Anda di halaman 1dari 24

EFUSI PLEURA

Definisi
Efusi pleura adalahsuatukeadaan dimanaterdapatpenumpukan cairan didalam kavum pleura
diantara pleura parietalisdan pleura viseralis.

Etiologi

Patofisiologi
Secara garis besar akumulasi cairan pleura disebabkan karena dua hal yaitu:

1. Pembentukan cairan pleura berlebih


Hal ini dapat terjadi karena :

 Peningkatan permeabilitas kapiler (peradangan, neoplasma)


 Peningkatan tekanan hidrostatis (CHF)
 Peningkatan tekanan negatif intrapleura(atelektasis ).
2. Penurunan kemampuan absorbsi sistem limfatik
 Obstruksi stomata
 Gangguan kontraksi saluran limfe
 Infiltrasi pada kelenjar getah bening
 Peningkatan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran limfe 2,7
Tanda dan Gejala
Gejala
 Dispnea/sesak nafas
 Batuk non produktif
 Rasa sakit/nyeri pada dada
 Gejala lainnya umumnya mengarahkan ke penyebabnya :
 Edema tungkai, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea – CHF
 Keringat malam, demam, hemoptisis, penurunan berat badan – TB
 Hemoptisis – Malignansi, patologi endobronkial/endotrakeal, infark
pulmonal
 Demam akut, sputum purulen, nyeri dada – Pneumonia

Tanda
 Mediastinal shift umumnya terjadi bila efusi lebih dari 1000 mL. Bila efusinya besar
maka ruang intercostals akan tampak menonjol.
 Pergerakan dada tidak simetris, dengan pergerakan dada yang berkurang
terlambat pada sisi yang mengalami efusi.
 Palpasi stem fremitus melemah,
 Perkusi terdengar pekak
 Suara nafas melemah sampai tidak terdengar
 Egofoni pada bagian superior dari efusi pleura
 Dapat terdengar friction rub1,5,6

Diagnosis
Efusi pleura dicurigai pada pasien dengan nyeri pleura, dispneu, dan tanda-tanda
lainnya. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dan untuk menentukan penyebabnya.

a. Radiografi untuk menentukan adanya efusi


Dilakukan untuk menegakkan diagnosis efusi pleura. Umumnya dilakukan fototegak
posteroanterior (PA) dantegak lateral. Pada foto tegak PA, sudut kostofrenikus lateral akan
tampak tumpul dengan adanya 175- 200 cc penimbunan cairan di dalam rongga pleura.

b. Menentukan penyebab efusi


Untuk menentukan penyebab efusi, maka perlu dilakukan thorakosentesis pada
pasien dengan efusi pleura

 Indikasi thorakosentesis diagnostik:


 Efusi dengan ketebalan ≥ 10 mm pada foto CT, USG atau X-Ray lateral dekubitus
 Kasus efusi pleura baru atau tidak diketahui penyebabnya
 Efusi pleura yang tidak respons terhadap terapi
Hasil dari thorakosentesis perlu dilakukan pemeriksaan total protein, LDH, hitung
jumlah dan jenis sel, pewarnaan Gram, kultur bakteri aerobik dan anaerobik.

Tatalaksana
Umumnya efusi tidak memerlukan tatalaksana jika asimptomatik dan penyakit
penyebanya telah diterapi, karena kebanyakan efusi bisa resorpsi dengan sendirinya,
terutama yang disebabkan oleh pneumonia tak terkomplikasi, emboli pulmonal, post
operasi. Nyeri pleura ditangani dengan pemberian NSAID atau analgesik lainnya. Terkadang
juga dilakukan penggunaan opioid jangka pendek.
Thorakosentesis merupakan terapi untuk simptomatik efusi dan dapat dilakukan
berulang untuk efusi yang terakumulasi kembali. Pengeluaran cairan dapat terus dilakukan
sampai pasien merasakan dada kencang, nyeri dada, atau batuk parah.
Efusi yang kronik, rekuren, dan menimbulkan gejala dapat diterapi dengan
pleurodesis atau drainasi intermiten dengan katerer menetap. Efusi yang disebabkan oleh
karena pneumonia dan keganasan memerlukan penanganan khusus.

ANEMIA

Pendahuluan

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.

Kriteria anemia

Parameter paling umum dipakai untuk menunjukkan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul
hematokrit dan hitung eritrosit.

Kriteria Anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et al, 2001)
Kelompok Kriteria Anemia (Hb) (g/dL)
Laki – laki dewasa < 13
Wanita dewasa tidak hamil < 12
Wanita hamil < 11

Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena :

 Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang


 Perdarahan
 Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)

Klasifikasi berdasarkan gambaran morfologis dengan melihat apusan darah tepi atau indeks eritrosit
dibagi menjadi 3, Yaitu :

 Anemia hipokrom mikrositer  MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg


 Anemia normokrom normositer  MCV < 80 – 95 fl dan MCH 27 – 34 pg
 Anemia makrositer  MCV > 95 fl

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi

1. Anemia hipokrom mikrositer


a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia siderobalstik
2. Anemia normokrom normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia akibat gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
3. Anemia makrositer
a. Bentuk megalobalstik
i. Anemia defisiensi asam folat
ii. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiossa
b. Bentuk non-megaloblastik
i. Anemia pada penyakit hati kronik
ii. Anemia pada hipotiroidisme
iii. Anemia pada sindrom mielodisplastik
MELENA
Definisi

Melena adalah feses yang berwarna hitam dan berbau busuk karena bercampur produk darah dari
saluran cerna. Adanya melena menunjukkan bahwa darah telah berada di saluran cerna dalam waktu
setidaknya 14 jam dan biasanya terjadi pada saluran cerna bagian atas, walaupun terkadang melena
dapat pula timbul akibat perdarahan dari colon.

Etiologi

Mekanisme terjadinya perdarahan saluran cerna antara lain disebabkan disrupsi mukosa
gastrointestinal sebagai akibat sekunder dari peristiwa inflamasi, infeksi, trauma, atau kanker.
Penyebab terbanyak adalah peptic ulcer disease, Selain itu perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat abnormalitas vaskular, seperti ektasis pada vaskular atau varises esofagus karena hipertensi
portal. Selain itu, riwayat penggunaan obat-obatan golongan NSAID jangka panjang atau konsumsi
alkohol juga potensial menyebabkan kerusakan pada mukosa saluran cerna.

Pemeriksaan Laboratorium

Hitung darah lengkap

1. Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit


Mungkin normal pada awal perdarahan saluran cerna akut

Kemudian menurun seiring masuknya cairan ekstravaskular ke dalam pembuluh darah sebagai
upaya pengembalian volume darah

Pasien dengan perdarahan saluran cerna kronis dapat menunjukkan nilai hemoglobin dan
hematokrit yang sangat rendah walaupun tekanan darah dan nadi berada dalam batas normal

2. Leukositosis dan trombositosis ringan sering terlihat

3. Distribusi sel darah merah dapat menunjukkan anemia mikrositik dan anemia kekurangan besi
sebagai akibat kehilangan darah

Kimia Darah ,Peningkatan kadar BUN sering terjadi pada perdarahan saluran cerna bagian atas

Terapi

Pendekatan terapi pada pasien dengan perdarahan saluran cerna adalah sebagai berikut:

1. Resusitasi dan stabilisasi hemodinamik

2. Intervensi tindakan: Endoscopic hemostatic therapy, colonoscopic removal of bleeding polyp or


mass, surgical resection, sclerotherapy

3. Farmakoterapi: Epinefrin 1:10.000, proton pump inhibitor (pantoprazol dosis awal 80 mg bolus
diikuti 8 mg/jam; lansoprazol 60 mg bolus diikuti 6 mg/jam), eradikasi H. pylori, penghentian
penggunaan obat-obatan golongan NSAIDs, misoprostol 100 µg 3-4 kali sehari, short term treatment
dengan okreotide 50 µg bolus dan 50 µg/ jam infus untuk 2-5 hari.

ASITES

Patofisiologi asites

Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit, namun yang terutama adalah sirosis hati dan hipertensi porta. Patofisiologi asites
belum sepenuhnya dipahami dan diduga melibatkan beberapa mekanisme sekaligus. Teori yang
diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.

Sirosis (pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi
sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada hipertensi porta.
Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik) akibat
adanya vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan
adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan peningkatan aliran darah yang
justru akan membuat hipertensi porta menjadi semakin menetap.  Hipertensi porta tersebut akan
meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan
terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites.

Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan mempengaruhi
sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan volume efektif darah
(underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-angiotensin-aldosteron serta arginin
vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti
dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga
tubuh.

Penyakit yang mendasari asites

Asites dapat terjadi pada peritoneum yang normal atau peritoneum yang mengalami kelainan
patologis. Jika peritoneum normal (tidak ada kelainan), maka penyebab asites adalah hipertensi porta
dan hipoalbuminemia. Sedangkan pada peritoneum yang mengalami kelainan patologis, penyebab
asites antara lain infeksi (peritonitis bakterial/TBC/fungal, peritonitis terkait HIV dll),
keganasan/karsinoma peritoneal dll.

Diagnosa asites

Dalam menegakkan suatu diagnosa selalu meliputi tiga hal yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat digali hal-hal sebagai berikut:

-          Pasien mengeluh adanya pertambahan ukuran lingkar perut

-          Konsumsi alkohol, adanya riwayat hepatitis, penggunaan obat intravena, lahir/hidup di
lingkungan endemik hepatitis, riwayat keluarga, dll

-          Obesitas, hiperkolesterolemia, diabetes melitus tipe 2, atau penyakit-penyakit yang dapat
berkembang menjadi sirosis dll.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

-          Adanya kelainan/gangguan di hati dapat dilihat dari jaundice, eritema palmaris atau spider
angioma

-          Adanya hepatosplenomegali pada saat dipalpasi

-          Shifting dullnes, pudle sign

-          Peningkatan tekanan vena jugularis, dll.


Pada pemeriksaan penunjang, dapat digunakan metode pencitraan (USG) atau parasentesis
(pengambilan cairan). Apabila dilakukan parasentesis, selain dapat mendiagnosa adanya asites, juga
bermanfaat untuk melihat penyebab asites. Pada cairan yang diambil tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan sbb:

-          Gambaran makroskopik: cairan yang hemoragik dihubungkan dengan keganasan,  warna
kemerahan dapat dijumpai pada ruptur kapiler peritoneum dll.

-          Gradien nilai albumin serum dan asites: gradien tinggi (>1.1 gr/dl) terdapat pada hipertensi
porta pada asites transudat, dan sebaliknya pada asites eksudat. Konsentrasi protein yang tinggi (>3
gr/dl) menunjukkan asites eksudat, sebaliknya (<3 gr/dl) menunjukkan asites transudat.

-          Hitung sel: peningkatan jumlah lekosit menunjukkan adanya inflamasi. Untuk menilai asal
infeksi dapat digunakan hitung jenis sel.

-          Biakan kuman dan pemeriksaan sitologi.

Tatalaksana asites

Dalam menatalaksana asites transudat (akibat hipertensi porta) terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan yaitu:

-          Tirah baring untuk memperbaiki efektifitas diuretika. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas
simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Pada tirah baring, pasien tidur telentang
dengan kaki sedikit diangkat selama beberapa jam setelah minum diuretika

-          Diet rendah garam ringan sampai sedang untuk membantu diuresis.

-          Pemberian diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya spironolakton. Dengan
pemberian diuretika diharapkan berat badan dapat turun 400-800 gr/hari.

-          Terapi parasentesis, yaitu mengeluarkan cairan asites secara mekanis. Untuk setiap liter cairan
asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin sebanyak 6-8 gram.

-          Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari terjadinya asites seperti penyakit hati dll

Komplikasi

Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi yaitu peritonitis
(mengancam nyawa), sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam dan
cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain yang dikaitkan dengan
penyakit penyebab asites.

HEPATOMA
DEFINISI

Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit dimana stem sel
dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh adanya proses fibrotik maupun proses
kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini berkembang di dalam hepar, di permukaan hepar maupun
ekstrahepatik seperti pada metastase jauh. 1,3,4
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang difus dan sulit
dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena konsistensinya yang tidak dapat dibedakan
dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat mengganggu jalan dari saluran empedu maupun
menyebabkan hipertensi portal sehingga gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi besar.
Tanpa pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6 – 20 bulan. 1,3

ETIOLOGI
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor dan multifasik,
melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses banyak tahapan, serta peran serta banyak
onkogen dan gen terkait, mutasi multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada,
virus hepatitis, aflatoksin dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang terkait dengan
timbulnya hepatoma.2-4

1. Virus hepatitis1-6
 HBV
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat, baik
secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV terhadap hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit,
integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
(quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati.
 HCV
Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada pasien yang bukan
pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti-
HCV positif, interval antara saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29
tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas nekroinfiamasi
kronik dan sirosis hati.

2. Aflatoksin
Aflatoksin Bl (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu
mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB 1 menginduksi mutasi pada
kodon 249 dari gen supresor tumor p53.1-6
PATOGENESIS2,4-6,8
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut merupaka proses
khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari pembentukan hepatoma walaupun pada
pasien–pasien dengan hepatoma, kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan
dengan proses replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang
tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi Virus hepatitis,
dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan mereplikasi diri
di sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan
mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen–gen
yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53,
PIKCA, dan β-Catenin. 
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul–nodul di hepar, baik nodul
regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa tidak ada progresi yang
khusus dari nodul–nodul diatas yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik
didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel–sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan
hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.
Sel–sel ini meregenrasi sel–sel hati yang rusak tetapi sel–sel ini juga berkembang sendiri
menjadi nodul–nodul yang ganas sebagai respons dari adanya penyakit yang kronik yang disebabkan
oleh infeksi virus. Nodul–nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi
hepatoma.2,4-6,8

Gambar 4. Patobiologi karsinoma hepatoseluler

MANIFESTASI KLINIS
1. Hepatoma fase subklinis 3-6
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa
gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui pemeriksaan AFP dan
teknik pencitraan. Caranya adalah dengan gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik
pencitraan terutama dengan USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI.
Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah: masyarakat di daerah
insiden tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis atau HBsAg positif; pasien dengan
riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi hepatoma primer.

2. Hepatoma fase klinis 3-6


Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi utama
yang sering ditemukan adalah:
(1) Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut sering dating berobat
karena kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di abdomen kanan atas. Nyeri
umumnya bersifat tumpul (dullache) atau menusuk intermiten atau kontinu, sebagian
merasa area hati terbebat kencang, disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga
menambah regangan pada kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat atau timbul
akut abdomen harus pikirkan ruptur hepatoma.
(2) Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser
ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di bawah arkus kostae
berbenjol benjol; hepatoma segmen inferior lobus kanan sering dapat langsung
teraba massa di bawah arkus kostae kanan; hepatoma lobus kiri tampil sebagai massa di
bawah prosesus xifoideus atau massa di bawah arkus kostae kiri.
(3) Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan gangguan fungsi
hati.
(4) Anoreksia: timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal, perut tidak bisa menerma makanan dalam jumlah banyak karena terasa
begah.
(5) Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya
masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia.
(6) Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor, jika tanpa
bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai menggigil.
(7) Ikterus: tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit, umumnya karena gangguan fungsi
hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga dapat karena sumbat kanker di saluran empedu
atau tumor mendesak saluran empedu hingga timbul ikterus obstruktif.
(8) Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan perut membuncit
dan pekak bergeser, sering disertai udem kedua tungkai.
(9) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang
kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal dan lainnya, juga manifestasi sirosis hati
seperti splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik, spider nevi, venodilatasi dinding
abdomen dll. Pada stadium akhir hepatoma sering timbul metastasis paru,
tulang dan banyak organ lain.3-6
(10)
DIAGNOSIS

A. Pemeriksaan laboratorium 1-6


1. Alfa-fetoprotein (AFP)
AFP adalah sejenis glikoprotein, disin-tesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus, terdapat dalam
serum darah janin. Pasca partus 2 minggu, AFP dalam serum hampir lenyap, dalam serum orang
normal hanya terdapat sedikit sekali (< 25 ng/L). Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali
muncul. Selain itu teratoma testes atau ovarium serta beberapa tumor lain (seperti karsinoma gaster,
paru dll.) dalam serum pasien juga dapat ditemukan AFP; wanita hamil dan sebagian pasien hepatitis
akut kandungan AFP dalam serum mereka juga dapat meningkat.
AFP memiliki spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma hepatoselular. Jika AFP > 500
ng/L bertahan 1 bulan atau > 200 ng/ L bertahan 2 bulan, tanpa bukti penyakit hati aktif, dapat
disingkirkan kehamilan dan kanker embrional kelenjar reproduksi, maka dapat dibuat diagnosis
hepatoma, diagnosis ini dapat lebih awal 6-12 bulan dari timbulnya gejala hepatoma. AFP sering
dapat dipakai untuk menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus menurun
dengan waktu paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi dalam 2 bulan kadarnya turun hingga normal,
jika belum dapat turun hingga normal, atau setelah turun lalu naik lagi, maka pertanda terjadi residif
atau rekurensi tumor.

2. Petanda tumor lainnya


Zat petanda hepatoma sangat banyak, tapi semuanya tidak spesifik untuk diagnosis sifat
hepatoma primer. Penggunaan gabungan untuk diagnosis kasus dengan AFP negatif memiliki nilai
rujukan tertemu, yang relatif umum digunakan adalah: des-gama karboksi protrombin (DCP), alfa-L-
fukosidase (AFU), gama-glutamil transpeptidase (GGT-II), CA19-9, antitripsin, feritin, CEA, dll.

3. Fungsi had dan sistem antigen antibodi hepatitis B


Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar belakang penyakit
hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya
terdapat dasar penyakit hati untuk hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis. 1-6
B. Pemeriksaan pencitraan 2,6,9

1. Ultrasonografi (USG) 9
USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis hepatoma. Ke-gunaan dari
USG dapat dirangkum sebagai berikut: memastikan ada tidaknya lesi pe-nempat ruang dalam hati;
dapat dilakukan penapisan gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal
untuk hepatoma.

2. CT-Scan
CT telah menj adi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi dan sifat
hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran
tumor dalam hati hubungannya dengan pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi
sangatlah penting.

4. Angiografi arteri hepatika


Sejak tahun 1953 Seldinger merintis penggunaan metode kateterisasi arteri femoralis perkutan
untuk membuat angiografi organ dalam, kini angiografi arteri hepatika selektif atau supraselektif
sudah menjadi salah satu metode penting dalam diagnosis hepatoma. Namun karena metode ini
tergolong invasif, penampilan untuk hati kiri dan hepatoma tipe avaskular agak kurang baik, dewasa
ini indikasinya adalah: klinis suspek hepatoma atau AFP positif tapi hasil pencitraan lain negatif
hasilnya; berbagai teknik pencitraan noninvasif sulit menentukan sifat lesi penempat ruang tersebut. 4

5. Tomografi emisi positron (PET)


Dewasa ini diagnosis terhadap hepatoma masih kurang ideal, namun karsinoma
kolangioselular dan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk memiliki daya ambil terhadap 18F-
FDG yang relatif kuat, maka pada pencitraan PET tampak sebagai lesi metabolisme tinggi. 4

Pemeriksaan lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi kelenjar limfe
supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam asites, perito-neoskopi dll. juga
mempunyai nilai tertentu pada diagnosis hepatoma primer.

STANDAR DIAGNOSIS

Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor China telah menetapkan
standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma primer. 3-6

1. Standar diagnosis klinis hepatoma primer.3-6


(1) AFP > 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem repro-duksi,
penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati mem-besar, keras dan bermassa
nodular besar atau pemeriksaan pencitraan menun-jukkan lesi penempat ruang karakteristik
hepatoma.
(2) AFP < 400 ug/L, dapat menyingldrkan kehamilan, tumor embrional sistem reproduksi,
penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat dua jenis pemeriksaan
pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma atau terdapat dua
petanda hepatoma (DCP, GGT-II, AFU, CA19-9, dll) positif serta satu pemeriksaan
pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(3) Menunjukkan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi metastatik
ekstrahepatik (termasuk asites hemoragis makroskopik atau di dalamnya ditemukan sel
ganas) serta dapat meny ing-kirkan hepatoma metastatik

(4)

2. Standar klasifikasi stadium klinis hepatoma primer3-6

Ia : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A.
Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di separuh hati, tanpa emboli
tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
IIa : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di separuh hati, atau dua
tumor dengan diameter gabungan < 5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa
emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
IIb : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh hati, atau tumor
multipel dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa
emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A. Terdapat
emboli tumor di percabangan vena portal, vena hepatik atau saluran empedu dan/atau Child
B.
IIIa : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena porta atau vena
kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh, salah satu daripadanya; Child
A atau B.
IIIb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.
X. DIAGNOSIS BANDING

1. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP positif 6,10

Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor embrional kelenjar
reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis serta sirosis hati dengan
peninggian AFP. Pada tumor embrional kelenjar reproduktif, terdapat gejala klinis dan tanda fisik
tumor bersangkutan, umumnya tidak sulit dibedakan; kanker gaster, kanker pankreas dengan
metastasis hati. Kanker gaster, kanker pankreas kadang kala disertai peninggian AFP, tapi
konsentrasinya umumnya relatif; rendah, dan tanpa latar belakang penyakit : hati, USG dan CT serta
pemeriksaan minum barium dan pencitraan lain sering kali dapat memperjelas diagnosis. Pada
hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus
dilakukan pemeriksaan pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang
dalam hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT dan
AFP.

6,10
2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP negatif

Hemangioma hati. Hemangioma kecil paling sulit dibedakan dari hepatoma kecil dengan AFP
negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa
tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, CT tunda, MRI dapat
membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat petanda
hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Pada
abses hati, terdapat riwayat demam, takut dingin dan tanda radang lain, pencitraan menemukan di
dalam lesi terdapat likuidasi atau nekrosis. Pada hidatidosis hati, kista hati, riwayat penyakit panjang,
tanpa riwayat penyakit hati, umumnya kondisinya baik, massa besar dan fungsi hati umumnya baik,
zat petanda hepatitis negatif, pencitraan menemukan lesi bersifat cair penempat ruang, dinding kista
tipis, sering disertai ginjal polikistik. Adenoma hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat
minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif,
CT tunda dapat membedakan. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik dll. sering cukup
sulit dibedakan dari hepatoma primer

PENATALAKSANAAN

A. Terapi operasi 2,7

Indikasi operasi eksploratif: tumor mungkin resektabel atau masih ada kemung-kinan
tindakan operasi paliatif selain reseksi; fungsi hati baik, diperkirakan tahan operasi; tanpa
kontraindikasi operasi. Kontraindikasi operasi eksploratif: umumnya pasien dengan sirosis hati berat,
insufisiensi hati disertai ikterus, asites; pembuluh utama vena porta mengandung trombus kanker;
rudapaksa serius jantung, paru, ginjal dan organ vital lain, diperkirakan tak tahan operasi.

Metode-metode operasi yang sering digunakan:2,7


1. Metode hepatektomi.
2. Transplantasi hati
3. Terapi operatif nonreseksi

B. Terapi lokal
Terapi lokal terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablatif lokal dan injeksi obat
intratumor.1,2,7

C. Kemoembolisasi arteri hepatik perkutan 7


Kemoembolisasi arteri hepatik transkateter (TAE, TACE) merupakan cara terapi yang sering
digunakan untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut yang tidak sesuai dioperasi reseksi. Sesuai
digunakan untuk tumor sangat besar yang tak dapat direseksi; tumor dapat direseksi tapi diperkirakan
tak tahan operasi; hepatoma rekuren yang tak dapat direseksi; pasca reseksi hepatoma, suspek terdapat
residif, dll. Sedangkan bila volume tumor lebih dari 70% parenkim hati, fungsi hati terganggu berat,
kondisi umum buruk, diperkirakan tak tahan terapi, semua iru merupakan kontraindikasi
kemoembolisasi arteri hepatik.7

D. Radioterapi
Radioterapi eksternal sesuai untuk dengan lesi hepatoma yang relatif terlokalis medan radiasi
dapat mencakup seluruh tumor selain itu sirosis hati tidak parah, pasien mentolerir radioterapi.
Radioterapi umumnya digunakan bersama metode terapi lain seperti herba, ligasi arteri hepatik,
kemoterapi transarteri hepatik, kemoembolisasi arteri hepa dll. Sedangkan untuk kasus stadium Ianjut
dengan metastasis tulang, radiasi local dapat mengatasi nyeri. Komplikasi tersering dari radioterapi
adalah gangguan fungsi hati hingga timbul ikterus, asites hingga tak dapat menyelesaikan seluruh
dosis terapi. dapat juga memakai biji radioaktif untuk radioti internal terhadap hepatoma. 2,7

E. Terapi biologis
Meliputi imunoterapi aktif nonspesifik, imunoterapi sekunder, terapi terpandu dll. tapi
efektivitasnya belun cukup meyakinkan.2,6,7

F. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut (intermediate-
advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya
TAE/TACE (transarterialembolization / chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak
resektabel. 2,6,7

PROGNOSIS1
Hepatoma primer jika tidak diterapi, survival rata-rata alamiah adalah 4,3 bulan. Kausa
kematian umumnya adalah kegagalan sistemik, perdarahan saluran cerna atas, koma hepatik dan
ruptur hati. Faktor yang mempengaruhi prognosis terutama adalah ukuran dan jumlah tumor, ada
tidaknya trombus kanker dan kapsul, derajat sirosis yang menyertai, metode terapi, dll. 1,2

Studi yang dilakukan oleh Yeung dkk. (1996) mendapatkan nilai median angka harapan hidup
pasien hepatoma dengan meggunakan sistem Okuda yaitu: 4
 Okuda stadium I 5.1 bulan
 Okuda stadium II 2.7 bulan
 Okuda stadium III 1.0 bulan 4
DAFTAR PUSTAKA

1. Desen, Wan. “ Onkologi Klinik: Edisi 2”. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 408-23.
2. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati.
“Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid I, Edisi IV”. Jakarta: Pusat Penererbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2007. Hal: 455-59
3. Axelrod, David, MD,MBA. “Hepatocellular Carcinoma” diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/197319-overview last up date: 1 Mei 2010.
4. Anonym. “Hepatocllular Carsinoma” diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Hepatoma
last up date: 15 Mei 2010.
5. Mith CS, Paauw DS. Hepatocellular carcinoma identifying and screening populations at
increased risk. Postgrad. Med. 1993 ; 94 : 71-4
6. Sallie R, Di Bisceglie AM. Viral hepatitis and hepatocellular carcinoma. Gastroenterol. Clin.
N. Am.1994, 23 : 567-9
7. Schafer DF, Sorrell MF. Hepatocellular carcinoma. Lancet 1999; 353 : 1253-7
8. Khakko Salim I, Grellier Leonie FL et al. Etiology, screening and treatment of hepatocellular
carcinoma. Med. Clin. N. Am. 1996 ; 88 : 1121-45
9. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan Ekayuda. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2009. hal 467-79.
10. Media Medika Muda . “Hubungan Kadar Alfa Fetoprotein Serum Dan Gambaran Usg Pada
Karsinoma Hepatoseluler” diunduh dari:
http://www.m3undip.org/ed2/artikel_09_full_text_01.htm last up date : 5 Januari 2011.

TUGAS REVISI
1. Patofisiologi asites

Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit, namun yang terutama adalah sirosis hati dan hipertensi
porta. Patofisiologi asites belum sepenuhnya dipahami dan diduga melibatkan beberapa
mekanisme sekaligus. Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.

Sirosis (pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi
sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada
hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh
darah splanknik) akibat adanya vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related
peptide, endotelin dll). Dengan adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan
menyebabkan peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi
semakin menetap.  Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama
di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan
selanjutnya menyebabkan asites.

Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan


mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan
volume efektif darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini,
tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-angiotensin-
aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan
garam (Na) dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air (H 20) sehingga menyebabkan
semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga tubuh.

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV

2. Propanolol (Penghambat Adrenoreseptor Beta / β-Bloker)


Mekanisme antihipertensi. Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian
β-Bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain : (1) penurunan frekuensi
denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunnkan curah jantung; (2)
hambatan sekresi rennin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi
angiostensi II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adregenik perifer dan peningkatan
biosintesis prostaksiklin.
Penurunan tekanan darah oleh β-Bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat.
Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak
diperoleh penurunan tekanan darah lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obati ini tidak
menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam.

Penggunaan. β-Bloker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai
sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khusunya sesudah infark
miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa kelainan konduksi,
pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang memerlukan
antidepresan trisiklik atau antipsikosis (karena efek antihipertensi β-Bloker tidak dihambat
oleh obat-obatan tersebut) β-Bloker lebih efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif
pada pasien usis lanjut.
Efektivitas antihipertensi berbagai β-Bloker tidak berbeda satu dengan yang lain bila
diberikan pada dosis yang ekuipoten. Ada atau tidaknya kardioselektifitas, aktivitas
simptomatik instrinstik (ASI), menentukan pemilihan obat ini dalam kaitannya dengan
kondisi patologi pasien. Semua β-Bloker dikontraindikasikan pada pasien dengan asma
bronchial. Bila harus diberikan pada pasien diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer,
maka penghambat selektif β1 adalah lebih baik dibandingkan β-Bloker non selektif, karena
efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor β2 yang memperantai
vasodilatasi di otot rangka. β-Bloker dengan ASI kurang efektif untuk PJK dan belum terbukti
efektif untuk paska infark mikard, meskipun kurang menimbulkan efek samping metabbolik.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronik, pemakaian β-Bloker dapat memperburuk
fungsi ginjal karena penurunan aliran darah ginjal.
Dari berbagai β-Bloker, atenolol merupakan obat yang paling sering dipilih. Obat ini
bersifat kardioselektif dan penetrasinya ke SSP minimal, sehingga kurang menimbulkan efek
samping sentral dan cukup diberikan sekali sehari sehingga diharapkan akan meningkatkan
kepatuhan pasien. Dosis lazim adalah 50-100 mg per oral sekali sehari. Metoprolol perlu
diberikan dua kali sehari dan kurang kardio selektif disbanding dengan atenolol. Dosisnya
adalah 50-100 mg dua kali sehari. Labetolol dan karvedilol memiliki efek vasodilatasi karena
selain menghambat reseptor β, obat ini juga menghambat reseptor α. Secara teoritis sifat ini
akan memperkuat efek antihipertensi dan mengurangi efek samping seperti rasa dingin di
ekstermitas. Terapi efek vasodilatasi ini dapat menimbulkan hipotensi postural.

Efek samping, perhatian dan kontraindikasi. β-Bloker dapat menyebabkan bradikardi,


blockade AV, hambatan nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena
iru obat golongan ini dikontraindikasikan pada keadaan bradikardi, blockade AV derajad 2
dan 3, sick sinus syndrome dan gagl jantung yang belum stabil. Khusus pada gagal jantung,
pendapat lama mengatakan bahwa β-Bloker merupakan kontraindikasi yang bersifat inotropik
negative. Namun pendapat terbaru membuktikan bahwa β-Bloker, terutama kardiverol (α- β-
Bloker) dan juga bisoprolol, terbukti bermanfaat dan telah direkomendasikan dalam JNC VI
dan VII untuk pengobatan gagal jantung dalam kontribusi dengan ACE-Inhibitor.
β-Bloker merupakan obat yang baik untuk hipertensi dengan angina stabil kronik, tapi
dapat memperberat gejala angina Printzhetal, sehingga pemberiannya pada pasien hipertensi
dengan angina harus memperhatikan perbedaan kedua jenis ini.Selain itu, pengehentian β-
Bloker pada pasien dengan angina tidak boleh dilakukan secara mendadak karena dapat
menimbulka kambuhnya serangan hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi (Rebound
hypertension) kambuhnya serangan angina bahkan infark miokard pada pasien angina
pectoris.
Bronkospasme merupakan efek samping yang penting pada pasien degan riawayat
asma bronchial atau peyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sehingga merupkan
kontraindikasi untuk keadaan ini.
Gangguan sirkulasi perifer lebih jarang terjadi halusinasi dapat terjadi dengan β-
Bloker kardioselektif atau yang memiliki efek vasodilatasi seperti labetolol dan karvedilol.
Efek sentral berupa depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi dengan β-Bloker
yang lipofilik seperti propranolol dan oksprenolol.
Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian β-Bloker, terutama yang
tidak selektif.
Pemakaian β-Bloker pada pasien DM yang mendapat insulin atau pengobatan
hipoglikemij oral, sebaiknya dihindari. Sebab β-Bloker dapat menutupi gejala hipoglikemia

Sediaan dan dosis β-Bloker

A.Kardioselektif Dosis awal Dosis Frekuensi Sediaan


(mg/hari) maksimal pembersihan
(mg/hari)
Asebutolol 200 800 1-2x Cap 200mg,
Tab 400mg
Atenolol 25 100 1x Tab 50mg, 100
mg
Bisoprolol 2,5 10 1x Tab 5mg
Metoprolol biasa 50 200 1-2x Tab 50mg,
100mg
Metoprolol lepas 100 200 1x Tab 100 mg
lambat

B.Nonselektif
Alprenolol 100 200 2x Tab 50mg
Kartenolol 2,5 10 2-3x Tab 5mg
Nadolol 20 160 1x Tab 40mg,
80mg
Oksprenolol biasa 80 320 2x Tab 40 mg,
80mg
Oksprenolol 80 320 1x Tab 80mg, 160
lambat mg
Pindolol 5 40 2x Tab 5mg, 10
mg
Propanolol 40 160 2-3x Tab 10mg,
40mg
Timolol 20 40 2x Tab 10mg, 20
mg
Karvedilol 12,5 50 1x Tab 25 mg
Labetolol 100 300 2x Tab 100mg
Sumber Farmakologi dan Terapi Edisi V, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

3. Komplikasi efusi pleura psda kasus


Cairan pada pleura dapat menyebabkan infeksi atau menimbulkan abses yang disebut
empiema, Kanker dapat metastase ke bagian tubuh lain
(Medscape)

4. Metabolisme protein di hati

5. AFP adalah
Adalah protei serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit oleh
saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL. Kadar AFP
meningkat pada 60% -70% dari pasien HCC dan kadar lebih dari 400 ng/mL adalah
diagnostic atau sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal dapat ditemukan juga pada HCC
stadium lanjut. Hasil positif palsu dapat juga ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan
pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy prothrombin
(DCP) atau PIVKA-2 yang kadarnya meningkat pada 91% HCC, namun juga dapat
meningkat pada defisiensi vitamin K, hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma.Ada
beberapa lagi penanda HCC seperti AFP-L3 (suatu subfraksiAFP), alfa –L-fucosidase serum,
dll, tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesivitas melebihi AFP, AFP-3
dan PIVKA-2
(Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV)

6. Terapi non bedah pada hepatoma


Destruksi dari sel hati neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alcohol, asam asetat)
atau dengan memodifikasi suhu nya (radiofrequency, microwave, laser dan cryoablation).
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya
tinggi, efek sampingnya rendah serta relative murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan
dehidrasi nekrosis, oklusi vascular dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter<5) pada pasien
sirosis Child-Pugh A kesintasan 5 tahun dapat mencapai 50%. PEI bermanfaat untuk pasien
dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas, karena adanya sirosis hati non-ChildA.
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukan angka keberhasilan yang lebih tinggi
daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang >3cm, namun tetap tidak berpengaruh
terhadap harapa hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak
dibandingkan dengan PEI.
Guna mencegah terjadinya rekurensintumor, pemberian asam polipreonik selama 12
bulan dilapporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke-38 secara bermakna
dibandingkan dengan kelompok placebo.
(Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV)

Anda mungkin juga menyukai