Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERPAJAKAN

“ HUKUM PAJAK”

OLEH

ANNISA NUR INSYANI

201910487

PERPAJAKAN J

STIEM BONGAYA MAKASSAR

MANAJEMEN

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa Penulis juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan Penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, Penulis yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

MAKASSAR,22 DESEMBER 2020

PENULIS

ANNISA NUR INSYANI


DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar ........................................................................................... i

Daftar Isi ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

A. Latar Belakang.......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................... 4

C. Tujuan penelitian....................................................................... 4

D. Keguaan penelitian.................................................................... 5

BAB II LANDASAN TEORI................................................................... 6

BAB III PEMBAHASAAN....................................................................... 11

A. kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak dalam Peradilan di

Indonesia.......................................................................................... 11

B. Kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi

Timbunya penyimpangan............................................................... 18

BAB IV PENUTUP................................................................................... 20

A. Kesimpulan................................................................................ 20

B. Saran.......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini termuat
dalam konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan lebih lanjut
dijelaskan dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum (Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

Menurut Galang Asmara yang mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja,


pengertian negara hukum adalah negara yang yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan
tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.[1]

Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu kekuasaan


dimana setiap orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada hukum. Selain itu
segala kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus
didasarkan pada ketentuan hukum. Apabila ada perilaku atau kegiatan yang tidak
didasarkan pada ketentuan hukum, harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap konsep
hukum itu sendiri.

Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena
dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun
rakyat yang melanggar ketentuan hukum.[2]

Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan


merupakan salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses
untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum.[3]

Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan


UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah
“…..memajukan kesejahteraan umum…”. Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika
perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang
sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Kemajuan negaranya sangat
bergantung dengan besar kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya
(wajib pajak). Sekalipun Negara membebankan tarif pajak kepada rakyatnya namun pajak
tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum
yang pembangunannya menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan
permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang
kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga
akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya
diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang
menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.

Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan


konsep negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga
peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang
terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan
pajak oleh negara terhadap rakyat.

Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun


2002 tentang Pengadilan Pajak, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan apabila
terjadisengketa pajak dengan fiscus atau pemungut pajak.[4]

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan


Pajak maka penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak.
Pengadilan ini didirikan untuk menggantikan peran Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP). Menurut UU, pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
memutus sengketa pajak yang terjadi antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.

Berdasarkan uraian diatas mengenai pengadilan pajak dalam peradilan Indonesia,


maka penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai kedudukan pengadilan pajak
yang di atur oleh undang-udang no 14 tahun 2004 tentang pengadilan pajak yang akan
dituangkan dalam makalah yang berjudul “Kedudukan Pengadilan Pajak Menurut Undang-
Undang No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak Dalam Peradilan Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka rumusan


masalah yang dapat di ambil adalah sebagai berikut:

Bagaimanakah kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang Nomor


14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Peradilan di Indonesia?

Apakah yang menjadi kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi timbunya
penyimpangan?
C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di


Indonesia.

2. Memberikan gambaran tentang eksistensi peradilan pajak dalam menyelesaikan


sengketa pajak.

3. Menjelaskan apa saja yang menjadi kelemahan dari Peradilan Pajak yang dapat
menjadikan timbulnya penyimpangan.

4. Memberikan solusi tentang kelemahan dalam aturan peradilan pajak di Indonesia

D. Kegunaan Penelitian.

1. Kegunaan Teoritis.

Dari adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis;

a. Menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum pajak terutama tentang Pengadilan


pajak.

b. Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik tentang
kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta kelemahannya.

2. Kegunaan Praktis

Mengenai kegunaan praktis adalah sebagai berikut :

a. Menyumbangkan pemikiran guna memecahkan permasalahan yang terjadi dalam


sengketa pajak.

b. Memberikan masukan kepada pejabat yang terkait baik pejabat pajak maupun hakim
pengadilan pajak dalam menyelesaikan masalah sengketa pajak.
BAB II

LANDASAN TEORI

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu
masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[5] Pajak
sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri
menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang, dengan undang-undang
diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir).

Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan
definisi berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah
iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[6]

Mengenai pajak dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai
pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang dapat
dikenakan pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak
pada rakyatnya. Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-
Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang
dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang
memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab
untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum.[7] Dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2 menyebutkan subjek pajak dalam PPh
adalah:

Orang pribadi atau perorangan,

Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,

Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,

Bentuk usaha tetap.

Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain
harus memenuhi syarat subjektif juga harus memenuhi syarat objektif yaitu memenuhi
Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No. 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka
2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak,
baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand.
Misalnya:

Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan bermotor,


menempati rumah tertentu.

Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau


barang.

Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak.[8]

Dalam pelaksanaan pajak tentu tak lepas dari adanya suatu permasalahan yang
menimbulkan sengketa atau dalam hukum pajak disebut sengketa pajak. Di Undang-Undang
Pengadilan pajak No. 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 5, sengketa pajak adalah sengketa yang
timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat
yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding
atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Peradilan adalah suatu proses penegakan hukum maupun memberi perlindungan


hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa.[9] Peradilan dilaksanakan oleh suatu lembaga
khusus yang disebut sebagai lembaga peradilan atau pengadilan. Peradilan pajak adalah
suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberikan keadilan dalam hal sengketa
pajak, baik kepada wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah), sesuai
dengan ketentuan undang-undang/hukum positif.[10]

Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad
van Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam
perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan
Peradilan Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk
terbentuknya Badan Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap
dijalankan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), namun dengan kewenangan yang
diperluas. Pada periode 1997 hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih
pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP
masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak
tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada Pengadilan Pajak.[11]

Pengadilan pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang


Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus
terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam Pasal 2 disebutkan
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi
Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Sedangkan sengketa pajak timbul dari dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan
Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-
undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia


terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Keempat
peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat
limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain
keempat peradilan tersebut. Hal ini menimbulkan bahwa pengadilan pajak berada di luar
kekuasaan kehakiman seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970.[12]

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Badan Pengadilan Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002


Tentang Pengadilan Pajak Dalam Peradilan Di Indonesia.

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk
pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena
banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu
tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan
peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja
banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung
menghindari kewajiban tersebut.
Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi karena
adanya perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Karena,
diakui atau tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap tidak jelas,
kurang tegas dan cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara berbeda oleh kedua
pihak yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda pula.

Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diubah untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan Pajak.
Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti
dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan
memutus sengketa.

Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa
Pengadilan Pajak adalah

“Badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”.

Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah


badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000, dan merupakan Badan
Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.

Setelah berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007
sedangkan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah lagi dengan Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam
paragrap pertama Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak dibentuk salah satunya adalah untuk
menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dianggap dalam pelaksanaan
penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat
menimbukan ketidakadilan.

Paragrap terakhir Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang


Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam undang-undang ini
bersifat khusus menyangkut acara penyelengaraan persidangan sengketa perpajakan, yaitu:
Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam
hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon

Banding atau tergugat, sidang dapt dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan


putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang


mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijzah Sarjana Hukum atau sarjana lain.

Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.

Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib
Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung
memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya.

Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini diatur
hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut Sudjawardi,

“Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, mengadili


sengketa pajak. Sengketa pajak sendiri terdiri dari pajak pusat maupun pajak daerah. Pajak
pusat ada 7, yaitu yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (yaitu Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Meterai dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). Sedangkang dua
pajak dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu bea dan cukai.”[13]

Menurut Istiani,

“Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan


penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang
dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri.
Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan
kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai
sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu
badan peradilan khusus untuk menanganinya.”[14]

Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih
dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan
landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat
angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:

“Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879).”

Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada UU


Kekuasaan Kehakiman, yang saat ini melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Dimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman 2009, sebagai
berikut:

“Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak,
pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi,
pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha
negara.”

Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan
Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga
Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:[15]

Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan


peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak
mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.

2. Kompetensi Absolut

Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan


memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak
yang berkehendak untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum
sebagai bentuk perlindungan hukum. Kewenangan untuk memeriksa dan memutus
sengketa pajak tidak boleh dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk pengadilan
dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.

Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut
tolak ukur sebagai berikut:

Tolak Ukur Subyek

Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi :

“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak
atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan
keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”

Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa
dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut
pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa manakala sengketa itu terjadi antara
rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata
Usaha Negara.[16]

2. Tolak Ukur Obyek

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak Yang menjadi obyek


dalam sengketa pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut Pasal 1 butir 4
UU Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan
dalam rangka pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor


5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diamandemen
pertama dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004 dam amandemen kedua dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, berbunyi sebagai berikut :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.”

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak merupakan


Sengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi bagian dari Sistem
Peradilan Tata Usaha Negara.

B. Kelemahan Peradilan Pajak Yang Dapat Menjadi Timbunya Penyimpangan

Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus


sengketa pajak, yakni berupa Banding atas keputusan keberatan dan Gugatan atas
pelaksanaan penagihan pajak atas keputusan pembetulan.[17] Akan tetapi, yang menjadi
persoalan adalah berbagai aturan yang termuat dalam UU Pengadilan Pajak tidak
mencerminkan semangat konstitusi dan ketundukkan pada integrated justice system. UU
Pengadilan Pajak menjadikan institusi Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan
tersendiri di luar MA.
Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa
dan memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33 dan diperkuat oleh Pasal 77 yang
menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80 ayat 2
menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas
sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak dapat
lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus kata
akhir dalam sengketa pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.

Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana
MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat final
dan mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan
bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak
tidak.

Dengan demikian, dapat di deskripsikan bahwa UU memposisikan pengadilan ini


sebagai badan peradilan yang berdiri sendiri. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi
dinegeri ini tidak dilibatkan. MA hanya dilibatkan di mekanisme Peninjauan Kembali (PK)
yang merupakan upaya hukum luar biasa, bukan upaya hukum biasa dan itupun dengan
syarat yang sangat limitatif. Sehingga dengan kata lain, sebenarnya UU ini ingin
mengesampingkan peran MA dalam penyelesaian sengketa pajak.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:

Bahwa di dalam penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dimana


Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya memiliki hukum
acara tersendiri.
Namun jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU Pengadilan Pajak
tersebut, bahwa Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri terpisah
dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan, hal tersebut yang
mejadi kelemahan dari UU pengadilan pajak dan dapat dikatakan menyimpang karena
melanggar amanat UUD 1945 bahwa setiap peradilan harus berada di bawah Mahkamah
agung.

B. Saran

Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus


segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi,
organisasi dan finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak
harus berada dibawah MA
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam

Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indonesia, Bandung: Alumni, 1989.

Rochmat Soemitro. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika

Aditama, 1998.

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung:

Refika Aditama, 2005.

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, Bandung: Refika

Aditama, 1998.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1981

Anda mungkin juga menyukai