan ada masalah pidana yang
mana akan menghanguskan utang. Perhutangan tidak berhenti sendiri melainkan
bersama sama dengan berakibat hukum dengan perutangan lainnya.
5. Jenis-jenis Utang-Piutang:
 Jenis Utang
A. Utang jangka pendek atau kewajiban lancar
Adalah Hutang yang diharapkan harus dibayar dalam jangka waktu satu tahun
atau satu siklus operasi perusahaan.
Hutang jangka pendek terdiri dari:
- Utang wesel
- Utang dagang
- Pendapatan diterima dimuka
- Utang gaji
- Utang pajak
- Utang bunga
B. Uutang Jangka Panjang
Adalah utang yang pembayarannnya lebih dari satu tahun.
Yang termasuk hutang jangka panjang yaitu :
- Utang obligasi
- Utang wesel jangka Panjang
- Utang hipotik
- Utang muka dari perusahaan afiliasi
- Utang kredit bank jangka Panjang

Utang jangka panjang biasanya timbul karena kebutuhan untuk membeli aktiva,
menambah modal perusahaan, investasi atau mungkin juga untuk melunasi
hutang.

 Jenis Piutang
- Piutang dagang
- Wesel tagih
- Piutang Non Dagang

 Jenis Piutang Negara


Khusus piutang yang berasal dari badan Negara di atur secara khusus dalam
UU No. 49 Prp. 1960 tentang PUPN. Didalam pasal 8 Undang-undang Nomor
49 Prp tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara disebutkan bahwa :
“ yang dimaksud piutang Negara atau hutang kepada negara ini ialah, uang
yang wajib dibayar kepada atau Badan-Badan yang baik secara langsung atau
tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peaturan, perjanjian
atau sebab apapun”

Dari pengertian tersebut diatas maka piutang Negara dapat dikelompokkan


menjadi dua yaitu :
a. Piutang Negara Perbankan

Piutang negara perbankan adalah piutang yang timbul dari pelaksanaan


kegiatan perbankan yang dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun oleh
bank-bank swasta yang mendapatkan dana tertentu dari pemerintah (bank
sentral). Piutang jenis ini biasanya berupa kredit macet bank-bank pemerintah
dan penunggakan pengembalian bantuan dana (kredit) likuiditas kepada bank
sentral.
b Piutang Negara Non Perbankan
Piutang negara nonperbankan adalah piutang yang menjadi beban
negara untuk menagihnya yang berasal dari transaksitransaksi yang dilakukan
institusi pemerintah selain perbankan. Piutang jenis ini berasal dari
operasionalisasi perusahaan negara (BUMN dan BUMD), kewajiban
perpajakan, tuntutan ganti rugi pegawai negeri/pejabat negara, dan
pelaksanaan kegiatan pemerintahan lainnya, seperti pelaksanaan kegiatan di
bidang kesehatan, pertanian, kehutanan, pertambangan, proyek-proyek
pembangunan, dan sebagainya.

6. Beberapa Hal Yang Berhubungan Dengan Masalah Hutang Piutang

A. Pasal 1313 KUHPerdata


Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313
KUHPerdata berbunyi: "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih."
Suatu hal itu adalah prestasi (saling menguntungkan dan tidak saling dirugikan)
Prestasi dapat berupa:
1.     Sepakat bagaimana menyerahkan/berbagi sesuat
2.      Melakukan sesuatu
3.      Tidak melakukan sesuatu
Persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah jika salah satu tidak
melaksanakan perjanjian tersebut maka timbul apa yang disebut sebagai Wan-
Prestasi.
B. Pasal 1320 KUHPerdata
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila memenuhi 4 (empat) syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan
kebebasan. Kebebasan bersepakat tersebut dapat terjadi secara tegas
(mengucapkan kata/tertulis) atau secara diam (dengan suatu sikap/isyarat). Suatu
perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung  salah
satu dari 3 (tiga) unsur di bawah ini, yaitu :

a. Unsur paksaan (dwang)


Paksaan ialah paksaan terhadap badan, paksaan terhadap jiwa, serta paksaan lain
yang dilarang oleh undang-undang.

b. Unsur kekeliruan (dwaling)

Kekeliruan terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan yaitu kekeliruan terhadap orang


(subjek hukum) dan kekeliruan terhadap barang (objek hukum).

c. Unsur penipuan (bedrog)

Apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.

Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab terdapat


unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat dituntut
pembatalannya sampai batas waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 1454
KUHPerdata. 

2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Seseorang dikatakan cakap hukum apabila telah berumur minimal 21  tahun, atau
apabila belum berumur 21 tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Selain
itu seseorang itu tidaklah boleh sedang ditaruh dalam pengampuan (curatele),
yaitu orang yang telah dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab pemabuk, gila,
atau boros. Untuk lebh jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata
yang perlu pula dihubungkan dengan Pasal 330 KUHPerdata.

3.      Suatu hal tertentu.

Ketentuan mengenai hal tertentu menyangkut objek hukum atau mengenai


bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut
mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda
bergerak, atau benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek benda oleh para
pihak biasanya ditegaskan dalam perjanjian mengenai jenis barang, kualitas dan
mutu barang, buatan pabrik dan dari negara mana, jumlah barang, warna barang,
dan lain sebagainya.

4.      Suatu sebab yang halal (causa yang halal).


Sebab yang halal/causa yang halal mengandung pengertian bahwa pada benda
(objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti
dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.

Syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk
membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk
subjek hukum atau orangnya. Syarat suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab
yang halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau
bendanya.

C. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998


Penggunaan istilah kredit juga diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dalam pasal 1 angka 11
disebutkan bahwa:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”
D. Dll.
7. Penyelesaiaan Hutang Piutang
Hubungan hutang piutang dalam dunia usaha tidak luput pula dari adanya
friksi, namun setiap friksi senantiasa diupayakan untuk diselesaikan melalui
musyawarah dan apabila tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah maka
penyelesaian melalui badan peradilan merupakan suatu upaya terakhir yang dapat
ditempuh. Pengadilan niaga merupakan badan peradilan negara yang dipergunakan
untuk mnyelesaikan sengeta atau para pelaku usaha khususnya masalah yang
berkaitan dengan utang piutang yang bukan karena wanprestasi.
 Cara penyelesaian atau penagihan hutang piutang yang dibenarkan menurut
hukum :
1. Peneguran debitur secara baik,baik dengan lisan, baik secara musyawarah untuk
mufakat ataupun mediasi penyelesaian.
2. Surat somasi atau surat teguran.
3. Pemberitahuan kepada keluarganya akan sanksi hutang secara perdata dan pidana jika
debitur sulit ditagih.
4. Memperbaharui perjanjian hutang.
5. Gugatan ke pengadilan

8. Penyelesaian Hutang Piutang Dengan Paksa Badan


Berdasarkan peraturan mahkamah agung no.1 Tahun 2000, paksa badan (Gijzeling),
difungsikan kembali mengingat selama pembekuan lembaga gijzeling ternyata malah
disalahgunakan mereka-mereka para debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak
memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya, padahal ia mampu
melaksanakannya.
Pembekuan paksa badan (Gijzeling) sebagaimana diatur dalam surat edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan nomor 4 tahun 1975 malah dijadikan tameng
bagi mereka untuk tidak menjalankan kewajibannya. Akibatnya, keseimbangan hukum tidak
tercapai. Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar dari pada
pelanggaran hak asasi manusia atas pelaksanaan paksa badan terhadap yang bersangkutan.
Perlu diketahui pula, paksa badan ini sesungguhnya tidak berlaku bagi perkara yang
menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan dalam ranah hukum perdata
secara umum, sepanjang terdapat kewajiban dan kewajiban tersebut bernilai Rp
1000.000.000, dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.
Proses pemohonan penetapan paksa badan dapat diajukan bersamaan dengan
pengajuan gugatan, dalam arti, putusan tentang paksa badan ditetapkan besama-sama dengan
putusan pokok perkara atau diajukan dan dilaksakan berdasarkan Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri.
REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA

1. http://blog-materi.blogspot.com/

2. https://kantorhukumperkumpulanlembagaperlindungankonsumenmitras
ejahtera.food.blog/2019/02/05/aspek-hukum-dalam-hutang-
piutang/#:~:text=Piutang%20adalah%20tagihan%20(klaim)
%20kreditur,pemenuhannya%20dari%20harta%20kekayaan
%20debitur.

Anda mungkin juga menyukai