KEWARGANEGARAAN G
“Sejarah Demokrasi Indonesia”
DISUSUN OLEH :
NIM : 5190411345
2021
1. Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Keberlanjutan dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban
Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Usulan dari BPKNIP itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November
1945. Dengan demikian, maka secara otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu
bukan lagi presidensial, tetapi menjadi parlementer.
Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada
21 Februari 1957 yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu
dikemukakan dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan
perwira angkatan bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara lain:
1) Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi terpimpin.
2) Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang
diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”.
3) Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai
penasehat Presiden.
Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, puncaknya adalah
pada 2 Maret 1957, lima partai yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik,
dan PRI mengeluarkan pernyataan menolak konsepsi Soekarno. Sementara PKI satu-satunya
yang mendukung penuh konsepsi Soekarno itu dan sebagian besar anggota PNI (yang
nantinya akan menjadi PNI Ali-Soerachman).
Meskipun Konsepsi Presiden itu bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik
yang ada dan menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi pada praktiknya, Presiden
Soekarno kemudian berusaha menciptakan sebuh sistem kediktatoran yang diatasnamakan
demokrasi terpimpin. Pada periode ini pula kepemimpinan Dwitunggal bubar, Mohammad
Hatta memilih untuk berada diluar pemerintahan dan menjadi tokoh yang
mengkritik Soekarno dengan tulisan-tulisan dan menganggap Soekarno telah berubah
menjadi seorang diktator sejak 1956.
Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik
nasional, karena dapat mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima
tahun, namun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS
No. III/1963yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu
sekaligus melangkahi batasan kedudukan seorang presiden dan menjadikan Soekarno sebagai
seorang diktator. Hal ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan konstitusi dan demokrasi
di era demokrasi terpimpin.
Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi
Bangsa Indonesia, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia atau G30S/PKI. Jumlah korban dalam peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1
perwira Angkatan Darat Indonesia saja, tetapi juga (diduga) jutaan orang komunis yang
sebenarnya tak tahu menahu tentang G30S/PKI ikut terbantai hampir diseluruh wilayah
Indonesia. G30S/PKI selain mengakhiri era demokrasi terpimpin, sekaligus juga mengawali
suatu fase kediktatoran baru, kediktatoran militer Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal
Soehartoatau yang disebut sebagai era demokrasi Pancasila.
3. Demokrasi Orde Baru / awal Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi
Bangsa Indonesia, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia atau G30S/PKI. Jumlah korban dalam peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1
perwira Angkatan Darat Indonesia saja, tetapi juga (diduga) jutaan orang komunis yang
sebenarnya tak tahu menahu tentang G30S/PKI ikut terbantai hampir diseluruh wilayah
Indonesia. G30S/PKI selain mengakhiri era demokrasi terpimpin, sekaligus juga mengawali
suatu fase kediktatoran baru, kediktatoran militer Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal
Soeharto atau yang disebut sebagai era demokrasi Pancasila.
Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan
kembali cita-cita demokrasi Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah
kekuasaan Presiden Soekarno selama masa demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu
yang dilakukan untuk menghapuskan kediktatoran Orde Lama adalah membatalkan
Ketetapan MPRS No. III/1963 yang berisi tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden
seumur hidup, dan jabatan presiden kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang elektif
(dipilih secara berkala) selama satu periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya
Ketetapan MPRS No.XIX/1966 yang isinya adalah untuk menentukan tinjauan kembali
terhadap produk-produk legislatif di masa Orde Lama, dan atas dasar Ketetapan MPRS itu,
Undang-Undang No.19/1964 diganti dengan Undang-Undang No.14/1970 yang isinya
mengembalikan independensi lembaga yudikatif. Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong(DPR-GR) juga dikembalikan hak dan fungsi kontrolnya terhadap
lembaga eksekutif dan Ketua DPR-GR tidak lagi menjadi seorang menteri dibawah Presiden,
tetapi memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden, selain itu hak Presiden untuk
mengintervensi Parlemen dicabut. Kebebasan pers dan seni juga dikembalikan, para tokoh
partai-partai politik yang dahulu di masa demokrasi terpimpin ditangkap dan diasingkan
dibebaskan, salah satunya Soetan Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal sebelum
sempat kembali ke Indonesia.
Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi
nasional yang terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi
asing sebesar-besarnya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan.
Salah satunya adalah Freeport-McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada
1967 untuk mengeksplorasi sumber daya emas di Papua(saat itu Irian Jaya).
Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah
tercipta sebuah pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan
mengekang kebebasan masyarakat, dan juga Golongan Karya berubah menjadi sebuah
organisasi politik yang dominan dalam politik Indonesia. Pemerintahan Presiden
Soehartosecara terang-terangan berubah menjadi sebuah rezim yang otoriter namun kali ini
bukan otoritarianisme sayap kiri seperti di era Soekarno, tetapi lebih kepada
kediktatoran junta militer, karena militer bisa dimana saja, menduduki jabatan-jabatan publik
yang strategis, yang seharusnya dalam demokrasi tidak boleh ada intevensi militer di
dalamnya.
Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah merebaknya korupsi, kolusi,
dan nepotisme (disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat yang
kemudian menimbulkan masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir masa demokrasi
terpimpin. Akibatnya adalah kelompok-kelompok yang anti terhadap Presiden Soeharto
semakin menguat, terutama kelompok intelektual seperti mahasiswa dan pemuda. Kelompok
mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia dan juga organisasi-organisasi
mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi demonstrasi
menuntut agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena
terus menerus diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan
kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, Presiden Soeharto akhirnya
menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 atau yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang
sekaligus menandai akhir dari era demokrasi Pancasila Orde Baru
1) Transisi Demokrasi
2) Konsolidasi Demokrasi
Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka selanjutnya adalah konsolidasi
atau pemantapan sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan, konsolidasi demokrasi
menjadi penting karena sering kali beberapa negara yang berusaha melakukan proses
demokratisasi justru gagal ditengah jalan karena proses transisinya yang tidak selesai atau
gagal dalam proses konsolidasi sebuah sistem yang demokratis, sehingga negara itu
kembali kepada sistem otoriter dan diperintah kembali oleh seorang diktator.
Tantangan Demokrasi