Anda di halaman 1dari 10

BAB V

PANCASILA SEBAGAI NORMA ETIKA

A. Pengantar

Dalam filsafat Pancasila terkadung di dalamnya suatu pemikiran yang bersifat

kritis, mendasar, rational sistematis dan komprehesif, ini semua merupakan suatu nilai.

Sebagai suatu nilai Pancasila memberikam dasar-dasar yang bersifat fundamental dan

universal bagi manusia, baik untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun

bernegara. Adapun nilai-nilai itu akan dijabarkan dalam suatu norma-norma yang ada di

dalam masyarakat.

Norma-norma itu meliputi:

(1). Norma Moral, yakni norma (aturan, kaidah) yang berkaitan dengan tingkah laku

manusia (behavior) yang dapat diukur/dinilai dari baik atau buruk, susila atau tidak susila

serta sopan atau tidak sopan. Norma moral adalah sistem aturan yang berlaku bagi manusia

yang bersumber dari setiap hati manusia (hati nurani) yang bekerja atas dasar kesadaran

manusia terhadap sekitarnya (consciousness), Manusia oleh Tuhan dikaruniai kemampuan

untuk menimbang segala perbuatannya. Jika berbuat salah akan merasa bersalah (guilty

feeling) dan penyesalan yang mendalam. Didalam hati nurani terdapat fungsi yang sudah

ada sejak manusia lahir, kesadaran ini muncul bersamaan dengan proses perkembangan

kedewasaan seseorang.

Fungsi-fungsi itu, adalah: Index (petunjuk), Judex (menghakimi) dan Vindex

(merasakan hukuman), menurut Aristoteles didalam diri manusia ada keharusan dan

kesadaran moral untuk berbuat baik yang bersifat imperatif kategoris.

1
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
(2). Norma Agama, adalah sistem aturan (norma) yang diperoleh manusia berdasarkan

ajaran agama yang dianutnya, Sumber agama berasal dari Tuhan. Alat pengontrol agama

adalah janji, akan dapat pahala dan sorga kalau melaksanakan perintah Tuhan, dan sanksi

dosa dan neraka apabila melanggar aturan/ perintah Tuhan. Norma moral maupun norma

agama bersifat otonom artinya pelaksanannya tergantung pada individu masing-masing.

(3). Norma Etika atau Norma Sopan Santun (Tata Krama), adalah sistem aturan (norma)

hidup yang bersumber pada kesepakatan-kesepakatan (konsensus) yang diciptakan oleh dan

dalam suatu komunitas masyarakat pada wilayah tertentu. Ukuran norma etika adalah

kepatutan, kelayakan atau kepantasan yang tumbuh dalam komunitas wilayah tertentu.

Apabila terjadi pelanggaran norma, maka spontan masyrakat akan memberikan reaksi atau

respon berupa tindakan dan sekaligus memberikan hukuman/sanksi. Reaksi dan jenis

hukuman/sanksi beraneka ragam, tergantung pada kebiasaan yang berlaku yang merupakan

hasil kesepakatan. Norma etika yang berlaku pada setiap struktur masyarakat menjadi alat

pengontrol prilaku dari para anggotanya. Etika dalam kehidupan manusia bekerja secara

otonom, artinya efektif atau tidaknya tergantung pada hubungan antar sesama manusia.

Pengertian Etika:

Etika yang berasal dari kata: etos, etikos (Yunani) yang artinya “adat kebiasaan”,

yakni perilaku yang dilakukan terus menerus, yang kemudian diberi nilai: baik- buruk,

boleh dan tidak, pantas mauupun tidak pantas. Dari perspektif filsafat, etika adalah cabang

fiksafat yang mempelajari tingkah laku manusia dinilai. Dari segi baik dan buruk (right and

wrong) atau baik dan jahat (good and bad) yang dilakukan secara sadar, bebas dan

disengaja. Sebab prilaku yang dilakukan secara tidak sadar, tidak bebas dan tidak

disengaja, tidak boleh diberi sanksi, kalau toh diberi sanksi, maka sanksi yang diberikan

2
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
akan lebih ringan atau paling ringan .Istilah etika dalam kehidupan praktis menjadi kata:

etiket (sopan santun), kode etik (Kode etik jurnalistik, kode etik profesi), kode etik

kedokteran), sedangkan yang dimaksud kode etik adalah aturan-aturan yang berlaku dan

mengikat bagi semua anggota dalam suatu komunitas tertentu, misal komunitas jurnalis,

dokter.

Etika terdiri dari Etika Umum, yakni aturan/prinsip yang berlaku bagi setiap

tindakan manusia, dan Etika Khusus, yakni membahas prisip-prinsip yang ada hubungan

nya dengan pelbagai hidup manusia. Etika khusua terbagi menjadi etika individual yang

membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan etika sosial yang membahas

kewajiban manusia terhadap manusia yang lain dalam hidup bermasyarakat. Beberapa

motivasi manusia berprilaku baik dan berprilaku buruk /jahat.

* Motivasi manusia berprilaku baik, antara lain:

a. Karena adanya kesadaran moral (hati nurani). Manusia berbuat baik, untuk

kebaikan itu sendiri (Immanuel .Kant: Imperatif Kategoris).

b. Karena takut akan sanksi yang diterimanya, karena sanksi /hukuman pada

hakekatnya adalah memberikan rasa yang tidak enak, tidak nyaman.

c. Karena merasa bahagia (senang).

d. Karena merasa berguna berguna (bermanfaat), menurut faham Utilitarisme.

e. Supaya dapat pujian, simpatis

f. Untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

g. Merasakan kedamaian dan ketentraman hidup.

* Motivasi manusia berprilaku buruk/ jahat, antara lain:

3
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
a. Karena keterpaksaan, merasa tidak ada jalan lain, walaupun sejatinya hidup

adalah pilihan.

b. Karena mudah dan cepat mencapai tujuan (menghalalkan segala cara).

c. Tidak takut akan sanksi yang diterimanya

d. Karena kebiasaan dan pengaruh lingkungan

e. Karena tidak tegak dan tegasnya aturan dan sanksi.

f. Meredup dan hilangnya hati nurani sehingga kedap terhadap penderitaan

orang lain.

Maka untuk menjaga:

1. Keberadaan dan tumbuhnya hati nurani di dalam hati, supaya kita, mau dan

berani untuk intropeksi, jawa: mulat sariro hangrosowani (mau dan berani memeriksa

bathin dan perbuatan kita, dan sekaligus berani menyalahkan dan memberi hukuman untuk

diri sendiri). Jika melakukan kesalahan, cepat diketahui dan cepat minta maaf dan bertobat

serta berjanji tidak akan mengulangi lagi.

2. Terhindar dari prilaku dosa dan buruk/jahat, kita harus selalu sadar bahwa kita

sebagai makhluk Tuhan dan malhluk beragama, maka sebagai konsekuensinya harus taat

hukum Tuhan (hubungan secara vertikal antara Tuhan dan manusia).

Selain itu kita juga harus sadar secara kodrati manusia adalah makhluk sosial (Zoon

Politicon, Homo Socius), maka kita harus hidup bersama orang lain, bahkan berbuat

sesuatu untuk kebaikan/kesejahteraan lain orang lain. Konsep mencintai sesama itu bisa

kita temukan dalam filosofis jawa, yakni Asih mring sesamaning dumadi (mencintai

sesama ciptaan Tuhan), dalam agama Kristiani (konsep cinta kasih): Kasihilah sesamamu

seperti dirimu sendiri, dalam agama Hindu: Tat Twam Asi (Itulah Kamu) Ahimsa (tanpa

4
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
kekerasan dari Mahatma Gandhi) Sosro Kartono( Tokoh Kebatinan Jawa): Adanya aku

karena engkau, dalam agama Islam: Rahmatan lil alamin( untuk kesejahteraan seluruh umat

manusia), Homo homini sallus: Aku ada, kalau berguna bagi orang lain. Dari konsep ini

semua akan menumbuhkan rasa simpati dan empati pada orang lain, sehingga jika berbuat

jahat pada orang lain, kita akan merasakan sebaliknya, bagaimana kalau kita yang

mengalami sendiri, dalam jawa disebut tepo sliro (seandainya saya sendiri yang

mengalami).

(4). Norma Hukum adalah sistem aturan (norma) yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan

(Pemerintah/ DPR) yang ditunjuk berdasarkan mekanisme tertentu. Artinya hukum

diciptakan dan diberlakukan oleh institusi (lembaga) yang memiliki kompetensi dan

wewenang (otoritas) dalam membentuk dan memberlakukan hukum.

Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum positif, artinya suatu norma yang

berlaku pada waktu tertentu dan daerah tertentu. Sering juga disebut hukum nomatif, kerena

memberikan hukuman dan sanksi yang jelas dan tegas. Hukum di Indonesia terdiri dari

Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan

antara negara dengan masyarakat/individu. hukum ini berupa Hukum Pidana , sedangkan

Hukum Privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu (personal)

yang lain. Wujud hukum privat di Indonesia adalah Hukum Perdata (Hukum Sipil).

B. Pengertian Nilai, Norma dan Moral

1. Pengertian Nilai

Nilai (Value), adalah bidang kajian filsafat. Persoalan tentang nilai dibahas dan

dipelajari oleh salah satu cabang filsafat, yakni Filsafat Nilai (Axiologi, Theory of Value).

Istilah dalam bidang filsafat untuk menunjuk kata benda abstrak, yakni Keberhargaan

5
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
(Wroth) dan Kebaikan (goodness) dan dalam kata kerja untuk menunjuk pada suatu

tindakan kejiwaan tertentu dalam nenilai atau melakukan penilaian. Jadi nilai pada

hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek (benda: lukisan

adanya nilai keindahan dan seni, sesuatu hal yang abstrak : tentang nilai nasioanlisme,

nilai ketakwaan. Dengan kata lain nilai adalah sutu kenyataan yang tersembunyi (makna,

yang tersirat) di balik kenyatan-kenyataan yang ada. Adanya nilai karena adanya pen

dukung nilai (wartrager). Misal: tata krama pergaulan muda-mudi akan tetap terjaga ,

apabila mereka (pendukung nilai) akan tetap taat melaksanakan norma-norma yang berlaku

, kalau tidak taat maka norma itu hanya akan menjadi sebuah wacana saja, yang tidak

pernah ada dalam realitas kehidupan muda mudi..

Selain itu nilai dianggap ada, apabila ada suatu benda atau prilaku, sikap yang bisa

dilekati nilai yang berfungsi sebagai media. Misal: 1). sebuah lukisan, harus ada medianya

yaitu kanvas, cat dan kuas, sebab tanpa media lukisan itu , tidak akan ada dan nilai

keindahan dan senipun juga tidak akan ada, 2). nilai ketakwaan, nasioanalisme itu akan

nampak pada prilaku dan sikap seseorang. Prilaku dan sikap adalah sebagai media

nampaknya /adanya nilai nasionalisme dan nilai ketakwaan seseorang.

Menilai berarti menimbang (judgement) suatu kegiatan manusia untuk

menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, selanjutnya mengambil keputusan,

Keputusan itu adalah keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna,

benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai

tergantung penilai (subjek nilai) yang dipengaruhi oleh unsur jasmani, akal, rasa, karsa dan

kepercayaan. Sesuatu dianggap bernilai (punya nilai) apabila sesuatu itu berharga,

bermanfaat, benar, baik maupun indah. Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang:

6
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
harapan, yang ideal dan das sollen, karena kita sudah masuk dalam ranah rohani, bidang

makna normatif bukan ranah kognitif.

2. Hierarki Nilai

Pandangan nilai tergantung pada titik tolak dan sudut pandangan masing-masing

dalam menentukan tentang pengertian dan hierarkhi nilai (tingkatan nilai). Misalnya

kalangan materialis memandang bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai material. Kalangan

hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya

segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan

nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut

dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam, tergantung pada sudut pandang dalam

rangka penggolongan tersebut.

Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan

sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih rendah dibandingkan

dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan

dalam empat tingkatan sebagai berikut:

1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang

mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen and

Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita dan tidak enak.

2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi

kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan, kesegaran jasmani,

kesejahteraan umum.

3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistege

werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun

7
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
lingkungan. Nilai-nilai semacam ini adalah keindahan, kebenaran, dan

pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

4. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkatan nilai ini terdapatlah moralitas nilai dari

yang suci (The Holy) dan yang tak suci (wermodalitat des Heiligen ung

Unheiligen). Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

Notonegoro membagi nilai menjadi 3 macam:

1. Nilai Material, segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani atau

ragawi manusia.

1. Nilai Vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia

untuk kegiatan/aktivitas manusia.

2. Nilai Kerokhanian, segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan

rokhani/jiwani (yang di dalamnya terdapat nilai-nilai : kebenaran yang

bersumber pada akal (ratio, budhi, cipta) manusia, nilai keindahan atau

nilai estetis yang bersumber pada (estetis, rasa/taste) manusia, nilai

kebaikan yang bersumber dari (will/karsa, hati nurani) manusia dan nilai

religius yang bersumber pada kepercayaan atau keyakinan (faith) manusia.

Dari uraian macam-macam nilai tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang

mengandung nilai bukan hanya yang berwujud material/fisik saja tetapi juga yang non

fisik/immaterial.

Ada sekelompok nilai yang memiliki kedudukan atau hierarki yang lebih tinggi atau

lebih rendah dari yang lainnya bahkan ada tingkatan nilai yang bersifat mutlak. Misalnya

bagi bangsa Indonesia nilai religius merupakan suatu nilai yang tertinggi dan bersifat

mutlak, jika dibandingkan nilai-nilai lainnya, lihat hierarkhi sila-sila dalam Pancasila.

8
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
3. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis

a). Nilai Dasar

Walaupun nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati secara indrawi,

namun dalam realisasinya nilai sangat berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam segala

aspek kehidupan, yang bersifat nyata (praksis). Setiap nilai selalu memiliki nilai dasar

(ontologis), yang merupakan hakekat, esensi, substansi atau makna terdalam dari nilai-nilai

tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal, karena menyangkut kenyataan objektif dari

segala sesuatu. Jika nilai dasar itu berkaitan dengan hakekat Tuhan, maka nilai itu bersifat

mutlak, karena hakekat Tuhan adalah Causa Prima, sehingga segala sesuatu yang

diciptakan berasal dari Tuhan (Tuhan asal mula dari segala sesuatu). Jika nilai dasar itu

berkaitan dengan hakekat manusia, maka nilai-nilai itu bersumber dari kodrat manusia, jika

dijabarkan di dalam norma hukum sebagai hak dasar manusia, yaitu hak asasi manusia.

b). Nilai Instrumental

Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis, maka nilai dasar

tersebut harus memiliki formulasi atau parameter (ukuran) yang jelas. Nilai instrument

inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan diarahkan. Bila nilai

instrument tersebut berkaitan dengan prilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka

hal itu merupakan nilai moral. Namun jika nilai instrumental itu menyangkut dengan suatu

organisasi atau negara, maka nilai-nilai instrumen itu merupakan suatu arahan, kebijakan

atau strategi yang bersumber pada nilai dasar.

c) Nilai Praksis

Nilai Praksis pada intinya adalah penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental

dalam suatu kehidupan yang nyata . Dalam penjabaran boleh berbeda-beda, tetapi tidak

9
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya
boleh bertentangan dan menyimpang dengan nilai dasar dan nilai instrumental, sehingga

antara nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis merupakan sebuah sistem.

Pejabaran nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis bisa kita lihat lebih jelas

dalam pelaksanaan dalam sistem perundang-undangan Negara RI, yakni Pembukaan UUD

1945, yang di dalamnya ada Pancasila sebagai dasar negara merupakan nilai dasar (Grund

Norm), sedangkan nilai instrumetalnya adalahn UUD 1945, dan nilai praksinya adalah

Undang-Undang. Di dalam hukum tata Negara sistem pelaksanannya dari nilai dasar

(hukum dasar Pembukaan UUD 45)) menuju ke nilai/ hukum yang tingkatannya lebih

rendah , yakni nilai instrumen (UUD 45) yang terakhir menuju ke nilai praksis (Undang-

Undang) oleh Hans Kelsen disebut Teori Tangga (Stuffen Theory) dan menganut asas

hukum Lex superior derogat legi inferiori, artinya bahwa undang-undang yang

tingkatannya lebih tinggi akan diberlakukan lebih dahulu dari pada undang-undang yang

lebih rendah tingkatannya ,serta undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi.

10
Pancasila– Drs. Indri Djanarko Fakultas Ekonomi – Univ. Narotama Surabaya

Anda mungkin juga menyukai