Anda di halaman 1dari 59

DRAFT HASIL PERBAIKAN KEMENKO

BID. PEREKONOMIAN
27 AGUSTUS 2019

DRAFT RANCANGAN
UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/


BADAN PERTANAHAN NASIONAL
AGUSTUS 2019
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN ....
TENTANG
PERTANAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik


Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi
seluruh bangsa Indonesia, merupakan sumber daya
alam yang terbatas dan merupakan kebutuhan dasar
manusia, yang mempunyai nilai perekat bangsa,
ekonomi, sosial, budaya, religius serta ekologis, yang
harus digunakan untuk mewujudkan keadilan dalam
pemilikan dan penguasaan tanah dalam rangka
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat;
b. bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat;
c. bahwa dalam rangka mewujudkan sistem pertanahan
nasional yang utuh dan terpadu serta untuk
melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
diperlukan penataan kembali struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dan
percepatan penyelesaian sengketa dan konflik
pertanahan, dalam mengelola sumber daya agraria
untuk sebesar besar kemakmuran rakyat sesuai
dengan prinsip-prinsip Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pertanahan;
Mengingat : 1. Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28I ayat
(3), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran,
penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan
data mengenai tanah termasuk ruang di atas dan di bawah tanah
dengan batasan tertentu, serta urusan pemerintahan yang terkait
dengan perumusan kebijakan, perencanaan, pengaturan, pengelolaan,
dan pengendalian mengenai tanah.
2. Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang
tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam
batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung
maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan
permukaan bumi.
3. Tanah Negara adalah Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dan/atau tidak dilekati dengan sesuatu hak atas Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
4. Tanah Ulayat adalah tanah persekutuan yang berada di wilayah
masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada.
5. Hak Menguasai Negara adalah kewenangan negara sebagai organisasi
kekuasaan yang mewakili bangsa Indonesia untuk merumuskan
kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan
pengawasan yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
7. Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.
8. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang selanjutnya disebut Hak Milik
Sarusun adalah hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat
perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama.
9. Hak Ulayat adalah hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat
komunal untuk menguasai, mengelola dan/atau memanfaatkan, serta
melestarikan wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat
yang berlaku.
10. Hak Atas Tanah adalah hak yang timbul dari hubungan hukum antara
pemegang hak dengan Tanah, ruang di atas Tanah, dan/atau ruang di
bawah Tanah untuk menguasai, memiliki, menggunakan, dan
memanfaatkan, serta memelihara Tanah, ruang di atas Tanah, dan/atau
ruang di bawah Tanah.
11. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang
memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun temurun di
wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur
dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau
benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata
adat dan norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
12. Sistem Informasi Pertanahan dan Kawasan Terpadu adalah sistem
informasi yang memuat data dan informasi batas hak, batas perizinan
dan batas kawasan serta batas administrasi wilayah di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019
13. Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah yang lebih berkeadilan
melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk
kemakmuran rakyat Indonesia.
14. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA adalah
Tanah yang dikuasai oleh negara untuk didistribusikan atau
diredistribusikan dalam rangka Reforma Agraria.
15. Bank Tanah adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang
melaksanakan kegiatan perolehan, pengelolaan, penyediaan Tanah
secara nasional dan terpadu.
16. Lembaga Penjamin adalah lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah yang memberikan jaminan kepada pembayar premi apabila
terjadi sesuatu (risiko) yang menimpa pihak pertama atau barang
miliknya sesuai perjanjian.
17. Pengadilan Pertanahan adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memberi putusan terhadap perkara Pertanahan.
18. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah
pusat yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pertanahan
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
19. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
21. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria, pertanahan dan penataan ruang.
22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang agraria, pertanahan dan penataan ruang.

Pasal 2
Undang-Undang ini dilaksanakan berdasarkan asas:
a. kebangsaan;
b. kenasionalan;
c. pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat;
d. fungsi sosial, ekologis, ekonomi yang berkeadilan, dan kemanfaatan
Tanah secara optimal;
e. kepastian hukum, keadilan, dan pemanfaatan Tanah;
f. keanekaragaman dalam kesatuan hukum;
g. perencanaan dalam penggunaan Tanah; dan
h. asas umum pemerintahan yang baik.

BAB II
HUBUNGAN NEGARA, KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT, DAN ORANG
DENGAN TANAH

Bagian Kesatu
Hubungan Negara dengan Tanah

Pasal 3
(1) Negara menyelenggarakan hak menguasai negara yang memberikan
kewenangan untuk merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan,
pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan dalam rangka mewujudkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kewenangan atas tanah, ruang, dan kawasan yang merupakan
satu kesatuan penataan ruang.
(3) Penyelenggaraan hak menguasai dari negara atas tanah, ruang dan
kawasan dalam satu kesatuan penataan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) merupakan kewenangan Presiden.
(4) Pelaksanaan kewenangan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang bersifat teknis dapat didelegasikan kepada menteri sesuai dengan
tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak menguasai dari negara dan
pendelegasian kewenangan diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga
Hubungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Tanah

Pasal 4
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui dan melindungi Hak Ulayat
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atas Tanah di wilayahnya yang masih
berlangsung dan sepanjang masih ada sesuai dengan kriteria tertentu.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur
adanya:
a. masyarakat dan lembaga Hukum Adat;
b. wilayah tempat Hak Ulayat berlangsung;
c. hubungan, keterkaitan, dan ketergantungan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat dengan wilayahnya; dan
d. kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan
tanah di wilayah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan, berdasarkan hukum adat yang berlaku dan ditaati
masyarakatnya.
(3) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c harus memenuhi syarat:
a. secara nyata masih hidup baik yang bersifat teritorial, genealogis,
maupun yang bersifat fungsional;
b. sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
c. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Pengukuhan keberadaan Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019
Masukan Kementerian LHK
(5) Kewenangan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan hukum adat setempat dan tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5
Pengukuhan keberadaan Hak Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (4) dilaksanakan setelah penetapan batas-batas wilayah tanah Hak Ulayat
dimaksud dan pengukuran serta pemetaannya secara kadastral, untuk
kawasan yang bukan merupakan kawasan hutan.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019
Masukan Kementerian LHK
Pasal 6
Pemberian Hak Atas Tanah kepada perorangan atau badan hukum di wilayah
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dilakukan setelah memperoleh pelepasan
menjadi Tanah Negara dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan
tata cara hukum adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.

Pasal 7
Hak Atas Tanah yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib
didaftarkan pada Kementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Keempat
Hubungan Hukum antara Orang dengan Tanah

Pasal 8
(1) Dalam rangka ketertiban dan kepastian hukum atas Tanah, Pemerintah
menetapkan Hak Atas Tanah.
(2) Hak Atas Tanah yang terjadi melalui penetapan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Hak Atas Tanah berdasarkan
keputusan pemberian hak oleh Pemerintah yang berasal dari Tanah
Negara, tanah Hak Milik, dan tanah Hak Pengelolaan.
(3) Dalam hal Hak atas Tanah dan Hak Pengelolaan terdapat kandungan
minyak dan gas, mineral, dan batu bara serta energi baru terbarukan,
maka kandungan tersebut menjadi kekayaan negara yang merupakan
kewenangan kementerian/lembaga yang membidangi urusan
pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019

(4) Dalam rangka pendaftaran Tanah pertama kali bagi pemilik perorangan
untuk kegiatan program pemerintah, beban bea perolehan hak atas tanah
dan Bangunan dan pajak penghasilan dapat dikenai pajak terhutang atau
pembebasan pajak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pajak terhutang, pembebasan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pajak penghasilan diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1) Semua Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
menimbulkan hak, batasan dan kewajiban.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menguasai, memiliki,
menggunakan, atau memanfaatkan Tanah.
(3) Batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sesuai dengan rencana tata ruang;
b. batas kedalaman sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. menjaga batas tanahnya, memelihara kemampuan fisik dan
kelestarian Tanah, serta tidak menelantarkan tanahnya, dan tidak
menutup akses warga masyarakat terhadap pihak lain untuk
melewati bagian dari bidang Hak Atas Tanah.
b. tidak menutup akses warga masyarakat untuk melewati bagian dari
bidang Hak Atas Tanah dikecualikan jika berkaitan dengan aspek
keselamatan, pertahanan, dan keamanan.
c. tidak menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang
melaksanakan tugas pada bidang Tanah miliknya; dan
d. memenuhi kewajiban lainnya yang ditentukan dalam keputusan
penetapan haknya.

BAB III
HAK ATAS TANAH DAN HAK PENGELOLAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 10
(1) Penguasaan dan pemilikan tanah tidak mencakup penguasaan dan
pemilikan atas bangunan, tanaman, dan benda lain yang berkaitan
dengan Tanah di atas dan/atau di bawahnya.
(2) Penguasaan dan pemilikan Tanah dapat mencakup juga bangunan,
tanaman, dan benda lain yang berkaitan dengan Tanah di atas dan/atau
di bawahnya, jika:
a. secara fisik antara Tanah dengan bangunan, tanaman, dan benda
dimaksud menjadi satu kesatuan; dan/atau
b. Tanah, bangunan, tanaman, dan benda dimaksud dipunyai oleh
pemegang hak yang sama.
(3) Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dapat diberikan hak atas tanah pada ruang di atas tanah dan/atau ruang
di bawah tanah sesuai rencana tata ruang.
(4) Pengaturan hak atas tanah, hak pengelolaan, dan ruang dapat dikenakan
kebijakan insentif dan disinsentif.

Pasal 11
(1) Setiap peruntukan dan penggunaan Hak Atas Tanah harus
menyesuaikan dengan rencana tata ruang.
(2) Setiap orang dilarang mendaftarkan tanahnya dengan menggunakan
nama orang lain yang bukan pemiliknya.
(3) Setiap orang dilarang menggunakan dan memanfaatkan Tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah.
(4) Dalam rangka menjamin kepastian hukum, setiap penguasaan dan
pemilikan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh Pemerintah
diberikan dengan sesuatu Hak Atas Tanah dan diterbitkan sertipikat
tanda bukti Hak Atas Tanah.
(5) Jangka waktu berlakunya Hak Atas Tanah ditetapkan berdasarkan sifat
dan tujuan serta peruntukan dan penggunaan Tanah secara optimal
sesuai dengan keputusan pemberian Hak Atas Tanah.
Pasal 12
(1) Pemerintah menentukan batas maksimum penguasaan dan pemilikan
Tanah oleh orang, baik orang perorangan, badan hukum maupun
gabungan beberapa badan hukum yang berada dalam satu pengendalian,
baik Tanah pertanian maupun Tanah non-pertanian.
(2) Pembatasan penguasaan atau pemilikan Tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan, dengan memperhatikan:
a. skala ekonomi;
b. partisipasi masyarakat yang lebih luas; dan
c. kepentingan strategis nasional.
(3) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
luas yang dapat menjamin pemerataan penguasaan dan pemilikan Tanah
dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, luas daerah, ketersediaan
kawasan budidaya di setiap kabupaten/kota sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal penguasaan dan pemilikan Tanah melebihi batas maksimum,
maka pemegang hak atas tanah melepaskan kelebihan atas tanahnya
kepada Negara atau dikenakan pajak atas kelebihan Tanah dimaksud.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas maksimum, insentif dan disinsentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 13
(1) Setiap tanah pertanian yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian
pangan berkelanjutan wajib dipertahankan keberadaan dan fungsinya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Menteri mendaftarkan lahan pertanian pangan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 14
Setiap orang dilarang menguasai dan memanfaatkan Hak Atas Tanah yang
bertujuan spekulatif.

Pasal 15
(1) Penggunaan dan pemanfaatan Tanah dapat dilakukan sendiri oleh
pemegang Hak Atas Tanah atau dapat dikerjasamakan dengan pihak lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk
koperasi, badan usaha, atau usaha kemitraan lainnya untuk memberikan
jaminan perlindungan hukum.

Pasal 16
Dalam hal terjadi perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan
perubahan nilai tanah terhadap pemegang hak atas tanah, maka pemerintah
mengatur insentif dan disinsentif melalui Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Jenis Hak Atas Tanah

Pasal 17
Hak Atas Tanah terdiri atas:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan; dan
d. Hak Pakai.

Paragraf 1
Hak Milik

Pasal 18
(1) Hak Milik tidak dibatasi jangka waktunya dan dapat menjadi induk dari
Hak Atas Tanah lain.
(2) Hak Milik dapat diberikan di atasnya dengan Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha dan Hak Pakai dengan jangka waktu.
(3) Pemberian Hak Atas Tanah di atas Hak Milik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan akta pemberian Hak Atas Tanah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat pemberian Hak Atas
Tanah di atas Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
(1) Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh:
a. warga negara Indonesia; dan
b. badan hukum tertentu.
(2) Badan hukum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. bank yang didirikan oleh Negara;
b. koperasi;
c. badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri, setelah mendapat
rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang
keagamaan; dan
d. badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri setelah mendapat
rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial.
(3) Badan hukum tertentu yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dalam jangka waktu
1 (satu) tahun harus mengajukan permohonan perubahan Hak Milik
menjadi Hak Atas Tanah sesuai dengan penggunaannya.
(4) Badan hukum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Hak
Miliknya hapus dan tanahnya dikuasai langsung oleh negara serta
pengaturan, penggunaan dan pemanfaatan Tanah selanjutnya menjadi
kewenangan Menteri.
Pasal 20
(1) Hak Milik terjadi karena penetapan Pemerintah:
(2) Hak Milik yang terjadi karena penetapan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui keputusan pemberian hak, berlaku
terhadap Tanah yang dikuasai langsung oleh negara atas dasar
permohonan Hak Atas Tanah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat pemberian Hak
Milik diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
(1) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), serta dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
(2) Peralihan Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui jual beli, penukaran, penghibahan, penyertaan modal, pemberian
dengan wasiat, pemberian menurut hukum adat, dan perbuatan lain yang
dimaksudkan sebagai pemindahan Hak Atas Tanah.

Pasal 22
(1) Hak Milik yang tidak dikuasai, digunakan dan dimanfaatkan oleh
pemegang haknya, dan dimanfaatkan oleh pihak lain secara itikad baik
mengakibatkan hak milik hapus dan tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara serta dapat diajukan permohonan oleh
pihak yang menguasai.
(2) Pemberian hak kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan syarat pemanfaatan Tanah telah berlangsung paling sedikit 20
(dua puluh) tahun.

Paragraf 2
Hak Guna Usaha

Pasal 23
(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk kegiatan usaha pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, dan tambak.
(2) Pemberian Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan keputusan pemberian hak di atas Tanah Negara, Hak
Pengelolaan, atau Hak Milik.
(3) Dalam hal Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di kawasan
hutan, pemberian Hak Guna Usaha dilakukan setelah pelepasan kawasan
hutan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kehutanan.
(4) Tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) penggunaan dan pemanfaatannya ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 24
(1) Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada:
a. Warga Negara Indonesia; dan
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
(2) Dalam hal pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
melepaskan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara asing,
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak kehilangan kewarganegaraan
Indonesia, harus melepaskan atau mengalihkan hak kepada pihak lain
yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha.
(3) Penerima peralihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mendaftarkan kembali haknya.
(4) Dalam hal Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, maka Hak
Guna Usaha dimaksud hapus karena hukum menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, dan pengelolaannya dilaksanakan oleh
Menteri.
(5) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b bubar, pihak pengelola aset badan hukum diberi jangka waktu 1
(satu) tahun sejak tanggal pembubaran untuk mengalihkan hak kepada
pihak lain yang memenuhi syarat.
(6) Hak Guna Usaha yang tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hapus karena
hukum.

Pasal 25
(1) Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak yang
memenuhi syarat.
(2) Dalam hal Hak Guna Usaha beralih dan dialihkan kepada pihak yang
tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak, terhadap pihak yang
menerima peralihan berlaku ketentuan Pasal 24 ayat (4) dan ayat (5).
(3) Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.

Pasal 26
(1) Hak guna usaha diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 (tiga
puluh lima) tahun.
(2) Dalam hal memenuhi ketentuan dan persyaratan, hak guna usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang satu kali, paling
lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
(3) Badan Usaha Milik Negara dapat diberikan kekhususan dalam hal
permohonan dan perpanjangan Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Menteri dapat memberikan perpanjangan yang kedua dengan jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(5) Pemberian perpanjangan yang kedua oleh Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. umur tanaman;
b. jenis investasi (jangka panjang atau pendek); dan
c. daya tarik investasi.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019
(6) Dalam hal hak guna usaha diberikan atas Tanah Negara, maka pemegang
hak wajib menyediakan Tanah untuk pekebun atau petani atau petambak
plasma di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi hak guna usaha,
yang luasnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah yang
diberikan dengan prinsip ekonomi berkeadilan.
(7) Dalam hal luas Hak Guna Usaha tidak mencapai nilai ekonomis maka
kewajiban menyediakan plasma dapat diberikan dalam bentuk lain yang
ditetapkan oleh Menteri.
(8) Dalam hal jangka waktu Hak Guna Usaha telah berakhir dan tidak
diperpanjang atau jangka waktu perpanjangan telah berakhir maka:
a. status Tanah menjadi Tanah yang dikuasai oleh Negara yang
penggunaan dan pemanfaatannya diatur oleh Menteri;
b. hak keperdataan bekas pemegang Hak Atas Tanah menjadi hapus;
dan
c. pengaturan, penggunaan dan pemanfaatan Tanah selanjutnya
menjadi kewenangan Menteri.
(9) Tanah hak guna usaha dapat digunakan untuk emplasemen, bangunan
pabrik, gudang, tempat tinggal sementara karyawan, dan bangunan
lainnya yang menunjang kegiatan usaha.
(10) Dalam hal pemegang hak guna usaha menguasai fisik melebihi luasan
pemberian haknya maka status tanahnya hapus dan menjadi Tanah yang
dikuasai oleh Negara yang penggunaan dan pemanfaatannya diatur oleh
Menteri.

Pasal 27
(1) Setiap Hak Guna Usaha yang diberikan kepada orang, badan hukum atau
kelompok badan hukum memiliki batasan luas.
(2) Batasan luas Hak Guna Usaha yang diberikan untuk 1 (satu) badan
hukum atau kelompok badan hukum yang saham mayoritasnya dikuasai
oleh 1 (satu) orang/kelompok badan hukum atau badan hukum yang
terafiliasi dalam kelompok badan hukum yang sahamnya dikuasai oleh 1
(satu) orang atau lebih, ditetapkan oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan luas diatur dengan Peraturan
Menteri.

Paragraf 3
Hak Guna Bangunan

Pasal 28
(1) Hak guna bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.
(2) Hak guna bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dengan:
a. keputusan pemberian hak jika tanahnya berasal dari Tanah Negara
atau Tanah Hak Pengelolaan;
b. perjanjian pemberian hak jika tanahnya diberikan di atas Tanah hak
milik;
c. perubahan hak karena penyesuaian rencana tata ruang.
(3) Dalam hal Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berada di
kawasan hutan, pemberian hak guna bangunan dilakukan setelah
pelepasan kawasan hutan oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
(4) Dalam hal tanah yang akan diberikan hak guna bangunan berada di atas
hak ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, maka pemberian hak guna
bangunan dilakukan oleh Pemerintah setelah memperoleh persetujuan
tertulis dari Masyarakat Hukum Adat.
(5) Dalam hal pendirian bangunan merupakan bagian dari keperluan
pelaksanaan hak guna usaha, terhadap penguasaan dan pemanfaatan
Tanahnya tidak diperlukan pemberian hak guna bangunan.

Pasal 29
(1) Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia;
(2) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b bubar, pihak pengelola aset badan hukum diberi jangka waktu 1
(satu) tahun sejak tanggal pembubaran badan hukum untuk mengalihkan
hak kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
(3) Hak guna bangunan yang tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hapus karena
hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Warga negara asing yang dapat memiliki
satuan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 30
(1) Setiap Hak Guna Bangunan yang diberikan kepada orang, badan hukum
atau kelompok badan hukum memiliki batasan luas.
(2) Batasan luas Hak Guna Bangunan yang diberikan untuk 1 (satu) badan
hukum atau kelompok badan hukum yang saham mayoritasnya dikuasai
oleh 1 (satu) orang/kelompok badan hukum atau badan hukum yang
terafiliasi dalam kelompok badan hukum yang sahamnya dikuasai oleh 1
(satu) orang atau lebih, ditetapkan oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan luas diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 31
(1) Hak guna bangunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 (tiga
puluh lima) tahun.
(2) Dalam hal memenuhi ketentuan dan persyaratan, hak guna bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 35
(tiga puluh lima) tahun.
(3) Menteri dapat memberikan perpanjangan yang kedua dengan jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(4) Pemberian perpanjangan yang kedua oleh Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. umur konstruksi;
b. jenis investasi (jangka panjang atau pendek); dan
c. daya tarik investasi.

Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019


(5) Ketentuan mengenai perpanjangan kedua sebagaimana pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32
(1) Hak guna bangunan yang diberikan di atas Tanah yang dikuasai oleh
negara dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
(2) Hak guna bangunan yang diberikan di atas tanah hak milik dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan apabila
diperjanjikan dengan dan/atau disetujui oleh pemilik tanahnya.

Paragraf 4
Hak Pakai

Pasal 33
(1) Hak Pakai terdiri dari:
a. Hak Pakai dengan jangka waktu; dan
b. Hak Pakai selama digunakan.
(2) Hak Pakai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a merupakan Hak Atas Tanah dengan jangka waktu tertentu yang
diberikan untuk Tanah dan/atau pemegang hak yang tidak dapat
diberikan dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan,
yang penggunaannya:
a. mendirikan bangunan; dan/atau
b. melakukan kegiatan usaha pertanian, perkebunan, peternakan,
pertambakan, budidaya perikanan, atau rumput laut berdasarkan
pada penggunaan Tanah.
(3) Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b diberikan sesuai fungsi dan tujuan pemberian haknya atau untuk
mendukung tugas dan fungsi pemerintah.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019

Pasal 34
(1) Hak pakai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) huruf a dapat diberikan kepada:
a. warga negara indonesia;
b. warga negara asing pemegang izin tinggal di Indonesia;
Hasil rapat Menko, 27 Agustus 2019
c. badan hukum Indonesia; dan
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, dan
tunduk kepada hukum Indonesia.
(2) Hak pakai untuk warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, diberikan untuk tempat tinggal atau hunian, berupa rumah
tunggal.
(3) Ketentuan warga negara asing yang dapat mempunyai hak pakai atas
tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai dengan jangka waktu,
adalah tanah di atas:
a. Tanah Negara;
b. Tanah Hak Pengelolaan;
c. Tanah hak milik; dan
(5) Hak pakai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) huruf a yang digunakan untuk:
a. mendirikan bangunan diberikan dengan luas paling sedikit sesuai
dengan kebutuhannya dan paling banyak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. kegiatan usaha pertanian, perkebunan, peternakan, pertambakan,
budi daya perikanan atau rumput laut yang berdasar pada
penggunaan Tanah diberikan dengan luas paling banyak 5 (lima)
hektar.
(6) Hak Pakai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) huruf a diberikan dengan:
a. keputusan pemberian hak jika tanahnya berasal dari Tanah negara;
b. perjanjian pemberian hak jika berada di atas Tanah Hak Milik, dan
selanjutnya diterbitkan keputusan pemberian hak atas tanahnya;
c. persetujuan tertulis dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat jika
Tanahnya berada di wilayah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat; dan
d. persetujuan tertulis dari pemegang Tanah Hak Pengelolaan dalam hal
tanahnya merupakan Tanah Hak Pengelolaan.
(7) Pemberian hak pakai dengan jangka waktu untuk kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus memenuhi syarat
kepemilikan modal yang besarannya setara dengan luas Tanah yang
dimohon.

Pasal 35
(1) Hak pakai dengan jangka waktu diberikan selama jangka waktu 25 (dua
puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali jangka waktu
25 (dua puluh lima) tahun.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberikan perpanjangan yang
kedua dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(3) Pemberian perpanjangan yang kedua oleh Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. umur tanaman;
b. umur konstruksi;
c. jenis investasi (jangka panjang atau pendek); dan/atau
d. daya tarik investasi.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019

Pasal 36
(1) Hak pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) huruf b diberikan kepada:
a. instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. perwakilan negara asing dan lembaga internasional; atau
c. badan keagamaan dan sosial.
(2) Hak pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) huruf b diberikan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi
pemegang hak dalam rangka pelayanan publik.
(3) Hak pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) huruf b dapat dilepaskan dan dialihkan dengan cara tukar bangun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pakai dengan jangka waktu dan hak
pakai selama digunakan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5
Perpanjangan Hak Atas Tanah

Pasal 37
(1) Hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dapat diperpanjang
atas permohonan pemegang hak.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
paling lama 5 (lima) tahun sebelum jangka waktu hak atas tanahnya
berakhir.
(3) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam
hal:
a. masih sesuai dengan rencana tata ruang;
b. penggunaan dan pemanfaatan Tanah masih sesuai dengan tujuan
pemberian hak; dan
c. memenuhi persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal jangka waktu perpanjangan hak atas tanah telah berakhir,
status tanah kembali menjadi Tanah yang dikuasai langsung oleh negara
dan pengaturan, penggunaan dan pemanfaatan tanah selanjutnya
menjadi kewenangan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketiga
Hak Milik Sarusun

Pasal 38
(1) Hak Milik Sarusun dapat diberikan kepada:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia;
c. warga negara asing;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; dan
e. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau
mempunyai perwakilan di Indonesia
(2) Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
a. hak milik;
b. hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak milik;
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah Negara; atau
d. hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah Hak Pengelolaan.
(3) Hak Milik Sarusun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan.
(4) Hak Milik Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Pemberian Hak Guna Bangunan bagi rumah susun dapat diberikan
sekaligus dengan perpanjangan haknya, setelah mendapat sertifikat layak
fungsi.

Bagian Keempat
Penggunaan Ruang di Atas Tanah dan Ruang di Bawah Tanah

Pasal 39
(1) Tanah yang berada pada ruang atas dan/atau bawah Tanah dapat
diberikan Hak Atas Tanah.
(2) Batas kepemilikan Tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas
tanahnya diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien
lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Batas kepemilikan Tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak
atas tanahnya diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Penggunaan dan pemanfaatan Tanah pada ruang atas dan/atau bawah
Tanah oleh pemegang hak yang berbeda, dapat diberikan Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai.
(5) Pemberian Hak Atas Tanah yang berbeda sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), hak penggunaannya berupa:
a. Hak Guna Bangunan pada ruang bawah Tanah; atau
b. Hak Pakai pada ruang bawah Tanah.
(6) Kewenangan dari masing-masing hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), berlaku mutatis-mutandis dengan kewenangan yang terdapat dalam
Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(7) Hak atas tanah yang diberikan pada ruang di bawah tanah dikecualikan
untuk kegiatan usaha bidang minyak dan gas, mineral, dan batu bara
serta energi baru terbarukan,
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019
Dalam Penjelasan
Yang dimaksud dengan “dikecualikan” yaitu pengecualian pemberian hak atas
tanah pada ruang bawah tanah selain untuk usaha bidang minyak dan gas,
mineral, dan batu bara serta energi baru terbarukan juga termasuk
infrastruktur pendukungnya.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Tanah pada ruang atas
Tanah dan/atau ruang di bawah Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Presiden.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019

Bagian Kelima
Peralihan Hak Atas Tanah

Pasal 40
(1) Hak Atas Tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak yang
memenuhi syarat.
(2) Dalam hal peralihan Hak atas Tanah kepada penerima hak yang tidak
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah dan/atau tidak sesuai
peruntukan pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, penerima hak wajib mengalihkan haknya kepada perorangan
atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas
tanah atau menyesuaikan dengan jenis hak atas tanah yang sesuai dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak memperoleh hak atas tanah.
(3) Dalam hal penerima hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
Warga Negara Indonesia yang melepaskan kewarganegaraan Indonesia
dan menjadi warga negara asing, maka dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak kehilangan kewarganegaraan Indonesia, wajib melepaskan
atau mengalihkan hak kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai
pemegang Hak Atas Tanah.
(4) Penerima peralihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib mendaftarkan kembali haknya.
(5) Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3)
hak Atas tanah tidak dialihkan atau disesuaikan, maka karena hukum
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dan pengelolaannya
dilaksanakan oleh Menteri.
(6) Pewarisan Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
penerima hak selain yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a
dapat dilaksanakan jika penerima warisan dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak memperoleh Hak Milik menjadi warga negara Indonesia atau
mengalihkan hak kepada perseorangan, atau badan hukum yang
memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik.
(7) Hak Milik akan hapus dan Tanah kembali dalam penguasaan negara jika
penerima warisan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6).
Bagian Keenam
Hapusnya Hak Atas Tanah

Pasal 41
(1) Hak Atas Tanah hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir bagi Hak Atas Tanah dengan jangka waktu
tertentu
b. dibatalkan oleh Pemerintah;
c. dilepaskan oleh pemegang hak;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan oleh pemegang haknya;
f. tanahnya musnah;
g. melanggar ketentuan sebagai subyek Hak Atas Tanah; atau
h. tidak diperpanjang hak atas tanah yang akan atau sudah berakhir
jangka waktunya karena Pemerintah merencanakan peruntukan
tanah tersebut untuk kepentingan lain.
(2) Hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf g mengakibatkan Tanahnya jatuh kepada negara berikut hak
atas bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan Tanah
yang ada di atasnya.
(3) Hapusnya hak karena dibatalkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, karena:
a. cacat administrasi;
b. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang amar putusannya membatalkan hak atas tanah atau serupa
dengan itu; atau
c. rechtsverwerking.
(4) Dalam hal tanah yang dibatalkan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan aset Negara, pembatalannya
tetap dilaksanakan dan untuk pemberian haknya harus melalui
penghapusan aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Hapusnya Hak Atas Tanah karena dicabut untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang tanahnya berasal dari Tanah Negara, maka:
a. tanah yang dikuasai oleh Negara; dan
b. statusnya kembali kepada keadaan hak semula terhitung sejak
berakhirnya hak.
(7) Peruntukan Tanah yang haknya hapus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Ketujuh
Hak Pengelolaan

Pasal 42
(1) Sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
diberikan dalam bentuk Hak Pengelolaan kepada:
a. instansi Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah;
c. Bank Tanah;
d. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Badan
Hukum Milik Negara/Daerah; atau
e. Badan Hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan
kewenangan untuk:
a. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan
Tanah sesuai dengan rencana tata ruang;
b. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian Tanah Hak
Pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan
pihak ketiga;
c. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi
dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan
perjanjian.
(3) Pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan atas Tanah Negara dengan keputusan pemberian hak di atas
Tanah Negara.
(4) Penentuan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau
uang wajib tahunan dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c disesuaikan dengan tujuan dari pemanfaatan untuk:
a. kepentingan umum;
b. kepentingan sosial;
c. kepentingan pembangunan; dan/atau
d. pemerataan ekonomi.
(5) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat mengambil kebijakan terkait Hak
Pengelolaan.
(6) Hak Pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat.

Pasal 43
(1) Penyerahan pemanfaatan bagian Tanah Hak Pengelolaan kepada pihak
ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dilakukan
dengan perjanjian pemanfaatan Tanah.
(2) Di atas Tanah Hak Pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada
pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan di atasnya
dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan/atau Hak Pakai
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam keadaan tertentu, pemegang Hak Pengelolaan dapat memberikan
rekomendasi pemberian Hak Atas Tanah pertama kali dan perpanjangan
diberikan sekaligus atas persetujuan Menteri.
(4) Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai di atas tanah Hak
Pengelolaan dapat beralih, dialihkan, dan/atau dibebani hak tanggungan
dengan persetujuan pemegang Hak Pengelolaan.
(5) Dalam hal terjadi peralihan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai karena eksekusi, pailit atau lelang maka tidak mengakibatkan
hapusnya Hak Pengelolaan.
(6) Dalam hal hak atas tanah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b akan dialihkan
atau dibebani hak tanggungan, termasuk perpanjangan hak atas
tanahnya, pemegang hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan harus
memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan.
(7) Persetujuan tertulis dari Pemegang Hak Pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) tidak diperlukan dalam hal pengalihan hak
dilakukan dengan cara lelang eksekusi atas perintah pengadilan atau
lelang eksekusi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(8) Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas Hak Pengelolaan telah
berakhir, maka tanahnya kembali menjadi tanah Hak Pengelolaan.

Pasal 44
(1) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat membatalkan dan/atau
mencabut Hak Pengelolaan sebagian atau seluruhnya.
(2) Tata cara pembatalan Hak Pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan-perundang-undangan.

Pasal 45
(1) Dalam hal bagian bidang tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan Hak
Milik, bagian bidang tanah tersebut hapus dengan sendirinya.
(2) Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan untuk
keperluan rumah sederhana tapak dan keperluan transmigrasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanah Hak Pengelolaan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENDAFTARAN TANAH

Bagian Kesatu
Prinsip Pendaftaran Tanah

Pasal 46
(1) Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2) Pendaftaran Tanah oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat.
(3) Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
(4) Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan terhadap:
a. Tanah Negara yang dikuasai oleh orang perorangan atau badan
hukum,
b. Tanah Ulayat atau yang sejenis dengan itu, yang dikuasai oleh
kesatuan masyarakat hukum adat.
(5) Pendanaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pendaftaran Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi kewajiban
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja
daerah, dana peran serta masyarakat, dan sumber lain yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum dan menyediakan informasi
Pertanahan berbasis bidang Tanah.
(7) Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data
Pertanahan kecuali informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(8) Informasi publik mengenai data pertanahan yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) antara lain:
a. Daftar nama pemilik hak atas tanah;
b. Buku tanah, surat ukur dan warkah;
(9) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat diberikan kepada
pemegang hak dan penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya.
(10) Perubahan terhadap informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua
Objek Pendaftaran Tanah

Pasal 47
Objek pendaftaran Tanah meliputi semua bidang Tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia.

Bagian Ketiga
Kegiatan Pendaftaran Tanah

Pasal 48
(1) Pendaftaran Tanah meliputi:
a. pengukuran, pemetaan, dan pembukuan Tanah;
b. pendaftaran Hak Atas Tanah dan peralihan hak; dan/atau
c. penerbitan tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
(2) Proses pendaftaran tanah yang berupa tanah kesatuan masyarakat
hukum adat berupa tanah ulayat atau sejenisnya, hanya dilakukan dalam
bentuk pengukuran dan/atau pemetaan.
(3) Tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dapat
dibatalkan dan merupakan alat pembuktian yang mutlak:
a. pendaftaran tanah disuatu wilayah dinyatakan lengkap oleh Menteri;
b. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diumumkan.
(4) Pendaftaran Tanah dinyatakan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Pemerintah secara bertahap desa demi desa atau
kelurahan demi kelurahan atau yang disebut dengan nama lain, setiap
kabupaten/kota melalui Penetapan Menteri.
(5) Untuk menjamin kepastian hukum, Hak Atas Tanah dan Hak
Pengelolaan, Pemerintah membentuk Badan Penjamin.
(6) Ketentuan mengenai Badan Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 49
(1) Pengukuran dan pemetaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat
(1) huruf a dilakukan untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data
fisik.
(2) Pembukuan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf a
dilakukan berdasarkan hasil pengolahan data fisik dan data yuridis.

Pasal 50
(1) Kebenaran materiil dan Keabsahan dokumen pertanahan merupakan
tanggung jawab pemohon.
(2) Pelaksana pendaftaran Tanah bertanggung jawab atas kebenaran formal
dan wajib memelihara dokumen Pertanahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

Pasal 51
(1) Pendaftaran Hak atas Tanah dilakukan terhadap Hak atas Tanah baru
dan Hak Lama.
(2) Pendaftaran Hak atas Tanah Lama dibuktikan dengan alat-alat bukti
mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi
dan/atau pernyataan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal tidak tersedia secara lengkap alat bukti tertulis, pembukuan
hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
Tanah selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh
pemohon pendaftaran dan pendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan terbuka oleh yang
berhak atas Tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat
dipercaya; dan
b. tidak ada keberatan dari Masyarakat Hukum Adat, kelurahan/desa
atau yang disebut dengan nama lain, atau pihak lain atas
penguasaan Tanah baik sebelum maupun selama pengumuman
berlangsung.

Pasal 52
Pendaftaran Tanah merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai lahirnya,
hapusnya, serta sahnya peralihan, dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 53
(1) Hasil pendaftaran tanah yang diterbitkan berdasarkan dokumen yang
dinyatakan palsu oleh pejabat yang berwenang, batal karena hukum.
(2) Tata cara pembatalan Hak Atas Tanah yang batal karena hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 54
(1) Pemeliharaan data pendaftaran Tanah meliputi pendaftaran peralihan dan
pembebanan hak, serta pendaftaran perubahan data pendaftaran Tanah
lainnya.
(2) Setiap kegiatan pemeliharaan data pendaftaran Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didaftar.

Pasal 55
(1) Secara bertahap kegiatan pendaftaran Tanah dan penandatanganan tanda
bukti hak oleh pejabat yang berwenang dilaksanakan secara elektronik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Data elektronik pertanahan berupa tanda bukti hak, surat keputusan,
peta, daftar umum atau lainnya yang merupakan dokumen pertanahan
berlaku sebagai alat pembuktian yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Data elektronik pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit memenuhi persyaratan yaitu dapat dijamin keautentikan,
keutuhan, dan perubahan informasi serta setelah data di validasi harus
dapat diverifikasi.
(4) Bidang Tanah yang telah didaftarkan diberikan nomor identifikasi bidang
Tanah yang terintegrasi dengan nomor identitas pemegang hak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Tanah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB V
SISTEM INFORMASI PERTANAHAN DAN KAWASAN TERPADU

Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019

Pasal 56
(1) Dalam rangka pengintegrasian data tanah dengan data kawasan, dibentuk
Sistem Infromasi Pertanahan dan Kawasan Terpadu.
(2) Sistem Infromasi Pertanahan dan Kawasan Terpadu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem yang menghimpun secara
daring (on line):
a. basis-data pertanahan yang meliputi setiap Tanah Negara, tanah
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, dan tanah yang dilekati Hak
termasuk Hak Pengelolaan; dan
b. basis data kawasan yang meliputi:
1) lahan Hutan Negara dan setiap lahan yang diberi izin
penggunaan, pengelolaan, atau pengusahaan kawasan;
2) setiap lahan yang diberi izin penggunaan, pengelolaan, atau
pengusahaan kawasan; dan
3) Wilayah yang diberi izin penggunaan, pengelolaan, atau
pengusahaan.
Pasal 57
(1) Basis data pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2)
huruf a bersumber dari sistem informasi pertanahan yang dikelola oleh
Kementerian.
(2) Basis-data kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf
b angka 1) bersumber dari sistem informasi kawasan yang dikelola oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kehutanan.
(3) Basis-data kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf
b angka 2) bersumber dari sistem informasi kawasan yang dikelola oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanian, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(4) Basis-data kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf
b angka 3) bersumber dari sistem informasi wilayah yang dikelola oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kelautan.
(5) Basis-data kawasan dan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (2) huruf b angka 2) dan angka 3) termasuk data kawasan yang
menjadi kewenangan atau yang diberi izin oleh Pemerintah Daerah.
(6) Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam rangka membangun
basis-data kawasan dan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 58
(1) Pembangunan basis-data berupa batas hak, batas perizinan dan batas
kawasan serta batas administrasi wilayah diselesaikan oleh kementerian
terkait paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang
ini diundangkan.
(2) Pengintegrasian semua basis-data menjadi Sistem Informasi Pertanahan
dan Kawasan Terpadu dilakukan oleh Kementerian paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak pembangunan basis data.

Pasal 59
(1) Sistem Informasi Pertanahan dan Kawasan Terpadu meliputi data dan
informasi batas hak, batas perizinan dan batas kawasan serta batas
administrasi wilayah.
(2) Dalam rangka pengintegrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (2), Menteri bersama dengan menteri teknis menetapkan
standardisasi data yang meliputi paling kurang informasi dan peta digital
tentang luas dan batas: tanah atau hutan negara, tanah Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat, hak atau perizinan, kawasan, serta administrasi
wilayah.

Pasal 60
(1) Dalam hal terjadi sengketa batas pemanfaatan dan penguasaan Tanah
ruang dan kawasan diselesakan oleh Kementerian Koordinator terkait.
(2) Pengelolaan Sistem Informasi Pertanahan dan Kawasan Terpadu
dilaksanakan oleh Menteri.
Pasal 61
Ketentuan mengenai pelaksanaan Sistem Infromasi Pertanahan dan Kawasan
Terpadu diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB VI
REFORMA AGRARIA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 62
(1) Reforma Agraria meliputi penataan aset dan penataan akses.
(2) Penataan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penataan
kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah
dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan
Tanah.
(3) Penataan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian
kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada subjek
Reforma Agraria, pengelolaan bersama dalam bentuk koperasi, atau
bentuk lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan Tanah.

Bagian Kedua
Objek Reforma Agraria

Pasal 63
(1) Pemerintah menyediakan TORA.
(2) TORA berasal dari:
a. tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta tidak
dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir
b. tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan negara dan/atau
hasil perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai sumber TORA, meliputi:
1) tanah dalam kawasan hutan yang telah dilepaskan sesuai
peraturan perundang-undangan menjadi TORA; dan
2) tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh
masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Tanah Negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan untuk
kepentingan masyarakat dan negara melalui Reforma Agraria;
d. tanah hasil penyelesaian Sengketa dan Konflik Agraria;
e. tanah bekas tambang yang berada di luar kawasan hutan;
f. tanah timbul;
g. tanah yang memenuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas tanah,
meliputi:
1) tanah yang dihibahkan oleh perusahaan dalam bentuk tanggung
jawab sosial dan/atau lingkungan;
2) tanah hasil konsolidasi yang subjeknya memenuhi kriteria
Reforma Agraria;
3) sisa tanah sumbangan tanah untuk pembangunan dan tanah
pengganti biaya pelaksanaan Konsolidasi Tanah yang telah
disepakati untuk diberikan kepada pemerintah sebagai TORA;
atau
4) Tanah Negara yang sudah dikuasai masyarakat.
h. tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah
swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia dan memenuhi
ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi tanah.
(3) Penetapan TORA dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan
ketersediaan Tanah untuk kepentingan masyarakat melalui Reforma
Agraria.
(4) Peruntukan dan penggunaan TORA dilaksanakan sesuai rencana tata
ruang.

Bagian Ketiga
Penerima TORA

Pasal 64
(1) Penerima TORA terdiri dari:
a. perorangan;
b. kelompok masyarakat;
c. badan hukum yang dibentuk oleh Penerima TORA;
d. badan usaha milik desa; atau
e. bentuk lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Penerima TORA perorangan harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah;
c. miskin; dan
d. bertempat tinggal di wilayah TORA atau bersedia tinggal di wilayah
TORA.
(3) Penerima TORA badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan:
a. berkedudukan di Indonesia;
b. kegiatan usahanya mengutamakan mensejahterakan anggota; dan
c. berdomisili di wilayah TORA.
(4) Penerima TORA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima
TORA untuk pertanian atau non pertanian.
(5) Penerima TORA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Pemerintah.

Pasal 65
Penyelenggaraan Reforma Agraria dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENGADAAN TANAH DAN BANK TANAH

Bagian Kesatu
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Pasal 66
(1) Untuk kepentingan pembangunan, pemerintah dapat melakukan
penyediaan, pematangan dan pendistribusian Tanah.
(2) Penyediaan, pematangan dan pendistribusian tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemerintah, pemerintah
daerah, atau badan pengelola Bank Tanah.

Pasal 67
(1) Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk investasi diatur dalam
Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Bank Tanah

Pasal 68
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Bank Tanah.
(2) Bank Tanah merupakan badan hukum khusus yang dibentuk oleh
Pemerintah.
(3) Bank Tanah memiliki kekayaan yang dipisahkan dari keuangan negara.
(4) Bank Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berfungsi
melaksanakan kegiatan perolehan, pengelolaan, penyediaan dan
pendistribusian Tanah secara nasional dan terpadu.

Pasal 69
(1) Bank Tanah bertujuan menjamin ketersediaan Tanah dalam rangka:
a. kepentingan umum;
b. kepentingan sosial;
c. kepentingan pembangunan; dan
d. pemerataan ekonomi.
(2) Bank Tanah bertugas:
a. melaksanakan kegiatan perolehan, pengelolaan, penyediaan dan
pendistribusian Tanah; dan
b. melaksanakan kegiatan perencanaan, pengembangan, pemanfaatan,
pengendalian, dan pemeliharaan Tanah secara nasional.
(3) Bank Tanah berwenang:
a. memperoleh, mengelola, menyediakan, mendistribusikan Tanah
kepada pihak ketiga sesuai dengan tujuan Bank Tanah;
b. mengelola keuangan dan aset secara mandiri.
Pasal 70
(1) Bank Tanah berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Tanah dapat mempunyai kantor perwakilan.

Pasal 71
Bank Tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
transparan, akuntabel dan non profit.

Pasal 72
(1) Organ Bank Tanah terdiri dari Komite Bank Tanah, Dewan Pengawas, dan
Dewan Pelaksana.
(2) Komite Bank Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan
ditetapkan oleh Presiden.
(3) Komite Bank Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Menteri selaku ketua,
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan, dan menteri lain yang ditunjuk oleh Presiden sebagai
anggota.
(4) Dewan Pengawas Bank Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Komite Bank Tanah.
(5) Dewan Pengawas Bank Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri
dari unsur professional, perwakilan Kementerian dan kementerian/
lembaga lainnya.
(6) Dewan Pelaksana Bank Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh Kepala Badan yang ditetapkan oleh Komite Bank Tanah.

Pasal 73
(1) Sumber kekayaan Bank Tanah dapat berasal dari:
a. pendapatan sendiri;
b. APBN;
c. pinjaman;
d. penyertaan modal dalam bentuk aset atau uang;
e. akumulasi modal; dan/atau
f. sumber lain yang sah.
(2) Untuk mendukung kegiatan operasional Bank Tanah, Pemerintah
menempatkan modal awal ke Bank Tanah.
(3) Aset Bank Tanah yang berupa Tanah dapat bersumber dari Tanah negara.
(4) Penetapan Tanah aset Bank Tanah yang bersumber dari Tanah negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri.
(5) Aset Bank Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperoleh
melalui pengadaan tanah dan/atau perolehan lainnya yang sah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Aset Bank Tanah diberikan dengan hak pengelolaan, hak guna usaha, hak
guna bangunan, atau hak pakai.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank Tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 72 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Penyediaan Tanah untuk Keperluan Keagamaan dan Sosial

Pasal 74
(1) Tanah untuk keperluan keagamaan dan sosial dapat berasal dari:
a. Tanah Negara; atau
b. Tanah Hak;
(2) Perolehan Tanah untuk keperluan keagamaan dan sosial dapat dilakukan
melalui:
a. perwakafan atau lembaga yang sejenis;
b. hibah;
c. penetapan pemerintah; dan
d. perbuatan hukum lainnya.
(3) Badan Keagamaan dan Badan Sosial dapat diberikan dengan hak milik
atau hak pakai sepanjang tanahnya dipergunakan untuk keperluan
keagamaan dan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan Tanah untuk keperluan
keagamaan dan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 75
(1) Perwakafan Tanah dan lembaga yang sejenis menurut ajaran agama yang
dianut masyarakat Indonesia, dilindungi keberadaannya.
(2) Tata cara perwakafan dan lembaga yang sejenis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN
DAN PEMBENTUKAN PENGADILAN PERTANAHAN

Bagian Kesatu
Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Pasal 76
(1) Penyelesaian sengketa Pertanahan mengutamakan musyawarah untuk
mufakat melalui mediasi di antara para pihak.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa Pertanahan melalui musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka para
pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
(3) Tata cara mediasi pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77
(1) Penyelesaian sengketa melalui mediasi dibuktikan dengan akta
perdamaian dihadapan pejabat yang berwenang.
(2) Akta perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didaftarkan
di pengadilan setempat guna mendapatkan putusan perdamaian untuk
memperoleh kekuatan eksekutorial.
Bagian Kedua
Pembentukan Pengadilan Pertanahan

Pasal 78
(1) Sengketa Pertanahan diselesaikan melalui Pengadilan Pertanahan.
(2) Pengadilan Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyelesaikan perkara pertanahan yang meliputi perkara perdata, tata
usaha negara, dan pidana.
(3) Pengadilan Pertanahan dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini.

BAB IX
PENATAAN DAN PENGENDALIAN PERTANAHAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 79
(1) Pemerintah melakukan penataan dan pengendalian pertanahan terhadap
penggunaan dan pemanfaatan Tanah.
(2) Pemerintah menetapkan Kebijakan Fiskal Pertanahan dan tata ruang
berupa insentif dan disinsentif, dalam rangka pengaturan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan serta pengendalian Tanah dan
ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan fiskal pertanahan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Penataan Pertanahan

Pasal 80
(1) Penataan Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1)
dilaksanakan kegiatan meliputi:
a. inventarisasi, pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
Tanah;
b. penentuan batas maksimum;
c. penguasaan dan pemilikan Tanah;
d. redistribusi tanah;
e. penyelenggaraan Penatagunaan Tanah;
f. pelaksanaan konsolidasi Tanah; dan
g. penataan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan, dan wilayah
tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penataan Pertanahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengendalian Pertanahan

Pasal 81
(1) Pengendalian Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. pemantauan dan evaluasi penggunaan dan pemanfaatan Hak Atas
Tanah; dan
b. penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi penggunaan
dan pemanfaatan Hak Atas Tanah diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pasal 82
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, PPNS diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian diberi wewenang
khusus sebagai PPNS di bidang Pertanahan.
(3) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang Pertanahan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana dalam bidang Pertanahan;
c. meminta keterangan saksi dan mengumpulkan barang bukti
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang
Pertanahan;
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen yang berkenaan dengan
tindak pidana dalam bidang Pertanahan;
e. melakukan pemeriksaan penggeledahan, penyitaan, dan penyegelan
terhadap tempat dan/atau barang bukti yang berkenaan dengan
tindak pidana dalam bidang Pertanahan;
f. meminta bantuan keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana dalam bidang Pertanahan; dan
(4) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(5) Dalam hal pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, PPNS berkoordinasi
dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil
penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian
negara Republik Indonesia.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai PPNS diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XI
PROFESI MITRA KERJA

Pasal 83
(1) Profesi mitra kerja meliputi surveyor kadaster, pejabat pembuat akta
tanah dan pejabat profesi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai surveyor kadaster, pejabat pembuat akta
tanah dan pejabat profesi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 84
Pelanggaran yang bersifat administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini diberikan sanksi berupa:
a. denda;
b. pembatalan hak; atau
c. penangguhan proses pemberian hak.

Pasal 85
(1) Setiap orang yang terbukti mendaftarkan Tanah dengan menggunakan
nama orang lain yang bukan pemiliknya dan tidak mengalihkan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang/pihak lain wajib mengalihkan
tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak perbuatannya diketahui atau terbukti
atau dikenai sanksi administratif berupa pembatalan hak atas tanahnya.
(2) Pemegang Hak Atas Tanah yang tidak melepaskan Tanah kelebihan
maksimum dan tidak memenuhi ketentuan disinsentif atas kelebihan
tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dikenai sanksi
berupa pembatalan hak.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja dan terbukti menghilangkan atau merusak
dokumen pertanahan yang menjadi bukti penerbitan Hak Atas Tanah dan
tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2), dikenai
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 87
(1) Setiap orang yang menggunakan dan memanfaatkan Tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
kerugian terhadap orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu
milyar lima ratus juta rupiah).

Pasal 88
(1) Setiap orang sebagai pemegang hak atas Tanah atau dasar penguasaan
yang dengan sengaja menutup akses atau tidak memberikan akses lain
kepada masyarakat di sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
kerugian terhadap masyarakat sekitar, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000
(satu milyar rupiah).

Pasal 89
Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum
yang melaksanakan tugas pada bidang Tanah miliknya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah).

Pasal 90
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan memanfaatkan Hak
Atas Tanah secara spekulatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
kerugian terhadap masyarakat sekitar, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000
(dua milyar lima ratus juta rupiah).

Pasal 91
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu atau
memalsukan keabsahan atau kebenaran materiil dokumen pertanahan
yang diserahkan kepada instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling banyak Rp.5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
kerugian terhadap Orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh
milyar rupiah)

Pasal 92
(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengedarkan dan/atau
menggunakan alas hak atau sertifikat tanah palsu diancam dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
kerugian terhadap Orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 6.000.000.000 (enam milyar
rupiah).

Pasal 93
(1) Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama yang melakukan
dan/atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima
milyar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
kerugian terhadap Orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh
milyar rupiah).

BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 94
(1) Tanah dan/atau bangunan yang berasal dari badan khusus yang
dibentuk dalam rangka penyehatan perbankan dan kekayaan negara
tertentu yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang hak atas
tanahnya sudah berakhir tetap berada dalam penguasaan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan dapat mengalihkan Tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pengelolaan barang milik negara.
(3) Dalam hal Tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan digunakan dan dimanfaatkan oleh kementerian/lembaga
Pemerintah nonkementerian, penggunaan dan pemanfaatan dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan barang milik negara.
(4) Terhadap Pihak yang menerima peralihan Hak atas Tanah dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan Hak Atas Tanah melalui
permohonan hak berdasarkan bukti peralihan yang sah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Pertanahan.
(5) Dalam hal status Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai ayat
(4) masih terdapat permasalahan dan Tanah barang milik negara yang
belum dilekati hak, diberikan jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
tahun untuk penyelesaiannya terhitung sejak diundangkannya Undang-
Undang ini.
(6) Setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun berakhir masih terdapat
permasalahan dan Tanah barang milik negara yang belum dilekati hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka tanahnya menjadi Tanah
negara.
Dalam penjelasan
Setelah jangka 10 (sepuluh) tahun berakhir statusnya menjadi tanah negara
dan tetap berada dalam penguasaan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
Hasil Rapat Menko, 27 Agustus 2019

Pasal 95
(1) Setiap pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh aparatur sipil
Negara dalam pelaksanaan pelayanan pertanahan dan tata ruang dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap pelanggaran yang dilakukan pihak dalam pelaksanaan pelayanan
pertanahan dan tata ruang yang bersifat pidana dikenai sanksi pidana
sesuai kitab undang-undang hukum pidana.

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 96
(1) Semua bekas tanah hak barat dan bekas Tanah swapraja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal I, Pasal III, Pasal IV, Pasal V, dan Pasal VI
Ketentuan-Ketentuan Konversi dan Bagian Keempat huruf A Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan Bagian Keempat, yang telah hapus karena hukum sejak
tanggal 24 September 1980, tidak dapat dijadikan sebagai alas hak dalam
Pendaftaran Tanah.
(2) Tanah objek P3MB dan Prk 5 sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 3/Prp/1960 dan Pasal 2 ayat (2) huruf a
Peraturan Presidum Dwikora Nomor 5/Prk/1965, selain dapat dibeli
Warga Negara Indonesia juga dapat dilbeli oleh badan hukum Indonesia.
(3) Dalam hal Tanah dengan bukti hak lama sebelum Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria belum
terdaftar maka penetapan haknya dilakukan melalui pemberian Hak Atas
Tanah Negara.

Pasal 97
(1) Terhadap Hak Pengelolaan yang sudah berlangsung sebelum berlakunya
Undang-Undang ini harus dilakukan penyesuaian dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diundangkannya Undang-
Undang ini.
(2) Terhadap penyerahan pemanfaatan bagian Tanah Hak Pengelolaan yang
ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, masih tetap diberlakukan
sampai dengan masa berakhirnya perjanjian penyerahan pemanfaatan
Tanah yang bersangkutan.
Pasal 98
Pemegang hak guna usaha yang belum menyediakan 20% tanah untuk
pekebun, petani, atau petambak plasma di sekitar atau yang berdekatan
dengan lokasi Hak Guna Usaha pada saat pemberian hak, pemenuhannya
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
diundangkannya Undang-Undang ini.

Pasal 99
(1) Tanah Bekas Milik adat didaftarkan paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini dengan syarat bidang tanah harus
dikuasai secara fisik.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanah
bekas milik adat tidak didaftarkan maka perolehan hak miliknya
dilakukan melalui proses pemberian Hak Atas Tanah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
(3) Tanah bekas milik adat yang tidak dikuasai secara fisik dan tidak
didaftarkan oleh masyarakat hukum adat sampai dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai Tanah negara.

Pasal 100
Bidang Tanah yang berasal dari Tanah Ulayat atau yang sejenis dengan itu,
sebelum berlakunya Undang-Undang ini sudah dipunyai oleh pemegang hak
dengan Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, atau sudah diperoleh menurut ketentuan dan tata cara yang
berlaku, tetap diakui berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 101
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 102
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan di bidang Pertanahan dan peraturan pelaksanaannya yang telah
ada, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini.

Pasal 103
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta ...


pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA M LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN ...
TENTANG
PERTANAHAN

I. UMUM

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia
merupakan sumberdaya alam yang langka dan kebutuhan dasar manusia,
khususnya untuk ketersediaan papan dan pangan. Oleh karena sifatnya
yang demikian strategis, negara diberi wewenang oleh Bangsa Indonesia,
untuk:
a. membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan melakukan
pengawasan terkait dengan pemanfaatan, pemilikan, dan pemeliharaan
bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya;
b. menyelenggarakan hubungan hukum antara bangsa dengan tanah, yang
merupakan hak bangsa dan bersifat abadi dalam bentuk hak menguasai
negara;
c. menyelenggarakan hubungan hukum antara Negara dengan tanah
sebagai pelaksana kewenangan hak menguasai negara;
d. menyelenggarakan hubungan hukum antara Masyarakat Hukum Adat
dengan tanah, dalam rangka pengakuan dan perlindungan Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat atas tanah; dan
e. menyelenggarakan hubungan hukum antara orang dengan tanah dan
perbuatan hukum terkait bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.
Kewenangan negara dalam bentuk hak menguasai negara ini ditujukan
untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak rakyat sungguh-
sungguh dihormati, demikian pula manfaat sumber daya alam termasuk
tanah diarahkan agar dapat dirasakan secara merata oleh rakyat.
Pengaturan bidang pertanahan secara umum telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) yang meliputi hal-hal yang bersifat pokok. Namun
secara garis besar, terdapat 2 (dua) hal pokok yang menjadi pertimbangan
dalam penyusunan Undang-Undang Pertanahan ini, yaitu bahwa ada
beberapa ketentuan tentang tanah yang belum lengkap diatur dalam UUPA.
Demikian pula, setelah berjalan 47 (empat puluh tujuh) tahun, UUPA
banyak sekali dinamika perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang
pertanahan yang perlu diatur guna memberikan kepastian hukumnya.
Selain itu, selama kurun waktu setelah diundangkannya UUPA
tersebut, dalam kenyataannya hingga sekarang masih terjadi tumpang
tindih pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfataan sumber daya alam
termasuk tanah yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Kondisi
ini telah mendorong terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagaimana tertuang dalam konsideran
menimbang bahwa:
a. pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang
berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;
b. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan
bertentangan;
c. pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang adil,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran
serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik;
d. untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan
dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya
alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan;
Berdasarkan hal tersebut di atas, telah menjadi suatu keniscayaan
perlu disusunnya Undang-Undang tentang Pertanahan ini dalam rangka
melengkapi dan menjabarkan pengaturan bidang pertanahan, mempertegas
penafsiran, dan menjadi brigding (jembatan) untuk meminimalkan
ketidaksinkronan antara UUPA dengan peraturan perundang-undangan
sumber daya alam terkait bidang pertanahan.
Undang-Undang ini merujuk beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi
tentang Hak Menguasai Negara atas tanah yaitu Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU
Ketenagalistrikan, Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tentang pengujian UU
Minyak dan Gas Bumi, Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
008/PUU-III/2005 tentang pengujian UU Sumber Daya Air, Putusan Nomor
013-021/PUU-III/2005 tentang pengujian UU Kehutanan/Pertambangan Di
Hutan Lindung, yang menguji undang-undang sektoral terhadap Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 dan UUPA, dimana dalam pertimbangan
hukumnya disebutkan bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu
sendiri adalah sebuah konstitusi yang hidup (living constitution). Sehingga
dengan demikian maka terhadap UUPA kita juga harus bersikap bahwa
UUPA adalah sebuah living law. Dalam dunia modern, dikenal adanya
beberapa metode atau teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
untuk menjembatani, mengisi kekosongan hukum, dan mengantisipasi
dinamika perkembangan kebutuhan masyarakat pada saat ini maupun
antisipasinya di masa depan. Pendekatan dimaksud dikenal sebagai metode
social engginering (rekayasa sosial) yaitu pendekatan yang
mengoptimalisasikan keseimbangan antara kepentingan masyarakat yang
saling berkompetisi guna mencapai manfaat sebesar-besarnya bagi
masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya yang paling efisien, dan
undang-undang positif yang terbentuk haruslah sesuai dan memenuhi
kebutuhan saat ini. Undang-undang ini juga harus dapat menjembatani
beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan pokok yang diatur
dalam undang-undang lex specialis yang lazim disebut omnibus law.
UUPA sebagai law in book, tentu memiliki jarak dengan pelaksanaannya
(law in action), adalah merupakan suatu kewajaran dan merupakan hal yang
tidak dapat sepenuhnya dihindari. Hal itu pasti terjadi karena dalam
perumusan suatu aturan hukum tentu terdapat kelemahan, walaupun para
perumus UUPA telah bekerja keras dengan teliti dan dengan pertimbangan
yang komprehensif dan futuristik. Tidak semua yang dikehendaki dapat
dirumuskan dengan tepat tanpa kelemahan sama sekali. Demikian pula
perkembangan di masa yang akan datang tentu tidak secara persis dapat
diperkirakan oleh para perumus UUPA. Belum lagi perbedaan waktu antara
perumusan UUPA dengan pelaksanaannya tentu berpengaruh terhadap
perubahan perspektif dalam memaknai UUPA.
Di sisi lain, dinamika perkembangan masyarakat jauh lebih pesat
dibanding periode-periode yang lalu. Akses informasi terbuka luas dan
mudah baik di dalam maupun keluar negeri. Berbagai pemikiran dan
praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di negara lain
dapat dengan mudah diakses dan ikut membangun pemahaman dan
kesadaran masyarakat Indonesia. Pemahaman dan kesadaran itu juga
dengan bebas dapat diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan. Karena
jarak yang selalu ada antara apa yang dikehendaki, yang dirumuskan, dan
yang dilaksanakan itulah evaluasi menjadi suatu keharusan. Evaluasi
diperlukan untuk menghilangkan, atau paling tidak memperkecil jarak dan
perbedaan antara apa yang dicita-citakan dan dirumuskan dalam reformasi
konstitusi dengan pelaksanaannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian evaluasi bertujuan untuk adanya perbaikan
berkelanjutan dalam membumikan peraturan perundang-undangan dan
menjadikan UUPA sebagai living law. Pendekatan inilah yang biasa disebut
sebagai social engginering (rekayasa sosial). Selanjutnya, hasil dari
pendekatan ini diharapkan dapat membuahkan suatu undang-undang lex
specialis pertanahan yang dapat menjembatani harmonisasi terhadap
pengaturan tentang pengelolaan agraria/pertanahan (omnibus law).
Undang-Undang tentang Pertanahan disusun berdasarkan falsafah
UUPA yang bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan prinsip dasar UUPA yang
dikembangkan dan diperkuat selaras dengan prinsip-prinsip Pembaruan
Agraria sesuai dengan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Prinsip-prinsip Pembaruan
Agraria adalah sebagai berikut:
a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal,
baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan
tetapmemperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan
dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam;
j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak Masyarakat Hukum Adat
dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya
alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, Pemerintah
(pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat),
masyarakat dan individu; dan
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat
nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang
setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya alam.
Undang-Undang tentang Pertanahan mengatur mengenai Hubungan
Hukum antara Bangsa dengan Tanah, Negara dengan Tanah, Masyarakat
Hukum Adat dengan Tanah dan Orang dengan Tanah; Hak atas Tanah yang
terdiri dari Prinsip Penguasaan dan Pemilikan Tanah, Macam Hak Atas
Tanah, Perpanjangan dan Pembaruan Hak atas Tanah, Penggunaan Ruang
di atas tanah dan ruang di bawah tanah, dan Hapusnya Hak Atas Tanah;
Reforma Agraria; Pendaftaran Tanah; Pengadaan Tanah dan Bank Tanah
yang terdiri dari Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Bank Tanah, Penyediaan Tanah untuk Keperluan Keagamaan
dan/atau Sosial, Penyediaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan;
Penyelesaian Sengketa; Penataan dan Pengendalian Pertanahan; Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Bidang Pertanahan dan Penataan Ruang; Profesi Mitra
Kerja Pertanahan; Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian; Sanksi
Administrasi; Ketentuan Pidana; dan Ketentuan Peralihan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa seluruh
Tanah dalam wilayah negara merupakan hak bangsa yang bersifat
abadi, yang berisi kewenangan negara untuk:
a. menguasai semua Tanah dalam wilayah negara; dan
b. membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan
mengawasi penggunaan dan pemanfaatan Tanah.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kenasionalan” adalah bahwa hanya
warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang dapat mempunyai Hak
Milik. Bagi warganegara asing dan badan hukum Indonesia maupun
asing, dapat diberikan Hak Atas Tanah selain Hak Milik

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas fungsi sosial” adalah bahwa Hak Atas
Tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian
Hak Atas Tanahnya. Tanah tidak boleh tidak digunakan, apalagi jika
hal tersebut merugikan kepentingan pihak lain dan masyarakat.
Antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum dalam
pemanfaatan Tanah harus terdapat keseimbangan.
Yang dimaksud dengan “asas fungsi ekologis” adalah bahwa manfaat
ekonomis Tanah dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama
dan untuk pemanfaatannya harus memperhatikan kelestariannya.
Yang dimaksud “asas fungsi ekonomi yang berkeadilan” adalah
kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah untuk pertumbuhan
ekonomi dan mengatasi kesenjangan antar kelompok penduduk
dalam hal ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah.
Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan tanah secara optimal”
adalah penggunaan dan pemanfaatan tanah yang efisien, optimal dan
lestari. Misalnya pilihan antara sawit dengan tebu, apabila yang
paling efisien tebu, maka dimanfaatkan untuk tebu, atau antara padi
dengan jagung, antara penggunaan hutan belukar dengan komoditas
pangan

Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum, keadilan dan
pemanfaatan tanah” adalah penegasan fungsi utama Tanah, yakni
Tanah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang
berarti bahwa kemanfaatannya harus dapat dirasakan secara merata
oleh rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, harus dicegah terjadinya
ketimpangan penguasaan dan/atau pemilikan Tanah.

Huruf f
Cukup Jelas.

Huruf g
Cukup Jelas

Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas umum pemerintahan yang baik” adalah
bahwa pengelolaan Tanah meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasannya harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan
akuntabel.

Pasal 3
Ayat (1)
Pemberian hak menguasai negara oleh bangsa Indonesia kepada
negara dimaksudkan agar penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan atas tanah, ruang dan kawasan dapat membawa
kemakmuran rakyat indonesia.
Arti menguasai yaitu membuat kebijakan, mengatur, mengurus,
mengelola, dan mengawasi. Wewenang tersebut berkaitan dengan:
(a) penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation), dan
pemeliharaannya (maintainance) atas bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI);
(b) penentuan dan pengaturan macam hak atas tanah;
(c) penentuan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antar
orang dan/atau badan hukum yang berobyekkan tanah.
wewenang tersebut harus ditujukan pada upaya mencapai
kemakmuran rakyat secara maksimal.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan kewenangan presiden yang
bersifat teknis” antara lain urusan pemerintahan di bidang
pertanahan, kehutanan, pertanian, energi dan sumber daya mineral,
atau kelautan
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup Jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pajak terhutang” adalah Keringanan pajak
yang diberikan kepada:
1. wajib pajak yang tidak mampu, dengan cara mengajukan
permohonan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau
2. perseorangan, untuk Tanah skala kecil.
terkait dengan program prioritas nasional.

Ayat (5)
Cukup Jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” antara lain
kewajiban pembuktian dan penyimpanan warkah oleh pemegang
hak.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “insentif” adalah upaya untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan
kebijakan pertanahan dan tata ruang yang berorientasi kepada
kepentingan sosial dan pembangunan, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut
antara lain, dapat berupa keringanan pajak, pembangunan
prasarana dan sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi,
kemudahan prosedur perizinan, dan pemberian penghargaan.

Yang dimaksud dengan “disinsentif” adalah sebagai perangkat untuk


mencegah, membatasi perumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan kebijakan pertanahan dan tata ruang,
yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan
kompensasi dan penalti.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “skala ekonomi” yaitu kemampuan
seseorang atau badan hukum untuk mengusahakan Tanah
secara efektif dan efisien

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Yang dimaksud dengan “spekulatif” adalah kegiatan penguasaan tanah
yang bertujuan menguntungkan diri sendiri tanpa menciptakan nilai
tambah secara ekonomi, sosial dan/atau merugikan pihak lain.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup Jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup Jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup Jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup Jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kekhususan” diantaranya dengan
diberikannya insentif pajak dan keringanan untuk retribusi
perpanjangan Hak Atas Tanah.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Ayat (8)
Cukup jelas.

Ayat (9)
Cukup jelas.

Ayat (10)
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup Jelas

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Lingkup bidang pertanian meliputi holtikultura, tanaman
pangan, dan peternakan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup Jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “persyaratan lainnya” antara lain
persyaratan yang ditentukan dalam pemberian haknya dan
ketentuan perpajakan.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Tanah yang berada pada ruang atas”
merupakan termasuk di dalamnya bidang yang terbentuk
berdasarkan usaha manusia atau rekayasa teknologi seperti
jembatan, rel kereta, jalan layang

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “koefisien dasar bangunan” menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
adalah perbandingan antara luas lantai dasar bangunan gedung dan
luas persil/kaveling/blok peruntukan.

Yang dimaksud dengan “koefisien lantai bangunan” menurut


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
adalah perbandingan antara luas keseluruhan lantai bangunan
gedung dan luas persil/kaveling/blok peruntukan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “dikecualikan” yaitu pengecualian pemberian
hak atas tanah pada ruang bawah tanah selain untuk usaha bidang
minyak dan gas, mineral, dan batu bara serta energi baru terbarukan
juga termasuk infrastruktur pendukungnya.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak sesuai peruntukan pemanfaatannya”
adalah peralihan hak guna bangunan yang digunakan bukan untuk
rumah tempat tinggal atau hunian kepada penerima hak yang
merupakan warga negara asing.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 41

Ayat (1)
Cukup Jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan “rechtsverwerking” adalah keadaaan
hapusnya Hak Atas Tanah yang tidak dikuasai, digunakan dan
dimanfaatkan oleh pemegang haknya selama 20 (dua puluh)
tahun atau lebih secara berturut-turut, dan dimanfaatkan oleh
pihak lain secara iktikad baik mengakibatkan hak milik hapus
dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara serta dapat diajukan permohonan oleh pihak yang
menguasai.

Ayat (4)
Cukup Jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup Jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” yaitu bahwa
Menteri dapat mengambil kebijakan terkait Hak Pengelolaan dengan
memperrtimbangkan antara lain:
a. kesesuaian rencana tata ruang;
b. kesesuaian pengunaan dan pemanfaatan;
c. kesesuaian jangka waktu pemberian dan perpanjangan hak di
atas Hak Pengelolaan;
d. kesesuaian nilai atau tarif; dan/atau
e. kesesuaian fiskal pertanahan dan tata ruang.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” yaitu adalah suatu
keadaan yang dipertimbangkan oleh Menteri untuk dapat
memberikan jangka waktu Hak atas Tanah sekaligus (pemberian hak
dan perpanjangan) atas rekomendasi pemegang Hak Pengelolaan,
dengan mempertimbangkan umur tanaman, umur konstruksi, jenis
investasi (jangka panjang atau pendek), dan daya tarik investasi.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Yang dimaksudkan dengan “dialihkan atau dibebani hak
tanggungan” yaitu peralihan dan pembebanan atas tanah di atas hak
pengelolaan tidak mengakibatkan hak pengelolaannya hapus.
Setiap perbuatan hukum pemegang hak atas tanah di atas hak
pengelolaan wajib dilaporkan kepada pemegang hak pengelolaan dan
secara berkala diwajibkan melaporkan paling lama setiap 5 tahun.

Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah suatu
keadaan yang dipertimbangkan oleh Menteri untuk dapat
membatalkan dan/atau mencabut hak pengelolaan antara lain
karena:
a. ketidaksesuaian subjek maupun objek Hak Pengelolaan.
b. kepentingan umum dan/atau kepentingan pembangunan;
c. keadaan kahar/force majeure karena peristiwa alam.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Ayat (1)
Kegiatan Pendaftaran Tanah dapat merupakan suatu rangkaian
kegiatan atau kegiatan yang dapat berdiri sendiri.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “data fisik” adalah keterangan mengenai
letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau
bagian bangunan di atasnya.
Yang dimaksud dengan “data yuridis” adalah keterangan mengenai
status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar,
pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya.

Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen pertanahan” antara lain data
permohonan, dokumen/warkah/berkas dan/atau alas hak yang
diajukan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penguasaan dilakukan dengan itikad
baik” adalah orang yang menguasai, menggunakan, dan
memanfaatkan tanah secara fisik yang diperoleh dengan penuh
kejujuran dan tidak merugikan pihak lain.

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “batas hak” meliputi batas bidang hak atas
tanah, hak pengelolaan dan batas wilayah kesatuan masyarakat
hukum adat.

Yang dimaksud dengan “batas perizinan” meliputi batas seluruh


izin/konsesi yang telah dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga yang
berkaitan dengan pemanfaatan bidang tanah dan kawasan.

Yang dimaksud dengan “batas kawasan” meliputi batas seluruh


kawasan yang termasuk dalam kawasan budi daya dan kawasan
lindung.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup Jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “kepentingan pembangunan” antara lain
termasuk pembangunan rumah umum dan rumah susun.
Huruf d
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “mengelola keuangan secara mandiri”
adalah pengelolaan hasil kegiatan digunakan untuk
pengembangan Bank Tanah sesuai dengan tujuan.

Yang dimaksud dengan “mengelola aset secara mandiri” adalah


pengelolaan aset yang dilakukan melalui:
1. kerja sama dengan pihak ketiga;
2. investasi jangka panjang;
3. pelepasan aset; dan
4. sewa aset.
untuk pengembangan Bank Tanah sesuai dengan tujuan.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Yang dimaksud dengan “non profit” adalah hasil yang diperoleh dari
penyelenggaraan Bank Tanah dikelola kembali oleh Bank Tanah untuk
kepentingan umum; kepentingan pembangunan; dan pemerataan
ekonomi.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “sumber lain yang sah” antara lain kerja
sama dengan pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup Jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas

Pasal 91
Cukup jelas

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Ayat (1)
Yang dimaksud permufakatan jahat adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dan diperjanjikan
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak dalam pelaksanaan pelayanan
pertanahan dan tata ruang” antara lain aparatur sipil negara,
petugas pelaksana, mitra kerja Kementerian dan masyarakat.

Pasal 96
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak barat” antara lain eigendom, erfpacht
dan opstal

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

Anda mungkin juga menyukai