Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nadya Salsabila

NIM : 183124330050017
Kelas : B Hukum Reguler Pagi

TUGAS Materi PSKLN


Pertanyaan:
1. Undang-Undang MK telah menentukan kriteria agar seseorang atau suatu pihak
memiliki legal standing untuk dapat sebagai pihak dalam mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa lembaga negara ke peradilan MK. Sebutkan dan jelaskan
kriteria dimaksud !
Jawaban :
Bahwa dengan merujuk pada Pasal 51 UU 24/2003, MK dalam beberapa
putusannya telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak memiliki
legal standing, yaitu:
1. Kriteria Pertama berkaitan dengan kualifikasinya sebagai subjek hukum, dimana
pemohon harus merupakan salah satu dari subjek hukum berikut ini:
a. Perorangan warga negara;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
2. Kriteria kedua yang berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak dan
wewenang konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
dengan rincian sebagai berikut:
a. Adanya hak/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. Hak/kewenangan konstitusional permohon tersebut dianggap oleh pemohon
telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji;
c. Kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tersebut akan atau tidak lagi terjadi.

2. Apakah MK berhak menjadi pihak yang berperkara?


Jawaban:
Dalam ketentuan a quo MK tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat berperkara
dalam Sengketa Kewenangan antar lembaga negara. Tidak memasukan MK
sebagai pihak baik di dalam UU MK maupun PMK 08/2006 telah sesuai dan sejalan
dengan asas peradilan yang berlaku universal yaitu nemo judex idoneus in propria
causa yang berarti hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan bagian dari menjaga
imparsialitas (ketidak-berpihakan), netralitas dan independensi hakim sebagai
pemeriksa dan pemberi keadilan. Adanya imparsialitas hakim ini menurut Yanis
Maladidalam tulisannya Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan
Asas Ius Curia Novit, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (hal.7) dimaksudkan agar hakim dapat mendasarkan putusannya pada
hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar subjektivitas dan
keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, asas ini juga menjadi
pelindung bagi hakim agar tidak memutus perkara untuk dirinya sendiri.[2] Dalam
ilmu hukum asas berkedudukan di atas norma-norma hukum yang bersifat tertulis
maupun tidak tertulis. Dengan demikian MK tidak bisa menjadi pihak yang
bersengketa dalam perkara kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

3. Sebutkan Lembaga Negara yang dapat menjadi Pemohon dan Termohon dalam
perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Jawaban:
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda);
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945

Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006


tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi termohon dalam
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda);
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

4. Bisakah MK Memutus Sengketa Lembaga Negara yang Terkait dengan Dirinya?


Jelaskan !.
Jawaban:
Sebagai salah satu lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi (MK”) mempunyai
empat kewenangan serta satu kewajiban yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”). Adapun kewenangan MK dalam memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara tercantum dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Kewenangan MK dalam
memutus sengketa antar lembaga negara hanya berlaku terhadap lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Dalam ilmu hukum asas
berkedudukan di atas norma-norma hukum yang bersifat tertulis maupun tidak
tertulis. Dengan demikian MK tidak bisa menjadi pihak yang bersengketa dalam perkara
kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

5. Buatlah suatu contoh Permohonan perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional


Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan sistematika hukum acara
MK.
Jawaban:
ALASAN PERMOHONAN PEMOHON
a. Kewenangan Pemohon
1. Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan sengketa antar lembaga ini,
hanyalah menyangkut kewenangan memberikan bantuan hukum, dimana para
Pemohon selaku advokat adalah orang yang melakukan tugas memberikan
bantuan hukum dalam sidang pengadilan, baik perkara perdata maupun pidana
disebut pengacara dan disebut juga ahli hukum menurut Kamus Umum Politik dan
Hukum; Oleh karena itu “advokat” disebut sebagai subjek sedangkan “bantuan
hukum” disebut sebagai objek, keduanya merupakan satu kesatuan yang mengikat,
untuk itu advokat diwajibkan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada para pencari keadilan yang nota bene tidak mampu alias miskin diatur
dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Advokat.2. Bahwa para Pemohon yang
telah diangkat oleh Institusi organisasi Advokat disebut Komite Kerja Advokat
Indonesia (KKAI) menurut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 83 Tahun 2008, justru mempunyai kewenangan mengembangkan program
bantuan hukum, dimana dalam ayat (2) untuk melaksanakan program bantuan
hukum tersebut, organisasi advokat dalam hal ini KKAI memiliki kewenangan
membentuk unit kerja seperti lembaga bantuan hukum (LBH). Oleh karena itu
dalam melaksanakan bantuan hukum cuma-cuma diatur dalam Peraturan
Organisasi Advokat sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
83 Tahun 2008 merupakan kewenangan Pemohon bukan Termohon.
3. Bahwa menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 83
Tahun 2008 menunjukkan bahwa kewenangan para Pemohon adalah menerima
permohonan tertulis dari para pencari keadilan yang tidak mampu ditujukan kepada
advokat atau melalui organisasi advokat atau melalui lembaga bantuan hukum yang
dibentuk oleh organisasi advokat diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008, bukan melalui Termohon, produk hukum yang
demikian merupakan karakter produk hukum responsif/populistik yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan para Pemohon dan
memberikan peranan yang sangat besar dan partisipasi kelompok organisasi
profesi advokat, hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan kelompok masyarakat
pencari keadilan.

Anda mungkin juga menyukai