(Final) Annisa Nur Insyani (201910487)
(Final) Annisa Nur Insyani (201910487)
“ HUKUM PAJAK”
OLEH
201910487
PERPAJAKAN J
MANAJEMEN
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa Penulis juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan Penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
PENULIS
Halaman Judul
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 4
C. Tujuan penelitian....................................................................... 4
D. Keguaan penelitian.................................................................... 5
Indonesia.......................................................................................... 11
Timbunya penyimpangan............................................................... 18
BAB IV PENUTUP................................................................................... 20
A. Kesimpulan................................................................................ 20
B. Saran.......................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini termuat
dalam konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan lebih lanjut
dijelaskan dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum (Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena
dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun
rakyat yang melanggar ketentuan hukum.[2]
B. Rumusan Masalah
Apakah yang menjadi kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi timbunya
penyimpangan?
C. Tujuan Penelitian
3. Menjelaskan apa saja yang menjadi kelemahan dari Peradilan Pajak yang dapat
menjadikan timbulnya penyimpangan.
D. Kegunaan Penelitian.
1. Kegunaan Teoritis.
Dari adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis;
b. Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik tentang
kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta kelemahannya.
2. Kegunaan Praktis
b. Memberikan masukan kepada pejabat yang terkait baik pejabat pajak maupun hakim
pengadilan pajak dalam menyelesaikan masalah sengketa pajak.
BAB II
LANDASAN TEORI
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu
masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[5] Pajak
sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri
menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang, dengan undang-undang
diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir).
Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan
definisi berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah
iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[6]
Mengenai pajak dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai
pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang dapat
dikenakan pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak
pada rakyatnya. Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-
Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang
dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang
memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab
untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum.[7] Dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2 menyebutkan subjek pajak dalam PPh
adalah:
Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,
Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain
harus memenuhi syarat subjektif juga harus memenuhi syarat objektif yaitu memenuhi
Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No. 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka
2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak,
baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand.
Misalnya:
Dalam pelaksanaan pajak tentu tak lepas dari adanya suatu permasalahan yang
menimbulkan sengketa atau dalam hukum pajak disebut sengketa pajak. Di Undang-Undang
Pengadilan pajak No. 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 5, sengketa pajak adalah sengketa yang
timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat
yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding
atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad
van Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam
perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan
Peradilan Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk
terbentuknya Badan Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap
dijalankan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), namun dengan kewenangan yang
diperluas. Pada periode 1997 hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih
pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP
masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak
tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada Pengadilan Pajak.[11]
BAB III
PEMBAHASAN
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk
pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena
banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu
tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan
peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja
banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung
menghindari kewajiban tersebut.
Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi karena
adanya perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Karena,
diakui atau tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap tidak jelas,
kurang tegas dan cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara berbeda oleh kedua
pihak yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda pula.
Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diubah untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan Pajak.
Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti
dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan
memutus sengketa.
Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa
Pengadilan Pajak adalah
“Badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”.
Setelah berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007
sedangkan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah lagi dengan Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam
paragrap pertama Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak dibentuk salah satunya adalah untuk
menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dianggap dalam pelaksanaan
penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat
menimbukan ketidakadilan.
Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib
Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung
memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya.
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini diatur
hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut Sudjawardi,
Menurut Istiani,
Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih
dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan
landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat
angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak,
pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi,
pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha
negara.”
Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan
Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga
Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:[15]
Kompetensi Relatif
2. Kompetensi Absolut
Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut
tolak ukur sebagai berikut:
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak
atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan
keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa
dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut
pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa manakala sengketa itu terjadi antara
rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata
Usaha Negara.[16]
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.”
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80 ayat 2
menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas
sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak dapat
lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus kata
akhir dalam sengketa pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.
Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana
MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat final
dan mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan
bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak
tidak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
B. Saran
A. Buku
Aditama, 1998.
Aditama, 1998.
Indonesia, 1981