Anda di halaman 1dari 12

TUGAS INDIVIDU

KEWARGANEGARAAN G
“Sejarah Demokrasi Indonesia”

DISUSUN OLEH :

NAMA : HIFZIL JULIANSYAH

NIM : 5190411345

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA

2021
1. Demokrasi Parlementer (1945-1959)

Era demokrasi parlementer di Indonesia, juga sering kali disebut sebagai


era demokrasi konstitusional. Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya
kabinet Presidensial Pertama pada 14 November 1945 yang disebabkan oleh
keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945 dan diikuti kemudian
oleh Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang berisi tentang seruan untuk
mendirikan partai-partai politik di Indonesia.

Keberlanjutan dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban
Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Usulan dari BPKNIP itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November
1945. Dengan demikian, maka secara otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu
bukan lagi presidensial, tetapi menjadi parlementer.

Sistem pemerintahan parlementer yang pertama di Indonesia dimulai pada 14


November 1945 sampai 12 Maret 1946 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Pertama
Indonesia, Soetan Sjahrir atau disebut juga sebagai Kabinet Sjahrir I.[28]Langkah mengubah
sistem pemerintahan Indonesia dari presidensil ke parlementer dianggap sebagai suatu
langkah politik ideologi Sjahrir yang menganut sosial-demokrat dan mendukung sistem
demokrasi Barat yang parlemennya kuat.

Demokrasi parlementer di Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan


konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 itu menetapkan bahwa lembaga eksekutif, yang terdiri dari
presiden sebagai kepala negara konstitusional dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab
politik dibawah seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Kabinet
pemerintahan itu kemudian dibentuk atas dasar koalisi partai-partai di parlemen, namun
sering kali koalisi antar partai itu mengalami keretakan dan menggoyahkan kabinet
pemerintahan. Akhirnya karena seringnya koalisi partai tidak pernah utuh sampai selesai,
banyak kabinet pemerintahan di masa demokrasi parlementer jatuh bangun dengan cepat,
ditambah partai yang menjadi oposisi sering kali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan
mengangkat sisi negatif partai penguasa, hal ini menunjukkan bahwa partai politik di
Indonesia saat itu belum dewasa.
Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer
disebabkan karena kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan,
hal ini bukan hanya berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan
ekonomi nasional pada saat itu. Ekonomi menjadi terhambat karena pemerintah tidak sempat
melaksanakan program kerjanya dan ketidaktabilan politik yang terjadi di pusat juga melebar
hingga pemberontakan-pemberontakan yang ada di daerah, seperti Darul Islam, Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia, dan sebagainya.

Selain ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan negara, demokrasi parlementer


juga membuat seorang Soekarno marah. Selama masa demokrasi parlementer, Presiden
Soekarno hanya sebagai seroang kepala negara yang tugasnya tak lebih sebagai “tukang
stempel” atau “rubberstamp”. Selain itu, pihak militer juga menuntut diikutsertakan dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan karena merasa bahwa militer lahir dari
semangat revolusi kemerdekaan yang berhak untuk terlibat dalam politik.m

Puncak dari ketidakstabilan politik di era demokrasi parlementer adalah gagalnya


anggota Konstituante dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi
Indonesia. Kegagalan Konstituante itu disebabkan karena para anggota Konstituante yang
terdiri dari partai-partai politik dalam parlemen tidak pernah bekerjasama untuk mencapai
konsensus membentuk undang-undang dasar yang baru. Kegagalan Konstituante itu yang
kemudian akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengemukakan apa yang disebut sebagai
“Konsepsi Presiden” pada 21 Februari 1957, dalam konsepsi itu Soekarno mengatakan bahwa
demokrasi parlemeter adalah demokrasi Barat dan harus diganti. Akhirnya puncak dari
kekisruhan politik saat itu berakhir saat, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959yang menyatakan bahwa konstitusi Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar
1945 yang sekaligus menyudahi kabinet parlementer terakhir yang dipimpin oleh Ali
Sastroamidjojo atau yang disebut sebagai Kabinet Ali II dan seluruh sistem demokrasi
parlementer di Indonesia.

2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Setelah berakhirnya era demokrasi parlementer, Indonesia mulai memasuki fase


demokrasi lainnya, yaitu demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden
diumumkan, demokrasi parlementer atau demokrasi konstitusional masih bertahan dengan
adanya pembentukan sebuah kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang
disebut sebagai Kabinet Djuanda.

Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Soekarno sebenarnya telah


mengemukakan keinginannya untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27
Januari 1957 di Bandung. Gagasan Soekarno itu yang diawali dengan mengungkapkan
keinginannya untuk kembali bisa mencampuri urusan pemerintahan meskipun Konstituante
belum selesai membentuk undang-undang dasar yang baru. Kelanjutan dari pendapatnya itu,
kemudian Soekarno mengumpulkan para pemimpin partai politik untuk membentuk sebuah
lembaga yang disebut sebagai Dewan Nasional.

Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada
21 Februari 1957 yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu
dikemukakan dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan
perwira angkatan bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara lain:

1) Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi terpimpin.
2) Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang
diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”.
3) Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai
penasehat Presiden.

Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, puncaknya adalah
pada 2 Maret 1957, lima partai yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik,
dan PRI mengeluarkan pernyataan menolak konsepsi Soekarno. Sementara PKI satu-satunya
yang mendukung penuh konsepsi Soekarno itu dan sebagian besar anggota PNI (yang
nantinya akan menjadi PNI Ali-Soerachman).

Meskipun mendapat tekanan dari partai-partai sayap kanan, Soekarno tetap


menjalankan konsepsinya dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, yaitu PKI
dan PNI. Pada 14 Maret 1957, keluar undang-undang tentang keadaan darurat dan juga
dibentuk sebuah kabinet transisi dibawah kepemimpinan Ir. Juanda. Puncaknya adalah saat
Soekarno kemudian mencetuskan konsepsinya itu dalam bentuk Dekrit Presiden pada 5 Juli
1959 yang mengawali era demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi daripada Dekrit Presiden itu
antara lain:

1) Menetapkan pembubaran Konstituante


2) Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan
tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Meskipun Konsepsi Presiden itu bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik
yang ada dan menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi pada praktiknya, Presiden
Soekarno kemudian berusaha menciptakan sebuh sistem kediktatoran yang diatasnamakan
demokrasi terpimpin. Pada periode ini pula kepemimpinan Dwitunggal bubar, Mohammad
Hatta memilih untuk berada diluar pemerintahan dan menjadi tokoh yang
mengkritik Soekarno dengan tulisan-tulisan dan menganggap Soekarno telah berubah
menjadi seorang diktator sejak 1956.

Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik
nasional, karena dapat mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima
tahun, namun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS
No. III/1963yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu
sekaligus melangkahi batasan kedudukan seorang presiden dan menjadikan Soekarno sebagai
seorang diktator. Hal ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan konstitusi dan demokrasi
di era demokrasi terpimpin.

Penyalahgunaan lainnya yang dilakukan oleh Soekarno selama era demokrasi


terpimpinadalah pada 1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
tak lain adalah lembaga legislatif, padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan
kewenangan itu kepada seroang presiden. Bahkan kemudian, setelah membubarkan DPR,
Presiden Soekarno membentuk lembaga legislatif, yang seharusnya anggota legislatif dipilih
oleh rakyat, bukan presiden. Badan legislatif yang dibentuk Soekarno itu kemudian disebut
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Praktis, karena DPR-GR
adalah bentukan presiden, maka fungsi kontrol dari lembaga legislatifterhadap eksekutif
dihilangkan. Selain itu, jabatan Ketua DPR-GR dijadikan menteri oleh Presiden Soekarno, itu
artinya legislatif berada dibawah eksekutif, hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden No.
14/1960. Selain lembaga legislatif, lembaga yudikatif juga mendapatkan intervensi
dari Presiden Soekarno, salah satunya adalah presiden memiliki kewenangan untuk ikut
campur tangan dalam badan yudikatif yaitu Mahkamah Agung. Intervensi Presiden Soekarno
terhadap lambaga yudikatif itu semakin diperkuat dengan Undang-Undang No.19/1964, itu
artinya presiden sah apabila mencampuri putusan apapun yang dibuat oleh lembaga yudikatif.

Selain dalam hal pemerintahan, kecenderungan pada komunisme juga terjadi di era


demokrasi terpimpin, salah satunya adalah Presiden Soekarno membentuk sebuah lembaga
ekstra konstitusional, yaitu Front Nasional. Menurut Miriam Budiardjo, pembentukan Front
Nasional adalah bagian dari strategi Komunis Internasional (Komintern) untuk membentuk
sebuah negara yang berdasarkan poda “demokrasi rakyat”. Jadi Front Nasional yang dibentuk
oleh Presiden Soekarno itu kemudian menjadi lahan berpolitik bagi Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan tak bisa diutak-atik karena posisinya yang berada diluar konstitusi tetapi dilindungi
oleh presiden.

Demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno semakin menunjukkan


penyelewengan dan justru menjauhi konsep dan nilai demokrasi itu sendiri, bukan hanya
karena intervensi penuh pada lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga pembredelan
terhadap partai politik yang dianggap melawan Presiden Soekarno,
seperti Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan dan Soetan Sjahrir kemudian
dibuang ke Swiss sampai wafat pada 1966, begitupula dengan pers dan lembaga seni yang
bertentangan dengan Presiden Soekarno ataupun yang berkonflik dengan PKI, seperti Harian
Pandji Masjarakat dan para aktivis kebudayaan yang tergabung dalam Manikebujuga
dibredel. Selain itu pula Presiden Soekarno lebih mengutamakan kepada kebijakan politik
luar negeri yang disebut sebagai “Politik Mercusuar”, hal ini berimbas pada terabaikannya
sektor ekonomi nasional yang menyebabkan inflasi besar dan kemiskinan.

Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi
Bangsa Indonesia, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia atau G30S/PKI. Jumlah korban dalam peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1
perwira Angkatan Darat Indonesia saja, tetapi juga (diduga) jutaan orang komunis yang
sebenarnya tak tahu menahu tentang G30S/PKI ikut terbantai hampir diseluruh wilayah
Indonesia. G30S/PKI selain mengakhiri era demokrasi terpimpin, sekaligus juga mengawali
suatu fase kediktatoran baru, kediktatoran militer Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal
Soehartoatau yang disebut sebagai era demokrasi Pancasila.
3. Demokrasi Orde Baru / awal Demokrasi Pancasila (1965-1998)

Selain dalam hal pemerintahan, kecenderungan pada komunisme juga terjadi di era


demokrasi terpimpin, salah satunya adalah Presiden Soekarno membentuk sebuah lembaga
ekstra konstitusional, yaitu Front Nasional. Menurut Miriam Budiardjo, pembentukan Front
Nasional adalah bagian dari strategi Komunis Internasional (Komintern) untuk membentuk
sebuah negara yang berdasarkan poda “demokrasi rakyat”. Jadi Front Nasional yang dibentuk
oleh Presiden Soekarno itu kemudian menjadi lahan berpolitik bagi Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan tak bisa diutak-atik karena posisinya yang berada diluar konstitusi tetapi dilindungi
oleh presiden.

Demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno semakin menunjukkan


penyelewengan dan justru menjauhi konsep dan nilai demokrasi itu sendiri, bukan hanya
karena intervensi penuh pada lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga pembredelan
terhadap partai politik yang dianggap melawan Presiden Soekarno,
seperti Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan dan Soetan Sjahrir kemudian
dibuang ke Swiss sampai wafat pada 1966, begitupula dengan pers dan lembaga seni yang
bertentangan dengan Presiden Soekarno ataupun yang berkonflik dengan PKI, seperti Harian
Pandji Masjarakat dan para aktivis kebudayaan yang tergabung dalam Manikebujuga
dibredel. Selain itu pula Presiden Soekarno lebih mengutamakan kepada kebijakan politik
luar negeri yang disebut sebagai “Politik Mercusuar”, hal ini berimbas pada terabaikannya
sektor ekonomi nasional yang menyebabkan inflasi besar dan kemiskinan.

Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi
Bangsa Indonesia, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia atau G30S/PKI. Jumlah korban dalam peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1
perwira Angkatan Darat Indonesia saja, tetapi juga (diduga) jutaan orang komunis yang
sebenarnya tak tahu menahu tentang G30S/PKI ikut terbantai hampir diseluruh wilayah
Indonesia. G30S/PKI selain mengakhiri era demokrasi terpimpin, sekaligus juga mengawali
suatu fase kediktatoran baru, kediktatoran militer Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal
Soeharto atau yang disebut sebagai era demokrasi Pancasila.

Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan
kembali cita-cita demokrasi Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah
kekuasaan Presiden Soekarno selama masa demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu
yang dilakukan untuk menghapuskan kediktatoran Orde Lama adalah membatalkan
Ketetapan MPRS No. III/1963 yang berisi tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden
seumur hidup, dan jabatan presiden kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang elektif
(dipilih secara berkala) selama satu periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya
Ketetapan MPRS No.XIX/1966 yang isinya adalah untuk menentukan tinjauan kembali
terhadap produk-produk legislatif di masa Orde Lama, dan atas dasar Ketetapan MPRS itu,
Undang-Undang No.19/1964 diganti dengan Undang-Undang No.14/1970 yang isinya
mengembalikan independensi lembaga yudikatif. Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong(DPR-GR) juga dikembalikan hak dan fungsi kontrolnya terhadap
lembaga eksekutif dan Ketua DPR-GR tidak lagi menjadi seorang menteri dibawah Presiden,
tetapi memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden, selain itu hak Presiden untuk
mengintervensi Parlemen dicabut. Kebebasan pers dan seni juga dikembalikan, para tokoh
partai-partai politik yang dahulu di masa demokrasi terpimpin ditangkap dan diasingkan
dibebaskan, salah satunya Soetan Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal sebelum
sempat kembali ke Indonesia.

Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi
nasional yang terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi
asing sebesar-besarnya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan.
Salah satunya adalah Freeport-McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada
1967 untuk mengeksplorasi sumber daya emas di Papua(saat itu Irian Jaya).

Masa demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam politik, hal ini


dibuktikan dengan keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur,
yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang
merupakan tekad awal Orde Baru untuk membangun kembali demokrasi Indonesia, dan ini
telah diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tahun 1969, tepatnya satu tahun
setelah Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia pada 1968
atau dua tahun setelah dilantik sebagai Pejabat Presidenpada 1967 dan tiga tahun setelah
mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru yaitu;
menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah
tercipta sebuah pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan
mengekang kebebasan masyarakat, dan juga Golongan Karya berubah menjadi sebuah
organisasi politik yang dominan dalam politik Indonesia. Pemerintahan Presiden
Soehartosecara terang-terangan berubah menjadi sebuah rezim yang otoriter namun kali ini
bukan otoritarianisme sayap kiri seperti di era Soekarno, tetapi lebih kepada
kediktatoran junta militer, karena militer bisa dimana saja, menduduki jabatan-jabatan publik
yang strategis, yang seharusnya dalam demokrasi tidak boleh ada intevensi militer di
dalamnya.

Publik mulai menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam


penyelenggaraan pemilu yang diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi
partai yang menjadikan semua kelompok nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi
Indonesiadan seluruh golongan Islamis digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan,
sementara Golongan Karya tetap menjadi satu organisasi politik non-partai pada saat itu.
Kedudukan Golkar yang non-partai ternyata dijadikan kelebihan bagi Orde Baru, karena
hanya Golkar saja yang boleh memiliki pengurus hingga ke tingkat desa dan kelurahan, selain
itu pemerintah juga menerapkan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk
mewajibkan mereka memilih Golkar dalam setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang
disebut oleh Miriam Budiardjo sebagai ketidakadilan dalam sistem politik di masa demokrasi
Pancasila.

Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah merebaknya korupsi, kolusi,
dan nepotisme (disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat yang
kemudian menimbulkan masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir masa demokrasi
terpimpin. Akibatnya adalah kelompok-kelompok yang anti terhadap Presiden Soeharto
semakin menguat, terutama kelompok intelektual seperti mahasiswa dan pemuda. Kelompok
mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia dan juga organisasi-organisasi
mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi demonstrasi
menuntut agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena
terus menerus diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan
kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, Presiden Soeharto akhirnya
menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 atau yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang
sekaligus menandai akhir dari era demokrasi Pancasila Orde Baru

4. Demokrasi Pancasila Era Reformasi – Sekarang


Proses Reformasi politik di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei
1998 telah membuka peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik. Proses Reformasi itu terbagi dalam dua fase, yaitu:

1) Transisi Demokrasi

Proses transisi demokrasi atau proses demokratisasi di Indonesia dimulai ketika


terjadinya perpindahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B. J.
Habibie pada 21 Mei 1998. Disebut "transisi" karena pada fase inilah Indonesia
mengalami peralihan atau transisi sistem politik dari otoritarian menuju demokrasi,
transisi dari supremasi militer kepada supremasi sipil, transisi
dari sentralisasi ke desentralisasi, dan seterusnya, yang maknanya adalah Indonesia telah
beranjak meninggalkan sistem diktator dan sedang menuju perubahan sebagai negara
yang demokratis.

Tumbangnya Orde Baru telah membuka peluang terjadinya reformasi politik dan


proses demokratisasi di Indonesia. Pengalaman pada masa Orde Baru juga telah membuat
Indonesia menyadari bahwa demokrasi penting bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat,
oleh karenanya seluruh rakyat Indonesia pasca-1998 menaruh harapan bahwa proses
demokratisasi dibawah kepemimpinan Presiden Habibie dan Kabinet Reformasi
Pembangunan dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi lagi anomali transisi
demokrasi seperti dari Orde Lama ke Orde Baru.

Presiden Habibie yang dilantik menggantikan Presiden Soeharto kemudian


menjadi El Pilota del Cambio (dalam Bahasa Indonesia yang artinya "Sang Pilot
Perubahan - sebuah julukan bagi Raja Juan Carlos yang memimpin reformasi politik
di Spanyol pasca-Francisco Franco) memikul tanggungjawab besar untuk memulai
langkah-langkah demokratisasi dan meletakan fondasi-fondasi utama bagi
sistem demokrasi di Indonesia, seperti mempersiapkan pemilihan umum (pemilu) yang
demokratis dan membuat peraturan-peraturan, termasuk juga membebaskan para tahanan
politik Orde Baru. Di era transisi demokrasi ini terbentuk beberapa undang-undang baru,
misalkan seperti Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan
juga Undang-Undang tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
Lembaga Tertinggi Negara juga mengalami perubahan.

2) Konsolidasi Demokrasi
Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka selanjutnya adalah konsolidasi
atau pemantapan sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan, konsolidasi demokrasi
menjadi penting karena sering kali beberapa negara yang berusaha melakukan proses
demokratisasi justru gagal ditengah jalan karena proses transisinya yang tidak selesai atau
gagal dalam proses konsolidasi sebuah sistem yang demokratis, sehingga negara itu
kembali kepada sistem otoriter dan diperintah kembali oleh seorang diktator.

Konsep utama dari proses konsolidasi demokrasi menurut Andreas


Schedler adalah manakala ada suatu negara yang menghadapi stabilitas rezim, itu artinya
bahwa konsolidasi ditentukan oleh seberapa stabilnya rezim, dalam hal ini adalah
bagaimana konsolidasi demorkrasi menjadi berhasil bila stabilitas rezim yang demokratis
itu juga dapat terjaga. Menurut Guillermo O'Donnell, bila konsolidasi rezim itu sudah
tercapai, maka sudah kemungkinan besar stabilitas rezim juga akan dapat
berkelangsungan.

Dalam kasus proses konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi, rezim


baru dalam hal ini Presiden Habibie dan kelompok Reformis lainnya terutama para elit
politik yang tergabung dalam Kelompok Ciganjur(Amien Rais, Megawati Soekarnoputri,
dan Gus Dur) perlu mencapai sebuah konsensus atau kesepakatan bersama, Presiden
Habibiesebagai suksesor atau pengganti Soeharto kemudian bertindak mewakili rezim
lama, dan juga unsur-unsur yang meliputinya, seperti Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, Birokrat, dan Golongan Karya untuk dapat berdamai dengan unsur-unsur
kekuatan politik baru hasil reformasi, seperti mahasiswa dan tokoh-tokoh politik yang
menjadi oposan atau lawan dari unsur kekuatan politik lama. Bila proses konsolidasi tidak
melibatkan unsur-unsur kekuatan politik lama, terutama dari kalangan militer, maka yang
mungkin terjadi adalah militer akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan reformis
dan berusaha kembali mendirikan sebuah sistem junta militer, seperti yang dilakukan oleh
para perwira loyalis Franco di Spanyol yang dikenal dengan Gerakan F-23.

Namun beruntung bagi Indonesia - tidak seperti yang terjadi di Spanyol - karena


pihak militer yang saat itu dipimpin oleh Panglima Wiranto menerima proses reformasi
dan demokratisasi di Indonesia, hampir seluruh loyalis Presiden Soeharto yang duduk di
posisi-posisi penting setuju untuk melakukan konsolidasi demokrasi dengan
kelompok reformis, salah satu hasilnya adalah dihapusnya Dwifungsi ABRI (tentara
sebagai alat pertahanan sekaligus sosial-politik) dan dipecahnya Kepolisian Republik
Indonesiadari ABRI, dan ABRI sendiri kemudian berganti nama menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI).

Tantangan Demokrasi

Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga didukung dengan pertumbuhan


ekonomi yang membaik pasca reformasi setidaknya dalam ekonomi makro, seperti
pertumbuhan investasi, kerjasama perdagangan luar negeri, dan sebagainya. Tetapi yang
menjadi tantangan adalah kebangkitan ekonomi makro di Indonesia ternyata tidak sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi mikro, perekonomian rakyat dari kalangan menengah ke
bawah belum cukup terasa. 

Bila demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila selalu


menemui tantangan politik, salah satunya kemunculan rezim diktator. Maka di era reformasi
ini, sektor ekonomi yang menjadi tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi di
Indonesia,sekaligus menentukan kemanakah arah demokrasi Indonesia pasca-Reformasi.

Anda mungkin juga menyukai