Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Tradisi Mangongkal Holi


Mangongkal Holi adalah sebuah tradisi upacara adat yang diselenggarakan untuk
menggali makam orang yang sudah lama meninggal untuk diambil tulang-belulangnya dan
dipindahkan ke tempat baru. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur
(Rahmawati, 2020). Mangongkal Holi merupakan salah satu ritual adat yang terkenal di Tanah
Batak, Sumatera Utara. Ritual ini diawali dengan kisah leluhur yang hadir kepada salah satu
anggota keluarga lewat mimpi ataupun pengelihatan. Dalam mimpi, leluhur memohon kepada
keluarganya untuk dipindahkan ke tempat yang lebih baik, lebih layak, dan lebih sempurna dari
tempat yang sebelumnya. Ritual ini dilakukan oleh kelompok marga yang sudah memilki
keturunan besar dan tersebar di seluruh daerah. Dalam pelaksanaan tradisi Mangongkal Holi,
secara langsung dapat mempersatukan seluruh keturunan yang berasal dari leluhur tersebut dari
berbagai daerah. Selain itu, tradisi Mangongkal Holi dilakukan dengan tujuan agar mendapat
hagabeon (panjang umur), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan) dari leluhur
kepada keturunannya. Tradisi ini menunjukan kekerabatan atau persaudaraan antar masyarakat
Suku Batak Toba dan keturunan marga tetap bertahan serta terjalin dengan baik (Hutagaol,
2020). Dalam Suku Batak, ada keyakinan bahwa arwah seseorang yang sudah meninggal akan
hidup abadi. Hal ini bisa dicapai dengan menaruh tulang-belulangnya ke tempat yang lebih layal
(tinggi) yang memiliki arti mendekatkan arwah itu kepada penciptanya. Yang menjadi tujuan
utama tradisi Mangongakl Holi, yaitu menyatukan jasad seseorang dengan kerabat keluarga yang
dicintainya. Masyarakat Batak memiliki keyakinan bahwa jasad mereka harus disatukan dalam
satu tempat yang sama. Tradisi Mangongkal Holi juga merupakan simbol dari tingginya martabat
dari sebuah keluarga di Batak. Mangongkal Holi dipercaya akan mengangkat martabat dari
sebuah marga dengan menghormati orang tua dan para leluhur. Semakin indah dan mahal suatu
makam atau tugu, maka semakin jelas dan bergengsi status marga pemilik makam atau tugu
tersebut (Rahmawati, 2020).
Tradisi Mangongkal Holi melewati lima rangkaian proses acara, yang meliputi Tinopot
Ma Aka Hula-Hula Ni Si Okalon I, Martonggo Raja, Proses Penggalian Makam, Upacara Serah
Terima Tulang, dan yang diakhiri dengan Upacara Mangongkal Holi.
a. Tinopot Ma Aka Hula-Hula Ni Si Okalon I
Tradisi Mangongkal Holi ini diawali dengan Tinopot Ma Aka Hula-Hula Ni Si
Okalon I yang bertujuan untuk memanggil ketiga pihak, yaitu kelompok marga istri yang
digali atau tiga tingkatan di atas pihak yang memiliki acara (Ima Bona Ni Arina);
keluarga kandung atau satau marga/klan pihak istri yang akan digali (Hula-Hulana Nan I
Okal); pihak paman dari anak atau cucu yang ingin melakukan upacara (tulang na) yang
bertujuan untuk memberitahu atau meminta restu serta mengundang untuk turut hadir
dalam upacara yang akan dilakukan (Hutapea, 2015).

b. Martonggo Raja
Setelah dilakukan Tinopot Ma Aka Hula-Hula Ni Si Okalon I, dilanjutka dengan
proses Martonggo Raja, yaitu mengumpulkan semua pihak yang terkait atau terlibat
dalam upacara tradisi Mangongkal Holi (Hutapea, 2015). Dikutip dari artikel yang ditulis
oleh Fransiska Dessy Putri (2015), Martonggo Raja merupakan kegiatan yang wajib
dilaksanakan dalam pelaksanaan upacara Mangongkal Holi. Yang bertujuan untuk
mengetahui ataupun kesiapan dari pihak keluarga, kapan hari H pelaksanaa, peralatan,
dan biaya yang diperlukan dengan mengumpulkan semua anggota keluarga yang akan
melaksanakan upacara dengan mengundang dongan tubu, tulang, dongan sahuta agar
terlaksana kegiatan.
Dalam proses Martonggo Raja biasanya mengumpulkan semua para penetuah
kampung, marga yang menjalankan adat, teman sekampung, serta semua yang terkait
hubungan dengan adat yang akan dilakukan, begitu juga pihak yang akan melakukan
upacara adat untuk turut serta membantu pelaksanaan upacara ini. Pada proses
Martonggo Raja dilakukan pembacaan doa, bertujuan untuk keselamatan dan penggalian
agar cepat bisa menemukan tulang-belulang yang akan digali (Hutapea, 2015).

c. Proses Penggalian Makam (Mengombak)


Setelah Martonggo Raja, dilanjutkan dengan proses penggalian makan. Pada proses
penggalian makam, akan diawali dengan memanjatkan doa dan melakukan pujian-pujian
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dipimpin oleh pemuka agama. Selanjutnya penetuah
atau pemuka agama yang layak pertama kali mencangkul makam yang akan digali,
selanjutnya oleh Bona Ni Ari (paman dari pihak mendiang yang akan digali) sebagai
pembuka dalam penggalian tersebut setelah pihak pemuka agama. Dilanjutkan oleh
paman, kemudian pihak mertua, dan anak kandung/anak kesayangan mencangkul tanah
sebanyak tiga kali. Setelah ditemukan tulang belulangnya, maka diberitahu kepada pihak
Boru Hasuhutan (suami dari anak perempuan kandung) untuk mengangkat tulang
belulang. Pihak laki-laki di makam sudah bersedia menerima tulang belulang dari pihak
Boru Hasuhutan, pihak laki-laki harus menjaga tulang belulang agar tetap bersih dan
dalam keadaan baik. Selanjutnya tulang belulang dibersihkan dengan air yang sudah
dicampur dengan karbol, dan air kunyit). Air kunyit berfungsi untuk mencegah atau
menjata tulang belulang agar warna dari tulang tidak pudar. Setelah selesai dibersihkan,
anak tertua akan mengumumkan bahwa proses penggalian makan sudah selsai. Setelah
semua selesai, pihak anak akan menyampaikan sepatah dua patah kata kepada pihak
paman untuk memberikan Ulos Timpus atau kain khas Batak yang digunakan untuk
melapisi atau membungkus tulang belulang (Hutapea, 2015). Ulos merupakan unsur
budaya Batak yang lambangkan kesucian. Setelah dibungkus dengan kain Ulos, tulang
belulang ditempatkan di Ampang (bakul) (Putri, 2015).

d. Proses Serah Terima Tulang


Setelah selesai proses penggalian makam (penggalian, pembersihan tulang belulang,
maupun pembungkusan), maka dilanjutkan proses serah terima tulang. Prose serah terima
tulang dilakukan oleh pihak paman (sebagai penyerah) kepada pihak keturunan (Hutapea,
2015).

e. Upacara Mangongkal Holi


Setelah empat rangkaian acara selesai (Tinopot Ma Aka Hula-Hula Ni Si Okalon I,
Martonggo Raja, Proses Penggalian Makam, dan Proses Serah Terima Tulang),
dilanjutkan dengan pengucapan terima kasih serta penghormatan terhadap pihak paman
yang paling dihormati di suku Batak, dilanjutkan pula pada acara membawa tulang
belulang yang telah dibersihkan dan dibungkus rapi masuk ke dalam peti. Setelah itu,
dibawa oleh pihak istri atau anak tertua dengan menaruh di atas kepala. Pada saat
memberikan kata-kata terakhir ditujukan pada semua keturunan yang hadir dan berlanjut
memasukan tulang belulang ke dalam tugu yang sudah disediakan. Penetuah gereja
datang untuk memberikan doa dan berkat (Hutapea, 2015).

2.2 Nilai Agama dalam Tradisi Mangongkal Holi


Mangongkal Holi merupakan suatu pemaknaan akan nilai yang luhur terkandung di
dalam suatu tradisi. Mangongkal Holi merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat Toba kepada
para leluhur mereka, dan sebagai simbol untuk mempererat tali kekerabatan agar kuat serta erat
yang termanisfestasikan melalui Horja (pesta marga/pesta besar). Tradisi Mangongkal Holi
mengandung nilai-nilai agama dan spiritual. Nilai-nilai agama dan spiritual dari tradisi
Mangongkal Holi dapat dilihat melalui simbol maupun kegiatan keagamaan. Adapun simbol atau
kegiatan keagamaan yang terkandung dalam tradisi Mangongkal Holi, yaitu dalam rangkaian
tradisi Mangongkal Holi dipanjatkan doa dan pujian-pujian kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
yang dipimpin oleh pemuka agama (pendeta) memiliki tujuan agar pelaksanaan tradisi berjalan
dengan lancar dari awal hingga akhir acara. Dalam membungkus atau melapisi tulang-belulang
yang telah dibersihkan digunakan Kain Ulos. Kain Ulos juga merupakan salah satu nilai
keagamaan dalam tradisi Mangongkal Holi. Kain Ulos dipercaya memiliki nilai keimanan bagi
pembuat, pemberi, dan penerimanya. Kain Ulos menjadi simbol penyatuan antara manusia
dengan Tuhan dalam hal penyampaian doa dan harapan, karena setiap pemberian Kain Ulos
terdapat sebuah doa dan pengharapan bagi penerimanya (Schreiner, 2003). Dalam tradisi
Mangongkal Holi, Kain Ulos yang digunakan untuk melapisi atau membungkus memiliki arti
kesucian.

2.3 Nilai Etika yang Terkandung dalam Tradisi Mangongkal Holi


Adapun nilai-nilai etika yang terkandung ddalam tradisi Mongongkal Holi, yaitu sebagai
berikut.
1. Menghormati orang tua atau leluhur
Dalam kehidupan kita haruslah berbakti (menghormati) orang tua atau leluhur kita.
Dari kecil hingga dewasa, orang tua memiliki peraanan bessr dalam merawat dan
mendidik anak-anaknya. Sebagai bentuk bakti (hormat) kepada orang tua, banyak sekali
hal-hal yang dapat dilakukan. Salah satunya yaitu tradisi Mangongkal Holi. Bagi
masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara, melaksanakan Mangongkal Holi dapat
mengangkat martabat keluarga atau marga dengan menghormati leluhur atau orang tua.
Masyarakat Batak Toba juga percaya bahwa kematian bukan akhir perjalanan hidup,
namun justru tahap untuk mencapai kesempurnaan. Lewat upacara adat Mangongkal Holi
ini maka akan tercapai hasangapon yang artinya kehormatan atau kemuliaan sebuah
marga atau keturunan.

2. Menjalin Hubungan Baik antara Suku Batak


Tradisi Mangongkal Holi merupakan tradisi yang cukup besar jika dilaksanakan.
Yang terlibat dalam pelaksanaan Mangongkal Holi merupakan keluarga besar dari
leluhur dan tetangga sekampung. Dalam melaksanakan setiap rangkaian kerabat akan
saling bahu membahu untuk menyelesaikan tradisi ini, sehingga rasa saling menghargai
tumbuh dan dapat menjalin hubungan baik antar sesama.

3. Mempererat Hubungan antara Keluarga atau Marga


Tradisi Mongongkal Holi ini merupakan adat Suku Batak sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur atau orang tua, yang dilakukan dengan kekeluargaan (dari
awal pelaksanaan kegiatan sampai akhir) untuk bisa bersama-sama mengangkat martabat
atau marga keluarganya. Tradisi ini menjadi salah satu wadah untuk berkumpulnys
anggota keluarga besar atau marga, sehingga dapat saling mengenal satu dengan yang
lainnya dan dapat mempererat hubungan kekeluargaan.

2.4 Unsur Kimia yang Terdapat dalam Tradisi Mangongkal Holi


tradisi turun-menurun masyarakat Batak yaitu Mangongkal Holi (mengambil tulang-
belulang dari makam leluhur yang sudah lama meninggal). Tulang-belulang yang diambil akan
ditempatkan di dalam peti, setelah itu akan diletakan dalam sebuah bangunan tugu khusus untuk
menyimpan tulang-belulang leluhur. Adapun unsur kimia yanng terkandung dalam tradisi
Mangongkal Holi, yaitu sebagai berikut.
1. Membersihkan tulang-belulang dengan karbol
Karbol merupakan pembersih yang mengandung banyak zat kimia antara lain seperti
Cresylic Acid, Ethoxylated Alcohol, Benzalkonium Chloride, Sodium Laureth Sulfate
(SLS). Senyawa-senyawa tersebut dapat membersihkan tulang-belulang dari kotoran
(tanah yang menempel).
2. Membersihkan tulang-belulang dengan air kunyit
Dalam tradisi Mangongkal Holi, membersihkan tulang-belulang dengan air kunyit setelah
penggalian makam memiliki tujuan agar warna dari tulang-belulang tidak pudar. Kunyit
mengandung senyawa yang dapat mengawetkan. Senyawa yang terkandung dalam kunyit
salah satunya adalah kalsium yang dapat mempengaruhi warna dari tulang-belulang
(kekuatan tulang-belulang). Kunyit juga mengandung zat besi yang dapat menjaga
kekuatan tulang.
Daftar Pustaka
Rahmawati, Fatimah. 2020. 6 Fakta Menarik Mangokal Holi, Tradisi Pemindahan Tulang
Belulang Leluhur Suku Batak. https://www.merdeka.com/sumut/6-fakta-menarik-mangokal-holi-
tradisi-pemindahan-tulang-belulang-leluhur-suku-batak.html#:~:text=Mangokal%20Holi
%20adalah%20sebuah%20tradisi,sebagai%20bentuk%20penghormatan%20kepada%20leluhur.
(Diakses pada tanggal 11 Maret 2021).

Hutagaol, Firman Oktavianus, dan Iky Sumarthina P. Prayitno. 2020. Perkembangan Ritual Adat
Mangongkal Holi Batak Toba dalam Kekristenan di Tanah Batak. online
http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/anthropos. (Diakses pada tanggal 11 Maret 2021).

Hutapea, Asfika Yogi. 2015. Upacara Mangokal Holi pada Masyarakat Batak di Huta Toruan,
Kecamatan Banuarea, Kota Tarutung Sumatera Utara. Volume II No. 2. Jimbaran : Universitas
Udayana.

Nasution, F.H.,(2019).70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia.Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Ritzer,G,(2012). Teori Sosiologi Klasik: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (edisi Kedelapan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sagala,M, (2008). Injil dan Adat Batak: Menggali Tulang-Belulang Ompung. Jakarta: Yayasan
Bina Muda.
Singgih, E.G, (2007). Berteologi dalam konteks. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Situmorang, S. 2009. Toba Na Sae. Jakarta: Komunitas Bambu.
Schreiner,L. 2003. Adat dan Injil: Perjumpangan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak.
Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai

  • Etika Agama
    Etika Agama
    Dokumen12 halaman
    Etika Agama
    Peserta2020Ning Agnis Purnama Sari
    Belum ada peringkat
  • Soal A
    Soal A
    Dokumen2 halaman
    Soal A
    Peserta2020Ning Agnis Purnama Sari
    Belum ada peringkat
  • Soal B
    Soal B
    Dokumen1 halaman
    Soal B
    Peserta2020Ning Agnis Purnama Sari
    Belum ada peringkat
  • Tugas Laporan Protozoa
    Tugas Laporan Protozoa
    Dokumen5 halaman
    Tugas Laporan Protozoa
    Peserta2020Ning Agnis Purnama Sari
    Belum ada peringkat
  • Tugas MKKL Kelas B
    Tugas MKKL Kelas B
    Dokumen5 halaman
    Tugas MKKL Kelas B
    Peserta2020Ning Agnis Purnama Sari
    Belum ada peringkat