DISUSUN OLEH :
Nico (406162100)
Andi Eka Putra (406162109)
Florencia Santoso (406162110)
Stefan Cahyadi (406171044)
Budi Setiawan L (406181012)
Paat Natalia D (406181019)
Reza Fahrian R (406162016)
PEMBIMBING:
dr. Ratna Relawati, Sp. KF, M.Si, Med
Secara umum terdapat tiga jenis asfiksia, yaitu asfiksia mekanik, asfiksia non
mekanik, dan asfiksia patologis, dimana asfiksia mekanik menduduki peringkat pertama.
Menurut data CDC (Central for Disease Control and Prevention) pada tahun 1999 sampai
2004, berdasarkan data kematian di Amerika Serikat terdapat ± 20.000 kasus kematian
oleh asfiksia seperti, tenggelam, gantung diri, strangulasi, dan sufonifikasi. Di Indonesia
sendiri kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas
(KLL). Berdasarkan data yang dilaporkan di Bagian Kedokteran Forensik FKUI RSUP
Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di Jakarta mencapai 5,8%.
Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan
minum obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang.
Dalam penelitian retrospektif di RSUP Sardjito tahun 2007-2012, prevalensi asfiksia
4-6
mekanik terbanyak yaitu 64% pada pria dengan usia 21-40 tahun.
Secara etiologi, asfiksia dapat juga disebabkan oleh penyebab ilmiah, trauma
mekanik, dan keracunan. Asfiksia alamiah didapatkan oleh karena penyakit yang
menyumbat saluran pernapasan, juga bisa terjadi pada bayi baru lahir (asfiksia
neonatorum). keracunan : Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan
misalnya barbiturat, narkotika. Asfiksia dalam ilmu hukum diartikan dengan kata mati
7
lemas, yang merujuk kepada keadaan dimana kekurang oksigen dalam tubuh.
Secara umum perlu diketahui tanda-tanda dari asfiksia, mengingat banyak
jenis-jenis dari asfiksia itu sendiri. Petekiae, edema paru, pembengkakan jantung
sebelah kanan, dan sianosis. Walaupun demikian pembekapan(smothering),
tenggelam, penjeratan (strangulation), gantung (hanging), pencekikan (suffocation)
mempunyai tanda-tanda khas tersendiri, sehingga pemeriksaan harus dengan teliti
dilakukan untuk membedakannya. Oleh sebab itu, melalui penulisan referat ini,
diharapkan pembaca dapat mengetahui mengenai asfiksia dan jenis-jenis asfiksia,
yang disertai dengan tanda-tanda khas masing-masing dari asfiksia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kata Asfiksia sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “stopping of the
pulse” atau diterjemahkan berhentinya denyut atau tidak ada denyut. Menurut
Kamus Kedokteran Merriam Webster, asfiksia diartikan sebagai keadaan kekurang
oksigen atau kelebihan karbondioksida dalam tubuh yang menyebabkan turunnya
level kesadaran, bahkan kematian yang disebabkan oleh gangguan pernapasan atau
pasokan oksigen yang tidak adekuat. Asfiksia tidak bisa disamakan dengan anoksia,
2,3
namun asfiksia merupakan bagian dari anoksia.
1. Anoksia anoksik, kondisi dimana O2 tidak sampai ke darah oleh karena kurangnya
O2 yang masuk ke paru-paru.
2. Anoksia anemik, kondisi dimana darah tidak dapat menyerap O 2. Hal ini terjadi pada
3. Anoksia histotoksik, kondisi dimana jaringan tidak dapat menyerap O 2. Hal ini terjadi pada
kasus keracunan CN (sianida). CN menginhibisi enzim sitokrom oksidase pada mitokondria yang berperan
Golongan anoksia anemik, histotoksik, dan stagnan disebabkan oleh racun sementara
anoksia anoksik disebabkan oleh obstruksi saluran napas. Yang disebut asfiksia
sebenarnya adalah anoksia anoksik atau yang disebut juga asfiksia mekanik
(mechanical asphixia).
Data CDC (Central for Disease Control and Prevention) pada tahun 1999 sampai
2004, berdasarkan data kematian di Amerika Serikat terdapat ± 20.000 kasus
kematian oleh asfiksia seperti, tenggelam, gantung diri, strangulasi, dan sufonifikasi.
Dimana kasus gantung diri dan stangulasi terdata banyak pada usia antara 35-44
4
tahun sedangkan kasus asfiksia homisidal jarang terjadi.
Di Indonesia , kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu
lintas (KLL). Di RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di Jakarta
mencapai 5,8%. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri
dengan minum obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang.
Dalam penelitian retrospektif di RSUP Sardjito Jogjakarta tahun 2007-2012, prevalensi asfiksia
mekanik terbanyak yaitu 64% pada pria dengan usia 21-40 tahun. Data rekam medis RSUD
Soetomo FK UNAIR periode Januari 2013 – Desember 2015, didapatkan 8 kasus asfiksia,
8
Ada beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia , yaitu:
- Gantung (hanging)
2. Sufonifikasi
3. Pembekapan (smothering)
4. Penyumpalan (choking/gaging)
5. Tenggelam (drowning)
6. Crush asphyxia:
- Berdesakan
Pada orang yang meninggal yang meninggal diakibatkan oleh asfiksia, maka akan
7,8
melewati 4 fase yang mempengaruhi tubuh orang tersebut:
1. Fase Dispnea
Fase ini merupakan gejala tahap awal yang terjadi pada orang yang mengalami
asfiksia. Amplitode dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi menjadi
cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama
pada muka dan tangan. Hal ini disebabkan karena penurunan kadar oksigen pada
sel darah merah dan adanya penimbunan CO2 dalam plasma sehingga akan
merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata.
2. Fase Konvulsi
Merupakan fase yang terjadi setelah fase dispnea. Pada fase ini orang yang mengalami
peningkatan CO2 sehingga merangsang susunan saraf pusat. Kejang diawali dengan
bentuk tonik klonik yang kemudian akan berubah menjadi kejang tonik saja, dan
akhirnya timbul spasme opistotonik. Selain kejang, pupil mengalami dilatasi, denyut
jantung menurun, dan tekanan darah juga menurun. Hal ini disebabkan karena paralisis
yang lebih tinggi dalam otak yang disebabkan oleh kekurangan O2.
3. Fase Apnea
Setelah melewati fase konvulsi, akan memasuki fase apnea. Pada fase ini
depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan
dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran Ciaran sperma, urin dan tinja.
4. Fase Akhir
Pada fase akhir akan terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap.
Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada
leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernafasan berhenti.
Waktu yang diperlukan dari asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 terjadi lebih kurang 3-4 menit. Tetapi hal ini sangat
bergantung dengan tingkat penghalang oksigen. Bila tidak 100% penghalang oksigen nya,
7
maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
1. Tardieu's Spot
7,9,10
menyebabkan edema yang mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik.
2. Cutis Anserina
Cutis anserina (goose flesh) merupakan gambaran kulit yang menyerupai gambaran kulit
angsa. Cutis anserina merupakan salah satu tanda adanya kontak dengan air dan tanda adanya
reaksi intravital. Hal ini dapat terjadi karena adanya rangsangan air dingin sehingga
7,9,10
menyebabkan kontraksi M. Erector pili yang menciptakan gambaran kulit angsa.
Washer women skin juga merupakan tanda kontak dengan air. Gambaran yang
timbul berupa kulit yang pucat, keriput dan mengelupas dari dasar. Mekanismenya
adanya suatu proses imbibisi sehingga lama-kelamaan lapisan keratin kulit menjadi
7,9,10
lepas sehingga menimbulkan “glove and stocking” phenomena.
a. Tardieu’s Spot
b. Edema Organ
Edema organ terjadi akibat perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh, sehingga
organ menjadi lebih berat, bewarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan
darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik
intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma
7,8
ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
c. Sianosis
Sianosis merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang
2
terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O ).
7,8
Terjadi akibat peningkatan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar
membeku. Gambaran tetntang tetap cairnya darah terlihat saat autopsi akibat
7,8
asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik.
7,8
Pada Pemeriksaan Luar :
- Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
2
lebam lebih luas akibat kadar CO yang lebih tinggi
- Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang di sertai sekresi selaput lender saluran napas
bagian atas
- Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palbepra
SIMPSON
Gambar 1. Gambaran lebam mayat pada jenazah asfiksi
7,8
Pada Pemeriksaan Dalam
- Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinossin darah yang
meningkat paska kematian.
- Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars
diafragmatika dan fisura interlobaris.
2.8 Strangulasi
Tekanan pada leher dapat disebabkan oleh strangulasi manual, strangulasi dengan jerat,
gantung diri, hantaman, arm-locks, dan beberapa keadaan bervariasi, seperti terlilit tali
10
pusat.
Mekanisme Kematian
Sejumlah faktor anatomis dan fisiologis yang dapat menyebabkan kematian akibat
tekanan pada leher, antara lain sebagai berikut:
Hal ini dapat terjadi akibat penekanan langsung pada laring atau trakea, atau
keadaan dimana laring terangkat menyebabkan faring tertutup oleh pangkal lidah
10
yang tertekan langit-langit mulut.
Pada keadaan dimana vena leher tersumbat atau tertutup, dapat ditemui gejala klasik
berupa kongesti, sianosis, edema dan petekie yang berada di atas lokasi
KNIGHT
penyempitan. Penelitian yang dilakukan oleh Brouardel menunjukkan bahwa
10
penjeratan dengan tegangan 2 kg dapat menghalangi aliran balik vena jugularis.
10
Beberapa fakta yang dapat ditemui pada penekanan arteri karotis adalah sebagai berikut.
Kasus ini lebih jarang terjadi dibandingkan sumbatan pada vena, dikarenakan
tekanan arteri karotis dapat melawan sumbatan dan terletak lebih dalam.
Penutupan menyeluruh dari sirkulasi arteri karotis yang berlangsung 4-5 menit
atau lebih dapat menyebabkan kerusakan otak ireversibel.
Penekanan baroreseptor pada sinus karotis, lapisan karotis, dan badan karotis dapat
memicu terjadinya bradikardi, atau henti jantung (cardiac arrest). Mekanisme ini terjadi
melalui refleks yang timbul dan memicu pembentukkan impuls dari ujung saraf aferen
(sensoris) karotis. Kemudian, impuls memasuki otak melalui nervus glosofaringeal dan
10
kembali melalui nervus vagus (eferen) yang mensuplai jantung dan organ lain.
Peristiwa gantung adalah peristiwa dimana seluruh atau sebagian dari berat tubuh seseorang
ditahan di bagian lehernya oleh suatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan
(undip)
panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami tekanan. Kasus
gantung sebenarnya hampir sama dengan penjeratan, perbedaannya terdapat pada
asal dari tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada kasus
penjeratan, tenaga berasal dari luar tubuh, sedangkan pada gantung tenaga berasal
7
dari berat badan korban sendiri baik sebagian atau seluruhnya.
Penekanan dengan kekuatan 10 pon (4,5 kg) pada leher sudah cukup untuk
menghentikan aliran darah di daerah itu, sehingga tindakan gantung tetap dapat
8
dilakukan dengan sebagian tubuh tetap berada di lantai.
8
Terdapat 2 macam gantung diri :
1. Gantung diri tipikal : simpul penjerat terletak pada tengkuk bagian belakang leher.
2. Gantung diri atipikal : simpul penjerat terletak di bagian lain leher selain pada
bagian tengkuk leher. Lokasi simpul biasanya terletak pada sudut mandibula, dekat mastoid
atau di bawah pipi.
7
Posisi korban pada kasus gantung :
7,8
Mekanisme kematian pada kasus gantung :
4. Kerusakan medulla spinalis akibat dislokasi dari sendi atlantoaxial (pada hukum
gantung). Hal ini terjai akibat dislokasi atau fraktur vertebra ruas leher, biasanya C2-C3 atau
C3-C4.
Jika sebab kematiannya karena asfiksia maka akan dapat ditemukan tanda-
tanda sebagai berikut :
- Warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar),
perabaan keras seperti kertas perkamen.
- Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan adanya pelepasan (deskuamasi) epitel
serta reaksi jaringan. Apabila tidak ditemukan adanya reaksi jaringan maka kemungkinan korban sudah
- Jika sesudah mati korban tetap dalam keadaan tergantung cukup lama
makan lebam mayat dapat ditemukan pada tubuh bagian bawah, anggota badan bagian distal
serta alat genitalia bagian distal.
Lidah
- Jika posisi jerat di bawah cartilago thyroid maka lidah akan tampak menjulur
keluar dan berwarna lebih gelap akibat proses pengeringan. Jika posisi jerat di atas cartilago
thyroid maka lidah tidak menjulur.
Jika pada suatu waktu ditemukan seseorang meninggal dunia dalam keadaan tergantung
7,8
harus dilakukan penyelidikan yang teliti sebab peristiwa gantung dapat terjadi karena :
1. Bunuh diri
tersangkut dahan atau pada waktu terjun payung, leher terlilit tali parasut.
7,8
fakta guna dipakai sebagai dasar membuat kesimpulan tentang cara kematia tersebut.
7,8
Tabel 1. Perbedaan antara Pembunuhan dan Bunuh diri
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen,
kawat, kabel, kaos kaki, dan sebagianya, melingkari atau mengikat leher yang makin
lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup. Berbeda dengan gantung
7
diri, penjerata biasanya merupakan kasus pembunuhan.
7
Pada peristiwa penjeratan dengan tali maka kematian yang terjadi dapat disebabkan :
Pada gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada penjeratan,
arteri vertebralis biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh karena kekuatan atau
beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar. Bila jerat masih ditemukan
melingkari leher, maka jerat tersebut harus disimpan dengan baik sebab dapat dijadikan
7
benda bukti dan diserahkan kepada penyidik bersama dengan visum et repertum.
7
Terdapat dua jenis simpul jerat , yaitu:
Simpul harus diamankan dengan melakukan pengikatan dengan benang agar tidak berubah
pada waktu mengangkat jerat. Untuk melepaskan jerat dari leher, jerat harus digunting
serong pada tempat yang berlawanan dari letak simpul, sehingga dapat direkonstruksikan
7
kembali. Kedua ujung jerat harus diikat sehingga bentuknya tidak berubah.
Dapat tampak garukan pada leher, biasanya ditimbulkan oleh korban yang
10
berusaha melepaskan diri dari jerat.
Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban melawan
akan menyebabkan luka lecet di sekitar jejas jerat, tampak jejas berupa kulit yang
mencekung berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka
7
lecet tekan). Pada otot-otot leher sebalah dalam tampak banyak resapan darah.
Pada bagian dalam, dapat terjadi kerusakan pada bagian dalam seperti laring
dan otot; tetapi cenderung lebih sedikit dibandingkan strangulasi manual.
Dapat juga terjadi fraktur tulang hyoid dan kornu tiroid; tetapi kerusakan pada
10
kartilago laring lebih sedikit dibandingan strangkulasi manual.
Pada tubuh jenazah yang mati akibat jeratan dengan ali dapat ditemukan kelainan
8
sebagai berikut .
1. Leher
a. Jejas jerat:
i. Tidak sejejas jejas gantung
ii. Arahnya horizontal
iii. Kedalamannya sama, tetapi jika ada simpul atau tali disilangkan
maka jejas jerat pada tempat tersebut lebih dalam.
iv. Tinggi kedua ujung jerat tidak sama
b. Lecet/memar:
Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet atau memar sekitar
ii. Fraktur dari tulang rawan (terutama tulang rawan tiroid), kecuali pada
korban muda dimana tulang rawan masih sengat elastik.
iii. Kongesti pada jaringan ikat, kelenjar limfe dan pangkal lidah.
b. Paru-paru:
i. Sering ditemukan edema paru-paru
ii. Sering ditemukan buih halus pada jalan napas
Cara Kematian
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan dinding saluran napas
7
bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran napas sehingga udara tidak dapat lewat.
1. Asfiksia
2. Refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsang reseptor nervus vagus pada corpus
caroticus di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Refleks vagal akan menyebabkan
7
henti jantung secara mendadak.
10
Gambar 2: Mekanisme Kematian Pencekikan
8
Sebab kematian pada pencekikan :
1. Leher:
a. Bagian luar:
Gambar 4: Luka memar dan luka lecet pada leher dan rahang bawah akibat
10
pencekikan dengan letak jari tinggi atau pencekikan dengan lengan
b. Bagian dalam:
Perdarahan atau resapan darah nampak lebih jelas dari pada
strangulasi jenis lain; yaitu pada jaringan ikat dibawah kulit,
8
dibelakang kerongkongan, dasar lidah dan kelenjar tiroid.
Fraktur dari tulang hyoid dan tulang rawan thyroid atau
cricoid sering terjadi karena besar tenaga yang
7
dipergunakan saat pencekikan.
10
Gambar 5: Perdarahan mukosa laring
10
Gambar 6. Fraktur Os Hyoid dan Fraktur
2. Paru-paru:
Edema paru terjadi jika anoksia berlangsung lama. Bila penekanan pada leher terjadi
8
secara intermitten maka pada mulut dan lubang hidung akan terlihat, adanya buih halus.
2.9 Sufokasi
2.10 Pembekapan
Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang menghambat
dekompresi udara pada kabin pesawat, Obstruksi mekanik pernapasan atas dapat berujung
mati lemas, seperti saat kantong plastik digunakan untuk bunuh diri ataupun karena
- Bunuh diri (suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi
misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur, bantal,
7,8
pakainan, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut.
- Kecelakaan (accidental smothering). Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut terutup bantal dan
selimut. Anak-anak dan dewasa yang terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit
udara, misalnya terbekap dengan atau kantung plastic. Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja
atau pada penderita epilepsy yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung
7,8
tertutup dengan pasir, gandum, tepung dan sebagainya.
- Pembunuhan (homicidal smothering). Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak
sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit
7,8
berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras.
Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar
jenazah mungkin tidak dapat ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang
7,8
dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
- Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku
dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
Luka memar atau lecet pada bagian/permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan
gigi,gusi dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban. Selanjutnya ditemukan
tanda-tanda asfiksia baik pemeriksaan luar maupun pada pembedahan jenazah seperti luka pada mulut
bagian dalam (memar pada gusi atau laserasi bibir bagian dalam), pada diseksi jaringan lunak wajah dapat
ditemukan memar subkutan disekitar mulut dan hidung. Objek yang tertinggal pada alat yang digunakan
untuk pembekapan dapat digunakan seperti saliva yang diidentifikasi pada bantal yang digunakan untuk
membekap. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel kulit
pelaku.
Asfiksia traumatik adalah terhalangnya udara untuk masuk dan keluar dari
paru-paru akibat terhentinya gerakan napas yang disebabkan adanya suatu tekanan
7
dari luar pada dada korban.
Pada kasus asfiksia traumatik gambaran post mortem menunjukkan tanda-tanda mati
lemas dan adanya tanda kekerasan pada dada atau abdomen. Akan didapatkan gambaran
sianosis dan pembendungan terutama pada bagian wajah, menyebabkan wajah
membengkak dan penuh dengan petekie, edema konjungtiva dan perdarahan
7
subkonjungtiva. Petekie terdapat pula pada leher, bokong dan kaki.
10
Tabel 2. Cara Kematian pada Korban Tenggelam
Kematian wajar ketika di dalam air, air masuk secara tidak sengaja
7
2.12.1.1 Klasifikasi berdasarkan penampakan paru pada saat otopsi
Dari definisi tenggelam tersebut, maka tenggelam dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu:
1) wet drowning: cairan masuk ke dalam saluran pernapasan, setelah korban mengalami
tenggelam. Aspirasi 1-3 ml/kgBB air akan menimbulkan gangguan dalam pertukaran gas secara
signifikan. Aspirasi air sampai ke paru menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah paru. Air segar
bergerak dengan cepat ke dalam membra kapiler alveoli. Surfaktan juga menjadi rusak sehingga
menyebabkan instabilitas alveoli, ateletaksis dan kemampuan paru untuk mengembang.
2) dry drowning: tidak terdapat cairan yang masuk ke dalam pernapasan, namun
terdapat penyumbatan saluran pernapasan akibat spasme laring ataupun karena refleks vagal tipe
ini sangat banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menggunakan obat-obatan seperti
golongan hipnotik sedative atau alkohol, di mana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau
usaha penyelamatan diri saat tenggelam. Kematian terjadi cepat;
8
2.13.2 Cara Kematian
Dari tabel di atas, maka peristiwa kematian akibat tenggelam dapat dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu:
2) Bunuh diri: peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke dalam air. Kadangkala
pelaku tersebut akan mengikat dirinya dengan pemberat sehingga tubuhnya dapat tenggelam
dengan mudah.
1) Asfiksia akibat spasme laring: kematian akibat spasme laring pada peristiwa
tenggelam sangat jarang seklai untuk terjadi. Spasme laring terjadi akibat adanya rangsangan air
yang masuk ke dalam laring. Spasme laring menyebabkan penutupan laring, sehingga air tidak
masuk ke dalam saluran pernapasan, yang akhirnya juga mengganggu fungsi pernapasan dengan
menghambat masuk keluar udara. Sehingga dalam pemeriksaan post-mortem tidak menemukan
7,8
air atau benda-benda air dalam paru-paru.
2) Asfiksia karena gagging dan choking: kematian ini akibat terdapat air yang
menutupi bagian saluran pernapasan atas, sehingga fungsi pernapasan menjadi terhambat.
3) Refleks vagal: kematian akibat refleks vagal dapat terjadi sangat cepat, di mana
rangsangan vagal ini dapat disebabkan oleh suhu dingin dari air. Stimulasi dari rangsangan vagal
menyebabkan pengaktifan sistem saraf parasimpatetis, sehingga menimbulkan bradikardia dan
bradipnea. Suhu dingin dari air dapat menstimulasi ujung persarafan pada kulit ataupun mukosa,
sehingga menimbulkan stimulasi pada rangsangan vagal.
4) Fibrilasi ventrikel: fibrilasi ventrikel yang terjadi pada peristiwa tenggelam memiliki
hubungan dengan jenis air. Pada air tawar, memiliki konsentrasi yang rendah. Jika seseorang
tenggelam, dan air tawar yang masuk ke dalam paru akan masuk ke dalam pembuluh darah
menyebabkan terjadinya hemodilusi. Perbedaan konsentrasi antara plasma darah dan komposisi sel,
maka air cenderung masuk ke dalam sel darah merah. Sel darah merah akan menjadi bengkak dan
akhirnya menyebabkan terjadinya hemolysis. Ketika terjadi hemolysis, maka komponen dalam sel
darah merah akan keluar. Di dalam eritrosit mengandung sejumlah ion kalium, oleh sebab itu, kalium
5) Edema pulmoner: edema pulmonal terjadi ketika tenggelam pada air asin. Air asin
memiliki konsentrasi yang sangat tinggi. Maka ketika air asin yang masuk ke dalam paru-paru,
konsentrasi yang tinggi akan menarik cairan dari plasma untuk masuk ke dalam paru-paru,
kemudian secara langsung, juga akan menarik cairan dari dalam sel ke paru-paru, sehingga
menimbulkan terjadinya edema pulmonal.
2.12.4 Pemeriksaan Post-Mortem
Pemeriksaan jenazah akibat tenggelam memerlukan pemeriksaan yang rinci dan teliti,
karena terdapat berbagai cara kematian yang terjadi pada jenazah yang tenggelam.
Jenazah yang didapatkan dari air belum tentu merupakan kasus tenggelam yang
sesungguhnya. Namun, kemungkinan korban tersebut telah mati yang kemudian di buang
ke dalam air, ataupun korban tersebut masih hidup saat jatuh dalam air, tetapi mengalami
kecelakaan sehingga meninggal. Oleh sebab itu, pemeriksaan pada jenazah yang
tenggelam perlu lebih komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai cara kematian
yang dapat terjadi. Semakin segar jenazah yang ditemukan, maka semakin mudah untuk
7
menemukan tanda-tanda cara kematian yang lebih pasti, demikian juga sebaliknya.
1) Identifikasi korban
Pakaian dan benda-benda milik korban
Untuk menentukan penyebab kematian, maka mayat yang masih segar lebih
muda untuk ditentukan dibandingkan dengan mayat yang sudah membusuk
Perubahan post-mortem pada korban tenggelam dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu jenis airnya, apakah air tersebut asin atau tawar; keadaan tempat kejadian, apakah
air tersebut pasang atau surut; adanya predator; suhu air; pakaian yang digunakan serta
permukaan dari dasar air. Seperti telah dikatakan di atas, bahwa semakin lama jenazah
7,8,10
berada dalam air, maka perubahan yang terjadi semakin mempersulit pemeriksa.
1) Mayat dalam keadaan basah berlumuran pasir dan benda-benda asing lainnya
yang terdapat di dalam air laut dan kadang-kadang bercampur lumpur
2) Busa halus pada hidung dan mulut, kadang disertai dengan darah. Mata setengah
terbuka atau tertutup. Jarang terjadi perdarahan atau bendungan
3) Kutis anserinus pada ekstremitas akibat kontraksi otot erector pilli yang dapat
terjadi karena rangsangan dinginnya air. Gambaran seperti kutis anserine dapat juga terjadi
karena rigor mortis pada otot tersebut. Oleh sebab itu, tanda tersebut tidak menjadi tanda
diagnostic yang signifikan.
4) Washer woman hand, maserasi yang terjadi pada kulit, khususnya pada kulit yang
mengandung banyak keratin, seperti pada telapak tangan dan kaki. Apabila pada air yang hangat,
maka maserasi pada kulit akan terjadi lebih cepat, biasanya dalam beberapa jam. Ketika pada air
yang dingin, maka maserasi kulit akan tertunda, biasanya mulai tampak setelah 4-5 jam. Awalnya
kulit akan mulai mengerut, pucat kemudian akan terlepas seperti membukan sarung tangan.
5) Cadaveric spasm, bisa ditemukan atau tidak. Sangat tergantung pada kejadian
sebelum meninggal.
6) Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air
7,8,10
Pemeriksaan Dalam Jenazah
1) Ketika busa halus juga ditemukan dalam trakea, bronkus, bronkiolus dan termiminal alveoli,
3) Petekiae sedikit sekali karena kapiler terjepit di antara septum interalveolar. Kadang
bisa temukan bercak-bercak perdarahan yang disebut sebagai bercak Paltauf, yang terjadi akibat
robeknya penyekat alveoli (Polsin)
4) Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan.
5) Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur, dan bagian dari tempat
kejadian.
Dari pemeriksaan luar, maka secara kasar dapat ditentukan dari pemeriksaan luar.
Faktor yang dapat mempengaruhi adalah suhu dari air, adanya hewan predator,
10
perubahan iklim di mana sangat mempengaruhi terhadap proses dekomposisi. Jika
tubuh berada pada air dengan suhu rata-rata udara, maka interval post-mortem:
1. Jika tidak menemukan pengerutan pada jari, menunjukkan kematian terjadi kurang
dari beberapa jam.
2. Pengerutan pada jari, telapak tangan dan kaki, secara progresif menunjukkan
kematian terjadi antara setengah hari sampai tiga hari.
3. Dekomposisi awal, sering terjadi pada bagian kepada dan leher, kemudian abdomen
dan paha, dengan waktu kematian 4 – 10 hari.
4. Bengkak yang terjadi pada wajah dan abdomen dengan adanya vena “marbling” dan
pelepasan epidermis dari tangan dan kaki, serta slippage pada scalp, menunjukkan 2 – 4
minggu
5. Pelepasan kulit secara menyeluruh, hilangnya otot dengan tampak skeletal, serta
likuefaksi parsial, menunjukkan 1 – 2 bulan.
2.12.6 Pemeriksaan Penunjang
- Mencocokan air dalam paru-paru dengan air di lokasi tempat tenggelam yaitu
dengan cara meneliti spesies dari ganggang diatom
Tes ini dilakukan dengan cara melihat air yang berasal dari paru-paru atau
lambung dibawah mikroskop. Dapat juga dilakukan pemeriksaan destruksi paru.
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hemokonsentrasi
atau hemodilusi pada masing-masing sisi dari jantung. Tes ini dianggap
reliabel jika dilakukan dalam waktu 24 jam setelah kematian.
Cara pemeriksaan:
Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri
lebih rendah dari jantung kanan. Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi
sebaliknya. Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat menyokong diagnosis. 10
3) Tes Diatom
Diatome adalah alga atau ganggang bersel satu dengan dinding terdiri dari silikat
(SiO2) yang tahan panas dan asam kuat. Bila seseorang mati karena tenggelam maka
cairan bersama diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan atau pencernaan
kemudian diatome akan masuk kedalam aliran darah melalui kerusakan dinding
kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar keseluruh jaringan. Diatom
dapat ditemukan dalam paru, ginjal, hepar, dan sum-sum tulang. Metode ini baik
10
untuk menentukan apakah orang masih hidup pada waktu tenggelam.
- Sedimen yang terjadi ditambah dengan akuades, pusing kembali dan akhirnya
dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan
diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau 10-20 per satu sediaan; atau pada sumsum tulang cukup
7
ditemukan hanya satu.
Pemeriksaan getah paru
Permukaan paru disiram dengan air bersih, iris bagian perifer, ambil
sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas
obyek, tutup dengan kaca penutup dan lihat dengan mikroskop.
10
4) Pemeriksaan Histopatologis
Investigasi histologis merupakan salah satu pemeriksaan utama dalam
mendemonstrasikan perubahan pulmoner pada kasus tenggelam, seperti edema,
kongesti, perdarahan, dan emfisema aquosum. Perubahan pulmoner ini bersifat
tidak spesifik dan penilitian – penelitian sebelumnya mengatakan bahwa
distribusi yang heterogen pada paru – paru menyebabkan kesulitan dalam
menemukan bukti kuat pada kasus tenggelam. Surfactant protein A (SP-A)
merupakan protein surfaktan terbanyak, yang telah digunakan sebagai marker
diagnostik secara klinis dalam berbagai situasi pada trauma akut paru – paru.
Kongesti, perdarahan, edema intra-alveolar dan interstisial, emfisema dan
atelektasis lebih sering terdapat pada kematian oleh asfiksia dibanding pada kematian
oleh sebab lain. Pada asfiksia, sering terdapat edema, kongesti, dan perdarahan pada
semua lobus paru – paru. Pada kasus tenggelam, surfaktan pulmoner dilepaskan dan
lain. Pelepasan surfaktan disebabkan oleh pernapasan yang berat dan dipaksakan oleh
karena penyimpangan fisik daripada sel alveoli tipe II pada keadaan volume
paru yang besar yang merupakan stimulus utama pada pelepasan surfaktan.
KESIMPULAN
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-
ujung jari dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung
kanan, merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat
kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan
mulut, dan tampak pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah,
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah
berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan,
pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat
dan berwarna lebih gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium,
subpleura viseralis, kulit kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru
terurtama yang berhubungan dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak
langsung, perdarahan faring terutama yang berhubungan dengan kekerasan.