Anda di halaman 1dari 6

MENGHAMPIRI AL-QUR’AN

Dosen Pembimbing :

M. Imadudin,S.Ag. M.S.I

Disusun Oleh :

NAMA : EZA PUTRI NOVITASARI


NIM : G.331.20.0071
PRODI : ILMU KOMUNIKASI B (SORE)

UNIVERSITAS SEMARANG
FAKULTAS TEKNOLOGI, INFORMASI, DAN KOMUNIKASI
TAHUN AJARAN 2020/2021
1. Pengertian Al-Qur’an

Pengertian Al-Qur’an menurut bahasa adalah bacaan atau sesuatu yang dibaca secara berulang.
Sedangkan menurut terminologi, Al-Qur’an artinya firman Allah SWT yang diturunkan hanya
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah mukjizat untuk kemudian disampaikan dengan
jalan mutawattir dengan perantaraan malaikat Jibril.
Sedangkan menurut syariat Islam, membaca Al-Qur’an dinilai sebagai salah satu ibadah kepada
Allah SWT.
Al-Qur’an menurut seorang ahli bernama Muhammad Ali ash-Shabuni adalah firman Allah SWT
yang tidak ada tandingannya, firman Allah SWT ini diturunkan kepada Nabi Muhammad yang
disampaikan melalui perantara yaitu malaikat Jibril AS.
Kemudian ditulis kepada para mushafnya untuk disampaikan kepada umatnya dengan jalan
mutawattir dimana membaca dan mempelajari isi Al-Qur’an adalah termasuk salah satu ibadah
kepada Allah SWT. Al-Qur’an sendiri diawali dengan bacaan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan
Surah An-Naas yang termasuk surat makkiyah.

2. Kebenaran Al-Quran Bersifat Mutlak

Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari lalimnya berbagai agama menuju keadilan
Islam. Artinya, seorang muslim yang benar imannya tidak pernah beranggapan apalagi
berkeyakinan bahwa semua agama sama baiknya dan sama benarnya. Ia yakin bahwa Allah
ta’ala tuhan semesta alam tidak mungkin membiarkan manusia dalam kebungungan memilih
jalan hidup yang benar untuk menghantarkan dirinya menuju keselamatan di dunia dan akhirat.
Sedangkan orang yang berfaham pluralisme adalah manusia yang bingung memilih jalan hidup
sehingga untuk gampangnya ia katakan bahwa semua agama sama baiknya dan sama benarnya.
Andaikan kita hidup tanpa petunjuk dari Yang Maha Benar mungkin kita juga akan sependapat
dengan logika berfikir seperti itu. Karena itu berarti bahwa tidak ada fihak manapun di dalam
masyarakat yang berhak meng-claim bahwa agamanyalah yang memiliki monopoli kebenaran.
Tetapi Allah ta’ala bantah pandangan seperti ini melalui firman-Nya:

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi
ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka
kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al-Mu’minun ayat 71)

Kebenaran mutlak adalah ajaran agama islam yang datangnya dari Allah. Allah ta’aala
berfirman dalam Al-Qur’an:

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-
orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah ayat 147).

Jelas bagi seorang mu’min bahwa kebenaran haruslah yang bersumber dari Allah ta’aala Rabbul
‘alaamin. Oleh karenanya kitapun meyakini sepenuhnya tatkala Allah ta’aala berfirman:

“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-
orang yang telah diberi Al kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangatncepat hisab-Nya.” (QS Ali Imran ayat 19)
 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran ayat
85).

Berdasarkan kedua ayat di atas ummat Islam menjadi mantap dalam meyakini bahwa satu-
satunya jalan keselamatan di dunia dan akhirat hanyalah jalan Islam. Yaitu jalan yang ditempuh
oleh Nabi Muhammad Shollallahu ’alaih wa sallam. Bukan ummat Islam yang meng-claim
kebenaran mutlak ajaran Islam, melainkan Allah ta’aala sendiri yang meng-claim hal tersebut..
kita sebagai ummat Islam hanya meyakini menaati firman Allah ta’aala. Oleh karena itulah Nabi
Muhammad Shollallahu ‘alaih wa sallam betapa berbedanya ganjaran ukhrowi yang akan
diterima seorang mu’min dibandingkan seorang kafir (non-muslim) akibat perbuatan baiknya di
dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda yang artinya:

“Seorang kafir jika berbuat kebaikan di dunia, maka segera diberi balasannya di dunia.
Adapun orang mu’min jika berbuat kebajikan, maka tersimpan pahalanya di akherat di samping
rizqi yang diterimanya di dunia atas ketaatannya.” (Muslim 5023).

Jelas bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Ia mengatakan dan memnguasai apa yang
Ia katakan. Perkataannya mengandung kebenaran yang mutlak. Sedangkan kebenaran yang
keluar dari mulut seorang manusia bersifat nisbi. Meski terkadang yang disampaikannya adalah
ayat Allah. Nisbi saat dunia menjadi tujuan, nisbi saat bukan Allah menjadi tujuan. Pada manusia
adalah relatif (kebenaran nisbi). Tidak ada manusia yang bebas dari kesalahan. Guru, ustadz, Da’I,
Mubaligh, Kiiyai, Ajengan, Ulama, bahkan Nabi dan Rasul sekalipun tidak ada yang bebas dari
kesalahan. Semua bisa dikecam, dikritik, dikoreksi, dan digugat. Kebenaran mutlak yang keluar
dari mulut manusia adalah saat seorang manusia mengembalikan apa yang menjadi hak-hak
Allah, yaitu kalimat-kalimat pujian dan mengakui aku hanyalah ciptaan yang maha mutlak. Selain
Islam adalah kebatilan. Maka yakinlah kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, yaitu Islam kebenaran
mutlak, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.

3. Dua Macam Kemukjizatan Al-Qur’an

Secara garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat
material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis, dan dapat dibuktikan sepanjang
masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material
dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan dijangkau langsung lewat
indra oleh masyarakat tempat mereka menyampaikan risalahnya.

Mukjizat materil yang bersifat indrawi ini maksudnya adalah keluarbiasaannya dapat
disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut
menyampaikan risalahnya. Contoh Perahu Nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga
mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat. Tidak terbakarnya
Nabi Ibrahim a.s dalam kobaran api yang sangat besar; berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s.
menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain.
kesemuanya bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada, dan
berakhir dengan wafatnya mereka

Mukjizat Immaterial/Maknawy (logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa). Mukjizat


maknawi ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indra tetapi
harus dicapai dengan kekuatan akal. Mukjizat ini sifatnya tidak dibatasi oleh suatu tempat dan
masa tertentu dan dapat dipahami oleh akal. Mukjizat yang allah turukan kepada nabi
Muhammad SAW berupa al – Quran ialah berupa mukjizat Immaterial karena dapat dijangkau
oleh setiap orang yang berfikir sehat, bermata hati terang, berbudi luhur, dan menggunakan
akalnya dengan jernih serta jujur di mana pun dan kapan pun.

4. Penjelasan Salah Satu Fungsi Al-Qur’an Adalah Sebagai “Syifa” Sebagaimana Dijelaskan Dalam
Q.S Al-Isra’/17 : 82.

Salah satu nama Alquran adalah asy-Syifa yang berarti obat penyembuh. Hal ini seperti
diutarakan As-Sa’di dalam kitabnya, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, bahwa
Alquran adalah penyembuh bagi semua penyakit hati. Baik berupa syahwat yang menghalangi
manusia untuk taat kepada syariat atau syubhat yang mengotori iman.

Dalam surat Al-Isra’ ayat 82, Allah Swt berfirman:

ّ ٰ ‫ن َواَل َي ِز ۡي ُد‬
‫الظلِم ِۡي َن ِااَّل َخ َسارً ا‬ ‌َۙ ‫َو ُن َن ِّز ُل م َِن ۡالـقُ ۡر ٰا ِن َما ه َُو شِ َفٓا ٌء َّو َر ۡح َم ٌة لِّ ۡـلم ُۡؤ ِمن ِۡي‬

“dan Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang
beriman, sedangkan bagi orang yang zhalim (Al-Qur'an itu) hanya akan menambah kerugian”

Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata “syifa’ / obat” dalam ayat tersebut.
Pendapat pertama, mengartikan obat dalam ayat tersebut sebagai obat yang berkenaan dengan
penyakit hati, menghilangkan tirai kebodohan dan menghapus keraguan akan kebesaran tanda-
tanda kekuasaan-Nya.
Pendapat kedua, al-Qur’an sebagai obat penawar penyakit lahir seperti sakit kepala, infeksi dan
lain sebagainya.

Berikut ini beberapa argumen yang menguatkan pendapat kedua.

Pertama, hadits-hadits Nabi tentang berobat dengan ayat al-Qur’an


Terdapat sejumlah hadis yang menjelaskan ihwal berobatnya Rasulullah dengan menggunakan
ayat al-Qur’an. Di antaranya hadis riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasai, bahwa mula-
mula Rasulullah melindungi diri dari segala penyakit dan serangan musuh dengan bacaan
ta’awwudz dan beberapa kalimat dzikir. Namun setelah turunnya surat al-Falaq dan al-Nas, beliau
mencukupkan dengan kedua surat tersebut dan meninggalkan selainnya. Sahabat Abu Sa’id al-
Khudri pernah menyembuhkan seseorang yang terkena sengatan ular dengan bacaan ayat
“Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin” sebanyak tujuh kali.

Kedua, berdasarkan kaidah ushuliyyah


Kaidah yang populer di kalangan pakar ushul fiqh mengatakan:

‫الثانِيْ أَرْ َج ُح‬ َ ‫اِنَّ ْال َكاَل َم ا َِذا احْ َت َم َل ال َّتأْ ِك ْي َد أَ ِو ال َّتأْسِ ي‬
َّ ‫ْس َف َح ْملُ ُه َعلَى‬

“Pembicaraan apabila memungkinkan mengarah kepada pengukuhan (substansi yang sudah


pernah disampaikan) atau mendasari (substansi baru yang belum pernah tersampaikan), maka
mengarahkannya kepada yang kedua adalah lebih unggul”
Dalam konteks ini, mengarahkan QS al-Isra’ ayat 82 kepada obat penyakit lahir lebih utama
sebagai informasi baru yang belum pernah disampaikan sebelumnya. Hal ini lebih baik ketimbang
mengarahkannya kepada pemahaman al-Qur’an sebagai obat penyakit batin yang sudah banyak
dijelaskan ayat-ayat lain.

Ketiga, berdasaran kaidah nahwiyyah


Dalam ayat di atas, kata “syifa’; obat” dan “rahmat” dirangkai jadi satu dengan penghubung huruf
‘athaf yakni “wawu (yang secara literal merupakan kata sambung yang bermakna “dan”). Rahmat
yang dimaksud dalam ayat mencakup obat dari segala penyakit hati. Dalam kaidah ilmu nahwu,
penggabungan satu kata dengan yang lain dengan penghubung huruf athaf wawu menunjukan
perbedaan makna kedua kata tersebut. Bila kata “rahmat” diartikan obat penyakit batin,
seharusnya kata “syifa’, obat” diartikan sebagai obat penyakit lahir, agar keduanya menunjukan
arti yang berbeda sebagai pengamalan dari kaidah nahwu di atas.

Keempat, berdasarkan kaidah Manthiqiyyah-silogisme


Berdasarkan fakta yang berulang kali teruji kebenarannya dari sejak masa Rasulullah, Sahabat,
Tabi’in hingga kurun setelahnya,menunjukan bahwa al-Qur’an dapat mengobati penyakit
racun,gila, luka dan penyakit lahir lainnya. Dalam disiplin ilmu manthiq dikatakan:

“Sesungguhnya beberapa eksperimen yang telah teruji kebenarannya termasuk jenis


berita/proporsi yang berfaidah yakin”.

Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Zad al-Ma’ad, menjelaskan, Alquran adalah penyembuh yang
sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Tidak
setiap orang diberi keahlian dan taufik untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit
konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan
keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kukuh, dan menyempurnakan syaratnya,
niscaya penyakit apa pun tidak akan mampu menghadapinya.

Kepada sahabat yang sakit, Nabi kerap kali berpesan, Bagi kalian ada obat penyembuh, yakni
madu dan Alquran. (HR Ibnu Majah dan al-Hakim). Sebagai asy-Syifa, orang beriman diimbau
banyak membaca Alquran, karena ia adalah obat penyembuh

5. Komitmen Seorang Muslim, Terhadap Al-Qur’an

Adapun komitmen yang harus ada dan tertanam di dalam diri setiap individu,jika menginginkan
kualitas ke-Islamannya terhadap Al-Qur’an baik,diantaranya :
1. Mengimani
Kita harus yakin bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala kepada Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam. Kita wajib mengimani semua ayat-ayat yang
kita baca, baik yang berupa hukum-hukum maupun kisah-kisah. Baik yang menurut kita terasa
masuk akal maupun yang belum dapat kita pahami, yang nyata maupun yang gaib.

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat
mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka
ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata : ya Tuhan kami, kami telah beriman,
maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan
kenabian Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wa Salam).”(Q.S. Al-Maidah : 83).

2. Membaca
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa membaca dengan sebenar-benar bacaan (haqqa tilawah)
merupakan parameter keimanan orang tersebut kepada Al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala :
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan ‘haqqa
tilawah’ mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar
kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”(Q.S.Al Baqarah:121).

3. Mentadabburi
Tadabbur Al-Qur’an dapat dilakukan dengan mengulangi ayat-ayat yang kita baca dan
meresapinya kedalam hati serta memikirkan maknanya dengan bacaan yang lambat. Tidak hanya
hati yang mentadabburi, tapi fisik kita yang lain pun ikut bertadabbur. Rasulullah Salallahu Alaihi
Wa Salam merupakan contoh terbaik bagi kita dalam cara mentadabburi Al-Qur’an, diriwayatkan
ketika diturunkan surat Huud dan Al Waqiah sampai beruban rambutnya karena takut terhadap
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Maka apakah mereka tidak mentadabburkan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu turun dari
sisi selain Allah tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya.”(Q.S.An Nissa
: 82).

4. Menghapal
Mencoba menghafalkan dan menjaga hafalan ayat demi ayat dengan sepenuh jiwa.
“Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam mengatakan barang siapa yang didalam rongga tubuhnya
tidak ada sedikitpun Al Qur’’n, tak ubahnya bagaikan rumah yang bobrok.”
(HR. At Tarmidzi, hadist no.998,hlm 417).

5. Mengamalkan
Mengamalkan berawal dari memahami ilmu-ilmunya serta berpegang teguh pada hukum-
hukumnya, kemudian menyelaraskan hisup dan tingkah laku serta akhlaknya, sebagaiman akhlak
Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam dalam Al Qur’an.
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada
memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya
perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk
pada kaum yang dzalim.”(Q.S.Al Juma’ah:5).
Alangkah buruknya perumpamaan ini bagi mereka yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah
(termasuk didalamnya Al-Qur’an), yaitu dengan perumpamaan keledai yang memikul kitab-kitab
besar tetapi ia tidak mengerti apa yang ada didalamnya. Jadi bila manusia tidak mengamalkan Al
Qur’an seperti keledai yang tidak merasakan selain beban bawaan tanpa dapat memanfaatkan
apa yang dibawanya itu.
Untuk menjadi seorang muslim yang senantiasa komitmen terhadap Al-Qur’an bisa dicapai
melalui proses pembinaan diri. Hal ini dilakukan tidak hanya sekali saja melainkan secara
berkesinambungan dan bertahap.

Anda mungkin juga menyukai