Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Hernia merupakan salah satu kasus dibagian bedah yang pada


umumnya sering menimbulkan masalah kesehatan dan pada umumnya
memerlukan tindakan operasi. Dari hasil penelitian pada populasi hernia
ditemukan sekitar 10% yang menimbulkan masalah kesehatan dan pada umumnya
pada pria.8
Hernia ingunal indirek (lateral) merupakan hernia yang paling sering
ditemukan yaitu sekitar 50% sedangkan hernia ingunal direk (medial) 25% dan
hernia femoralis sekitar 15%. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa 25%
penduduk pria dan 2% penduduk wanita menderita hernia inguinal, dengan hernia
inguinal indirek (lateral) yang sering terjadi. Sekitar 75% dari semua hernia yang
terjadi pada region inguinal dua pertiga hernia inguinalis adalah hernia indirek
(lateral), dan didominasi pada sisi sebelah kanan. Hernia femoralis hanya terjadi
3%.8
Nyeri pasca operasi hernioplasty secaralangsung terjadi karena
mekanis akibat tarikan pada jaringan miopektineal untuk menutup defek melalui
serabut saraf A α dan serabut saraf C, secara tidak langsung melalui rangsang
khemis akibat cedera jaringan melaluiserabut C.Rasa nyeri yang timbul akibat
operasi dinding abdomen biasanya ringan-sedang 10-15 % nyeri lebih berat 30-50
% sedang, lebih dari 50% nyeri ringan yang sering tidak memerlukan analgesia.
Biasanya periode nyeri akut rata-rata 1,5 hari (1-3 hari).3
Untuk mengatasi nyeri pasca operasi seringkali harus diberikan obat
analgesik, utamanya golongan NSAID, non narkotik analgesik atau narkotika.
Hernia inguinalis merupakan kasus terbanyak setelah appendektomi. Sampai saat
ini masih merupakan tantangan dalam peningkatan status kesehatan masyarakat
Karena besarnya biaya yang diperlukan dalam penanganannya dan hilangnya
tenaga kerja akibat lambatnya pemulihan dan angka rekurensi. Dari keseluruhan
jumlah operasi di Perancis tindakan bedah hernia sebanyak 17,2% dan 24,1% di
USA.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HERNIA
1. Definisi
Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia
abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan
muskolo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan
isi hernia.4

2. Anatomi
a. Dinding Perut
Anatomi dari dinding perut dari luar ke dalam terdiri dari : 8
1) Kutis 6) muskulus abdominis tranversal
2) lemak subkutis 7) fasia transversalis
3) fasia skarpa 8) lemak peritoneal
4) muskulus obligus eksterna 9) peritoneum.
5) muskulus obligus abdominis interna

2
Gambar 1. Anatomi Abdomen
b. Regio Inguinalis
Kanalis inguinalis dibatasi di kraniolateral oleh anulus inguinalisinternus
yang merupakan bagian yang terbuka dari fasia tranversus abdominis. Di
medial bawah, diatas tuberkulum pubikum, kanal ini dibatasi oleh anulus
inguinalis eksternus, bagian terbuka dari aponeurosis m. Obligus
eksternus. Atapnya ialah aponeurosis m.oblikus eksternus dan di
dasarnya terdapat ligamentum inguinale .Kanal berisi tali sperma pada
lelaki, ligamentum rotundum pada perempuan.8

Gambar 2. Dinding Canalis Inguinalis8

3. Klasifikasi Hernia

3
Secara umum hernia diklasifikasikan menjadi: 4
a. Hernia eksterna, yaitu jenis hernia dimana kantong hernia menonjol
secara keseluruhan (komplit) melewati dinding abdomen seperti hernia
inguinal (direk dan indirek), hernia umbilicus, hernia femoral dan hernia
epigastrika.
b. Hernia intraparietal, yaitu kantong hernia berada didalam dinding
abdomen.
c. Hernia interna adalah hernia yang kantongnya berada didalam rongga
abdomen seperti hernia diafragma baik yang kongenital maupun yang
didapat.
d. Hernia reponibel (reducible hernia), yaitu apabila isi hernia dapat keluar
masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika
berbaring atau didorong masuk perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala
obstruksi usus.
e. Hernia ireponibel (inkarserata), yaitu apabila kantong hernia tidak dapat
kembali ke abdomen. Ini biasanya disebabkan oleh perlengkatan isi
kantong pada peritoneum kantong hernia. Hernia ini disebut hernia
akreta, merupakan jenis hernia ireponibel yang sudah mengalami
obstruksi tetapi belum ada gangguan vaskularisasi.
f. Hernia strangulasi adalah hernia yang sudah mengalami gangguan
vaskularisasi.

Berdasarkan lokasinya hernia dibedakan menjadi:4


a. Hernia Inguinalis
1) Hernia inguinalis indirek (lateral)
Hernia inguinalis lateralis adalah hernia yang melalui anulus
inguinalis internus yang terletak di sebelah lateral vasa epigastrika
inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan keluar ke rongga perut
melalui anulus inguinalis eksternus. Kanalis inguinalis adalah kanal
yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus
testis melalui kanal tersebut. Penutunan testis tersebut akan menarik

4
peritonium ke daerah skrotum sehingga terjadi penonjolan
peritoneum yang disebut prosesus vaginalis peritonei.
Pada bayi yang sudah lahir, umumnya prosesus ini sudah
mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui
kanalis tersebut. Namun dalam beberapa hal, sering kali kanalis ini
tidak menutup. Karena testis kiri turun lebih dahulu maka kanalis
kanan lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal kanalis yang
terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan. Bila prosesus terbuka
terus (karena tidak mengalami obliterasi), akan timbul hernia
inguinalis kongenital. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup
namun karena lokus minoris resistensie maka pada keadaan yang
menyebabkan peninggian tekanan intra abdominal meningkat, kanal
tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis
akuista.
2) Hernia inguinalis direk (Medialis)
Hernia inguinalis direk adalah hernia yang kantongnya
menonjol langsung ke anterior melalui dinding posterior canalis
inguinalis medial terhadap arteri vena epigastrika inferior. Pada
hernia ini mempunyai conjoint tendo yang kuat, hernia ini tidak lebih
hanya penonjolan umum dan tidak pernah sampai ke skrotum.
Hernia ini sering ditemukan pada laki-laki terutama laki-laki yang
sudah lanjut usia dan tidak pernah ditemukan pada wanita. Hernia
direk sangat jarang bahkan tidak pernah mengalami strangulasi atau
inkaserata. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan hernia
inguinalis direk adalah peninggian tekanan intraabdomen konik dan
kelemahan otot dinding di trigonom Hasselbach, batuk yang kronik,
kerja berat dan pada umumnya sering ditemukan pada perokok berat
yang sudah mengalami kelemahan atau gangguan jaringan-jaringan
penyokong atau penyangga dan kerusakan dari saraf ilioinguinalis
biasanya pada pasien denga riwayat apendektomi. Gejala yang sering
dirasakan penderita hernia ini adalah nyeri tumpul yang biasanya

5
menjalar ke testis dan intensitas nyeri semakin meningkat apabila
melakukan pekerjaan yang sangat berat.
b. Hernia Femoralis
Hernia femoralis pada lipat paha merupakan penonjolan kantong
di bawah ligamentum inguinal di antara ligamentum lakunare di medial
dan vena femoralis di lateral. Hernia ini sering ditemukan pada wanita
dibanding laki-laki dengan perbandingan 2:1 dan pada umumnya
mengenai remaja dan sangat jarang pada anak-anak. Pintu masuk dari
hernia inguinalis adalah anulus femoralis, selanjutnya isi hernia masuk
kedalam kanalis femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan vena
femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar dari fosa ovalis di lipat
paha.
Hernia femoralis disebabkan oleh peninggian tekanan
intraabdominal yang kemudian akan mendorong lemak preperitonial ke
dalam kanalis femoralis yang akan menjadi pembuka jalan terjadinya
hernia. Faktor penyebab lainnya adalah kehamilan multipara, obesitas
dan degenerasi jaringan ikat karena usia lanjut. Penderita dengan hernia
femoralis sering mengeluhkan nyeri tanpa pembengkakan yang dapat di
palpasi dalam lipat paha. Nyeri bersifat nyeri tumpul dan jika telah
terjadi obstruksi dapat menimbulkan muntah dan gangguan konstipasi.
Hernia femoralis sering terjadi inkaserata dan biasanya terjadi dalam 3
bulan atau lebih. Apabila sudah terjadi inkaserata maka penderita akan
merasakan nyeri yang begitu hebat dan dapat terjadi shok.
Pembengkakan sering muncul di bawah ligamentum inguinal.
Diagnosis banding hernia femoralis antara lain limfadenitis yang
sering disertai tanda radang lokal umum dengan sumber infeksi di
tungkai bawah, perineum, anus atau kulit tubuh kaudal dari umbilikus.
Lipoma kadang tidak jarang dapat dibedakan dari benjolan jaringan
lemak preperitoneal pada hernia femoralis.
Diagnosis banding lain adalah variks tunggal di muara vena
safena magna dengan atau tanpa varises pada tungkai. Konsistensi variks
tunggal di fosa ovalis lunak. Ketika batuk atau mengedan benjolan variks

6
membesar dengan gelombang dan mudah dihilangkan dengan tekanan.
Abses dingin yang berasal dari spondilitis torakolumbalis dapat menonjol
di fosa ovalis. Tidak jarang hernia Richter dengan strangulasiyang telah
mengalami gangguan vitalitas isi hernia, memberikan gambaran nyata
yang keluar adalah isi usus bukan nanah. Untuk membedakannya,
perlunya diketahui bahwa munculnya hernia erat hubungannya dengan
aktivitas, seperti mengedan, batuk, dan gerak lain yang disertai dengan
peninggian tekanan intraabdominal. Sedangkan penyakit lain seperti
torsio testis atau limfadenitis femoralis, tidak berhubungan dengan
aktivitas demikian.
Terapi yang dilakukan pada penderita hernia femoralis adalah
operasi. Pada umumnya hernia femoralis cenderung untuk menjadi
inkarserasi dan strangulasi. Operasi terdiri atas herniotomi dan disusul
oleh hernioplasti. Hernia femoralis didekati melalui krural, inguinal dan
kombinasi. Pendekatan krural sering dilakukan pada wanita tanpa
membuka kanalis inguinalis. Teknik pendekatan secara inguinali adalah
dengan cara membuka kanalis inguinalis. Pada hernia femoralis dengan
inkaserasi atau residif sering digunakan teknik pendekatan kombinasi.
Teknik operasi ini sering dikenal dengan the low operation (Lockwood),
the high operation (Mc Evedy) dan Lotheissen operation.
c. Hernia Lainnya
1) Hernia Umbilikalis
2) Hernia paraumbilikalis
3) Hrnia ventralis
4) Hernia epigastrika
5) Hernia lumbalis
6) Hernia Littre
7) Hernia Speighel
8) Hernia obturatoria
9) Hernia perinealis
10) Hernia pantalon

7
4. Etiologi dan Patogenesis Hernia Inguinalis
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau
karena sebab yang didapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia. Lebih
banyak pada lelaki ketimbang perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan
pada pembentukan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar
sehingga dapat dilalui oleh kantong hernia dan isi hernia. Selain itu
diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang
sudah terbuka cukup lebar itu.4, 5
Pada orang yang sehat, ada tiga mekanisme yang dapat mencegah
terjadinya hernia inguinalis, yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring,
adanya struktur m.oblikus internus abdominis yang menutup anulus
inguinalis internus ketika berkontraksi dan adanya fasia transversa yang kuat
yang menutupi trigonum Hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot.
Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia.4, 7
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hernia
inguinalis antara lain: 4, 8
a. Kelemahan aponeurosis dan fasia tranversalis
b. Prosesus vaginalis yang terbuka, baik kongenital maupun didapat
c. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik, hipertrofi prostat,
konstipasi, dan asites
d. Kelemahan otot dinding perut karena usia
e. Defisiensi otot
f. Hancurnya jaringan penyambung oleh karena merokok, penuaan atau
penyakit sistemik.
Pada neonatus kurang lebih 90 % prosesus vaginalis tetap terbuka,
sedangkan pada bayi umur satu tahun sekitar 30 % prosesus vaginalis belum
tertutup. Akan tetapi, kejadian hernia pada umur ini hanya beberapa persen.
tidak sampai 10 % anak dengan prosesus vaginalis paten menderita hernia.
Pada lebih dari separuh populasi anak, dapat dijumpai prosesus vaginalis
paten kontralateral, tetapi insiden hernia tidak melebihi 20 %. Umumnya
disimpulkan adanya prosesus vaginalis yang paten bukan merupakan

8
penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan faktor lain, seperti
anulus inguinalis yang cukup besar.4
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi
annulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak
tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya bila otot
dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan
anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke dalam
kanalis inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat
kerusakan n.ilioinguinalis dan iliofemoralis setelah apendektomi. Jika
kantong hernia inguinalis lateralis mencapai skrotum, hernia disebut hernia
skrotalis.4

9
Gambar 3. Diagram Canalis Inguinalis4

5. Diagnosis Klinis
Gejala dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi
hernia. Pada hernia reponibel keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di
lipat paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan dan
menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang dijumpai kalau ada
biasanya dirasakan di daerah epigastrium atau periumbilikal berupa nyeri
visceral karena regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus
masuk ke dalam kantong hernia. Nyeri yang disertai mual muntah baru timbul
kalau terjadi inkaserata karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau
gangrene.4
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada
saat inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateral
muncul sebagai penonjolan di regio inguinalis yang berjalan dari lateral atas
medial bawah. Kantong hernia yang kosong dapat diraba pada funikulus
spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan sensasi
gesekan dua permukaan sutera. Tanda ini disebut tanda sarung tangan sutera,
tetapi pada umumnya tanda ini susah ditentukan. Kantong hernia berisi organ,
tergantung isinya, pada palpasi mungkin teraba usus, omentum maupun
ovarium. Dengan jari telunjuk atau dengan jari kelingking, pada anak dapat

10
dicoba mendorong isi hernia dengan cara mendorong isi hernia dengan
menekan kulit skrotum melalui anulus eksternus sehingga dapat ditentukan
apakah hernia ini dapat direposisi atau tidak. Dalam hal hernia dapat
direposisi, pada waktu jari masuk berada dalam anulus eksternus, pasien
diminta mengedan. Kalau ujung jari menyentu hernia berarti hernia inguinalis
lateralis, dan bagian sisi jari yang menyentuhnya adalah hernia inguinalis
medial.4

6. Penatalaksanaan
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi
dan pemakian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia
yang telah direposisi. Reposisi tidak dilakukan pada hernia strangulata
kecuali pada anak-anak. Reposisi dilakukan secara bimanual dimana tangan
kiri memegang isi hernia dengan membentuk corong dan tangan kanan
mendorong isi hernia ke arah cincin hernia dengan sedikit tekanan perlahan
yang tetap sampai terjadi reposisi.4
Pada anak-anak inkaserasi sering terjadi pada umur kurang dari dua
tahun. Reposisi spontan lebih sering dan sebaliknya gangguan vitalitas isi
hernia jarang terjadi dibanding orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh karena
cincin hernia pada anak-anak masih elastic dibanding dewasa. Reposisi
dilakukan dengan cara menidurkan anak dengan pemberian sedativ dan
kompres es di atas hernia. Bila usaha reposisi ini berhasil maka anak akan
dipersiapkan untuk operasi berikutnya. Jika reposisi tidak berhasil dalam
waktu enam jam maka harus dilakukan operasi sesegera mungkin.4
Pemakaian bantalan atau penyangga hanya bertujuan agar menahan
hernia yang sudah direposisi dan tidak pernah menyembuh dan harus dipakai
seumur hidup. Cara ini mempunyai komplikasi antara lain merusak kulit dan
tonus otot dinding perut di daerah yang ditekan sedangkan strangulasi tentang
mengacam. Pada anak-anak cara ini dapat menimbulkan atrofi testis karena
tekanan pada tali sperma yangmengandung pembuluh darah testis.4
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia
inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis
ditegakkan. Prinsip pengobatan hernia adalah herniotomi dan hernioplasti.

11
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya,
kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlengketan, kemudian
direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.4
Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus
inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
Hernioplastik dalam mencegah residif dibandingkan dengan herniotomi.
Dikenalnya berbagai metode hernioplastik seperti memperkecil anulus
inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia
tranversa, dan menjahitkan pertemuan m. tranversus abdominis internus dan
m. internus abdominis yang dikenal dengan cojoint tendon ke ligamentum
inguinal poupart menurut metode basinni atau menjahit fasia tranversa,
m.tranversa abdominis, m.oblikus internus ke ligamentum cooper pada Mc
Vay.4
Teknik herniorafi yang dilakukan oleh basinni adalah setelah diseksi
kanalis inguinalis, dilakukan rekontruksi lipat paha dengan cara
mengaproksimasi muskulus oblikus internus, muskulus tranversus abdominis
dan fasia tranversalis dengan traktus iliopubik dan ligamentum inguinale,
teknik ini dapat digunakan pada hernia direk maupun hernia inderek.
Kelemahan teknik Basinni dan teknik lain yang berupa variasi teknik
herniotomi Bassini adalah terdapatnya regangan berlebihan dari otot yang
dijahit. Untuk mengatasi masalah ini pada tahun delapan puluhan
dipopulerkan pendekatan operasi bebas regangan. Pada teknik itu digunakan
protesis mesh untuk memperkuat fasia tranversalis yang membentuk dasar
kanalis inguinalis tanpa menjahit dasar otot ke inguinal.4

B. NYERI
1. Definisi Nyeri
International Association for the Study of Pain, (IASP)
mendefenisikan nyeri sebagai “suatu sensori subjektif dan pengalaman
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di
mana terjadi kerusakan”.6

12
2. Etiologi dan Patogenesis Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku.
Stimulus penghasil-nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer.
Serabut nyeri memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari
beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di
medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf
inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau
ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri
mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan
memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta
assosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri.6
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer.
Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian
menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah
yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai
impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah
pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian
dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas,
dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu
dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan.
Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal
cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk
mcngurangi nyeri di daerah yang terluka.6
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak
memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera,
persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat
memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi
tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamine, bradikinin,
prostaglandin, dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat

13
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain
dapat berupa termal, listrik atau mekanis.6
Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut
ditransmisikan berupa impuls-impuls nyeri ke sum-sum tulang belakang oleh
dua jenis seabut yang bermyelin rapat atau serabut A (delta) dan serabut
lamban (serabut C) impuls-impus yang ditransmisikan oleh serabut delta A
mempunyai sifat inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C. serabut-serabut
afferent masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada
dorsal horn. Dorsal horn terdiri atas beberapa lapisa laminae yang saling
bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga terbentuk substantia gelatinosa yang
merupakan saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi
sumsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal
asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic trac (STT) atau jalur
spino thalamus dan spinoreticular trac (SRT) yang membawa informasi
tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi terdapat dua jalur
mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalu nonopiate. Jalur opiate
ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur spinal
desendens dari thalamus yang melalui otak tengah dan medulla ke tanduk
dorsal dari sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan nonciceptor
impuls supresif. System supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor
yang ditransmisikan oleh serabut A.6
Rasa sakit ditransmisikan dari saraf melalui tulang belakang menuju
otak, ketika ada kerusakan jaringan akibat luka, benturan, patah tulang, atau
bengkak sinyal-sinyal tertentu dikirim melalui urat syaraf, tergantung dari
jenis urat syarafya, rasa sakit yang dirasakan akan memiliki karakteristik yang
spesifik rasa sakit tersebut dapat berupa rasa perih atau denyut, rasa sakit
terasa tajam atau tumpul.6
Urat-urat syaraf bertujuan untuk meneruskan sinyal ke otak, sinyal-
sinyal tersebut berbeda-beda tergantung pada situasi dan lokasi dari syaraf
tersebut. Sinyal dari syaraf kemudian ditransmisikan melalui syaraf tulang
belakang menuju otak. Pada tulang belakang, rasa sakit dimodulasikan secara
alamiah. Rasa sakit dapat dilemahkan atau dikuatkan di dalam tulang

14
belakang, jika kita tidak memiliki mekanisme tersebut, kita akan selalu
mengalami rasa sakit, bahkan termasuk orang-orang yang tidak menderita
rasa sakit kronis, apapun yang terjadi pada diri kita pasti akan terasa
menyakitkan.6

3. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan
cepat menghilang, yang tidak melebihi 3 bulan dan ditandai adanya
peningkatan tegangan otot. Nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan
yang berlangsung kurang dari enam bulan, secara fisiologis terjadi
perubahan denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, aliran darah
perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, Pasien dengan nyeri
akut sering mengalami kecemasan. Nyeri akut biasanya berlangsung
secara singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau pembedahan
abdomen, pasien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukan
gelala-gejala antara lain : respirasi meningkat, percepatan jantung dan
tekanan darah meningkat.6

b. Nyeri kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-
lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari 3
bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal,
sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Nyeri kronis dibedakan
dalam dua kelompok besar yaitu nyeri kronik maligna dan nyeri kronik
nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak
dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan , nyri kronis
dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang
mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri.
Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik.6

Tabel 1. Perbandingan Nyeri Akut dengan Nyeri Kronis6


Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan/keuntungan Memperingatkan adanya Tidak ada

15
cidera atau masalah
Awitan Mendadak Terus-menerus atau
intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Durasi Singkat (dari beberapa Lama (enam bulan lebih)
detik hingga enam bulan)
Respon otonom Konsistensitensi dengan Tidak terdapat respon
respon stress simpatis,
volume sekuncup
meningkat, tekanan darah
meningkat, dilatasi pupil
meningkat, tegangan otot
meningkat, motilitas
gastrointestinal menurun,
aliran saliva menurun
Komponen Ansietas Depresi, mudah marah
psikologis
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, arthritis,
neuralgia germinal

c. Nyeri Nosiseptik dan Nyeri Neuropatik


Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri

neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh

rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun


sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab
terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon
terhadap analgesik opioid atau non opioid.6
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat
kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang
meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan
dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri
neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik
opioid.6
d. Nyeri visceral

16
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah
permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom
yang sama dengan asal nyeri.Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti
kontraksi ritmis otot polos. Nyeri visera lseperti keram sering
bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi
ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi
otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses
inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan
dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus,
menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila
organ padat terkena.6

e. Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam,
menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal
dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon,
tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau
iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada
dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan
oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit
dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada
peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri
parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.6
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan
lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada
waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks
yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke
rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar

17
ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya.
Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal
dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini
melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri
menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di
kuadran kanan bawah.6

BAB III

PEMBAHASAN

A. Nyeri Post Operasi Hernia


Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil
pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri postoperasi berbeda-beda dari
pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit yang
lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat
dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri postoperasi. Nyeri postoperasi
biasanya ditemukan dalam pengkajian klinikal, nyeri postoperasi merupakan topik
yang menarik untuk dibahas dalam lingkup keperawatan. Dengan menggali nyeri
postoperasi akan membantu orang lain untuk mengerti dan dapat mengaplikasikan
nyeri postoperasi kepada pasien yang mengalami pembedahan. Aspek dari nyeri
postoperasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup
persepsi dan perilaku tentang nyeri.9

18
Toxonomi Comitte of the international Association untuk pembelajaran
tentang nyeri mendefenisikan nyeri post operasi sebagai sensori yang tidak
menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan potensial atau nyata atau menggambarkan terminology suatu kerusakan.
Pada post operasi nyeri biasanya adalah hasil dari tindakan operasi tapi dapat
disebabkan oleh hal lain penyebab-penyebab yang berhubungan atau tidak
berhubungan, yaitu ; kandung kemih yang penuh, iskemia, pemasangan infuse dan
lain-lain. Dan diagnosa terhadap penyebab nyeri harus dapat diobati jika
memungkinkan. Sisa nyeri dapat dibebaskan dengan pembatasan keamanan pasien
terhadap lingkungan postoperasi.9
Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama
akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang
kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar
operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin,
bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel
inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses
transduksi dari nyeri.9
Alat bantu yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas atau
keparahan nyeri pasien adalah Visual Analogue Scale (VAS), yang terdiri dari
sebuah garis horizontal yang dibagi secara rata menjadi 10 segmen dengan nomor
0 sampai 10, satu segmen bernilai 10 mm. Pasien diberi tahu bahwa 0 menyatakan
“tidak ada nyeri sama sekali” dan 10 menyatakan “nyeri paling parah yang mereka
dapat bayangkan”. Pasien kemudian diminta untuk menandai angka yang menurut
mereka paling tepat dapat menjelaskan tingkat nyeri yang mereka rasakan pada
suatu waktu. VAS modifikasi yang digunakan untuk anak (atau orang dewasa
dengan gangguan kognitif) menggantikan angka dengan kontinum wajah
tersenyum sampai menangis. Skala nyeri dinilai 1–100-mm, visual analogue scale
(VAS) skor ≤ 30 adalah low-intensity pain, skor 30 - 50 adalah moderate-intensity
pain,dan skor ≥50 adalah high-intensity pain.6

19
Gambar 4. Visual Analogue Scale (VAS)6

B. Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Hernia Inguinalis


Nyeri post operasi hernia inguinalis dibedakan menjadi nyeri nosiseptif
dan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik post operasi disebabkan karena nervus
injury yang mengakibatkan gangguan sensorik (seperti hyperalgesia, hipoastesia,
allodynia, dll) di area operasi. Nyeri nosiseptif disebabkan kerena tissue injury
atau reaksi inflamasi. Pasien post operasi laparoskopi atau hernioplasty sebanyak
10% mengalami nyeri kronik pasca operasi dan paling banyak diderita pada pasien
pasca operasi hernia inguinalis disertai dengan mesh akan megalami nyeri kronik.
Nyeri kronik terjadi dikarenakan adanya reaksi inflamasi pada daerah mesh yang
mengakibatkan gangguan pada syaraf.1
Kanalis inguinalis terdapat tiga cabang saraf sensorik yaitu nervus
ilioinguinal yang merupakan cabang dari nervus thoracal 12 dan Lumbal 1, nervus
iliohypogastric juga percabnagan dari nervus thoracal 12 dan Lumbal 1 dan nervus
genitofemoralis merupakan percabnagan dari lumbal 1 dn lumbal 2. Ketiganya
persyarafan sangat berpengaruh terhdap kejadian nyeri kronik pasca operasi hernia
inguinalis.2
Nyeri pasca hernioraphy didefinisikan sebagai nyeri yang timbul sebagai
akibat langsung dari lesi syaraf atau penyakit lain yang mempengaruhi system
somatosensori. Nyeri kronik menurut IASP terjadi lebih dari 3 bulan selain itu
pasien tidak mengeluh nyeri sebelum dilakukan operasi.1

20
Pengelolaan nyeri kronis pasca hernioraphy dapat dilakukan treatment
pembedahan yaitu dengan melakukan tindakan pada ketiga syarf yang terdapat
pada kanalis inguinalis dengan cara neurectomy pada segmen syaraf di kanalis
inguinalis baik dengan cara ligasi ataupun kauterisasi. Namun kendala untuk
menemukan cabang nervus ilioingunal, iliohypogastric, dan genitofemoralis jarang
dilakukan pada praktek sehari-hari selain itu mengidentifikasikan ketiga jenis
cabang syaraf tersebut cukup susah. Pada operasi hernioraphy dianjurkan untuk
dapat mengidentifikasi ketiga syaraf tersebut karena berdasarkan penelitian
sebelumnya terbukti mengatasi nyeri kronis. Karena neurectomy hanya dapat
dilakukan oleh tangan yang berpengalaman makan dianjurkan untuk dilakukan
penatalaksanaan secara farmakologis terlebih dahulu.1
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik
oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan
opioid intraspina. Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal
yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. 1 Ada beberapa grup utama dari obat-
obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri pasca pembedahan:10

1. Paracetamol
Paracetamol termasuk kelompok obat yang dikenal memiliki
aktivitas sebagai analgesik antipiretik, termasuk juga prekursornya yaitu
fenasetin, aminopiron dan dipiron. Banyak dari obat ini yang tidak ada di
pasaran karena toksisitasnya terhadap leukosit, tetapi dipiron masih
digunakan di beberapa negara. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis
prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida
seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak
peroksida yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek
anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Parasetamol menghambat
lemah baik COX-1 maupun COX-2 dan berdasarkan penelitian diketahui
bahwa mekanisme kerjanya melalui penghambatan terhadap COX-3, yaitu
derivat dari COX-1, yang kerjanya hanya di sistem saraf pusat.10
Satu studi membandingkan efek intravena (iv) paracetamol (2 g
infus lambat selama 15 menit pada akhir pembedahan dan 6 jam kemudian

21
dengan i.v. parecoxib (40 mg) diberikan pada akhir pembedahan. Skor
nyeri saat istirahat dan batuk tidak berbeda secara signifikan antara kedua
kelompok pada 1, 6 dan 12 jam. Namun dari skor nyeri saat istirahat
selama 12 jam pertama setelah operasi secara signifikan lebih kecil dengan
parecoxib dibandingkan dengan paracetamol. 10
2. NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs)
NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti
inflamasi non steroid (AINS) adalah suatu kelompok obat yang berfungsi
sebagai anti inflamasi, analgetik dan antipiretik. NSAID merupakan obat
yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi.
Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan
dalam efek terapi maupun efek samping.  Obat golongan NSAID
dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non steroid, karena ada obat
golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat
golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi dibanding NSAID,
yaitu menghambat konversi fosfolipid menjadi asam arakhidonat melalui
penghambatan terhadap enzim fosfolipase Prototip obat golongan ini
adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai
obat mirip aspirin (aspirin like drugs). Contoh obatnya antara lain: aspirin,
parasetamol, ibuprofen, ketoprofen, naproksen, asam mefenamat,
piroksikam, diklofenak, indometasin.11
Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan
atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel
mengalami kerusakan, maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia. Di
antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah mediator dengan peran
terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang mekanik maupun
kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau siklo
oksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi yang pertama
adalah sisi aktif siklo oksigenase, yang akan mengubah asam arakhidonat
menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif
peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu
PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin dan

22
tromboksan A2, yang ketiganya merupakan mediator utama proses
inflamasi. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat
golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like
drugs). Contoh obatnya antara lain: parasetamol, ketorolac, meloxicam,
piroksikam, ibuprofen, ,asam mefenamat, , diklofenak, indometasin.11

Gambar 5. Biosintesis Prostaglandin11

Sebuah studi menjelaskan bahwa ketorolac 30 mg diberikan 1 jam


sebelum operasi, i.v. ketorolac 30 mg dan intramuskular (im) ketorolac 30
mg (baik diberikan pada saat anestesi). Dibandingkan dengan plasebo,

ketorolac (oral, im dan iv) secara signifikan mengurangi proporsi pasien

23
yang memerlukan analgesia tambahan. Parenteral (i.v. dan i.m.) ketorolac
lebih unggul dari ketorolac oral untuk mengurangi skor nyeri pada 90
menit saat istirahat dan duduk, dan mengurangi proporsi pasien yang
membutuhkan tambahan analgesik.10
Studi lain membandingkan efek piroksikam sublingual (40 mg)
diberikan 2 jam preoperasi dan postoperasi placebo dengan piroksikam
sublingual diberikan 20 menit postoperasi dan plasebo praoperasi. Skor
nyeri pascaoperasi secara signifikan lebih rendah pada praoperasi
dibandingkan dengan piroksikam yang diberikan postoperasi pada
kelompok 6 dan 20 jam, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan
antarkelompok obat di ruang pemulihan atau 30 jam postoperasi.10
Meloxicam oral 15 mg diberikan 30 menit praoperasi secara
signifikan mengurangi skor nyeri dan kebutuhan untuk analgesik tambahan
dibandingkan dengan tanpa pengobatan.10
3. Cyclo-oxygenase 2-selective inhibitors
COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1
memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi prostasiklin, dimana saat
prostasiklin dilepaskan oleh endotel vaskular, maka berfungsi sebagai anti
trombogenik, dan jika dilepaskan oleh mukosa lambung bersifat
sitoprotektif. COX-1 di trombosit, yang dapat menginduksi produksi
tromboksan A2, menyebabkan agregasi trombosit yang mencegah
terjadinya perdarahan yang semestinya tidak terjadi. COX-1 berfungsi
dalam menginduksi sintesis prostaglandin yang berperan dalam mengatur
aktivitas sel normal. Konsentrasinya stabil, dan hanya sedikit meningkat
sebagai respon terhadap stimulasi hormon atau faktor pertumbuhan.
Normalnya, sedikit atau bahkan tidak ditemukan COX-2 pada sel istirahat,
akan tetapi bisa meningkat drastis setelah terpajan oleh bakteri
lipopolisakarida, sitokin atau faktor pertumbuhan. meskipun COX-2 dapat
ditemukan juga di otak dan ginjal. Induksi COX-2 menghasilkan PGF2
yang menyebabkan terjadinya kontraksi uterus pada akhir kehamilan
sebagai awal terjadinya persalinan.11

24
Masing-masing NSAID menunjukkan potensi yang berbeda-beda
dalam menghambat COX-1 dibandingkan COX-2. Hal inilah yang
menjelaskan adanya variasi dalam timbulnya efek samping NSAID pada
dosis sebagai anti inflamasi. Obat yang potensinya rendah dalam
menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio aktivitas COX-2/ COX-1
lebih rendah, akan mempunyai efek sebagai anti inflamasi dengan efek
samping lebih rendah pada lambung dan ginjal. Piroksikam dan
indometasin memiliki toksisitas tertinggi terhadap saluran gastrointestinal.
Kedua obat ini memiliki potensi hambat COX-1 yang lebih tinggi daripada
menghambat COX-2. Dari penelitian epidemiologi yang membandingkan
rasio COX-2/ COX-1, terdapat korelasi setara antara efek samping
gastrointestinal dengan rasio COX-2/ COX-1. Semakin besar rasio COX-
2/ COX-1, maka semakin besar pula efek samping gastrointestinalnya.
Aspirin memiliki selektivitas sangat tinggi terhadap COX-1 daripada
COX-2, sehingga efek terhadap gastrointestinal relatif lebih tinggi.11
Inhibitor COX-2 selektif diperkenalkan pada tahun 1999. NSAID
selektif menghambat COX-2 yang pertama kali diperkenalkan adalah
celecoxib dan rofecoxib. Sebuah studi mengevaluasi efek oral rofecoxib 50
mg, diberikan 30-40 menit sebelum operasi dan pada pagi hari pertama
pasca operasi. Rofecoxib secara signifikan mengurangi skor nyeri pada 1
jam, tetapi tidak pada titik waktu lainnya. Sebuah studi lain mengevaluasi
efek rofecoxib 50 mg sebelum operasi dan setelah operasi (segera setelah
operasi, kemudian sekali sehari selama 5 hari). Penggunaan analgesik pada
hari 1-5 dan skor nyeri pada 6 minggu setelah operasi secara signifikan
lebih rendah dengan rofecoxib pasca operasi dibandingkan dengan
rofecoxib pra operasi.10

4. Opioid
Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium
alkaloid (seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki

25
efek yang dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap
rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan
parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum
dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet.
Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari. 10
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon
tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering
dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang
sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam
kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan
maksimum 300mg setiap hari. 10
Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer
sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang
berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai
maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi -
Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per
jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.10
Pada opioid kuat, studi menjelaskan pemberian morfin 30 mg, satu
tablet setiap 12 jam pada hari 1 dan 2, diikuti oleh dihydrocodeine 30 mg,
satu tablet oral setiap 4-6 jam, pada hari-hari 3-5 unggul dalam
mengurangi skor rasa sakit selama 5 hari pertama. Namun, hal ini juga
terkait dengan mual lebih pascaoperasi.10

Tabel 2. Obat Farmakologi untuk Penanganan Nyeri6

Non-opioid analgetik Paracetamol


NNSAIDs, COX-2 inhibitor

26
Gabapentin, Pregabalin
Weak opioids Codein
Tramadol
Paracetamol combined with codein atau
tramadol
Strong opioid Morphine
Diamorphine
Pethidine
Pritarmide
Oxycodone

Tabel 3. Recommendations for management of pain associated with open hernia surgery
in adults10

Preoperative/intraoperative Regional anaesthesia (field block ± wound infiltration) or


general anaesthesia in combination with regional anaesthetic
techniques
Postoperative 0–6 h including In addition to above, conventional NSAIDs or COX-2-selective
PACU inhibitors (use weak opioids when conventional NSAIDs/COX-
2-selective inhibitors are contraindicated), combined with
paracetamol. Add weak opioid when VAS score >30 but <50*.
Add strong opioid when VAS score ≥50*
Postoperative >6 h Wound infusion of long-acting local anaesthetic, when
possible. Continue standard medication: conventional NSAIDs
or COX-2-selective inhibitors (use weak opioids when
conventional NSAIDs/COX-2-selective inhibitors are
contraindicated), combined with paracetamol. Add weak
opioid when VAS score >30 but <50*. Add strong opioid when
VAS score ≥50*
*Pain ratings on a 1–100-mm visual analogue scale (VAS): score 30 or less, low-intensity pain; over 30 but less than 50,
moderate-intensity pain; 50 or more, high-intensity pain. PACU, postanaesthesia care unit; NSAID, non-steroidal anti-
inflammatory drug; COX, cyclo-oxygenase.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Alferi. S. et.al. 2011. International guidelines for prevention and management
of post-operative chronic pain following inguinal hernia. Departement of
digestive surgert, Catholic University SacredHeart, Largo A. Gemelli. Roma,
Italy. 15:239-249
2. Amid PK (2002) A 1-stage surgical treatment for postherniorrhaphy neuropatic
pain: triple neurectomy and proximal end implantation with mobilization of the
cord. Arch Surg 137:100–104
3. Bonica J. Post Operative Pain in The Management of Pain 2nd ed, vol I,
LondonLea and Febiger 2000 : 461 – 78.
4. Jong, Wim de & Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu bedah, Edisi Revisi. Jakarta:
EGC. 2004.523-538.
5. Mansjoer A, Suprohaita, Ika wardhani W. Setiowulan W. Kapita Selekta Edisi
ke-3, Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2000.313-317
6. Price, S.A, Wilson, L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. 2005. 1063-1089
7. Schwartz, Shires, Spencer. Abdominal Wall Hernias. Principles of Surgery . 5 th
Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc, 1988. 1525- 1544
8. Stead LG, et all,. First aid for the surgery clerkship, International edition, The
McGraw-Hill Companies, Inc, Singapore, 2003, 307-317.
9. Suza, D.E. Pain Experiences and Pain Management in Postoperative Patients in
Majalah Kedokteran Nusantara. Volume 40. Medan: FK USU.2007. 45-51
10. Joshi, G.P, et all. Evidence-Based Management of Postoperative Pain in Adults
Undergoing Open Inguinal Hernia Surgery in British Journal of Surgery. 2012;
99: 168–185
11. Http://www.doktermuslimah.com/2013/02/obat-golongan-nsaid-non-steroidal-
anti.html. Farmakologi Dasar Obat Golongan NSAID (Non Steroidal Anti
Inflammatory Drugs)

28

Anda mungkin juga menyukai