Anda di halaman 1dari 38

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Laringoskopi Intubasi

Salah satu tanggung jawab seorang ahli anestesi adalah memberikan

pernafasan yang adekuat kepada pasien. Upaya yang sering dilakukan adalah

dengan melakukan laringoskopi dan intubasi. Laringoskopi merupakan tindakan

memvisualisasi laring dengan menggunakan laringoskop. Intubasi endotrakea

adalah suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Tindakan laringoskopi dan

intubasi merupakan tindakan yang sering dilakukan dalam pengelolaan jalan nafas

pada anestesi umum. Dalam tindakan laringoskopi dan intubasi terdapat

komplikasi yang dapat dialami seorang pasien disebabkan baik oleh respon

mekanik dari tindakan itu sendiri maupun respon kelenjar adrenergik. Komplikasi

tersebut berupa peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung

(Morgan,dkk.,2013). Pada tahun 1940, Reid dan Brace pertama kali

menggambarkan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi.

Peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung saat tindakan

laringoskopi dan intubasi ini dapat merugikan pasien, terutama pasien-pasien yang

memiliki faktor penyulit kardiovaskular, peningkatan tekanan intrakranial, dan

anomali pembuluh darah otak (Reid.LC, dkk., 1940; Gurulingappa, dkk., 2012).

Keberhasilan intubasi, memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan

nafas.
2

1.1.1 Anatomi Jalan Nafas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang

menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis).

Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian

bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 2.1). Faring berbentuk U dengan

struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid

pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung,

mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring

dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah,

secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring).

Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis (gerbang laring) pada

saat menelan (Morgan, dkk., 2013).

Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas

Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot.
3

Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2.2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang)

aritenoid, kornikulata dan kuneiforme (Morgan, dkk., 2013).

Gambar 2.2 Struktur Kartilago Laring

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 2.3).

Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi oftalmik (V1) saraf

trigeminal (saraf etmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maksila (V2)

(saraf sfenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensorik dari saraf

trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle

dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V 3] saraf

trigeminal) dan saraf glosofaringeal (sarafkranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada

dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf

fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf

glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum

molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis.

Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf

laringeus eksternal yang bersifat motorik dan saraf laringeus internal yang bersifat

sensorik untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu
4

saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakea (Morgan,

dkk., 2013).

Gambar 2.3 Syaraf sensoris jalan nafas atas

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal

superior) dengan pengecualian otot krikotiroid yang dipersarafi oleh saraf laringeal

eksterna (motorik). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, sementara otot

krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama(Morgan, dkk., 2013).

Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri

krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari arteri

carotis eksterna dan menyilang pada membran cricotiroid bagian atas, yang memanjang

dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior ditemukan sepanjang tepi

lateral dari membran krikotiroid (Morgan,dkk., 2013).

2.1.2. Tehnik intubasi orotrakea

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien

harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
5

ketegangan punggung operator anestesi yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid

laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk

melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas

meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi

sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher difleksikan dengan

menepatkan kepala diatas bantal.

Gambar 2.4 Posisi sniffing dan laringoskopi dengan bilah Macintosh

Setelah induksi anestesi umum, laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan

mulut pasien terbuka lebar, bilah dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-

hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring

dengan pinggir bilah. Puncak dari lengkung bilah biasanya di masukan ke dalam

vallecula, dan jika menggunakan bilah lurus ujung bilah diletakan menutupi epiglotis.

Pegangan diangkat kearah depan atas untuk melihat pita suara pasien. Terperangkapnya
6

lidah antara gigi dan bilah serta tindakan pengungkitan dengan bantalan menggunakan

gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujung distal dilewatkan

melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Cuff ETT harus berada dalam trakea, superior

dari karina. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi.

Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk menghindari

kebocoran selama ventilasi tekanan positif, dan untuk meminimalkan tekanan yang

ditransmisikan pada mukosa trachea (Morgan, dkk., 2013).

2.1.3. Respon Laringoskopi Intubasi

Traktus respiratorius kaya akan reseptor, dengan distribusi terbanyak pada laring

dan pada bagian proksimal trakeobronkial. Terdapat empat tipe reseptor sensorik pada

saluran nafas: (1) reseptor regang yang terdapat pada dinding jalan nafas, lambat

beradaptasi memiliki saraf berdiameter besar dan bermielin; (2) ujung saraf yang

terdapat pada dan di bawah epitelium yang berespon terhadap stimulus kimia dan

mekanik, cepat beradaptasi dan memiliki saraf dengan diameter kecil dan bermielin; (3)

reseptor dengan saraf tanpa mielin, polimodal, distimulasi oleh kerusakan jaringan dan

edema, berfungsi sebagai nosiseptor; (4) reseptor yang khusus untuk rasa dan menelan.

Rangsang mekanik pada saat laringoskopi intubasi akan menstimulasi

mekanoreseptor dan nosiseptor untuk dilanjutkan melalui jaras aferen. Jaras aferen

somatik maupun viseral terintegrasi penuh dengan sistem simpatis di medulla spinalis,

batang otak dan pusat yang lebih tinggi (Simmon S, 2002).

Laringoskopi dan intubasi merupakan noksius stimuli yang melalui jalur nyeri

(pain pathway) akan menghasilkan respon neuroendokrin. Jaras aferen dibawa oleh

nervus glossofaringeus dari jaras trakeobronkial melalui nervus vagus yang akan
7

mengaktifasi sistem simpatis. Aktifasi sistem simpatis akan melepaskan katekolamin

dari medula adrenal.

Tindakan laringoskopi dan intubasi trakea mengakibatkan peningkatan tonus

simpatis yang secara klinis dapat dilihat dengan meningkatnya respon kardiovaskular

berupa tekanan darah dan laju nadi. Mekanisme respon kardiovaskular terhadap intubasi

merupakan reflek simpatis terhadap stimulasi mekanik pada laring dan trakea.

(Montazeri K,dkk.,2011). Peningkatan aktivitas simpatis juga berkorelasi positif dengan

kadar katekolamin plasma, tetapi hemodinamik lebih cepat pulih dibandingkan kadar

katekolamin plasma (Hassan, dkk., 1991). Peningkatan tekanan arteri rerata saat

intubasi berkorelasi dengan peningkatan katekolamin plasma terutama noradrenalin

(Gupta A, 2009). Tekanan darah dan laju nadi naik dalam waktu 5 detik setelah

laringoskopi kemudian mencapai puncak dalam waktu 1-2 menit dengan kenaikan

tekanan arteri rerata berkisar 50-70 mmHg (Joseph E Parrillo, dkk., 2014; Carin A,

dkk., 2013). Perubahan tekanan darah dan laju nadi direkomendasikan tidak boleh

melebihi 20% dari nilai dasar, terutama pada penderita dengan riwayat atau memiliki

resiko iskemia jantung (Morgan, dkk.,2013; Stoelting, 2006).

Laju nadi berperan menyebabkan terjadinya iskemia miokard dibandingkan

tekanan darah karena kenaikan laju nadi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen

miokardium dan menurunkan hantaran oksigen miokardium, walaupun kenaikan

tekanan darah meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium dan meningkatkan

hantaran oksigen miokardium tetapi pada kondisi tertentu seperti terjadinya sklerotik

pada arteri koronaria, hantaran oksigen ke otot miokardium juga terganggu (O’Brien,

dkk., 2006).

1.2 Laringoskop
8

2.2.1 Sejarah Laringoskop

Laringoskop adalah alat bantu yang digunakan dalam melakukan tindakan

laringoskopi. Menurut ahli sejarah seperti Morell Mackanzie menyatakan bahwa

Benjamin Guy Babington (1794-1866) adalah yang pertama kali menemukan

laringoskop alatnya diberi nama glottiscope (Hunting, 2002). Namun Philipp von

Bozzini (1773-1809) dan Garignard de la Tour adalah dokter yang terlebih dahulu

menggunakan kaca mulut untuk melihat orofaring dan hipofaring (Koltai PJ, dkk., 1989;

Bailey B, 1996).

Pada tahun 1854, Manuel Garcia (1805-1906) seorang ahli vokal berkebangsaan

Spanyol adalah orang yang pertama melihat langsung fungsi glotis dan laring pada

manusia hidup menggunakan dua kaca dengan sinar matahari sebagai sumber

cahayanya. Sampai akhirnya pada 23 April 1895 ketika Afred Kirstein (1863-1922)

berkebangsaan Jerman yang mengambarkan pita suara pertama kali secara langsung

dengan menggunakan Laringoskop direct. Tindakan ini dilakukan di Berlin, dengan

menggunakan esofagoskop yang dimodifikasi, alat ini diberi nama autoscope.

Nampaknya kematian Raja Frederick III yang memotivasinya (Burkle CM, dkk., 2004).

Namun yang pertama kali melakukan tindakan intubasi orotrakea tanpa trakeostomi

ataupun tindakan invasive adalah seorang bedah syaraf Skotlandia bernama William

Macewen pada tahun 1880 yang dijabarkan pada tulisannya ‘clinical observations on

the introduction of tracheal tubes by the mouth instead of performing tracheotomy or

laryngotomy’ (MacEwen W, 1880).

2.2.2 Anatomi Laringoskop

Laringoskop diproduksi baik sebagai kesatuan maupun terpisah ( bilah dan

pegangan). Sumber cahaya dapat berada di bilah maupun pada pegangan. Untuk
9

laringoskop yang terpisah antara pisau dan pegangan, sumber cahaya dapat berfungsi

jika keduanya disatukan. Pegangan dilengkapi dengan pin engsel yang memudahkan

untuk disatukan pada slot engsel dan berfungsi sebagai pengunci.

Gambar 2.5 Laringoskop tunggal dan Laringoskop terpisah

Laringoskop tunggal memiliki tombol handle untuk mengontrol kekuatan lampu.

Standar yang digunakan dalam pembuatan adalah American Society for Testing and

Materials (ASTM) F-965 dan F1195 serta International Standars Organization (ISO)

7376 (Jerry. A Dorsch, dkk., 2008).

Bilah laringoskop terdiri dari beberapa bagian:

1. Dasar (Base), adalah bagian yang melekat pada pegangan. Bagian ini memiliki slot

untuk dikaitkan dengan pin engsel pegangan

2. Spatula / lidah (Tongue), adalah bagian utama dari bilah. Berfungsi untuk

mengkompresi dan memanipulasi jaringan lunak (terutama lidah) dan rahang

bawah. Sumbu panjang lidah mungkin ada yang lurus ataupun melengkung di

sebagian atau seluruh permukaannya. Bilah di rancang lurus atau melengkung

menyesuaikan bentuk lidah. Secara umum bentuk bilah lurus akan memberikan

visualisasi laring yang lebih baik, sementara bentuk lengkung akan memudahkan

proses intubasi.
10

Gambar 2.6 Bagian bilah


laringoskop; Bilah
Lengkung (atas), bilah
Lurus (bawah)

3. Ujung paruh (Tip), adalah bagian yang kontak dengan epiglotis ataupun dengan

vallecula dan secara langsung atau tidak langsung mengangkat epiglotis. Desain

ujung paruh biasanya tumpul dan menebal untuk mengurangi trauma.

4. Tepi (Flange), adalah tepi dari bilah yang menempel dengan sisi-sisi lidah.

Terdapat 2 jenis bilah yang umum digunakan yaitu bilah lengkung dan bilah lurus.

Bilah Macintosh adalah bilah lengkung yang paling banyak digunakan. Sementara

bilah Miller adalah bilah lurus yang paling terkenal. Namun masih banyak lagi

bilah-bilah yang lain seperti bilah Philips, Robertshaw, Skyses, Winconsin, dan

lain-lain (Jerry. A Dorsch, dkk., 2008).


11

Gambar 2.7 Bilah Macintosh (atas), Bilah Miller (bawah)

2.2.3 Laringoskop Macintosh

Laringoskop Macintosh pertama kali diperkenalkan pada 13 Februari 1943. Alat

ini merupakan penemuan alat anestesi yang paling sukses dan masih digunakan hingga

sekarang. Sir Robert Macintosh menemukan dengan tidak sengaja dasar dari tehnik

mengangkat pita suara secara tidak langsung saat tindakan tonsilektomi, ketika

membuka mulut pasien dengan Boyle-Davis gag, pita suara terlihat jelas. Setelah itu

bilah Davis dipateri dibuatkan pegangan dengan lengkung bilah mengikuti bentuk

normal dari tube, namun yang terpenting adalah penempatan ujung tip bilah pada

proksimal dari epiglotis saat dilakukan laringoskopi (A.Jephcott, 1984).

Untuk dapat melakukan intubasi dengan bantuan Macintosh laringoskop maka

posisi pasien hendaknya ditempatkan dalam aksis segaris antara faring, laring dan

rongga mulut (sniffing potition). Merupakan posisi yang klasik namun optimal dari

kepala dan leher untuk memfasilitasi intubasi, diperkenalkan oleh Magill pada tahun

1936 (Davide, dkk., 2011). Tehnik ini ditinjau kembali oleh Bannister dan MacBeth,

dan hasilnya diterbitkan pada tahun 1944. Mereka menganalisa sudut aksis dari mulut,

faring dan laring untuk mendapatkan ketiga aksis ini menjadi segaris dalam berbagai

posisi, sehingga jelas teridentifikasi glotis dan mudahnya insersi pipa endotrakea.

Kontra indikasi posisi ini adalah pada pasien dengan kecurigaan cedera tulang belakang

servikal (Adnet F, dkk., 1999).


12

Gambar 2.8 A. Ilsutrasi aksis (mulut, faring dan trakea), B. Garis aksis ketiganya pada
posisi yang benar, C. Melihat glotis dengan laring

Manipulasi yang dilakukan saat laringoskopi intubasi cukup besar lebih kurang

15,3 Newton (Lee RA, dkk., 2009). Sehingga rangsangan nyeri karena faktor mekanik

sangatlah besar.

Sudut dan luas lapangan pandang pada laringoskopi yang dilakukan dengan

Macintosh laringoskop standar sangatlah terbatas tergantung besaran bukaan mulut dan

tehnik menyisihkan lidah. Hal ini juga yang menyebabkan lebih banyak manipulasi

pada struktur rongga mulut.


13

Gambar 2.9 Sudut pandang operator laringoskopi intubasi dengan Macintosh


laringoskop standar

2.2.4 Macintosh Video Laringoskop

Video laringoskop merupakan alat baru dalam penanganan jalan nafas yang

membuat kita dapat melihat secara tidak langsung struktur laring tanpa perlu

memposisikan pasien pada garis aksis mulut, laring dan faring (Davide C, dkk., 2013).

Video laringoskop terbukti memiliki lapangan pandang yang lebih baik dari laringoskop

standar baik dalam kondisi normal maupun intubasi sulit (Kaplan M B, dkk., 2010).

Pada tahun 2001, Ahli bedah berkebangsaan Kanada adalah orang pertama yang

menyematkan chip kamera mini (semikonduktor metal oksid) pada Macintosh

laringoskop yang dipatenkan menjadi GlideScope Video laringoskop. Setelah itu

banyak pabrikan yang mengembangkan dan menggunakan tehnologi ini (Richard MC,

2009).

C-MAC (KARL STORZ Endoscopy, Jerman) adalah salah satu video

laringoskop terbaru dengan bentuk bilah Macintosh dan diperjualkan secara bebas sejak

2009. Sebuah modul mikro video disematkan pada pegangan C-MAC dan bilahnya

dilengkapi dengan sumber cahaya dan kamera yang menghantarkan gambar ke monitor.

C-MAC adalah satu-satunya laringoskop yang dengan menggunakan bilah yang sama

dapat langsung melakukan laringoskopi direk ataupun laringoskop indirek. Sehingga


14

bermanfaat bukan hanya untuk penanganan sulit intubasi namun juga sebagai alat

pendidikan (Davide C, dkk., 2013).

Gambar 2.10 Macintosh video laringoskop C-MAC

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, video laringoskop memiliki sudut dan

lapangan pandang yang lebih baik, menggunakan lebih sedikit tenaga dan manipulasi

bila dibandingkan dengan penggunaan laringoskop biasa. Pada pemula tingkat

keberhasilan intubasi mencapai 93% dengan menggunakan video laringoskop bila

dibandingkan dengan laringoskopi direk yang hanya 51% (Nourzi S, dkk 2009). Dan

tenaga yang digunakan pada penggunaan Macintosh video laringoskop kurang lebih 2,1

Newton, jauh lebih kecil dari Macintosh laringoskop (Lee RA, dkk., 2009).

Meskipun kebanyakan video laringoskop di buat berdasarkan anatomi

laringoskop direk konvensional, keuntungan dari kemampuan adanya video

memerlukan tehnik yang dibiasakan. Dengan menggunakan laringoskop direk, tangan,

alat dan target semua ada di dunia nyata dan cukup menggunakan koordinasi tangan

mata yang sederhana. Penggunaan video laringoskop pada lingkungan yang sama

menghasilkan sudut pandang yang jauh lebih baik, ini diciptakan oleh gambar dari

kamera yang berada diujung bilah dan ditayangkan oleh monitor, sehingga penting

untuk membedakan koordinasi antara mata dan tangan dengan sudut pandang pada

monitor. Berdasarkan itu, pendekatan penggunaan video laringoskop dengan 4 langkah:


15

1. Masukkan bilah laringoskop

2. Dapatkan sudut pandang terbaik

3. Masukkan pipa endotrakea, dan

4. Intubasi

Langkah 1: Masukkan bilah laringoskop

Setelah pasien siap dilakukan laringoskopi intubasi, masukkan bilah video

laringoskop digaris tengah mulut dan faring, dorong terus sampai ujung bilah melewati

bagian poterior dari lidah. Tahap ini dilakukan dengan melihat langsung mulut pasien.

Langkah 2: Dapatkan sudut pandang terbaik

Dengan masuknya laringoskop operator merubah pandangan dari melihat

langsung ke mulut menuju monitor untuk melakukan manipulasi agar glotis terlihat

dengan sudut pandang terbaik. Tidak seperti laringoskop konvensional, penggunaan

video laringoskop tidak memerlukan penempatan lidah ke lateral.

Gambar 2.11 Laringoskop intubasi dengan Macintosh video laringoskop

Langkah 3: Masukkan pipa endotrakea

Biasanya dengan menggunakan video laringoskop glotis akan terlihat sebagai

Cormack I atau II dan operator biasanya akan berusaha segera memasukkan pipa

endotrakea dan mengendalikan menuju glotis dengan mata tetap memandang ke


16

monitor. Tetapi, seharusnya jauh lebih baik bila posisi laringoskop tetap dipertahankan

dengan tangan kiri sementara mata operator kembali melihat langsung ke dalam mulut

pasien. Bentuk pipa endotrakea disesuaikan dengan bentuk bilah dengan bantuan stylet

jika diperlukan. Masukkan dengan pandangan mata langsung ke mulut sampai di ujung

distal dari pipa endotrakhea diperkirakan mendekati ujung distal bilah laringoskop.

Setelah itu pandangan mata operator beralih ke monitor.

Langkah 4: Intubasi

Setelah ujung distal pipa endotrakea terlihat pada layar monitor dan glotis tetap

terlihat seperti awal, masukkan secara perlahan pipa endotrakea melewati pita suara.

Melihat insersi pada monitor video membuat operator menjadi yakin dengan posisi dan

kedalam pipa endotrakea (Ron M, 2009) .

2.2.5 Bonfils intubation fiberscope

Bonfils intubation fiberspoce adalah rigid fiberoptic endoskopi yang

dikhususkan untuk melakukan intubasi orotrakeal, nama Bonfils diambil dari nama

penemunya Dr P Bonfils (Inselspital Hospital, Bern, Switzcrland) yang dikomersilkan

alatnya oleh Karl Storz Endoscopy Ltd, Tuttlingen, Germany sejak 1996.
17

Alat tersebut mempunyai badan silindris yang ramping lurus dan panjang dengan sudut

melengkung 40° beberapa centimeter dari ujung distal, bagian kamera terletak pada

ujung proksimal dan terdapat fiberoptic disepanjang alat tersebut yang menghasilkan

sumber cahaya pada ujung proksimal alat tersebut. Trakeal tube dimasukkan pada

bonfils endonkopi fiberscope dan kemudian didorong masuk pada alat pengunci yang

disesuaikan sehingga ujung distal dari tube berada dibelakang endoskopi, akhirnya

lapang pandang yang efektif dari operator pemegang bonfils dapat dilihat pada ujung

distal dari trakeal tube. Dari posisi ini operator dapat menelusuri tube dari instrumen

melalui plica vocalis dibawah penglihatan langsung melalui kamera atau video monitor.
18

Gambar 2.12 cara memegang Bonfils Intubation fiberscope yang telah dimasukkan

trakeal tube

Gambar 2.13 Tip dari Bonfils Intubation Fiberscope 0,5 cm dari ujung lumen trakeal

tube

Endoscope yang telah disiapkan dengan antifog pada lensa kamera dan trakeal

tube yang telah dimasukkan didalam alat bonfils dipegang pada tangan kanan operator

dan tangan kiri operator digunakan untuk membuka mulut pasien dan menarik

mandibula kedepan. Manufer chin lift digunakan dan pada umumnya efektif dan selalu

dapat menaikkan epiglotis untuk memperlihatkan laring, pengembangan yang lebih jauh

yang didapatkan adalah chin dan tongue lift dengan menggunakan ibu jari sebelah kiri.

Dua tehnik yang berbeda ini digunakan untuk menelusuri endoskopi, yang pertama

pendekatan midline dengan menggunakan uvula sebagai landmark dan penelusurannya

tetap di midline memcapai epiglotis sementara pendekatan lainnya adalah pendekatan

lateral sepanjang dinding faring kebawah sampai epiglotis. Pada dinding posterior

faring ujung distal diputar pada arah anterior dan akhirnya terlihat epiglotis. Langkah

berikutnya dari proses ini adalah endoskopi menelusuri dibawah epiglotis sehingga
19

plika vocalis dapat tervisualisasi, hal ini dapat diperoleh dengan manuver-manuver

sebagai berikut : chin lift; chin and tongue lift; eksternal jaw trust; jaw trust dengan

ekstensi maksimal dari leher dan akhirnya disertai dengan penggunaan laringoskop

machintos. Pada poin ini tube mengarah ke plika vocalis dan tangan kiri melepas

mandibula yang mana tidak dapat menyebabkan perubahan posisi, kemudian tangan kiri

yang telah bebas digunakan untuk mengarahkan trakeal tube kedalam trakea dibawah

pengamatan operator melalui kamera dan video monitor. (Halligan,dkk.,2003)

Gambar 2.14 Diagram skematis Manuver Jawthrust modifikasi pada teknik

insersi Bonfils Intubation Fiberscope

Gambar 2.15 Visualisasi Plica Vocalis dengan Bonfils Intubation Fiberscope

kemudian insersi trakeal tube


20

2.2.6 Nyeri Tenggorok dan Suara Serak Akibat Intubasi Endotrakeal

Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dengan pemasangan pipa endotrakeal

mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang berkaitan dengan

airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan hoarseness (Reko, 2014). Beberapa

keadaan yang dipertimbangkan sebagai etiologi nyeri tenggorokan tersebut meliputi:

trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema pharyngeal airways (Biro, 2005).

Nyeri tenggorokan akibat intubasi endotrakeal termasuk urutan ke-8 pada daftar

hasil akhir akibat operasi yang paling dihindari oleh pasien akibat mual, tersadar selama

operasi, batuk saat masih dengan pipa endotrakeal, menggigil, muntah, kelemahan yang

tersisa dan somnolen. Komplikasi minor ini belum dapat dicegah sepenuhnya dan masih

dicari cara penanganannya. Walaupun bukan suatu yang gawat dan tidak menimbulkan

kecacatan, nyeri tenggorokan ini bisa menjadi keluhan utama jika nyeri pada luka

operasi bisa terkontrol dengan baik. Komplikasi ini bisa menyebabkan ketidakpuasan

dan ketidaknyamanan pasien serta bisa memperlambat kembalinya aktifitas rutin pasien

akibat pulang dari rumah sakit (Biro, 2005; Morgan, 2006).

Kejadian nyeri tenggorokan sebagai akibat pemasangan pipa endotrakeal dari

tahun ke tahun terus meningkat mencapai angka 50% insiden, lebih sering terjadi pada

wanita (17%) dibandingkan dengan pria (9%) (Biro, 2005; Arlina, 2008).

Nyeri adalah pengalaman tidak menyenangkan bagi pasien, sehingga dokter ahli

anestesi harus dapat mengatasi nyeri sebelum, selama, serta setelah operasi dalam

rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Nyeri tenggorokan pascaoperasi

atau post operative sore throat (POST) merupakan suatu keadaan yang masih menjadi

persoalan utama pada pasien yang menjalani anestesia umum terutama pasien yang

dilakukan intubasi dengan pemasangan endotracheal tube (ETT) atau pipa endotrakea.
21

Nyeri tenggorokan pascaoperasi terjadi karena iritasi dan juga inflamasi lokal akibat

trauma pada saat laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal di daerah faring, laring,

dan juga trakea (Monem, 2007; Scuderi, 2010; Maruyama, 2010).

Diyakini bahwa insidens tertinggi nyeri tenggorok dan gejala-gejala airway yang

berhubungan lainnya cenderung terjadi pada pasien yang telah mendapatkan intubasi

endotrakeal, meskipun pada operasi ambulatori prosedur singkat (<1 jam), dan paling

sering terjadi akibat prolong intubasi (>12 jam) (Dollo dkk., 2001).

Trauma merupakan faktor etiologi yang penting pada nyeri tenggorokan dan

suara serak akibat intubasi, dan ditemukan adanya edema dan memar tenggorokan pada

penderita yang mengeluh nyeri tenggorokan akibat intubasi. Tenggorokan dapat luka

waktu intubasi karena manipulasi. Trauma dapat terjadi waktu laringoskopi langsung

dan intubasi yang dilakukan karena kurang relaksasi otot (Monem, 2007; Biro, 2005;

Dollo dkk, 2001).

Nyeri tenggorokan akibat intubasi endotrakeal adalah nyeri inflamasi yang

menyebabkan rasa tidak nyaman, rasa gatal di tenggorokan dan dapat menimbulkan rasa

sakit pada saat menelan akibat intubasi endotrakeal. Hal ini terjadi karena trauma pada

tonsil, faring, lidah, laring dan trakea. Pada keluhan nyeri tenggorokan yang terjadi

adalah trauma mukosa trakea akibat intubasi endotrakeal (Biro, 2005; Monem, 2007).

Nyeri tenggorokan akibat intubasi endotrakeal dapat menyebabkan proses

inflamasi berlanjut menjadi sistemik. Keseluruhan respon sistemik ini merupakan

mekanisme proteksi terhadap luasnya kerusakan jaringan. Selain itu, respon inflamasi

berperan untuk memperbaiki fungsi dan struktur jaringan rusak. Namun, stimulasi

berlebihan terhadap kaskade inflamasi mungkin memperberat kerusakan jaringan.

Aktivitas berlebihan sitokin proinflamasi dan antiinflamasi memperberat kerusakan


22

jaringan dan atau menekan fungsi imun. Sel imun merupakan sumber produksi sitokin

dan produk yang dihasilkan memiliki efek autokrin serta aktivitas sistemik.

Kemampuan untuk mengubah fungsi sel imun melalui peranan hormonal ekstraseluler

atau dengan manipulasi mekanisme signaling intraseluler merupakan strategi potensial

untuk mengatur respon inflamasi sitokin selama injuri (Castillho dkk, 2003; Thomas

dkk, 2012).

Patofisiologi Nyeri

Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti

pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan

zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri

akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta

produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-

lain. Mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik (Stoelting,

2006; Morgan dkk, 2006).

Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan

nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada 4 proses yang

mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting, 2006; Morgan dkk, 2006)

Transduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada

ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin,

leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan

mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan

anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini


23

banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh

yang lain. Serat saraf aferenA delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang

mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf

pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya

impuls nyeri (Morgan dkk, 2006).

Transmisi

Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang

menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke

sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferen A-delta

dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter.

Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta

menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5

m/dtk).Sel-sel neuron di medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi

nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri

tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada

di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua

anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan

menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang

dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medula

spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan

segala akibatnya (Morgan dkk, 2006).

Modulasi
24

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)

dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh

serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis

tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan

terjadi interaksi antara impuls yang masukdengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi

endogen maupun sistem inhibisi eksogen (Morgan dkk, 2006). Tergantung mana yang

lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan

sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita

tidak akan merasakan sensibel nyeri.

Persepsi

Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang sangat

kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan

sensibel nyeri.

Penilaian Nyeri

Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari

kombinasi rangsang nyeri atau nociception dan kerusakan jaringan, pengalaman nyeri

sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa nyeri ini

bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan

observasi serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini menjelaskan

mengapa pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan

merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda. Oleh karena tidak terdapat suatu
25

alat obyektif, maka kita harus mempercayai laporan pasien tentang tingkat nyeri yang

mereka alami (Ballantyne, 2008).


26

Gambar 2.16. Patofisiologi Nyeri (Dikutip dari Salerno, 2006).

Etiologi nyeri tenggorokan setelah intubasi, adalah:

1. Ukuran ETT

Semakin besar ukuran ETT cenderung berhubungan dengan insidens tinggi

terjadinya nyeri tenggorokan setelah operasi. Pada sebuah studi yang

membandingkan ETT besar (ukuran 9.0 mm untuk laki-laki, 8.5 mm untuk

perempuan) dengan ETT kecil (7.0 mm untuk laki-laki, 6.5 mm untuk

perempuan), insidens terjadinya nyeri tenggorokan setelah operasi yakni 48%

ETT besar dan 22% ETT kecil (Zuccherelli dkk., 2003).

2. Perbedaan Jenis Kelamin

Beberapa studi telah membuktikan bahwa wanita memiliki insiden tinggi

terjadinya nyeri tenggorokan dibandingkan dengan pria, dikarenakan pipa dalam

trakea menjadi lebih sempit pada perempuan. Juga disebabkan karena mukosa

pada perempuan lebih tipis sehingga mudah terjadi edema

3. Tekanan Cuff ETT

Cuff high pressure low volume, seperti ETT red-rubber, akan menyebabkan

komplikasi serius, khususnya setelah intubasi jangka lama. Tekanan perfusi

mukosa arteriolar telah diukur yaitu berkisar 32 cmH20, dan seperti yang

diketahui jika tekanan intracuff > 30 cmH20 akan mengganggu aliran darah

mukosa, menyebabkan terjadinya iskemia dan selanjutnya terjadi stenosis trakea

atau trakeomalasia. Saat ini pipa berdinding tipis, cuff low pressure high volume

tidak akan mempengaruhi aliran darah mukosa sampai tekanan inracuff 80-120

cmH20, akibat distribusi tekanan sepanjang mukosa. Akan tetapi tekanan


27

intracuff yang direkomendasikan adalah seharusnya tetap dipertahankan < 20

cmH20 untuk mencegah terjadinya iskemik mukosa.

Tekanan yang tinggi bertanggung jawab terhadap tertekannya nervus laringeal

recurrent antara cuff dan kartilago krikoid dan aritenoid. Monitoring dan menilai

secara berkala tekanan intracuff intraoperatif penting untuk mencegah terjadinya

komplikasi ini (Sengupta dkk., 2004).

4. Desain Cuff ETT

Design cuff low pressure high volume juga telah terbukti sebagai penyebab nyeri

tenggorokan setelah operasi, oleh karena cuff high volume akan menekan

mukosa trakea lebih luas. Akan tetapi bila dibandingkan dengan cuff high

pressure, kerusakannya lebih superficial, problem lain cuff high volume adalah

diameternya lebih besar dari trakea, sehingga berkerutnya pipa akan membentuk

alur yang dalam pada mukosa trakea. Sebagai tambahan, aspirasi tidak dapat

dicegah.Cuff yang ideal, oleh karena itu, sebaiknya diameternya lebih kecil dari

trakea, dan seharusnya diameternya bisa bertambah 10% sepanjang cuff

dikembangkan untuk mencegah pembentukan alur. Lebih jauh lagi, cuff

seharusnya sempit untuk meminimalkan kontak antara cuff dengan trakea

(Castilho,dkk., 2003).

5. Nitrous Oxide

Penggunaan rutin nitrous oxide menjadi tantangan untuk beberapa alasan, paling

tidak karena alasan biaya. Difusi intraoperatif melalui air-filled spaces telah

terbukti meningkatkan volume cuff ETT 9-38% selama 30 menit pertama


28

anestesi. Jika nitrous oxide digunakan intraoperatif, direkomendasikan untuk

mengembangkan cuff dengan saline atau dengan gas langsung melalui sirkuit

napas, dibandingkan dengan udara (Zuccherelli,dkk., 2003).

6. Teknik Insersi Dan Trauma

Sejumlah faktor saat insersi maupun pengeluaran ETT akan mempengaruhi

insidens nyeri tenggorokan. Intubasi yang lancar dan tanpa komplikasi pada

pasien dengan anatomi yang normalakan menghasilkan komplikasi faring yang

lebih sedikit. Tidak mengejutkan, keahlian seorang anaesthetist adalah faktor

terpenting yang akan mempengaruhi nyeri tenggorokan dan suara serak. Pasien

dengan anatomi yang abnormal akan menghadapi kesulitan saat intubasi, dengan

beberapa kali usaha dan memungkinkan terjadinya trauma pada struktur faring.

Penggunaan stylet saat intubasi berhubungan dengan nyeri tenggorokan setelah

operasi, dan penggunaannya diindikasikan untuk kasus intubasi yang sulit.

Laringoskop McCoy akan menyebabkan kerusakan yang lebih kompleks

terhadap kartilago aritenoid, meskipun sangat berguna untuk intubasi yang sulit.

Kegagalan untuk mengempiskan cuff secara adekuat sebelum intubasi atau

ekstubasi dapat menyebabkan kerusakan, sementara adanya darah pada jalan

napas atau ETT saat ekstubasi merupakan prediksi terjadinya nyeri tenggorokan.

Pengamatan yang penting, bahwa pasien dengan trauma pada faring akibat

laringoskopi akan lebih mengeluh nyeri tenggorokan atau suara serak

dibandingkan dengan pasien tanpa trauma (Zuccherelli,dkk., 2003)


29

7. Lidokain Topikal

Aplikasi lidokain topikal baik pada ETT atau struktur faring beberapa kali telah

dibuktikan sebagai penyebab nyeri tenggorokan setelah operasi. Dinyatakan

bahwa lidokain akan tetap tinggal di mukosa dan menyebabkan iritasi, karena

watersoluble lubricating gel tidak memiliki efek ini. Sebagai tambahan, spray

anestesi lokal atau gel dapat memberikan “anestesi” pada pita suara dan akan

menyebabkan suara serak setelah operasi yang berlangsung sementara. Spray

jalan napas atas dengan dosis tunggal beclomethasone (50μg) inhaler, akan

menurunkan insidens nyeri tenggorokan sampai 10%, dibandingkan dengan 55%

dengan spray lidokain (Zuccherelli,dkk., 2003).

8. Relaksasi Tidak Adekuat

Terdapat kecenderungan saat ini, yaitu sebagian besar anaesthetist menolak

relaksasi otot yang tidak perlu, sehingga dipastikan insidens komplain pada

faring akan meningkat. Aktivitas motorik laring yang berlebihan, seperti yang

terjadi saat pasien batuk atau berkuat melawan ETT atau selama anestesi yang

dangkal, dapat menyebabkan hematoma dan granuloma pada pita suara. Ini

adalah masalah yang sering terjadi pada pasien yang terventilator di ruang

intensif tanpa sedasi. Peningkatan pemakaian teknik intubasi pasien tanpa

relaksasi otot telah terbukti sebagai penyebab nyeri tenggorokan setelah operasi

(± 40 kasus) dan perubahan suara, yang secara khusus terjadi lebih lama dari

pada setelah intubasi dengan relaksasi otot. Pita suara sebelah kiri lebih sering

mengalami trauma karena laringoskop biasanya dipegang dengan tangan kiri dan

ETT dimasukkan dari sisi kanan dan diputar ke arah kiri. Sebagai tambahan,

ketika menggunakan ETT yang lebih kecil pada pasien yang tidak lumpuh,
30

pergerakan yang berlebihan pipa terhadap pita suara selama prosedur ini dapat

menyebabkan ulserasi laring dan selanjutnya terbentuk skar (Zuccherelli,dkk.,

2003).

9. Intubasi Urgency

Intubasi pada keadaan urgency adalah faktor lain yang bertanggung jawab

terhadap kejadian nyeri tenggorokan, dan berhubungan dengan tidak dapatnya

menunggu onset pelumpuh otot, dan trauma faring yang terjadi saat usaha

intubasi pasien yang desaturasi secara terburu-buru. Intubasi yang dilakukan

secara terburu-buru tampaknya berperan terhadap kerusakan kapsul kartillago

aritenoid (Zuccherelli,dkk., 2003).

10. Pipa Nasogastrik

Ada sejumlah laporan terjadinya kelumpuhan nervus laringeus recurrent setelah

operasi sebagai akibat tekanan pipa nasogastrik pada nervus yang berada di

antara mukosa laring dan esophagus (Zuccherelli,dkk., 2003).

11. Aspirasi atau Perdarahan

Sekresi gaster atau perdarahan dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan serak

setelah operasi sebagai akibat dari inflamasi atau respon kimia terhadap iritan ini

(Zuccherelli,dkk., 2003).

12. Posisi Pasien

Baik posisi litotomi maupun prone berhubungan dengan insidens tinggi

terjadinya nyeri tenggorokan, mungkin akibat ETT yang cenderung bergerak

naik ke arah faring, menyebabkan cuff dan pipa menggeser pita suara dan

mukosa. Sebagai tambahan posisi ini menyebabkan kongesti vena-vena pada


31

mukosa dan menyebabkan peningkatan tekanan dinding faring (Zuccherelli,dkk.,

2003).

13. Obesitas

Pasien obese lebih sulit untuk dilakukan ventilasi dan intubasi, dan pipa yang

berukuran lebih besar seringkali merupakan pilihan sebagai usaha untuk

mengurangi resistensi jalan napas. Faktor-faktor tersebut meningkatkan

kecenderungan terjadinya nyeri tenggorokan setelah operasi (Zuccherelli,dkk.,

2003).

14. Suctioning

Suctioning yang dalam dan kuat sebelum ekstubasi dapat menyebabkan

kerusakan faring karena tekanan negative yang tinggi terhadap

mukosa.Sebaliknya, nyeri tenggorokan lebih sedikit dilaporkan setelah

premedikasi dengan antikolinergik, mungkin karena kurangnya tindakan

suctioning yang dibutuhkan pada akhir operasi. Sebaiknya melakukan suctioning

lebih superficial dan sesingkat mungkin dengan menggunakan kateter yang

berbahan lembut dan bagian ujung yang cukup luas (Zuccherelli,dkk., 2003).

Suara serak
32

Definisi suara serak menggambarkan kelainan memproduksi suara ketika

mencoba berbicara, atau ada perubahan nada suara. Suaranya terdengar lemah,

terengah-engah, kasar dan serak (Sulica, 2011).

Pada intubasi endotrakeal trauma pada laring menyebabkan inflamasi laring

sehingga menyebabkan suara serak (Dollo,dkk, 2001). Trauma merupakan factor

etiologi yang penting pada nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi, dan

ditemukan adanya edema dan memar tenggorokan pada penderita yang mengeluh nyeri

tenggorokan akibat intubasi.

Tenggorokan dapat luka akibat intubasi karena manipulasi.Trauma dapat terjadi

saat laringoskopi langsung dan intubasi yang dilakukankarena kurangnya relaksasi otot.

Sebab lain trauma laring mungkin disebabkan karena pergeseran yang berlebihan antara

pipa endotrakeal dan mukosa faring (Dollo,dkk, 2001).

Laporan kejadian suara serak pada intubasi endotrakeal sangat bervariasi, suara

serak terjadi permanen dilaporkan sekitar 3% kejadian. Pada penelitian Jones, 1992 dari

235 pasien dewasa yang dilakukan tindakan intubasi 54 pasien (32%) mengeluhkan

suara serak setelah operasi, 5 pasien stelah 7 hari kembali suara normal dan yang lain

setelah 9,10,12,54, dan 99 hari (Jones, 1992). Pada penelitian lain dikatakan insiden

terjadinya suara serak dari total 3977 pasien terdapat 37,1% mengeluh suara serak dan

0,7% setelah 11 bulan operasi (Kurita, 2002).

Penyebab timbulnya suara serak salah satunya adalah paralisis pita suara.

Paralisis pita suara dapat terjadi bilateral atau unilateral. Paralisis pita suara yang

unilateral dapat menjadi penyebab terjadinya suara serak yang menetap akibat

ekstubasi. Paralisis pita suara bilateral dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.

Paralisis pita suara ini berhubungan dengan timbulnya suara serak, yang biasanya
33

muncul segera setelah operasi. Biasanya paralisis pita suara terjadi sekunder dari cedera

nervus laringeus rekurens (Bishop, 1989). Dibawah ini terdapat beberapa maniestasi

laring pada intubasi endotrakeal.

Tabel 2.1 Manifestasi Laring pada Intubasi Endotrakeal


(Abdul-Latif Hamdan, Omar Sabra, Charbel Rameh And Mohamad El-Khatib. Persistant
Dysphonia Following Endotracheal Intubation.M.E.J. Anesth 19 (1), 2007).

Derajat trauma laring pada manipulasi endotrakeal terjadi oleh karena adanya

edema dan inflamasi pada pita suara, terjadi hematoma dan dislokasi pada arytenoids

catilago (Bishop, 1992), dapat juga ditemukan laserasi pada pita suara dan granulasi

jaringan seperti tampak pada gambar dibawah ini :


34

Proses Granulasi Jaringan Pita Suara Sebelah Kanan

Hematoma Pada Pita Suara Sebelah Kanan Dengan Polipoid


Degenerasi

Gambar 2.17. Laserasi pada Pita Suara dan Granulasi Jaringan


(Abdul-Latif Hamdan, Omar Sabra, Charbel Rameh And Mohamad El-Khatib. Persistant
Dysphonia Following Endotracheal Intubation.M.E.J. Anesth 19 (1), 2007).

Penilaian Nyeri Tenggorok dan Suara Serak


35

Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare

Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang kelima

yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan berulang harus

dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang berjalan.

Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri, kebutuhan

serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan. Penilaian rasa nyeri

pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada kondisi statik (saat istirahat,

tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat bergerak, duduk, batuk). Secara garis

besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua, yaitu penilaian uni dimensional dan penilaian

multi dimensional (Cousin, 2005).

Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri

ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam

menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan bukan

intensitas nyerinya (Cousin, 2005). Skala kategori menggunakan kata-kata untuk

mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal descriptive scale

(VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat

atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh Keele pada tahun 1948. VDS

lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi dibandingkan dengan skala numerikal

dan kurang sensitif untuk menilai hasil terapi analgesia dibandingkan dengan VAS

(Ballantyne, 2008).

Skala kategori mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan,

dan berguna pada pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi

terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical scales membuat skala


36

kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi analgesia

yang diberikan (Cousin, 2005).

Gambar 2.18 Instrumen Visual Rating Scale (VRS)

Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun tertulis.

Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating scale (NRS),

disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta untuk menyatakan

tingkat nyeri dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10 dimana 0 sebagai tidak nyeri,

dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah satu instrumen pengukur nyeri yang

sering digunakan dalam penelitian.

Gambar 2.19 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS)


37

Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini

merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun

dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm,

pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan ditandai

dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis tersebut

yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam

satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain

dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid.

Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan

tetapi interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai

nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil

dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam

menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian, dkk.,

2001). Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan cepat

menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya dalam

rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini diperlukan

konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat dipergunakan pada

anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga mempengaruhi tingkat kepuasan

pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit

menurun, penurunan nilai 20-30 mm atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang

bermakna dari sudut pasien dan penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai

menghilangnya nyeri yang substansial.


38

Gambar 2.20 Instrumen Visual Analog Scale (VAS)

Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga

menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap individu

pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah theMcGill

Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada tahun 1987 untuk

memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang dirasakan oleh pasien.

MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating index dan intensitas nyeri terkini.

MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid dan dapat dipercaya.Pain rating index

diperoleh dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang

mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa

skala nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman,

3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri

(Cousin, 2005).

Anda mungkin juga menyukai