Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Periode setelah lahir merupakan awal kehidupan yang tidak

menyenangkan bagi bayi. Hal itu disebabkan oleh lingkungan kehidupan

sebelumnya (intrauterus) dengan kehidupan sekarang (ekstrauterus) yang

sangat berbeda. Bayi yang dilahirkan prematur ataupun bayi yang dilahirkan

dengan penyulit/ komplikasi, tentu proses adaptasi kehidupan tersebut menjadi

lebih sulit untuk dilaluinya. Bahkan sering kali menjadi pemicu timbulnya

komplikasi lain yang menyebabkan bayi tersebut tidak mampu melanjutkan

kehidupan ke fase berikutnya (meninggal). Bayi seperti ini yang disebut

dengan istilah bayi resiko tinggi (Surasmi, dkk., 2003).

Salah satu dari bayi resiko tinggi adalah bayi dengan sindroma gawat

nafas (SGN/RDS). Respiratory distress syndroma (RDS) didapatkan sekitar 5

- 10% pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501 - 1500 gram

(lemons et al, 2001). Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan

berat badan. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80%

terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu; 15

- 30% pada bayi antara 32 - 36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi

yang cukup bulan. Insiden pada bayi prematur kulit putih lebih tinggi dari

pada kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada

perempuan (Nelson, 2003). Selain itu kenaikan frekuansi juga sering terjadi

1
pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus

selama kehamilan, misalnya ibu menderita penyakit diabetes, hipertensi,

hipotensi, seksio sesarea serta perdarahan antepartum (Surasmi, dkk., 2003).

Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

bayi resiko tinggi dapat hidup dengan baik tanpa mengalami cacat. Hal ini

terjadi jika ia dirawat diruang perawatan intensif neonatus, dengan tenaga

perawat yang memiliki spesialisasi keahlian di bidang tersebut. Hal inilah

yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat kasus ini (Betz, 2009).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memberikan dan melaksanakan asuhan

kebidanan pada neonatus dengan sindrom gangguan pernapasan melalui

pendekatan pola pikir manajemen asuhan kebidanan secara komprehensif

dan mendokumentasikannya dalam bentuk SOAP.

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan konsep dasar teori neonatus dengan sindrom gangguan

pernapasan.

b. Menjelaskan konsep dasar manajemen asuhan kebidanan neonatus

dengan sindrom gangguan pernapasan berdasarkan 7 langkah

Varney.

2
c. Melaksanakan asuhan kebidanan pada neonatus dengan sindrom

gangguan pernapasan melalui pendekatan Varney, yang terdiri dari:

1) Melakukan pengkajian.

2) Menginterpretasikan data dasar.

3) Mengidentifikasi diagnosis/ masalah potensial.

4) Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera.

5) Mengembangkan rencana intervensi.

6) Melakukan tindakan sesuai dengan rencana intervensi.

7) Melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan.

3
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teori

1. Pengertian

Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat

napas (Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang

digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini

merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan

perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini

biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane disease (HMD)

atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan

membran hialin yang melapisi alveoli (Betz, 2009).

Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri

dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60

kali/menit, sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot

pernapasan pada inspirasi (Betz, 2009).

2. Patofisiologi

Sindrom gawat pernapasan (respiratory distress syndrome, RDS)

atau penyakit membrane hialin, yang merupakan akibat tidak ada, kurang,

atau berubahnya komponen surfaktan paru. Surfaktan, merupakan suatu

kompleks lipoprotein, adalah bagian dari permukaan mirip-film yang ada

4
di alveoli, untuk mencegah kolapsnya alveolar. Surfaktan disekskresikan

oleh sel-sel pernapasan tipe II di alveoli. Bila surfaktan tersebut tidak

adekuat, akan terjadi kolaps alveolar dan mengakibatkan hipoksia.

Selanjutnya, terjadi konstriksi vascular pulmonal dan penurunan perfusi

pulmonal, yang berakhir sebagai gagal napas progresif (Betz, 2009).

3. Insidens

Insiden Respiratory Distress Syndrome/RDS menurut Betz (2009) yaitu:

a. Terdapat kolerasi terbalik antara insidens RDS dan usia kehamilan:

semakin muda seorang bayi, semakin tinggi resiko RDS. Akan tetapi,

tampaknya kasus-kasus RDS lebih tergantung pada kematangan paru

daripada usia gestasi.

b. Didiagnosis pada 25% bayi dengan usia gestasi 34 minggu dan 80%

bayi yang usia gestasinya kurang dari 28 minggu.

c. Keparahan RDS menurun pada bayi yang ibunya mendapatkan

kortikosteroid 24 sampai 48 jam sebelum pelahiran. Terapi steroid

antenatal yang dikombinasikan dengan pemberian surfaktan pascanatal

tampaknya memiliki efek aditif dalam meningkatkan fungsi paru.

d. RDS terjadi dua kali lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.

e. Insidens meningkat pada bayi cukup bulan bila terdapat faktor-faktor

tertentu:

1) Ibu diabetes yang melahirkan bayi dengan usia gestasi kurang dari

38 minggu.

2) Hipoksia perinatal.

5
4. Manifestasi Klinis

Gejala berikut terlihat pada 2 sampai 8 jam pertama kehidupan:

a. Takipnea (napas lebih dari 60 kali permenit).

b. Retraksi intercostal dan sternal.

c. Dengkur ekspiratori.

d. Pernapasan cuping hidung.

e. Sianosis sejalan dengan peningkatan hipoksemia.

f. Menurunnya komlians paru (napas turun-naik paradoksal).

g. Hipotensi sistemik (pucat perifer, edema, pengisian kapiler tertunda

lebih dari 3 sampai 4 detik).

h. Penurunan bunyi napas dengan bising.

i. Takikardia karena terjadinya asidosis dan hipoksemia.

RSD adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri. Perbaikan biasanya

terlihat 48 sampai 72 jam setelah lahir bila terjadi regenerasi sel alveolar

tipe II dan dihasilkannya surfaktan. Penampakan dan durasi gejala dapat

berubah dengan pemberian surfaktan buatan (Betz, 2009).

5. Komplikasi

Komplikasi pada RDS menurut Betz (2009) yaitu:

a. Ketidakseimbangan asam-basa.

6
b. Kebocoran udara (pneumotoraks, pneumomediastinum,

pneumoperikardium, pneumoperitoneum, emfisiema subkutan,

emfisema interstisial pulmonal).

c. Perdarahan pulmonal.

d. Penyakit paru kronis pada bayi, 5% - 10%.

e. Apnea.

f. Hipotensi sistemik.

g. Anemia.

h. Infeksi (pneumonia, septicemia - transplasenta atau nososkomial).

i. Perubahan perkembangan bayi dan perilaku orang tua.

Komplikasi terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Komplikasi yang berhubungan dengan Intubasi

1) Komplikasi slang endotrakeal (berpindah, tercabut, tersumbat,

atelectasis setelah ekstubasi, lekuk palatum).

2) Lesi trakea (erosi, granuloma, stenosis subglotis, trakeobronkitis

nekrotikan).

b. Komplikasi yang berhubungan dengan prematuritas

1) Paten duktus arteriosus (PDA), yang sering dikaitkan dengan

hipertensi pulmonal.

2) Perdarahan intraventrikuler.

3) Retinopati akibat prematuritas.

4) Kerusakan neurologis.

7
6. Uji Laboratorium dan Diagnostik

a. Kajian foto toraks

1) Pola retikulogranular difus bersama bronkogram udara yang

saling tumpang tindih.

2) Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat; hipoinflasi

paru.

3) Kemungkinan terdapat kardiomegali bila system lain juga terkena

(bayi dari ibu diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif).

4) Bayangan timus yang besar.

5) Bergranul merata pada bronkogram udara, yang menandakan

penyakit berat jika muncul beberapa jam pertama.

b. Gas darah arteri, hipoksemia dengan asidosis respiratorik dan/ atau

metabolic.

c. Hitung darah lengkap.

d. Elektrolit, kalsium, natrium, kalium, glukosa serum.

Rasio lesitin/ sfingomielin dan kadar fosfatidilgliserol berguna dalam

menetapankan waktu untuk menginduksi partus atau operasi sesar elektif

sebagai usaha mencegah RDS (Betz, 2009).

8
7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Betz (2009), penatalaksanaan medis neonatus dengan RDS yaitu:

a. Perbaiki oksigenasi dan pertahankan volume paru optimal.

1) Rumatan PaO2 50 sampai 80 mmHg, PaCO2 40 sampai 50, pH

paling sedikit 7,25.

2) Penggantian surfaktan melalui selang endotrakeal (endotracheal

tube, ET).

3) Tekanan jalan napas positif secara kontinu melalui kanul nasal

untuk mencegah kehilangan volume selama ekspirasi atau ventilasi

mekanik via ET untuk hipoksemia berat (PaO2 kurang dari 50

sampai 60 mmHg) dan/ atau hiperkapnia (PaCO 2 lebih dari 60

mmHg).

4) Pemantauan transkutan dan oksimetri nadi.

5) Pemberian bronkodilator aerosol.

6) Fisioterapi dada.

7) Tindakan kardiorespirasi tambahan (ventilasi frekuensi tinggi,

oksigenasi membrane ekstrakorporeal, oksida nitrat, ventilasi

cairan).

b. Pertahanan kestabilan suhu.

c. Berikan asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi yang tepat.

d. Pantauan nilai gas darah arteri, hemoglobin dan hematocrit, serta

bilirubin.

9
e. Lakukan transfuse darah seperlunya untuk mempertahankan

hematocrit, guna mengoptimalkan oksigenasi.

f. Pertahankan jalur arteri untuk memantau PaO2 dan pengambilan

sampel darah.

1) Berikan obat yang diperlukan.

2) Diuretic untuk mengurangi edema intertisial

3) NaHCO3 untuk asidosis metabolic

4) Antibiotikuntuk infeksi terkait

5) Analgesic untuk nyeri dan iritabilitas

6) Teofilin sebagai stimulasi respirasi

7) Vasopressor (dopamine, dobutamin)

8) Kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru

9) Bronkodilator

8. Pengkajian Kebidanan

a. Kaji status kardiorespirasi anak

b. Kaji oksigenasi anak

c. Kaji status hidrasi anak

d. Kaji status nutrisi anak

e. Kaji tingkat pertumbuhan anak

f. Kji interaksi bayi-keluuarga

g. Kaji kemampuan keluarga untuk melakukan koping terhadap

kebutuhan perawatan di rumah

(Betz, 2009)

10
9. Diagnosis Kebidanan

a. Gangguan pertukaran gas

b. Ketidakefektifan pembersihan jalan napas

c. Ketidakefektifan pola napas

d. Ketidaksembangan nutrisi

e. Hipotermia

f. Ketidakefektifan perfusi jaringan

g. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

h. Ketidakmampuan menjadi orang tua

i. Kelebihan volume cairan

j. Ketidakefektifan penatalksanaan program terapeutik

(Betz, 2009)

10. Intervensi Kebidanan

a. Pertahankan stabilitas kardiiorespirasi

1) Pantau kedalaman, kesimetrisan, dan irama pernafasan

2) Pantau kecepatan, kualitas, dan murmur bunyi jantung

3) Kaji responsivitas terhadap intervensi medis: ventilasi mekanik,

pemberian aerosol, dan terapi pengganti surfaktan

4) Pantau PaO2 melalui oksimetri nadi dan/ pemantauan transkutan

5) Pantau gas darah arteri dan data laboratorium

6) Pantau tekanan darah dan fluktuasinya saat melakukan aktivitas

dan pengobatan

11
7) Berikan obat sesuai indikasi

b. Optimalkan oksigenasi

1) Pantau korelasi antara posisi dan hasil pemantauan transkutan.

2) Atur pelaksanaan perawatan dan prosedur rutin dan kelompokkan

perawatan bila diperlukan.

3) Pertahankan posisi dan kepatenan ET atau nasal prongs.

4) Lakukan pengisapan sesuai keperluan. Masukkan kateter

pengisap hanya sampai ujung selang ET.

5) Berika sedative dan analgesic seperlunya.

6) Pertahankan stabilitas suhu.

c. Pertahankan cairan, nutrient, dan asupan kalori yang tepat.

1) Pertahankan akses IV yang sesuai.

2) Beri makan melalui rute yang paling sesuai dengan status medis

dan perkembangan anak.

3) Catat berat badan harian serta penjang dan lingkaran kepala bayi

setiap minggu.

4) Pantau dan catat asupan dan haluaran (termasuk produk darah,

urine, dan tinja); perksa pH dan berat jenisnya,

d. Tingkatan pertumbuhan dan perkembangan yang normal

1) Pertahankan lingkungan terapeutik dengan penanganan yang

terkendali dan stimulasi yang sesuai.

2) Identifikasi isyarat stress dan interaksi individu

12
3) Sesuaikan pemberian asuhan kebidanan dan prosedur dengan

tingkat toleransi bayi.

4) Fasilitasi interaksi orang tua-bayi dengan mengajarkan kepada

orang tua untuk memeluk bayi, untuk berpartisipasi dalam

perawatan kangguru, dan untuk memberikan beberapa perawatan

rutin bagi bayi.

5) Ikut sertakan anggota keluarga dekat (saudara kandung) dalam

perawatan bayi sesegera mungkin.

(Betz, 2009)

13
B. Konsep Dasar Manajemen Asuhan Kebidanan pada Neonatus dengan

Sindrom Gangguan Pernapasan

I. PENGKAJIAN

A) Data subjektif

1. Identitas

a. Identitas klien

Nama :

Umur/tanggal lahir :Terdapat kolerasi terbalik antara

insidens RDS dan usia kehamilan,

semakin muda seorang bayi,

semakin tinggi resiko RDS. Akan

tetapi, tampaknya kasus-kasus RDS

lebih tergantung pada kematangan

paru daripada usia gestasi. Di

diagnosis pada 25% bayi dengan

usia gestasi 34 minggu dan 80%

bayi yang usia gestasinya kurang

dari 28 minggu (Betz, 2009).

RDS 5 - 10% terjadi pada bayi

kurang bulan (Lemon, 2011).

Jenis kelamin :RDS terjadi dua kali lebih banyak

pada laki-laki daripada perempuan

(Betz, 2009).

14
Suku/ bangsa :Insiden RDS pada bayi premature

kulit putih lebih tinggi daripada

kulit hitam (Nelson, 2003).

Tanggal MRS :

Diagnose medis : Sindrom Gangguan Pernapasan

Nama ayah :

Usia ibu :

Pendidikan ayah/ibu :

Pekerjaan ayah/ibu :

Agama :

Suku/ bangsa :

Alamat :

2. Riwayat Kesehatan Klien

a. Riwayat kesehatan sekarang

1) Keluhan utama : Gelisah, napas cepat dan tidak

teratur, tampak retraksi dinding dada,

merintih saat menghembuskan napas,

bayi tampak sianosis sentral (biru

pada lidah dan bibir) dan suhu tubuh

rendah (Sudarti, dkk., 2010; hal. 87-

88)

15
2) Riwayat perjalanan penyakit dan upaya untuk

mengatasi

Tanggal dan waktu keluhan, bentuk keluhan,

faktor pencetus atau latar belakang yang berhubungan

dengan keluhan, perjalanan penyakit sejak keluhan

termasuk durasi dan kekambuhatau ketidaknyamanan,

lokasi spesifik, jenis nyeri, gejala lain yang berkaitan,

hubungan dengan fungsi dan aktivitas tubuh, faktor

yang mempengaruhi masalah, baik yang perparah atau

yang meredakan, bantuan medis sebelumnya untuk

masalah ini, dan keefektifan suatu terapi atau obat yang

digunakan (Varney, 2007).

b. Riwayat Kesehatan yang Lalu

Ditanyakan untuk mengetahui penyakit yang pernah

diderita sebelumnya apakah pernah menderita penyakit

menular seperti TBC, hepatitis, malaria ataupun penyakit

keturunan seperti jantung, darah tinggi, ginjal, kencing

manis, serta untuk mengetahui pernah dirawat di rumah

sakit atau tidak (Varney, 2006).

Selain itu kenaikan frekuensi juga sering terjadi pada

bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi

darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu menderita

16
penyakit diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio sesarea

serta perdarahan antepartum (Surasmi, dkk. 2003).

3. Riwayat Kesehatan Keluarga

Penyakit genetik yang menurun dan meningkat

kecenderungannya pada rasa atau etnis tertentu dapat

mempengaruhi hasil akhir kehamilan (Wheeler, 2003).

Genogram adalah suatu alat bantu berupa peta skema dari

silsilah skema keluarga yang berguna bagi pemberi layanan

kesehatan untuk segera mendapatkan informasi tentang nama

anggota keluarga pasien, kualitas hubungan antar anggota

keluarga (Gan, 2004). Genogram adalah biopsikososial pohon

keluarga, yang mencatat tentang siklus kehidupan keluarga,

riwayat sakit di dalam keluarga serta hubungan antar anggota

keluarga (Daniel & Lorenz, 2005).

Di dalam genogram berisi, nama, umur, status menikah,

riwayat pernikahan, anak-anak, keluarga satu rumah,

penyakit-penyakit spesifik, tahun meninggal dan

pekerjaan. Juga terdapat informasi tentang hubungan

emosional, jarak atau konflik antar anggota keluarga,

hubungan penting dengan professional yang lain serta

informasi-informasi lain yang relevan (Gan, 2004). Dengan

17
genogram dapat digunakan juga untuk menyaring

kemungkinan adanya kekerasan didalam keluarga (Sloane &

Jacques, 2002).

Genogram idealnya diisi sejak kunjungan pertama anggota

keluarga, dan selalu dilengkapi setiap ada informasi baru

tentang anggota keluarga pada kunjungan selanjutnya (Gan,

2004; Sloane & Jacques, 2002; dan Daniel & Lorenz, 2005).

4. Pola fungsional kesehatan

Kebutuhan dasar Keterangan

Pola Nutrisi

Pola Eliminasi

Pola Aktifitas

Pola

Personal Hygiene
Pola Istirahat

B) Data Objektif

1. Pemeriksaan umum

Kesadaran : Compos mentis

18
Tanda-tanda vital:

Tekanan darah : Neonatus mengalami hipotensi rata-

rata 35 - 40 mmHg pada neonatus

normal TD 65/41 mmHg (Tucker,

2004).

Nadi : bayi mengalami takikardia nadi

>160 x/menit (Betz, 2009).

Suhu : Axila <36,50C (Hipotermia akan

meningkatkan konsumsi oksigen

dan meningkatkan risiko RDS

(Meadow, 2005).

Nafas : > 60 x/ menit (Betz, 2009).

Denyut Jantung : 120-140 x/ menit (Wong, 2009).

Antropometri:

Panjang badan : < 45 cm (Manuaba, 2007).

Berat badan : Sindrom pernafasan sering terjadi

pada bayi preterm, masa gestasi 32

minggu berat badan >1,5 kg, usia

gestasi 28-32 minggu berat badan

1,0-1,5 kg, usia gestasi <28 minggu

berat badan < 1 kg (Hull dkk, 2008).

Pada gangguan pernapasan berat,

19
berat badan <2500 gram (Sudarti,

dkk., 2010).

LILA : 9,5 - 11 cm (Hidayat, 2009).

Lingkar kepala : Fronto occipitalis 33 cm (Manuaba,

2007).

Lingkar dada : 30 cm (Manuaba, 2007).

Lingkar perut : 30 cm (Manuaba, 2007).

2. Pemeriksaan Fisik

Kulit : Tampak sianosis sentral (biru pada lidah

dan bibir) (Sudarti, dkk., 2010; hal. 87).

Kepala :

Wajah :

Mata :

Hidung : Tampak pernapasan cuping hidung,

terdengar merintih saat ekspirasi (Sudarti,

dkk., 2010).

Telinga :

Mulut :

Leher :

20
Dada : Retraksi intercostal dan sternal. Auskultasi

dada suara nafas kasar ronki basah (Betz,

2009).

Abdomen :

Genetalia eksternal :

Anus :

Ekstermitas :

3. Pemeriksaan neurologis/ refleks

Otot pada bayi yang mengalami sindrom pernafasan

masih lemah, sehingga nafasnya dan tangisannya lemah/

merintih dan kemampuan hisapnya masih kurang (Manuaba,

2007).

Refleks sucking, sindrom pernafasan biasanya terjadi

pada bayi premature. Akibatnya reflek menghisap dan menelan

lemah dikarenakan belum matangnya keadaan pada bayi yang

mengalami sindrom pernafasan (Manuaba, 2007).

21
II. INTERPRETASI DATA DASAR

Diagnosis:

 NA/ NP, KMK/ BMK/ SMK, Usia … (jam/ hari) dengan Sindrom

Gangguan Pernapasan.

Keterangan : NA : Neonatus Aterm

NP : Neonatus Preterm

KMK : Kecil Masa Kehamilan

SMK : Sesuai Masa Kehamilan

BMK : Besar Masa Kehamilan

 Bayi usia … (bulan) dengan …..

 Balita usia … (tahun) dengan ….

 Anak usia …. (tahun) dengan …..

Masalah:

1. Pernapasan cuping hidung

2. Takipnea

3. Menurunnya komlians paru

4. Hipotensi Sistemik

Tampak pernapasan cuping hidung, takipnea (napas lebih

dari 60x/ menit), Menurunnya komlians paru (napas turun naik

paradoksal), Hipotensi Sistemik (pucat perifer, edema, pengisian

kapiler tertunda lebih dari 3 – 4 detik) (Betz, dkk., 2009).

22
Kebutuhan:

Perbaiki oksigenasi dan pertahankan paru optimal. Tekanan

jalan napas positif secara kontinu untuk mencegah kehilangan

volume selama ekspirasi atau ventilasi mekanik ET untuk

hipoksemia berat dan/ atau hiperkapnia. Pertahankan kestabilan

suhu bayi dan berikan asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi yang

tepat (Betz, dkk., 2009).

III. IDENTIFIKASI DIAGNOSIS/ MASALAH POTENSIAL

Jika sindrom pernafasan tidak segera ditangani, akan

menimbulkan masalah potensial diantaranya:

1. Kebocoran Alveoli

2. Infeksi alat-alat respirasi

3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular

4. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

Apabila terjadi kebocoran udara (pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel),

pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala

klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang

menetap. Dan jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang

memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan

thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv

seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

23
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi

prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan

ventilasi mekanik. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan

penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada

bayi dengan masa gestasi 36 minggu (Wong, 2004).

IV. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN SEGERA

Penderita sindrom gangguan pernapasan dapat diberikan

posisi yang nyaman agar jalan napas terbuka dan dilakukan

tindakan oksigenasi (Betz, dkk., 2009).

V. INTERVENSI

1. Memberitahukan kepada klien atau orang tua klien mengenai kondisi

klien dari hasil pemeriksaan.

Rasional : Penjelasan mengenai hasil pemeriksaan merupakan hak

klien dan keluarga (Varney, 2007).

2. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan

melakukan terapi oksigen.

Rasional : Dilakukan terapi oksigen betujuan untuk memberikan

oksigen secara adekuat kejaringan, mencegah

akumulasi asam laktat, yang menyebabkan hipoksia,

dan pada saat yang sama untuk menghindari potensial

efek negatif baratrouma oksigen (Wong, 2004).

24
3. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada

posisi telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap

keatap dalam posisi ”mengendus”.

Rasional : Untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas dan

bertujuan agar jalan nafas pada bayi terbuka sehingga

mempermudah proses pernafasan (Wong, 2004).

4. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan, kenali

tanda-tanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung,

apnea.

Rasional : Memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan

mencegah terjadinya distres pernafasan (Wong, 2004).

5. Lakukan penghisapan lendir pada hidung dan mulut bayi.

Rasional : Menghilangkan mukus yang terakumulasi dari

nasofaring, trakea, dan selang endotrakeal (Wong,

2004).

6. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan

seperti crakles, dan wheezing

Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada

ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan

dipermukaan jaringan yang disebabkan oleh

peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler.

25
Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya

mukus pada jalan nafas (Wong, 2004).

7. Kaji adanya sianosis

Rasional : Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr

dari Hb) sebelum sianosis muncul. Tanda sianosis

dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya

hipoksemia sistemik, sianosis perifer seperti pada kuku

dan ekstremitas adalah vasokontriksi (Wong, 2004).

VI. IMPLEMENTASI

Pelaksanaan dilakukan dengan efisien dan aman sesuai dengan

rencana asuhan yang telah disusun. Pelaksanaan ini bisa dilakuan

seluruhnya oleh bidan atau sebagian dikerjakan oleh klien atau

anggota tim kesehatan lainnya.

VII. EVALUASI

Evaluasi merupakan penilaian tentang keberhasilan dan

keefektifan asuhan kebidanan yang telah dilakukan. Evaluasi

didokumentasikan dalam bentuk SOAP.

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas

(Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk

disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang

berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley

dan Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline

membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada

penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Gejala

berikut terlihat pada 2 sampai 8 jam pertama kehidupan:

1. Takipnea (napas lebih dari 60 kali permenit)

2. Retraksi intercostal dan sternal

3. Dengkur ekspiratori

4. Pernapasan cuping hidung

5. Sianosis sejalan dengan peningkatan hipoksemia

6. Menurunnya komlians paru (napas turun-naik paradoksal)

7. Hipotensi sistemik (pucat perifer, edema, pengisian kapiler tertunda lebih

dari 3 sampai 4 detik)

8. Penurunan bunyi napas dengan bising

9. Takikardia karena terjadinya asidosis dan hipoksemia

RSD adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri. Perbaika baisanya

terlihat 48 sampai 72 jam setelah lahir bila terjadi regenerasi sel alveolar tipe

27
II dan dihasilkannya surfaktan. Penampakan dan durasi gejala dapat berubah

dengan pemberian surfaktan buatan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan adalah laksanakanlah

penatalaksanaan yang sebaik-baiknya pada neonatus dengan sindroma gawat

nafas ini, dan hindari terjadinya kelahiran prematur serta persalinan dengan

seksio sesarea tanpa indikasi medis. Sehingga pada akhirnya akan dapat

menurunkan ngka kematian neonatus.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Eny Retna. 2009. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra

Cendikia Offset.

Behrman, Kliegman Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume

3. Jakarta: Penerbit Kedokteran, EGC.

Betz C. L., Sowden L. A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Deslidel, dkk. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran, EGC.

Marmi, dkk. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muslihatun, wafi nur.2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta:

Fitramaya.

Nelson. 2003. Ilmu Kedokteran Anak Edisi 15. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Prawirohardjo, Sarwono, 2006, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.

Jakarta : YBP – SP.

Salemba Medika.

Sudarti, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak Balita.

Yogyakarta: Nuha Medika.

29
Sulistyawati, Ari. 2010. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta:

Salemba Medika.

Sulistyawati, Ari. 2012. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta:

Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Tambunan, Eviana S. dkk. 2011. Panduan Pemeriksaan Fisik bagi Mahasiswa

Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Wahyuni Sari. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Wheeler. 2003. Buku Saku Perawatan Pranatal dan Pascapartum. Jakarta: EGC

Wong, Donna, L. 2004. Keperawatan Pediatrik. Jakarta : Buku Kedokteran, EGC.

30

Anda mungkin juga menyukai