NIM : 192221
Pada zaman dahulu di Provinsi Sumatera Utara terdapat suatu desa yang indah dan subur.
Desa itu bernama Gunung Meriah. Letaknya di bawah kaki gunung dengan alam yang asri dan
tanah yang subur sehingga penduduknya makmur dan sejahtera. Di desa ini, mayoritas
penduduknya adalah suku Karo.
Pada suatu hari, desa tersebut mengadakan pesta tahunan masyarakat Karo, yang
dinamakan Kerja Tahun (Rebu-rebu). Perayaan Rebu-rebu berlangsung selama 2 hari.Pada hari
pertama, setiap keluarga berkumpul bersama di rumah masing- masing untuk mengadakan
“mukul” (memakan nasi putih dengan ikan lele). Masyarakat Karo menyakini dengan melakukan
mukul, keluarga tetap sehat dan hasil panen berlimpah serta tanaman terhindar dari hama
penyakit.
Ketika hari sudah malam, semua orang setempat berkumpul di suatu jambur untuk
bersukaria bersama atas nikmat dari hasil panen mereka. Mereka menari bersama dan bernyanyi
diiringii musik tradisional Karo (seruling, gong, dan gendang). Begitulah mereka merayakan
Rebu-rebu satu malam suntuk hingga pagi hari.
“Kami tidak mau memberi makanan dan minuman kami kepada orang asing seperti dirimu.
Sekarang, pergilah menjauh dari acara kami ini!”, jawab orang itu dengan marah.
Nenek itu pergi dengan sedih ke rumah yang lain. Disitu ia bertemu dengan bapak paruh
baya yang kaya raya.
“Pak, bolehkah saya meminta sedikit makanananmu?. Tolonglah aku, sudah lama aku sudah
tidak makan”, katanya memohon.
“Hahaha, lucu sekali kau ini. Kami saja tidak mengenal dirimu. Untuk apa aku sibuk
membantumu?. Sana minta ke yang lain nenek tua bau”, kata bapak itu sambil memaki-maki.
Lalu nenek itu pergi lagi meminta bantuan ke rumah-rumah yang lain. Tapi semuanya
menolak dan memakinya. Tiada satupun yang bersedia membantunya. Malahan, ia dimaki-maki,
dihina, bahkan diusir.
Nenek itu amat sedih dan kecewa. Dalam doanya, ia mengatakan “Semoga Tuhan
menyadarkan penduduk desa ini. Penduduk desa ini sangat sombong dan tidak mempedulikan
orang asing yang melarat”.
Sampai pada akhirnya, nenek itu mendapatkan pertolongan dari seorang janda di desa itu.
Wanita itu sangat kasihan kepadanya.
“Nak, tolong berikan aku segelas air saja. Aku sangat kelaparan dan badanku letih sekali”, ujar
nenek itu kepada janda.
“Saya hanya punya beberapa potong ubi. Apakah kau mau?”, tanya janda tersebut.
“Apapun saya mau. Saya merasa lapar sekali”, jawab nenek itu.
Dia memberi makan dan minum nenek itu. Sehingga nenek itu pun merasa kenyang dan
senang. Nenek itu sangat berterimakasih kepada janda itu, dan segera meninggalkan desa itu.
Keesokan harinya sekitar pukul 5 pagi, Desa Gunung Meriah dilanda bencana yang
sangat dahsyat. Gempa bumi yang kuat mengoncangkan seluruh isi desa itu, mulai dari tanah,
rumah-rumah, hingga penduduk. Seluruh isi didalamnya hancur. Batu-batu berjatuhan. Semua
rumah hancur dan semua orang disana mati ditelan bumi. Kecuali, janda yang pernah menolong
nenek tua dulu. Hal itu aneh dan ajaib.
Peristiwa itu membuat penduduk baru yang menempati desa seteleh gempa bumi,
menamakan desa tersebut Gunung Meriah. Kata Meriah berasal dari bahasa Karo yang artinya
gembira dan sukacita. Maksudnya agar semua orang dapat bersukacita dalam hal apa pun,
khususnya sukacita menolong orang asing yang membutuhkan bantuan dan bisa menghargai
setiap orang.
Sekarang, Desa Gunung Meriah, yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Sumut
memiliki kondisi tanah yang masih subur, namun banyak batu-batuan besar maupun sedang yang
bertebaran di seluruh tanah desa ini akibat gempa bumi yang terjadi.