BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
pernafasan yang adekuat kepada pasien. Upaya yang sering dilakukan adalah
adalah suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Tindakan laringoskopi dan
intubasi merupakan tindakan yang sering dilakukan dalam pengelolaan jalan nafas
komplikasi yang dapat dialami seorang pasien disebabkan baik oleh respon
mekanik dari tindakan itu sendiri maupun respon kelenjar adrenergik. Komplikasi
tersebut berupa peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung
Peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung saat tindakan
laringoskopi dan intubasi ini dapat merugikan pasien, terutama pasien-pasien yang
anomali pembuluh darah otak (Reid.LC, dkk., 1940; Gurulingappa, dkk., 2012).
nafas.
2
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis).
Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian
bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 2.1). Faring berbentuk U dengan
struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid
pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung,
dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah,
Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis (gerbang laring) pada
Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot.
3
Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2.2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang)
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 2.3).
Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi oftalmik (V1) saraf
trigeminal (saraf etmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maksila (V2)
(saraf sfenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensorik dari saraf
trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle
dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V 3] saraf
trigeminal) dan saraf glosofaringeal (sarafkranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada
dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf
fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf
glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum
molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis.
Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf
laringeus eksternal yang bersifat motorik dan saraf laringeus internal yang bersifat
sensorik untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu
4
saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakea (Morgan,
dkk., 2013).
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal
superior) dengan pengecualian otot krikotiroid yang dipersarafi oleh saraf laringeal
eksterna (motorik). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, sementara otot
Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri
krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari arteri
carotis eksterna dan menyilang pada membran cricotiroid bagian atas, yang memanjang
dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior ditemukan sepanjang tepi
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
5
ketegangan punggung operator anestesi yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid
laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk
melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas
meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi
sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher difleksikan dengan
Setelah induksi anestesi umum, laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan
mulut pasien terbuka lebar, bilah dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-
hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir bilah. Puncak dari lengkung bilah biasanya di masukan ke dalam
vallecula, dan jika menggunakan bilah lurus ujung bilah diletakan menutupi epiglotis.
Pegangan diangkat kearah depan atas untuk melihat pita suara pasien. Terperangkapnya
6
lidah antara gigi dan bilah serta tindakan pengungkitan dengan bantalan menggunakan
gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujung distal dilewatkan
melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Cuff ETT harus berada dalam trakea, superior
dari karina. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi.
kebocoran selama ventilasi tekanan positif, dan untuk meminimalkan tekanan yang
Traktus respiratorius kaya akan reseptor, dengan distribusi terbanyak pada laring
dan pada bagian proksimal trakeobronkial. Terdapat empat tipe reseptor sensorik pada
saluran nafas: (1) reseptor regang yang terdapat pada dinding jalan nafas, lambat
beradaptasi memiliki saraf berdiameter besar dan bermielin; (2) ujung saraf yang
terdapat pada dan di bawah epitelium yang berespon terhadap stimulus kimia dan
mekanik, cepat beradaptasi dan memiliki saraf dengan diameter kecil dan bermielin; (3)
reseptor dengan saraf tanpa mielin, polimodal, distimulasi oleh kerusakan jaringan dan
edema, berfungsi sebagai nosiseptor; (4) reseptor yang khusus untuk rasa dan menelan.
mekanoreseptor dan nosiseptor untuk dilanjutkan melalui jaras aferen. Jaras aferen
somatik maupun viseral terintegrasi penuh dengan sistem simpatis di medulla spinalis,
Laringoskopi dan intubasi merupakan noksius stimuli yang melalui jalur nyeri
(pain pathway) akan menghasilkan respon neuroendokrin. Jaras aferen dibawa oleh
nervus glossofaringeus dari jaras trakeobronkial melalui nervus vagus yang akan
7
simpatis yang secara klinis dapat dilihat dengan meningkatnya respon kardiovaskular
berupa tekanan darah dan laju nadi. Mekanisme respon kardiovaskular terhadap intubasi
merupakan reflek simpatis terhadap stimulasi mekanik pada laring dan trakea.
kadar katekolamin plasma, tetapi hemodinamik lebih cepat pulih dibandingkan kadar
katekolamin plasma (Hassan, dkk., 1991). Peningkatan tekanan arteri rerata saat
(Gupta A, 2009). Tekanan darah dan laju nadi naik dalam waktu 5 detik setelah
laringoskopi kemudian mencapai puncak dalam waktu 1-2 menit dengan kenaikan
tekanan arteri rerata berkisar 50-70 mmHg (Joseph E Parrillo, dkk., 2014; Carin A,
dkk., 2013). Perubahan tekanan darah dan laju nadi direkomendasikan tidak boleh
melebihi 20% dari nilai dasar, terutama pada penderita dengan riwayat atau memiliki
tekanan darah karena kenaikan laju nadi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
hantaran oksigen miokardium tetapi pada kondisi tertentu seperti terjadinya sklerotik
pada arteri koronaria, hantaran oksigen ke otot miokardium juga terganggu (O’Brien,
dkk., 2006).
1.2 Laringoskop
8
laringoskop alatnya diberi nama glottiscope (Hunting, 2002). Namun Philipp von
Bozzini (1773-1809) dan Garignard de la Tour adalah dokter yang terlebih dahulu
menggunakan kaca mulut untuk melihat orofaring dan hipofaring (Koltai PJ, dkk., 1989;
Bailey B, 1996).
Pada tahun 1854, Manuel Garcia (1805-1906) seorang ahli vokal berkebangsaan
Spanyol adalah orang yang pertama melihat langsung fungsi glotis dan laring pada
manusia hidup menggunakan dua kaca dengan sinar matahari sebagai sumber
cahayanya. Sampai akhirnya pada 23 April 1895 ketika Afred Kirstein (1863-1922)
berkebangsaan Jerman yang mengambarkan pita suara pertama kali secara langsung
Nampaknya kematian Raja Frederick III yang memotivasinya (Burkle CM, dkk., 2004).
Namun yang pertama kali melakukan tindakan intubasi orotrakea tanpa trakeostomi
ataupun tindakan invasive adalah seorang bedah syaraf Skotlandia bernama William
Macewen pada tahun 1880 yang dijabarkan pada tulisannya ‘clinical observations on
pegangan). Sumber cahaya dapat berada di bilah maupun pada pegangan. Untuk
9
laringoskop yang terpisah antara pisau dan pegangan, sumber cahaya dapat berfungsi
jika keduanya disatukan. Pegangan dilengkapi dengan pin engsel yang memudahkan
Standar yang digunakan dalam pembuatan adalah American Society for Testing and
Materials (ASTM) F-965 dan F1195 serta International Standars Organization (ISO)
1. Dasar (Base), adalah bagian yang melekat pada pegangan. Bagian ini memiliki slot
2. Spatula / lidah (Tongue), adalah bagian utama dari bilah. Berfungsi untuk
bawah. Sumbu panjang lidah mungkin ada yang lurus ataupun melengkung di
menyesuaikan bentuk lidah. Secara umum bentuk bilah lurus akan memberikan
visualisasi laring yang lebih baik, sementara bentuk lengkung akan memudahkan
proses intubasi.
10
3. Ujung paruh (Tip), adalah bagian yang kontak dengan epiglotis ataupun dengan
vallecula dan secara langsung atau tidak langsung mengangkat epiglotis. Desain
4. Tepi (Flange), adalah tepi dari bilah yang menempel dengan sisi-sisi lidah.
Terdapat 2 jenis bilah yang umum digunakan yaitu bilah lengkung dan bilah lurus.
Bilah Macintosh adalah bilah lengkung yang paling banyak digunakan. Sementara
bilah Miller adalah bilah lurus yang paling terkenal. Namun masih banyak lagi
bilah-bilah yang lain seperti bilah Philips, Robertshaw, Skyses, Winconsin, dan
ini merupakan penemuan alat anestesi yang paling sukses dan masih digunakan hingga
sekarang. Sir Robert Macintosh menemukan dengan tidak sengaja dasar dari tehnik
mengangkat pita suara secara tidak langsung saat tindakan tonsilektomi, ketika
membuka mulut pasien dengan Boyle-Davis gag, pita suara terlihat jelas. Setelah itu
bilah Davis dipateri dibuatkan pegangan dengan lengkung bilah mengikuti bentuk
normal dari tube, namun yang terpenting adalah penempatan ujung tip bilah pada
posisi pasien hendaknya ditempatkan dalam aksis segaris antara faring, laring dan
rongga mulut (sniffing potition). Merupakan posisi yang klasik namun optimal dari
kepala dan leher untuk memfasilitasi intubasi, diperkenalkan oleh Magill pada tahun
1936 (Davide, dkk., 2011). Tehnik ini ditinjau kembali oleh Bannister dan MacBeth,
dan hasilnya diterbitkan pada tahun 1944. Mereka menganalisa sudut aksis dari mulut,
faring dan laring untuk mendapatkan ketiga aksis ini menjadi segaris dalam berbagai
posisi, sehingga jelas teridentifikasi glotis dan mudahnya insersi pipa endotrakea.
Kontra indikasi posisi ini adalah pada pasien dengan kecurigaan cedera tulang belakang
Gambar 2.8 A. Ilsutrasi aksis (mulut, faring dan trakea), B. Garis aksis ketiganya pada
posisi yang benar, C. Melihat glotis dengan laring
Manipulasi yang dilakukan saat laringoskopi intubasi cukup besar lebih kurang
15,3 Newton (Lee RA, dkk., 2009). Sehingga rangsangan nyeri karena faktor mekanik
sangatlah besar.
Sudut dan luas lapangan pandang pada laringoskopi yang dilakukan dengan
Macintosh laringoskop standar sangatlah terbatas tergantung besaran bukaan mulut dan
tehnik menyisihkan lidah. Hal ini juga yang menyebabkan lebih banyak manipulasi
Video laringoskop merupakan alat baru dalam penanganan jalan nafas yang
membuat kita dapat melihat secara tidak langsung struktur laring tanpa perlu
memposisikan pasien pada garis aksis mulut, laring dan faring (Davide C, dkk., 2013).
Video laringoskop terbukti memiliki lapangan pandang yang lebih baik dari laringoskop
standar baik dalam kondisi normal maupun intubasi sulit (Kaplan M B, dkk., 2010).
Pada tahun 2001, Ahli bedah berkebangsaan Kanada adalah orang pertama yang
banyak pabrikan yang mengembangkan dan menggunakan tehnologi ini (Richard MC,
2009).
laringoskop terbaru dengan bentuk bilah Macintosh dan diperjualkan secara bebas sejak
2009. Sebuah modul mikro video disematkan pada pegangan C-MAC dan bilahnya
dilengkapi dengan sumber cahaya dan kamera yang menghantarkan gambar ke monitor.
C-MAC adalah satu-satunya laringoskop yang dengan menggunakan bilah yang sama
bermanfaat bukan hanya untuk penanganan sulit intubasi namun juga sebagai alat
lapangan pandang yang lebih baik, menggunakan lebih sedikit tenaga dan manipulasi
dibandingkan dengan laringoskopi direk yang hanya 51% (Nourzi S, dkk 2009). Dan
tenaga yang digunakan pada penggunaan Macintosh video laringoskop kurang lebih 2,1
Newton, jauh lebih kecil dari Macintosh laringoskop (Lee RA, dkk., 2009).
alat dan target semua ada di dunia nyata dan cukup menggunakan koordinasi tangan
mata yang sederhana. Penggunaan video laringoskop pada lingkungan yang sama
menghasilkan sudut pandang yang jauh lebih baik, ini diciptakan oleh gambar dari
kamera yang berada diujung bilah dan ditayangkan oleh monitor, sehingga penting
untuk membedakan koordinasi antara mata dan tangan dengan sudut pandang pada
4. Intubasi
laringoskop digaris tengah mulut dan faring, dorong terus sampai ujung bilah melewati
bagian poterior dari lidah. Tahap ini dilakukan dengan melihat langsung mulut pasien.
langsung ke mulut menuju monitor untuk melakukan manipulasi agar glotis terlihat
Cormack I atau II dan operator biasanya akan berusaha segera memasukkan pipa
monitor. Tetapi, seharusnya jauh lebih baik bila posisi laringoskop tetap dipertahankan
dengan tangan kiri sementara mata operator kembali melihat langsung ke dalam mulut
pasien. Bentuk pipa endotrakea disesuaikan dengan bentuk bilah dengan bantuan stylet
jika diperlukan. Masukkan dengan pandangan mata langsung ke mulut sampai di ujung
distal dari pipa endotrakhea diperkirakan mendekati ujung distal bilah laringoskop.
Langkah 4: Intubasi
Setelah ujung distal pipa endotrakea terlihat pada layar monitor dan glotis tetap
terlihat seperti awal, masukkan secara perlahan pipa endotrakea melewati pita suara.
Melihat insersi pada monitor video membuat operator menjadi yakin dengan posisi dan
dikhususkan untuk melakukan intubasi orotrakeal, nama Bonfils diambil dari nama
alatnya oleh Karl Storz Endoscopy Ltd, Tuttlingen, Germany sejak 1996.
17
Alat tersebut mempunyai badan silindris yang ramping lurus dan panjang dengan sudut
melengkung 40° beberapa centimeter dari ujung distal, bagian kamera terletak pada
ujung proksimal dan terdapat fiberoptic disepanjang alat tersebut yang menghasilkan
sumber cahaya pada ujung proksimal alat tersebut. Trakeal tube dimasukkan pada
bonfils endonkopi fiberscope dan kemudian didorong masuk pada alat pengunci yang
disesuaikan sehingga ujung distal dari tube berada dibelakang endoskopi, akhirnya
lapang pandang yang efektif dari operator pemegang bonfils dapat dilihat pada ujung
distal dari trakeal tube. Dari posisi ini operator dapat menelusuri tube dari instrumen
melalui plica vocalis dibawah penglihatan langsung melalui kamera atau video monitor.
18
Gambar 2.12 cara memegang Bonfils Intubation fiberscope yang telah dimasukkan
trakeal tube
Gambar 2.13 Tip dari Bonfils Intubation Fiberscope 0,5 cm dari ujung lumen trakeal
tube
Endoscope yang telah disiapkan dengan antifog pada lensa kamera dan trakeal
tube yang telah dimasukkan didalam alat bonfils dipegang pada tangan kanan operator
dan tangan kiri operator digunakan untuk membuka mulut pasien dan menarik
mandibula kedepan. Manufer chin lift digunakan dan pada umumnya efektif dan selalu
dapat menaikkan epiglotis untuk memperlihatkan laring, pengembangan yang lebih jauh
yang didapatkan adalah chin dan tongue lift dengan menggunakan ibu jari sebelah kiri.
Dua tehnik yang berbeda ini digunakan untuk menelusuri endoskopi, yang pertama
lateral sepanjang dinding faring kebawah sampai epiglotis. Pada dinding posterior
faring ujung distal diputar pada arah anterior dan akhirnya terlihat epiglotis. Langkah
berikutnya dari proses ini adalah endoskopi menelusuri dibawah epiglotis sehingga
19
plika vocalis dapat tervisualisasi, hal ini dapat diperoleh dengan manuver-manuver
sebagai berikut : chin lift; chin and tongue lift; eksternal jaw trust; jaw trust dengan
ekstensi maksimal dari leher dan akhirnya disertai dengan penggunaan laringoskop
machintos. Pada poin ini tube mengarah ke plika vocalis dan tangan kiri melepas
mandibula yang mana tidak dapat menyebabkan perubahan posisi, kemudian tangan kiri
yang telah bebas digunakan untuk mengarahkan trakeal tube kedalam trakea dibawah
mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang berkaitan dengan
airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan hoarseness (Reko, 2014). Beberapa
trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema pharyngeal airways (Biro, 2005).
Nyeri tenggorokan akibat intubasi endotrakeal termasuk urutan ke-8 pada daftar
hasil akhir akibat operasi yang paling dihindari oleh pasien akibat mual, tersadar selama
operasi, batuk saat masih dengan pipa endotrakeal, menggigil, muntah, kelemahan yang
tersisa dan somnolen. Komplikasi minor ini belum dapat dicegah sepenuhnya dan masih
dicari cara penanganannya. Walaupun bukan suatu yang gawat dan tidak menimbulkan
kecacatan, nyeri tenggorokan ini bisa menjadi keluhan utama jika nyeri pada luka
operasi bisa terkontrol dengan baik. Komplikasi ini bisa menyebabkan ketidakpuasan
dan ketidaknyamanan pasien serta bisa memperlambat kembalinya aktifitas rutin pasien
tahun ke tahun terus meningkat mencapai angka 50% insiden, lebih sering terjadi pada
wanita (17%) dibandingkan dengan pria (9%) (Biro, 2005; Arlina, 2008).
Nyeri adalah pengalaman tidak menyenangkan bagi pasien, sehingga dokter ahli
anestesi harus dapat mengatasi nyeri sebelum, selama, serta setelah operasi dalam
atau post operative sore throat (POST) merupakan suatu keadaan yang masih menjadi
persoalan utama pada pasien yang menjalani anestesia umum terutama pasien yang
dilakukan intubasi dengan pemasangan endotracheal tube (ETT) atau pipa endotrakea.
21
Nyeri tenggorokan pascaoperasi terjadi karena iritasi dan juga inflamasi lokal akibat
trauma pada saat laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal di daerah faring, laring,
Diyakini bahwa insidens tertinggi nyeri tenggorok dan gejala-gejala airway yang
berhubungan lainnya cenderung terjadi pada pasien yang telah mendapatkan intubasi
endotrakeal, meskipun pada operasi ambulatori prosedur singkat (<1 jam), dan paling
sering terjadi akibat prolong intubasi (>12 jam) (Dollo dkk., 2001).
Trauma merupakan faktor etiologi yang penting pada nyeri tenggorokan dan
suara serak akibat intubasi, dan ditemukan adanya edema dan memar tenggorokan pada
penderita yang mengeluh nyeri tenggorokan akibat intubasi. Tenggorokan dapat luka
waktu intubasi karena manipulasi. Trauma dapat terjadi waktu laringoskopi langsung
dan intubasi yang dilakukan karena kurang relaksasi otot (Monem, 2007; Biro, 2005;
menyebabkan rasa tidak nyaman, rasa gatal di tenggorokan dan dapat menimbulkan rasa
sakit pada saat menelan akibat intubasi endotrakeal. Hal ini terjadi karena trauma pada
tonsil, faring, lidah, laring dan trakea. Pada keluhan nyeri tenggorokan yang terjadi
adalah trauma mukosa trakea akibat intubasi endotrakeal (Biro, 2005; Monem, 2007).
mekanisme proteksi terhadap luasnya kerusakan jaringan. Selain itu, respon inflamasi
berperan untuk memperbaiki fungsi dan struktur jaringan rusak. Namun, stimulasi
jaringan dan atau menekan fungsi imun. Sel imun merupakan sumber produksi sitokin
dan produk yang dihasilkan memiliki efek autokrin serta aktivitas sistemik.
Kemampuan untuk mengubah fungsi sel imun melalui peranan hormonal ekstraseluler
untuk mengatur respon inflamasi sitokin selama injuri (Castillho dkk, 2003; Thomas
dkk, 2012).
Patofisiologi Nyeri
zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri
akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta
produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-
lain. Mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik (Stoelting,
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting, 2006; Morgan dkk, 2006)
Transduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada
banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh
yang lain. Serat saraf aferenA delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang
mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf
pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya
Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang
menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke
sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferen A-delta
dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter.
Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5
m/dtk).Sel-sel neuron di medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi
nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri
tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada
di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang
spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan
Modulasi
24
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh
serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis
tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan
terjadi interaksi antara impuls yang masukdengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi
endogen maupun sistem inhibisi eksogen (Morgan dkk, 2006). Tergantung mana yang
lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan
sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita
Persepsi
Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang sangat
sensibel nyeri.
Penilaian Nyeri
kombinasi rangsang nyeri atau nociception dan kerusakan jaringan, pengalaman nyeri
sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa nyeri ini
bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan
observasi serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini menjelaskan
mengapa pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan
merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda. Oleh karena tidak terdapat suatu
25
alat obyektif, maka kita harus mempercayai laporan pasien tentang tingkat nyeri yang
1. Ukuran ETT
trakea menjadi lebih sempit pada perempuan. Juga disebabkan karena mukosa
Cuff high pressure low volume, seperti ETT red-rubber, akan menyebabkan
mukosa arteriolar telah diukur yaitu berkisar 32 cmH20, dan seperti yang
diketahui jika tekanan intracuff > 30 cmH20 akan mengganggu aliran darah
atau trakeomalasia. Saat ini pipa berdinding tipis, cuff low pressure high volume
tidak akan mempengaruhi aliran darah mukosa sampai tekanan inracuff 80-120
recurrent antara cuff dan kartilago krikoid dan aritenoid. Monitoring dan menilai
Design cuff low pressure high volume juga telah terbukti sebagai penyebab nyeri
tenggorokan setelah operasi, oleh karena cuff high volume akan menekan
mukosa trakea lebih luas. Akan tetapi bila dibandingkan dengan cuff high
pressure, kerusakannya lebih superficial, problem lain cuff high volume adalah
diameternya lebih besar dari trakea, sehingga berkerutnya pipa akan membentuk
alur yang dalam pada mukosa trakea. Sebagai tambahan, aspirasi tidak dapat
dicegah.Cuff yang ideal, oleh karena itu, sebaiknya diameternya lebih kecil dari
(Castilho,dkk., 2003).
5. Nitrous Oxide
Penggunaan rutin nitrous oxide menjadi tantangan untuk beberapa alasan, paling
tidak karena alasan biaya. Difusi intraoperatif melalui air-filled spaces telah
mengembangkan cuff dengan saline atau dengan gas langsung melalui sirkuit
insidens nyeri tenggorokan. Intubasi yang lancar dan tanpa komplikasi pada
terpenting yang akan mempengaruhi nyeri tenggorokan dan suara serak. Pasien
dengan anatomi yang abnormal akan menghadapi kesulitan saat intubasi, dengan
beberapa kali usaha dan memungkinkan terjadinya trauma pada struktur faring.
terhadap kartilago aritenoid, meskipun sangat berguna untuk intubasi yang sulit.
napas atau ETT saat ekstubasi merupakan prediksi terjadinya nyeri tenggorokan.
Pengamatan yang penting, bahwa pasien dengan trauma pada faring akibat
7. Lidokain Topikal
Aplikasi lidokain topikal baik pada ETT atau struktur faring beberapa kali telah
bahwa lidokain akan tetap tinggal di mukosa dan menyebabkan iritasi, karena
watersoluble lubricating gel tidak memiliki efek ini. Sebagai tambahan, spray
anestesi lokal atau gel dapat memberikan “anestesi” pada pita suara dan akan
jalan napas atas dengan dosis tunggal beclomethasone (50μg) inhaler, akan
relaksasi otot yang tidak perlu, sehingga dipastikan insidens komplain pada
faring akan meningkat. Aktivitas motorik laring yang berlebihan, seperti yang
terjadi saat pasien batuk atau berkuat melawan ETT atau selama anestesi yang
dangkal, dapat menyebabkan hematoma dan granuloma pada pita suara. Ini
adalah masalah yang sering terjadi pada pasien yang terventilator di ruang
relaksasi otot telah terbukti sebagai penyebab nyeri tenggorokan setelah operasi
(± 40 kasus) dan perubahan suara, yang secara khusus terjadi lebih lama dari
pada setelah intubasi dengan relaksasi otot. Pita suara sebelah kiri lebih sering
mengalami trauma karena laringoskop biasanya dipegang dengan tangan kiri dan
ETT dimasukkan dari sisi kanan dan diputar ke arah kiri. Sebagai tambahan,
ketika menggunakan ETT yang lebih kecil pada pasien yang tidak lumpuh,
30
pergerakan yang berlebihan pipa terhadap pita suara selama prosedur ini dapat
2003).
9. Intubasi Urgency
Intubasi pada keadaan urgency adalah faktor lain yang bertanggung jawab
menunggu onset pelumpuh otot, dan trauma faring yang terjadi saat usaha
operasi sebagai akibat tekanan pipa nasogastrik pada nervus yang berada di
Sekresi gaster atau perdarahan dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan serak
setelah operasi sebagai akibat dari inflamasi atau respon kimia terhadap iritan ini
(Zuccherelli,dkk., 2003).
naik ke arah faring, menyebabkan cuff dan pipa menggeser pita suara dan
2003).
13. Obesitas
Pasien obese lebih sulit untuk dilakukan ventilasi dan intubasi, dan pipa yang
2003).
14. Suctioning
berbahan lembut dan bagian ujung yang cukup luas (Zuccherelli,dkk., 2003).
Suara serak
32
mencoba berbicara, atau ada perubahan nada suara. Suaranya terdengar lemah,
etiologi yang penting pada nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi, dan
ditemukan adanya edema dan memar tenggorokan pada penderita yang mengeluh nyeri
saat laringoskopi langsung dan intubasi yang dilakukankarena kurangnya relaksasi otot.
Sebab lain trauma laring mungkin disebabkan karena pergeseran yang berlebihan antara
Laporan kejadian suara serak pada intubasi endotrakeal sangat bervariasi, suara
serak terjadi permanen dilaporkan sekitar 3% kejadian. Pada penelitian Jones, 1992 dari
235 pasien dewasa yang dilakukan tindakan intubasi 54 pasien (32%) mengeluhkan
suara serak setelah operasi, 5 pasien stelah 7 hari kembali suara normal dan yang lain
setelah 9,10,12,54, dan 99 hari (Jones, 1992). Pada penelitian lain dikatakan insiden
terjadinya suara serak dari total 3977 pasien terdapat 37,1% mengeluh suara serak dan
Penyebab timbulnya suara serak salah satunya adalah paralisis pita suara.
Paralisis pita suara dapat terjadi bilateral atau unilateral. Paralisis pita suara yang
unilateral dapat menjadi penyebab terjadinya suara serak yang menetap akibat
ekstubasi. Paralisis pita suara bilateral dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.
Paralisis pita suara ini berhubungan dengan timbulnya suara serak, yang biasanya
33
muncul segera setelah operasi. Biasanya paralisis pita suara terjadi sekunder dari cedera
nervus laringeus rekurens (Bishop, 1989). Dibawah ini terdapat beberapa maniestasi
Derajat trauma laring pada manipulasi endotrakeal terjadi oleh karena adanya
edema dan inflamasi pada pita suara, terjadi hematoma dan dislokasi pada arytenoids
catilago (Bishop, 1992), dapat juga ditemukan laserasi pada pita suara dan granulasi
Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang kelima
yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan berulang harus
Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri, kebutuhan
serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan. Penilaian rasa nyeri
pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada kondisi statik (saat istirahat,
tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat bergerak, duduk, batuk). Secara garis
besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua, yaitu penilaian uni dimensional dan penilaian
ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam
menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan bukan
mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal descriptive scale
(VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat
atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh Keele pada tahun 1948. VDS
lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi dibandingkan dengan skala numerikal
dan kurang sensitif untuk menilai hasil terapi analgesia dibandingkan dengan VAS
(Ballantyne, 2008).
Skala kategori mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan,
dan berguna pada pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi
kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi analgesia
Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun tertulis.
Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating scale (NRS),
disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta untuk menyatakan
tingkat nyeri dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10 dimana 0 sebagai tidak nyeri,
dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah satu instrumen pengukur nyeri yang
Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini
merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun
dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm,
pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan ditandai
dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis tersebut
yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam
satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain
dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid.
Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan
tetapi interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai
nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil
dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam
menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian, dkk.,
2001). Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan cepat
rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini diperlukan
konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat dipergunakan pada
anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga mempengaruhi tingkat kepuasan
pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit
menurun, penurunan nilai 20-30 mm atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang
bermakna dari sudut pasien dan penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai
pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah theMcGill
Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada tahun 1987 untuk
memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang dirasakan oleh pasien.
MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating index dan intensitas nyeri terkini.
MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid dan dapat dipercaya.Pain rating index
diperoleh dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang
mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa
skala nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman,
3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri
(Cousin, 2005).