Definisi
Efusi pleura adalahsuatukeadaan dimanaterdapatpenumpukan cairan didalam kavum pleura
diantara pleura parietalisdan pleura viseralis.
Etiologi
Patofisiologi
Secara garis besar akumulasi cairan pleura disebabkan karena dua hal yaitu:
Tanda
Mediastinal shift umumnya terjadi bila efusi lebih dari 1000 mL. Bila efusinya besar
maka ruang intercostals akan tampak menonjol.
Pergerakan dada tidak simetris, dengan pergerakan dada yang berkurang
terlambat pada sisi yang mengalami efusi.
Palpasi stem fremitus melemah,
Perkusi terdengar pekak
Suara nafas melemah sampai tidak terdengar
Egofoni pada bagian superior dari efusi pleura
Dapat terdengar friction rub1,5,6
Diagnosis
Efusi pleura dicurigai pada pasien dengan nyeri pleura, dispneu, dan tanda-tanda
lainnya. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dan untuk menentukan penyebabnya.
Tatalaksana
Umumnya efusi tidak memerlukan tatalaksana jika asimptomatik dan penyakit
penyebanya telah diterapi, karena kebanyakan efusi bisa resorpsi dengan sendirinya,
terutama yang disebabkan oleh pneumonia tak terkomplikasi, emboli pulmonal, post
operasi. Nyeri pleura ditangani dengan pemberian NSAID atau analgesik lainnya. Terkadang
juga dilakukan penggunaan opioid jangka pendek.
Thorakosentesis merupakan terapi untuk simptomatik efusi dan dapat dilakukan
berulang untuk efusi yang terakumulasi kembali. Pengeluaran cairan dapat terus dilakukan
sampai pasien merasakan dada kencang, nyeri dada, atau batuk parah.
Efusi yang kronik, rekuren, dan menimbulkan gejala dapat diterapi dengan
pleurodesis atau drainasi intermiten dengan katerer menetap. Efusi yang disebabkan oleh
karena pneumonia dan keganasan memerlukan penanganan khusus.
ANEMIA
Pendahuluan
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
Kriteria anemia
Parameter paling umum dipakai untuk menunjukkan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul
hematokrit dan hitung eritrosit.
Kriteria Anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et al, 2001)
Kelompok Kriteria Anemia (Hb) (g/dL)
Laki – laki dewasa < 13
Wanita dewasa tidak hamil < 12
Wanita hamil < 11
Klasifikasi berdasarkan gambaran morfologis dengan melihat apusan darah tepi atau indeks eritrosit
dibagi menjadi 3, Yaitu :
Melena adalah feses yang berwarna hitam dan berbau busuk karena bercampur produk darah dari
saluran cerna. Adanya melena menunjukkan bahwa darah telah berada di saluran cerna dalam waktu
setidaknya 14 jam dan biasanya terjadi pada saluran cerna bagian atas, walaupun terkadang melena
dapat pula timbul akibat perdarahan dari colon.
Etiologi
Mekanisme terjadinya perdarahan saluran cerna antara lain disebabkan disrupsi mukosa
gastrointestinal sebagai akibat sekunder dari peristiwa inflamasi, infeksi, trauma, atau kanker.
Penyebab terbanyak adalah peptic ulcer disease, Selain itu perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat abnormalitas vaskular, seperti ektasis pada vaskular atau varises esofagus karena hipertensi
portal. Selain itu, riwayat penggunaan obat-obatan golongan NSAID jangka panjang atau konsumsi
alkohol juga potensial menyebabkan kerusakan pada mukosa saluran cerna.
Pemeriksaan Laboratorium
Kemudian menurun seiring masuknya cairan ekstravaskular ke dalam pembuluh darah sebagai
upaya pengembalian volume darah
Pasien dengan perdarahan saluran cerna kronis dapat menunjukkan nilai hemoglobin dan
hematokrit yang sangat rendah walaupun tekanan darah dan nadi berada dalam batas normal
3. Distribusi sel darah merah dapat menunjukkan anemia mikrositik dan anemia kekurangan besi
sebagai akibat kehilangan darah
Kimia Darah ,Peningkatan kadar BUN sering terjadi pada perdarahan saluran cerna bagian atas
Terapi
Pendekatan terapi pada pasien dengan perdarahan saluran cerna adalah sebagai berikut:
3. Farmakoterapi: Epinefrin 1:10.000, proton pump inhibitor (pantoprazol dosis awal 80 mg bolus
diikuti 8 mg/jam; lansoprazol 60 mg bolus diikuti 6 mg/jam), eradikasi H. pylori, penghentian
penggunaan obat-obatan golongan NSAIDs, misoprostol 100 µg 3-4 kali sehari, short term treatment
dengan okreotide 50 µg bolus dan 50 µg/ jam infus untuk 2-5 hari.
ASITES
Patofisiologi asites
Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit, namun yang terutama adalah sirosis hati dan hipertensi porta. Patofisiologi asites
belum sepenuhnya dipahami dan diduga melibatkan beberapa mekanisme sekaligus. Teori yang
diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.
Sirosis (pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi
sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada hipertensi porta.
Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik) akibat
adanya vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan
adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan peningkatan aliran darah yang
justru akan membuat hipertensi porta menjadi semakin menetap. Hipertensi porta tersebut akan
meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan
terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites.
Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan mempengaruhi
sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan volume efektif darah
(underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-angiotensin-aldosteron serta arginin
vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti
dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga
tubuh.
Asites dapat terjadi pada peritoneum yang normal atau peritoneum yang mengalami kelainan
patologis. Jika peritoneum normal (tidak ada kelainan), maka penyebab asites adalah hipertensi porta
dan hipoalbuminemia. Sedangkan pada peritoneum yang mengalami kelainan patologis, penyebab
asites antara lain infeksi (peritonitis bakterial/TBC/fungal, peritonitis terkait HIV dll),
keganasan/karsinoma peritoneal dll.
Diagnosa asites
Dalam menegakkan suatu diagnosa selalu meliputi tiga hal yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat digali hal-hal sebagai berikut:
- Konsumsi alkohol, adanya riwayat hepatitis, penggunaan obat intravena, lahir/hidup di
lingkungan endemik hepatitis, riwayat keluarga, dll
- Obesitas, hiperkolesterolemia, diabetes melitus tipe 2, atau penyakit-penyakit yang dapat
berkembang menjadi sirosis dll.
- Adanya kelainan/gangguan di hati dapat dilihat dari jaundice, eritema palmaris atau spider
angioma
- Gambaran makroskopik: cairan yang hemoragik dihubungkan dengan keganasan, warna
kemerahan dapat dijumpai pada ruptur kapiler peritoneum dll.
- Gradien nilai albumin serum dan asites: gradien tinggi (>1.1 gr/dl) terdapat pada hipertensi
porta pada asites transudat, dan sebaliknya pada asites eksudat. Konsentrasi protein yang tinggi (>3
gr/dl) menunjukkan asites eksudat, sebaliknya (<3 gr/dl) menunjukkan asites transudat.
- Hitung sel: peningkatan jumlah lekosit menunjukkan adanya inflamasi. Untuk menilai asal
infeksi dapat digunakan hitung jenis sel.
Tatalaksana asites
Dalam menatalaksana asites transudat (akibat hipertensi porta) terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan yaitu:
- Tirah baring untuk memperbaiki efektifitas diuretika. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas
simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Pada tirah baring, pasien tidur telentang
dengan kaki sedikit diangkat selama beberapa jam setelah minum diuretika
- Diet rendah garam ringan sampai sedang untuk membantu diuresis.
- Pemberian diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya spironolakton. Dengan
pemberian diuretika diharapkan berat badan dapat turun 400-800 gr/hari.
- Terapi parasentesis, yaitu mengeluarkan cairan asites secara mekanis. Untuk setiap liter cairan
asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin sebanyak 6-8 gram.
- Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari terjadinya asites seperti penyakit hati dll
Komplikasi
Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi yaitu peritonitis
(mengancam nyawa), sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam dan
cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain yang dikaitkan dengan
penyakit penyebab asites.
HEPATOMA
DEFINISI
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit dimana stem sel
dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh adanya proses fibrotik maupun proses
kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini berkembang di dalam hepar, di permukaan hepar maupun
ekstrahepatik seperti pada metastase jauh. 1,3,4
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang difus dan sulit
dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena konsistensinya yang tidak dapat dibedakan
dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat mengganggu jalan dari saluran empedu maupun
menyebabkan hipertensi portal sehingga gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi besar.
Tanpa pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6 – 20 bulan. 1,3
ETIOLOGI
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor dan multifasik,
melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses banyak tahapan, serta peran serta banyak
onkogen dan gen terkait, mutasi multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada,
virus hepatitis, aflatoksin dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang terkait dengan
timbulnya hepatoma.2-4
1. Virus hepatitis1-6
HBV
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat, baik
secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV terhadap hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit,
integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
(quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati.
HCV
Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada pasien yang bukan
pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti-
HCV positif, interval antara saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29
tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas nekroinfiamasi
kronik dan sirosis hati.
2. Aflatoksin
Aflatoksin Bl (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu
mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB 1 menginduksi mutasi pada
kodon 249 dari gen supresor tumor p53.1-6
PATOGENESIS2,4-6,8
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut merupaka proses
khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari pembentukan hepatoma walaupun pada
pasien–pasien dengan hepatoma, kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan
dengan proses replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang
tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi Virus hepatitis,
dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan mereplikasi diri
di sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan
mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen–gen
yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53,
PIKCA, dan β-Catenin.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul–nodul di hepar, baik nodul
regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa tidak ada progresi yang
khusus dari nodul–nodul diatas yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik
didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel–sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan
hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.
Sel–sel ini meregenrasi sel–sel hati yang rusak tetapi sel–sel ini juga berkembang sendiri
menjadi nodul–nodul yang ganas sebagai respons dari adanya penyakit yang kronik yang disebabkan
oleh infeksi virus. Nodul–nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi
hepatoma.2,4-6,8
MANIFESTASI KLINIS
1. Hepatoma fase subklinis 3-6
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa
gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui pemeriksaan AFP dan
teknik pencitraan. Caranya adalah dengan gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik
pencitraan terutama dengan USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI.
Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah: masyarakat di daerah
insiden tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis atau HBsAg positif; pasien dengan
riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi hepatoma primer.
1. Ultrasonografi (USG) 9
USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis hepatoma. Ke-gunaan dari
USG dapat dirangkum sebagai berikut: memastikan ada tidaknya lesi pe-nempat ruang dalam hati;
dapat dilakukan penapisan gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal
untuk hepatoma.
2. CT-Scan
CT telah menj adi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi dan sifat
hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran
tumor dalam hati hubungannya dengan pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi
sangatlah penting.
Pemeriksaan lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi kelenjar limfe
supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam asites, perito-neoskopi dll. juga
mempunyai nilai tertentu pada diagnosis hepatoma primer.
STANDAR DIAGNOSIS
Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor China telah menetapkan
standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma primer. 3-6
(4)
Ia : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A.
Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di separuh hati, tanpa emboli
tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
IIa : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di separuh hati, atau dua
tumor dengan diameter gabungan < 5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa
emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
IIb : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh hati, atau tumor
multipel dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa
emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A. Terdapat
emboli tumor di percabangan vena portal, vena hepatik atau saluran empedu dan/atau Child
B.
IIIa : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena porta atau vena
kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh, salah satu daripadanya; Child
A atau B.
IIIb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.
X. DIAGNOSIS BANDING
Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor embrional kelenjar
reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis serta sirosis hati dengan
peninggian AFP. Pada tumor embrional kelenjar reproduktif, terdapat gejala klinis dan tanda fisik
tumor bersangkutan, umumnya tidak sulit dibedakan; kanker gaster, kanker pankreas dengan
metastasis hati. Kanker gaster, kanker pankreas kadang kala disertai peninggian AFP, tapi
konsentrasinya umumnya relatif; rendah, dan tanpa latar belakang penyakit : hati, USG dan CT serta
pemeriksaan minum barium dan pencitraan lain sering kali dapat memperjelas diagnosis. Pada
hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus
dilakukan pemeriksaan pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang
dalam hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT dan
AFP.
6,10
2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP negatif
Hemangioma hati. Hemangioma kecil paling sulit dibedakan dari hepatoma kecil dengan AFP
negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa
tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, CT tunda, MRI dapat
membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat petanda
hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Pada
abses hati, terdapat riwayat demam, takut dingin dan tanda radang lain, pencitraan menemukan di
dalam lesi terdapat likuidasi atau nekrosis. Pada hidatidosis hati, kista hati, riwayat penyakit panjang,
tanpa riwayat penyakit hati, umumnya kondisinya baik, massa besar dan fungsi hati umumnya baik,
zat petanda hepatitis negatif, pencitraan menemukan lesi bersifat cair penempat ruang, dinding kista
tipis, sering disertai ginjal polikistik. Adenoma hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat
minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif,
CT tunda dapat membedakan. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik dll. sering cukup
sulit dibedakan dari hepatoma primer
PENATALAKSANAAN
Indikasi operasi eksploratif: tumor mungkin resektabel atau masih ada kemung-kinan
tindakan operasi paliatif selain reseksi; fungsi hati baik, diperkirakan tahan operasi; tanpa
kontraindikasi operasi. Kontraindikasi operasi eksploratif: umumnya pasien dengan sirosis hati berat,
insufisiensi hati disertai ikterus, asites; pembuluh utama vena porta mengandung trombus kanker;
rudapaksa serius jantung, paru, ginjal dan organ vital lain, diperkirakan tak tahan operasi.
B. Terapi lokal
Terapi lokal terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablatif lokal dan injeksi obat
intratumor.1,2,7
D. Radioterapi
Radioterapi eksternal sesuai untuk dengan lesi hepatoma yang relatif terlokalis medan radiasi
dapat mencakup seluruh tumor selain itu sirosis hati tidak parah, pasien mentolerir radioterapi.
Radioterapi umumnya digunakan bersama metode terapi lain seperti herba, ligasi arteri hepatik,
kemoterapi transarteri hepatik, kemoembolisasi arteri hepa dll. Sedangkan untuk kasus stadium Ianjut
dengan metastasis tulang, radiasi local dapat mengatasi nyeri. Komplikasi tersering dari radioterapi
adalah gangguan fungsi hati hingga timbul ikterus, asites hingga tak dapat menyelesaikan seluruh
dosis terapi. dapat juga memakai biji radioaktif untuk radioti internal terhadap hepatoma. 2,7
E. Terapi biologis
Meliputi imunoterapi aktif nonspesifik, imunoterapi sekunder, terapi terpandu dll. tapi
efektivitasnya belun cukup meyakinkan.2,6,7
F. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut (intermediate-
advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya
TAE/TACE (transarterialembolization / chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak
resektabel. 2,6,7
PROGNOSIS1
Hepatoma primer jika tidak diterapi, survival rata-rata alamiah adalah 4,3 bulan. Kausa
kematian umumnya adalah kegagalan sistemik, perdarahan saluran cerna atas, koma hepatik dan
ruptur hati. Faktor yang mempengaruhi prognosis terutama adalah ukuran dan jumlah tumor, ada
tidaknya trombus kanker dan kapsul, derajat sirosis yang menyertai, metode terapi, dll. 1,2
Studi yang dilakukan oleh Yeung dkk. (1996) mendapatkan nilai median angka harapan hidup
pasien hepatoma dengan meggunakan sistem Okuda yaitu: 4
Okuda stadium I 5.1 bulan
Okuda stadium II 2.7 bulan
Okuda stadium III 1.0 bulan 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Desen, Wan. “ Onkologi Klinik: Edisi 2”. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 408-23.
2. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati.
“Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid I, Edisi IV”. Jakarta: Pusat Penererbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2007. Hal: 455-59
3. Axelrod, David, MD,MBA. “Hepatocellular Carcinoma” diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/197319-overview last up date: 1 Mei 2010.
4. Anonym. “Hepatocllular Carsinoma” diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Hepatoma
last up date: 15 Mei 2010.
5. Mith CS, Paauw DS. Hepatocellular carcinoma identifying and screening populations at
increased risk. Postgrad. Med. 1993 ; 94 : 71-4
6. Sallie R, Di Bisceglie AM. Viral hepatitis and hepatocellular carcinoma. Gastroenterol. Clin.
N. Am.1994, 23 : 567-9
7. Schafer DF, Sorrell MF. Hepatocellular carcinoma. Lancet 1999; 353 : 1253-7
8. Khakko Salim I, Grellier Leonie FL et al. Etiology, screening and treatment of hepatocellular
carcinoma. Med. Clin. N. Am. 1996 ; 88 : 1121-45
9. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan Ekayuda. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2009. hal 467-79.
10. Media Medika Muda . “Hubungan Kadar Alfa Fetoprotein Serum Dan Gambaran Usg Pada
Karsinoma Hepatoseluler” diunduh dari:
http://www.m3undip.org/ed2/artikel_09_full_text_01.htm last up date : 5 Januari 2011.
TUGAS REVISI
1. Patofisiologi asites
Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit, namun yang terutama adalah sirosis hati dan hipertensi
porta. Patofisiologi asites belum sepenuhnya dipahami dan diduga melibatkan beberapa
mekanisme sekaligus. Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.
Sirosis (pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi
sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada
hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh
darah splanknik) akibat adanya vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related
peptide, endotelin dll). Dengan adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan
menyebabkan peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi
semakin menetap. Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama
di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan
selanjutnya menyebabkan asites.
Penggunaan. β-Bloker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai
sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khusunya sesudah infark
miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa kelainan konduksi,
pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang memerlukan
antidepresan trisiklik atau antipsikosis (karena efek antihipertensi β-Bloker tidak dihambat
oleh obat-obatan tersebut) β-Bloker lebih efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif
pada pasien usis lanjut.
Efektivitas antihipertensi berbagai β-Bloker tidak berbeda satu dengan yang lain bila
diberikan pada dosis yang ekuipoten. Ada atau tidaknya kardioselektifitas, aktivitas
simptomatik instrinstik (ASI), menentukan pemilihan obat ini dalam kaitannya dengan
kondisi patologi pasien. Semua β-Bloker dikontraindikasikan pada pasien dengan asma
bronchial. Bila harus diberikan pada pasien diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer,
maka penghambat selektif β1 adalah lebih baik dibandingkan β-Bloker non selektif, karena
efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor β2 yang memperantai
vasodilatasi di otot rangka. β-Bloker dengan ASI kurang efektif untuk PJK dan belum terbukti
efektif untuk paska infark mikard, meskipun kurang menimbulkan efek samping metabbolik.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronik, pemakaian β-Bloker dapat memperburuk
fungsi ginjal karena penurunan aliran darah ginjal.
Dari berbagai β-Bloker, atenolol merupakan obat yang paling sering dipilih. Obat ini
bersifat kardioselektif dan penetrasinya ke SSP minimal, sehingga kurang menimbulkan efek
samping sentral dan cukup diberikan sekali sehari sehingga diharapkan akan meningkatkan
kepatuhan pasien. Dosis lazim adalah 50-100 mg per oral sekali sehari. Metoprolol perlu
diberikan dua kali sehari dan kurang kardio selektif disbanding dengan atenolol. Dosisnya
adalah 50-100 mg dua kali sehari. Labetolol dan karvedilol memiliki efek vasodilatasi karena
selain menghambat reseptor β, obat ini juga menghambat reseptor α. Secara teoritis sifat ini
akan memperkuat efek antihipertensi dan mengurangi efek samping seperti rasa dingin di
ekstermitas. Terapi efek vasodilatasi ini dapat menimbulkan hipotensi postural.
B.Nonselektif
Alprenolol 100 200 2x Tab 50mg
Kartenolol 2,5 10 2-3x Tab 5mg
Nadolol 20 160 1x Tab 40mg,
80mg
Oksprenolol biasa 80 320 2x Tab 40 mg,
80mg
Oksprenolol 80 320 1x Tab 80mg, 160
lambat mg
Pindolol 5 40 2x Tab 5mg, 10
mg
Propanolol 40 160 2-3x Tab 10mg,
40mg
Timolol 20 40 2x Tab 10mg, 20
mg
Karvedilol 12,5 50 1x Tab 25 mg
Labetolol 100 300 2x Tab 100mg
Sumber Farmakologi dan Terapi Edisi V, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. AFP adalah
Adalah protei serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit oleh
saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL. Kadar AFP
meningkat pada 60% -70% dari pasien HCC dan kadar lebih dari 400 ng/mL adalah
diagnostic atau sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal dapat ditemukan juga pada HCC
stadium lanjut. Hasil positif palsu dapat juga ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan
pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy prothrombin
(DCP) atau PIVKA-2 yang kadarnya meningkat pada 91% HCC, namun juga dapat
meningkat pada defisiensi vitamin K, hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma.Ada
beberapa lagi penanda HCC seperti AFP-L3 (suatu subfraksiAFP), alfa –L-fucosidase serum,
dll, tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesivitas melebihi AFP, AFP-3
dan PIVKA-2
(Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV)